Muh Alwi HS/PTK/ /V/2017
PERGESERAN POSISI
AL-QUR’AN;
dari Hudan
li al-Muttaqin menuju Hudan li al-Nas
Muh Alwi HS
UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta
Pendahuluan
Munculnya
pertentangan atau perbedaan yang signifikan dalam pemahaman terhadap al-Qur’an
terjadi karena al-Qur’an itu sendiri yang tidak pasti. Dalam al-Qur’an, ia
menyebutkan kedudukannya menjadi dua, yakni sebagai petunjuk untuk orang-orang
yang bertaqwa (hudan li al-muttaqin, QS. al-Baqara: 2) dan petunjuk
untuk seluruh manusia (hudan li al-Nas, QS. al-Baqarah: 185). Ketika
al-Qur’an dikatakan sebagai hudan li al-muttaqin, maka kemudian
konsekuensinya yang harus diterima berupa kehati-hatian dan keterbatasan dalam
penafsiran atasnya. Sementara ketika al-Qur’an dikatakan sebagai hudan li
al-Nas, maka hal ini menyebabkan adanya kebebasan dalam penafsiran
terhadapnya. Karena itu, tulisan ini hadir untuk membuka dan menjelaskan ‘sekat’
atau batas posisi al-Qur’an sebagai hudan li al-muttaqin dan hudan li
al-nas.
Dari
Hudan Li Al-Muttaqin Menjadi Hudan Li Al-Nas
Dalam
kajian al-Qur’an dapat dibagi menjadi dua era (masa), yaitu era klasik dan era modern-kontemporer.
Pada era klasik kita bisa memposisikan al-Qur’an sebagai hudan li
al-muttaqin, sementara untuk era modern-kontemporer al-Qur’an diposisikan
sebagai hudan li al-Nas. Istilah hudan li al-muttaqin dan hudan li al-nas di sini masing-masing
merujuk kepada pandangan oleh pengkaji al-Qur’an. Kata al-muttaqin menunjuk
kepada orang-orang (baca: ulama) yang pandangannya terhadap al-Qur’an
senantiasa dipenuhi ‘kesakralan’ yang kuat. Di sini al-Qur’an yang dimaksud
bukan ‘teks’nya (sebagaimana ketika ia menjadi produk budaya), akan tetapi kalam
Allah yang tidak terikat apapun, sehingga implikasi dari pandangan ini
adalah keterbatasan hak manusia dalam menginterpretasikan dan menyampaikan
pesan Tuhan.
Orang-orang
yang masuk pada golongan al-muttaqin di sini adalah mereka yang dalam
menjelaskan dan menyampaikan al-Qur’an terikat oleh ada atau tidaknya
penjelasan dari ulama sebelumnya, sehingga cenderung menutup diri dari problem
sosial yang dihadapinya. Hal ini –misalnya, mengenai penafsiran ayat-ayat
etika-hukum yang cenderung berhenti pada pendekatan literal dan legal,
tanpa mempertimbangkan kebutuhan umat Islam[1].
Sementara
kata al-nas menunjuk kepada seluruh manusia yang dalam pandangannya
terhadap al-Qur’an tidak hanya terbatas pada kalam Allah yang sakral.
Akan tetapi, telah menempatkan al-Qur’an sebagai kitab yang kehadirannya
dipengaruhi oleh berbagai hal, misalnya bahasa, konteks sosial, dan lain
sebagainya. Sehingga al-Qur’an menjadi kajian seperti umumnya, ia dapat
dilakukan melalui berbagai pendekatan untuk mencapai sebuah pemahaman atasnya. Orang-orang
yang masuk pada kata al-nas ini cenderung melepaskan diri dari pandangan
ulama sebelumnya (taqlid buta), dan berusaha membuktikan bahwa kehadiran
al-Qur’an tidak terbatas pada ‘kitab suci’ saja, tetapi ia (al-Qur’an) juga
menjadi pedoman yang senantiasa relevan dengan tiap zaman.
Pemahaman
terhadap pergeseran al-Qur’an dari hudan li al-muttaqin menuju hudan
li al-nas dapat diketahui mulai proses penurunan wahyu al-Qur’an dari Allah
kepada Nabi Muhammad SAW. pada penyampaian wahyu di sini, terjadi komunikasi
antara Tuhan (Allah) dan manusia, hal ini disebut sebagai ilqa’[2]
(lihat QS. al-Muzzammil: 5). Adapun cara yang ditempuh terbagi menjadi dua,
yaitu secara langsung dan tidak langsung (dengan melalui perantara malaikat
(Jibril))[3].
Oleh karena itu, dapat dirumuskan bahwa pesan yang disampaikan secara tidak
langsung (yakni melalui perantara), dimulai dari Allah, kepada Malaikat
(Jibril), lalu Nabi Muhammad, kemudian manusia (umatnya). Dan pesan yang
disampaikan secara langsung, dimulai dari Allah, langsung kepada Nabi Muhammad,
kemudian manusia (umatnya).
Pada
penyampaian wahyu secara langsung dapat dibagi menjad dua cara, yakni cara yang
disebut ilham –sebagaimana yang dialami oleh Ibu Musa misalnya. Dan cara
dengan berbicara “dibalik tabir” –sebagaimana yang dialmi oleh Musa.[4]
Sementara penyampaian wahyu secara tidak langsung melalui utusan, yakni
malaikat. Dari Allah kemudian menyampaikan wahyu kepada malaikat, proses ini
disebut inzal, di mana al-Qur’an diturunkan secara keseluruhan. Setelah
itu, dari malaikat kemudian menyampaikannya kepada Nabi Muhammad, proses ini
disebut tanzil, di mana al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur[5].
Terlepas
dari proses penyampaian wahyu baik secara langsung maupun tidak. Ada sisi lain
yang mesti diperhatikan pada proses ini, yakni bahwa wahyu yang dari Allah sebelum
sampai kepada Nabi Muhammad menempati metafisis (Ghaib) yang disebut
ranah ilahiyyah.[6]
Dengan sisi ini, wahyu menjadi bagian keimanan dikarenakan posisinya sebagai kalam
Allah yang tidak diragukan dan tidak dapat dijabarkan, dengan kata lain
al-Qur’an pada saat itu sebagai hudan li al-Muttaqin.
Pada
tahap selanjutnya, wahyu (dari Allah) yang berada pada ranah metafisis (Ghaib)
itu memasuki lingkup kehidupan Nabi Muhammad –sebagai penerima, yaitu ranah manusia
(insaniyah)[7],
di mana Muhammad merupakan bagian dari masyarakat yang dilingkupi oleh berbagai
budaya di dalamnya. Pada proses wahyu menjadi teks, terjadi proses
timbal-balik oleh nabi dan malaikat, di mana nabi kadangkala memiliki sifat
kemalaikatan, dan malaikat berubah menjadi manusia.[8]
Hal ini berangkat dari asumsi bahwa wahyu (baca: al-Qur’an) terdiri dari tanda
(semiotik) dari Allah, kemudian tanda itu disampaikan melalui malaikat dengan
menggunakan bahasa penerima yakni nabi Muhammad (Arabian, QS. asy-Syura: 8).[9]
Ketika
al-Qur’an telah berbentuk bahasa arab, pada saat ini wahyu sudah terikat oleh
satu kebudayaan yang ada, sehingga al-Qur’an tidak lagi dibahas sebagai kalam
Allah yang berada di ranah ilahiyyah akan tetapi ia menjadi produk
budaya, sehingga kemudian sering dikenal
bahwa al-Qur’an pada tahap ini menjadi ‘makhluk’ (sesuatu yang baru). Perlu
ditekankan di sini bahwa ke-makhluk-an al-Qur’an terjadi ketika ia
telah menjadi “teks”. Pada tahap inilah al-Qur’an sebagai hudan li
al-Nas.
Ketika
al-Qur’an menjadi hudan li al-Nas, tentu konsekuensi yang muncul
kemudian adalah bahasa Arab sebagaimana yang membentuk teks al-Qur’an harus
diketahui terlebih dahulu. Siapapun dan dari manapun, selama ia memiliki
pengetahuan yang dalam tentang bahasa arab dan kesastraan, maka ia akan berhenti
pada kesimpulan bahwa al-Qur’an sebagai kitab sastra yang terbesar.[10]
Oleh karena itu, untuk memahami kandungan al-Qur’an, maka pendekatan sastrawi
adalah pendekatan utama yang harus dilakukan dalam mengkaji al-Qur’an.[11]
Meski
demikian, ada beberapa prinsip tentang al-Qur’an –sebagaimana yang ditawarkan
oleh Abduh. Di antaranya, pertama, al-Qur’an senantiasa berdialog dengan setiap zaman. Kedua,
penafsiran al-Qur’an harus dapat dipahami oleh akal setiap manusia. Ketiga, kehadiran al-Qur’an tidak dibatasi atas satu zaman saja, akan tetapi
untuk setiap generasi. Sehingga untuk mendapatkan kandungan al-Qur’an tidak
mesti mengikuti pandangan ulama terdahulu, hal ini dikarenakan boleh jadi
pandangan tersebut tidak relevan lagi untuk generasi yang lain, hal ini Abduh
menegaskan perlunya penafsiran al-Qur’an yang dipahami oleh akal sebagai ‘alat’
pembeda salah dan benar, serta relevan atau tidak.[12]
Adapun
spirit (dalam bahasa Abduh adalah visi) pertama yang terpenting dalam sebuah
tafsir adalah sebuah penafsiran harus mampu menampilkan predikat al-Qur’an
sebagai kitab hidayah dan rahmat, yang pada dasarnya menjadikan al-Qur’an
sebagai pedoman, dan ini merupakan tujuan besar bagi kaum muslim dalam
merealisasikannya.[13] Dengan demikian, pemahaman atas pergeseran posisi
al-Qur’an dari sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa menuju petunjuk
bagi seluruh manusia, dapat memperlakukan al-Qur’an sebagai kitab pedoman hidup
yang senantiasa berlaku untuk setiap zaman tanpa mengurangi kesuciannya sebagai
kalam Allah SWT.
Referensi
Bacaan.
Abduh, Syaikh
Muhammad. 1999. Tafsir Juz ‘Amma. terj. (Mesir: Dar Mathabi’
Asy-Sya’b).
Almirzanah,
Syafa’atun. Dan Sahiron Syamsuddin. 2011. Pemikiran Hermenutika Dalam Tradisi
Islam: Reader. (Yogyakarta: Lemlit UIN Sunan Kalijaga).
Ismail. Achmad
Syarqai. 2003. Rekonstruksi Konsep Wahyu Muhammad Syahrur. (Yogyakarta:
elSAQ).
Saeed, Abdullah.
2016. Paradigma, Prinsip Dan Metode Penafsrian Kontekstualis Atas Al-Qur’an.
Terj. (Yogyakarta: Baitul Hikmah Press).
Zaid, Abu Nasr
Hamid. 2013. Tekstualis al-Qur’an Kritik Terhadap Ulumul Qur’an. Terj.
(Yogyakart: LKis Yogyakarta).
Zuhri. 2013. Pengantar
Studi Tauhid. (Yogyakarta: Suka Press).
[1] Saeed, Abdullah. Paradigma, Prinsip Dan Metode Penafsrian
Kontekstualis Atas Al-Qur’an. Terj. (Yogyakarta: Baitul Hikmah Press.
2016). hlm. 21.
[2] Ismail. Achmad Syarqai. Rekonstruksi
Konsep Wahyu Muhammad Syahrur. (Yogyakarta: elSAQ. . 2003). hlm.
[3] Zaid, Abu Nasr Hamid. 2013. Tekstualis al-Qur’an Kritik
Terhadap Ulumul Qur’an. Terj. (Yogyakart: LKis Yogyakarta). hlm.
[4] Abu Nasr Hamid Zaid. Tekstualis al-Qur’an
Kritik Terhadap Ulumul Qur’an. hlm.
[5] Ismail. Achmad Syarqai. Rekonstruksi
Konsep Wahyu Muhammad Syahrur. hlm.
[6] Lihat Zuhri. Pengantar
Studi Tauhid. (Yogyakarta: Suka Press. 2013). hlm. 122-123.
[7] Zuhri. Pengantar Studi Tauhid. hlm.
123
[8] Zuhri. Pengantar Studi Tauhid. hlm.
124.
[9] Almirzanah, Syafa’atun. Dan
Sahiron Syamsuddin. 2011. Pemikiran Hermenutika Dalam Tradisi Islam: Reader.
(Yogyakarta: Lemlit UIN Sunan Kalijaga). hlm.
[10] Abu Nasr Hamid Zaid. Tekstualis
al-Qur’an Kritik Terhadap Ulumul Qur’an. hlm.
[11] Abu
Nasr Hamid Zaid. Tekstualis al-Qur’an Kritik Terhadap Ulumul Qur’an.
hlm.
[12] Lihat penjelasan selengkapnya dalam Syaikh
Muhammad Abduh. Tafsir Juz ‘Amma. terj. (Mesir: Dar Mathabi’
Asy-Sya’b. 1999).
[13]
Syaikh Muhammad Abduh. Tafsir Juz ‘Amma. hlm.
PERGESERAN POSISI AL-QUR’AN; dari Hudan li al-Muttaqin menuju Hudan li al-Nas
4/
5
Oleh
Unknown