Selasa, 10 Januari 2017

PERGESERAN POSISI AL-QUR’AN; dari Hudan li al-Muttaqin menuju Hudan li al-Nas



Muh Alwi HS/PTK/    /V/2017

PERGESERAN POSISI AL-QUR’AN;
dari Hudan li al-Muttaqin menuju Hudan li al-Nas


Muh Alwi HS
UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Pendahuluan
Munculnya pertentangan atau perbedaan yang signifikan dalam pemahaman terhadap al-Qur’an terjadi karena al-Qur’an itu sendiri yang tidak pasti. Dalam al-Qur’an, ia menyebutkan kedudukannya menjadi dua, yakni sebagai petunjuk untuk orang-orang yang bertaqwa (hudan li al-muttaqin, QS. al-Baqara: 2) dan petunjuk untuk seluruh manusia (hudan li al-Nas, QS. al-Baqarah: 185). Ketika al-Qur’an dikatakan sebagai hudan li al-muttaqin, maka kemudian konsekuensinya yang harus diterima berupa kehati-hatian dan keterbatasan dalam penafsiran atasnya. Sementara ketika al-Qur’an dikatakan sebagai hudan li al-Nas, maka hal ini menyebabkan adanya kebebasan dalam penafsiran terhadapnya. Karena itu, tulisan ini hadir untuk membuka dan menjelaskan ‘sekat’ atau batas posisi al-Qur’an sebagai hudan li al-muttaqin dan hudan li al-nas.

Dari Hudan Li Al-Muttaqin Menjadi Hudan Li Al-Nas
Dalam kajian al-Qur’an dapat dibagi menjadi dua era (masa), yaitu era klasik dan era modern-kontemporer. Pada era klasik kita bisa memposisikan al-Qur’an sebagai hudan li al-muttaqin, sementara untuk era modern-kontemporer al-Qur’an diposisikan sebagai hudan li al-Nas. Istilah hudan li al-muttaqin dan  hudan li al-nas di sini masing-masing merujuk kepada pandangan oleh pengkaji al-Qur’an. Kata al-muttaqin menunjuk kepada orang-orang (baca: ulama) yang pandangannya terhadap al-Qur’an senantiasa dipenuhi ‘kesakralan’ yang kuat. Di sini al-Qur’an yang dimaksud bukan ‘teks’nya (sebagaimana ketika ia menjadi produk budaya), akan tetapi kalam Allah yang tidak terikat apapun, sehingga implikasi dari pandangan ini adalah keterbatasan hak manusia dalam menginterpretasikan dan menyampaikan pesan Tuhan.
Orang-orang yang masuk pada golongan al-muttaqin di sini adalah mereka yang dalam menjelaskan dan menyampaikan al-Qur’an terikat oleh ada atau tidaknya penjelasan dari ulama sebelumnya, sehingga cenderung menutup diri dari problem sosial yang dihadapinya. Hal ini –misalnya, mengenai penafsiran ayat-ayat etika-hukum yang cenderung berhenti pada pendekatan literal dan legal, tanpa mempertimbangkan kebutuhan umat Islam[1].
Sementara kata al-nas menunjuk kepada seluruh manusia yang dalam pandangannya terhadap al-Qur’an tidak hanya terbatas pada kalam Allah yang sakral. Akan tetapi, telah menempatkan al-Qur’an sebagai kitab yang kehadirannya dipengaruhi oleh berbagai hal, misalnya bahasa, konteks sosial, dan lain sebagainya. Sehingga al-Qur’an menjadi kajian seperti umumnya, ia dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan untuk mencapai sebuah pemahaman atasnya. Orang-orang yang masuk pada kata al-nas ini cenderung melepaskan diri dari pandangan ulama sebelumnya (taqlid buta), dan berusaha membuktikan bahwa kehadiran al-Qur’an tidak terbatas pada ‘kitab suci’ saja, tetapi ia (al-Qur’an) juga menjadi pedoman yang senantiasa relevan dengan tiap zaman.
Pemahaman terhadap pergeseran al-Qur’an dari hudan li al-muttaqin menuju hudan li al-nas dapat diketahui mulai proses penurunan wahyu al-Qur’an dari Allah kepada Nabi Muhammad SAW. pada penyampaian wahyu di sini, terjadi komunikasi antara Tuhan (Allah) dan manusia, hal ini disebut sebagai ilqa’[2] (lihat QS. al-Muzzammil: 5). Adapun cara yang ditempuh terbagi menjadi dua, yaitu secara langsung dan tidak langsung (dengan melalui perantara malaikat (Jibril))[3]. Oleh karena itu, dapat dirumuskan bahwa pesan yang disampaikan secara tidak langsung (yakni melalui perantara), dimulai dari Allah, kepada Malaikat (Jibril), lalu Nabi Muhammad, kemudian manusia (umatnya). Dan pesan yang disampaikan secara langsung, dimulai dari Allah, langsung kepada Nabi Muhammad, kemudian manusia (umatnya).
Pada penyampaian wahyu secara langsung dapat dibagi menjad dua cara, yakni cara yang disebut ilham –sebagaimana yang dialami oleh Ibu Musa misalnya. Dan cara dengan berbicara “dibalik tabir” –sebagaimana yang dialmi oleh Musa.[4] Sementara penyampaian wahyu secara tidak langsung melalui utusan, yakni malaikat. Dari Allah kemudian menyampaikan wahyu kepada malaikat, proses ini disebut inzal, di mana al-Qur’an diturunkan secara keseluruhan. Setelah itu, dari malaikat kemudian menyampaikannya kepada Nabi Muhammad, proses ini disebut tanzil, di mana al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur[5].
Terlepas dari proses penyampaian wahyu baik secara langsung maupun tidak. Ada sisi lain yang mesti diperhatikan pada proses ini, yakni bahwa wahyu yang dari Allah sebelum sampai kepada Nabi Muhammad menempati metafisis (Ghaib) yang disebut ranah ilahiyyah.[6] Dengan sisi ini, wahyu menjadi bagian keimanan dikarenakan posisinya sebagai kalam Allah yang tidak diragukan dan tidak dapat dijabarkan, dengan kata lain al-Qur’an pada saat itu sebagai hudan li al-Muttaqin.
Pada tahap selanjutnya, wahyu (dari Allah) yang berada pada ranah metafisis (Ghaib) itu memasuki lingkup kehidupan Nabi Muhammad –sebagai penerima, yaitu ranah manusia (insaniyah)[7], di mana Muhammad merupakan bagian dari masyarakat yang dilingkupi oleh berbagai budaya di dalamnya. Pada proses wahyu menjadi teks, terjadi proses timbal-balik oleh nabi dan malaikat, di mana nabi kadangkala memiliki sifat kemalaikatan, dan malaikat berubah menjadi manusia.[8] Hal ini berangkat dari asumsi bahwa wahyu (baca: al-Qur’an) terdiri dari tanda (semiotik) dari Allah, kemudian tanda itu disampaikan melalui malaikat dengan menggunakan bahasa penerima yakni nabi Muhammad (Arabian, QS. asy-Syura: 8).[9]
Ketika al-Qur’an telah berbentuk bahasa arab, pada saat ini wahyu sudah terikat oleh satu kebudayaan yang ada, sehingga al-Qur’an tidak lagi dibahas sebagai kalam Allah yang berada di ranah ilahiyyah akan tetapi ia menjadi produk budaya, sehingga  kemudian sering dikenal bahwa al-Qur’an pada tahap ini menjadi ‘makhluk’ (sesuatu yang baru). Perlu ditekankan di sini bahwa ke-makhluk­-an al-Qur’an terjadi ketika ia telah menjadi “teks”. Pada tahap inilah al-Qur’an sebagai hudan li al-Nas.
Ketika al-Qur’an menjadi hudan li al-Nas, tentu konsekuensi yang muncul kemudian adalah bahasa Arab sebagaimana yang membentuk teks al-Qur’an harus diketahui terlebih dahulu. Siapapun dan dari manapun, selama ia memiliki pengetahuan yang dalam tentang bahasa arab dan kesastraan, maka ia akan berhenti pada kesimpulan bahwa al-Qur’an sebagai kitab sastra yang terbesar.[10] Oleh karena itu, untuk memahami kandungan al-Qur’an, maka pendekatan sastrawi adalah pendekatan utama yang harus dilakukan dalam mengkaji al-Qur’an.[11]
Meski demikian, ada beberapa prinsip tentang al-Qur’an –sebagaimana yang ditawarkan oleh Abduh. Di antaranya, pertama, al-Qur’an senantiasa berdialog dengan setiap zaman. Kedua, penafsiran al-Qur’an harus dapat dipahami oleh akal setiap manusia. Ketiga, kehadiran al-Qur’an tidak dibatasi atas satu zaman saja, akan tetapi untuk setiap generasi. Sehingga untuk mendapatkan kandungan al-Qur’an tidak mesti mengikuti pandangan ulama terdahulu, hal ini dikarenakan boleh jadi pandangan tersebut tidak relevan lagi untuk generasi yang lain, hal ini Abduh menegaskan perlunya penafsiran al-Qur’an yang dipahami oleh akal sebagai ‘alat’ pembeda salah dan benar, serta relevan atau tidak.[12]
Adapun spirit (dalam bahasa Abduh adalah visi) pertama yang terpenting dalam sebuah tafsir adalah sebuah penafsiran harus mampu menampilkan predikat al-Qur’an sebagai kitab hidayah dan rahmat, yang pada dasarnya menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman, dan ini merupakan tujuan besar bagi kaum muslim dalam merealisasikannya.[13] Dengan demikian, pemahaman atas pergeseran posisi al-Qur’an dari sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa menuju petunjuk bagi seluruh manusia, dapat memperlakukan al-Qur’an sebagai kitab pedoman hidup yang senantiasa berlaku untuk setiap zaman tanpa mengurangi kesuciannya sebagai kalam Allah SWT.








Referensi Bacaan.
Abduh, Syaikh Muhammad. 1999. Tafsir Juz ‘Amma. terj. (Mesir: Dar Mathabi’ Asy-Sya’b).
Almirzanah, Syafa’atun. Dan Sahiron Syamsuddin. 2011. Pemikiran Hermenutika Dalam Tradisi Islam: Reader. (Yogyakarta: Lemlit UIN Sunan Kalijaga).
Ismail. Achmad Syarqai. 2003. Rekonstruksi Konsep Wahyu Muhammad Syahrur. (Yogyakarta: elSAQ).
Saeed, Abdullah. 2016. Paradigma, Prinsip Dan Metode Penafsrian Kontekstualis Atas Al-Qur’an. Terj. (Yogyakarta: Baitul Hikmah Press).
Zaid, Abu Nasr Hamid. 2013. Tekstualis al-Qur’an Kritik Terhadap Ulumul Qur’an. Terj. (Yogyakart: LKis Yogyakarta).
Zuhri. 2013. Pengantar Studi Tauhid. (Yogyakarta: Suka Press).




[1] Saeed, Abdullah. Paradigma, Prinsip Dan Metode Penafsrian Kontekstualis Atas Al-Qur’an. Terj. (Yogyakarta: Baitul Hikmah Press. 2016). hlm. 21.
[2]  Ismail. Achmad Syarqai. Rekonstruksi Konsep Wahyu Muhammad Syahrur. (Yogyakarta: elSAQ. . 2003). hlm.
[3] Zaid, Abu Nasr Hamid. 2013. Tekstualis al-Qur’an Kritik Terhadap Ulumul Qur’an. Terj. (Yogyakart: LKis Yogyakarta). hlm.
[4]  Abu Nasr Hamid Zaid. Tekstualis al-Qur’an Kritik Terhadap Ulumul Qur’an. hlm.
[5]  Ismail. Achmad Syarqai. Rekonstruksi Konsep Wahyu Muhammad Syahrur. hlm.
[6]  Lihat Zuhri. Pengantar Studi Tauhid. (Yogyakarta: Suka Press. 2013). hlm. 122-123.
[7]  Zuhri. Pengantar Studi Tauhid. hlm. 123
[8]  Zuhri. Pengantar Studi Tauhid. hlm. 124.
[9]  Almirzanah, Syafa’atun. Dan Sahiron Syamsuddin. 2011. Pemikiran Hermenutika Dalam Tradisi Islam: Reader. (Yogyakarta: Lemlit UIN Sunan Kalijaga). hlm.
[10]  Abu Nasr Hamid Zaid. Tekstualis al-Qur’an Kritik Terhadap Ulumul Qur’an. hlm.
[11] Abu Nasr Hamid Zaid. Tekstualis al-Qur’an Kritik Terhadap Ulumul Qur’an. hlm.
[12]  Lihat penjelasan selengkapnya dalam Syaikh Muhammad Abduh. Tafsir Juz ‘Amma. terj. (Mesir: Dar Mathabi’ Asy-Sya’b. 1999).
[13] Syaikh Muhammad Abduh. Tafsir Juz ‘Amma. hlm.

Related Posts

PERGESERAN POSISI AL-QUR’AN; dari Hudan li al-Muttaqin menuju Hudan li al-Nas
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.