Rabu, 11 Januari 2017

PENAFSIRAN MUHAMMAD ABDUH TERHADAP AYAT DAN HADITS TERSIHIRNYA NABI MUHAMMAD SAW



PENAFSIRAN MUHAMMAD ABDUH TERHADAP
AYAT DAN HADITS TERSIHIRNYA NABI MUHAMMAD SAW


Oleh:
Ridha Hayati
(14530002)
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Adanya kaca mata akan kebutuhan baru dalam menghadapi problema kemanusiaan yang terjadi dalam masyarakat telah memberikan dampak yang sangat besar dalam perkembangan tafsir al-Qur’an. Persoalan zaman yang semakin kompleks menimbulkan tanda tanya besar bagi para ilmuan khususnya ilmuan tafsir yang kemudian mencoba memberikan ide pembaharuan demi terselesainya permasalahan zaman yang dihadapi masyarakat. Salah satu ilmuan terkemuka memiliki ide cermelang di era konpemporer adalah Muhammad Abduh.
Muhammad Abduh merupakan seorang tokoh yang sangat mempunyai pengaruh besar dalam pembaharuan Islam, beliau sangat termasyhur dan dikenal serba bisa. Muhammad Abduh menempati posisi yang amat penting dalam konstalasi gerakan modernisme Islam. Karena pemikirannya yang mendunia ia mampu menghasilkan buah fikiran pada bidang tafsir. Abduh, tak hanya menyelam dalam bidang tafsir namun juga dalam bidang Hadits. Sikapnya yang sangat kritis dan selektif terhadap pemerimaan hadits memiliki peranan besar bagi pemikir Islam modern.
Dalam memahami al-Qur’an pokok prinsip Abduh adalah al-Qur’an sebagai kitab hidayah yang mampu mengatasi problem zaman sekarang ini. Mengenai pemikirannya dalam bidang hadits, cara berfikirnya adalah rasional sama halnya dalam bidang tafsir yang sangat memperjuangkan rasionalitas. Menarik kiranya bagi kita untuk melihat bagaimana cara berfikir rasionalnya Muhammad Abduh baik dalam bidang Tafsir maupun Hadits, disini penulis akan berfokus pada bagaimana kerasionalan Muhammad Abduh dalam ayat dan dalam perihal penolakannya terhadap Nabi Muhammad tersihir.

A.    Biografi Muhammad Abduh
Muhammad Abduh adalah seorang mujaddid dari Tantha. Nama lengkapnya adalah Muhammad Abduh bin Abdullah bin Hasan Khairullah. Ia dilahirkan di pesisir kota Tantha pada akhir tahun 1849 M di tengah masyarakat yang pencaharian sebagai petani. Abduh di kirim oleh ayahnya untuk belajar di al-jami’ al-Ahmadi di Tantha. Disana beliau mempelajari ilmu tajwid al-Qur’an , ilmu-ilmu tentang fiqih, nahwu serta mempelajari filsafat Ibnu Sina dan filsafat Aristoteles dari Syeikh Hasab al-Thawil selain itu juga sastra arab kepada syeikh Muhammad al-Basyhuni.[1]
Beliau meninggal pada tanggal 11 Juli 1905 M di Iskandariah, karena menderita penyakit kanker hati. Jenazahnya dimakamkan di Qurafat al-Mujawirin. Beliau meninggalkan 4 putri yang dua telah menikah dan yang dua belum yang kemudian ikut dengan pamannya Hamudah Bin Abduh al-Muhami.[2]

B.     Karya-Karya Muhammad Abduh
Abduh memiliki karya dibidang tafsir, karya-karya dalam bidang tafsirnya terbilang sedikit jika dibandingkan dengan kemampuannya.  Diantara karya-karya nya : Tafsir Juz ‘Amma, Tafsir Surah Wal-Ashr , Tafsir ayat-ayat surah An-nisa : 77 dan 87, Al-Haj : 52, 53 dan 54, serta Al-Ahzab : 37, Tafsir Al-Quran yang dimulai dari Al-Fatihah sampai ayat 129 surah An-Nisa. Penafsiran ayat-ayat tersebut tidak ditulis langsung oleh Muhammad Abduh sendiri, Rasyid Ridha lah yang menuliskannya.[3]
Pada karyanya tersebut ia memiliki corak penafsiran yang unik, dalam menafsirkan Al-Qur’an beliau berusaha untuk menghindari dari kisah Israiliyat, hadits maudhu, tinjauan ilmu maani dan bayan, pendekatan ushul fiqh, istinbath para ahli fiqih yang taqlid, perdebatan ahli ilmu kalam, takwil kaum sufi serta dari riwayat yang tidak penting.[4]  
Ciri-ciri penafsiran selalu ada dalam tafsir, tafsir Muhammad Abduh memiliki beberapa ciri-ciri yaitu :1. Memandang setiap surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi. 2. Ayat Al-Qur’an bersifat umum. 3. Al-Qur’an adalah sumber aqidah dan hukum. 4. Menggunakan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. terbukti bahwa Abduh sangat selektif dalam membaca karya tafsir, memahami maksud lafal yang sulit dan tetap berpegang teguh pada petunjuk al-Qur’an.  Sehingga tak heran jika dirinya senang pada kitab tafsir al-kasyaf, sebab baginya kitab tersebut lebih menarik, rasional, dan bermanfaat dalam proses penafsiran bi ra’yi.[5] Salah satu contoh pemikiran rasionalnya yang diaplikasikan kedalam bidang tafsir adalah tentang sihir dimana ia tidak meyakini bahwa Nabi Muhammad tersihir.
Menggunakan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an merupakan salah satu prinsip keempatnya sebagaimana telah dijelaskan diatas, untuk lebih jelas dalam memahami bagaimana pemikirannya terhadap prinsip tersebut dapat kita lihat pada contoh penafsirannya terhadap penolakan ayat sihir.

C.     Tafsir Muhammad Abduh dalam ayat sihir
Muhammad Abduh berpendapat bahwa sihir yang dijelaskan oleh Allah dalam Al-Qur’an ialah : “pengelabuhan yang menipu mata sehingga terlihat apa yang sebenarnya tidak ada menjadi ada. Sebagaimana firman Allah:
قَالَ بَلۡ أَلۡقُواْۖ فَإِذَا حِبَالُهُمۡ وَعِصِيُّهُمۡ يُخَيَّلُ إِلَيۡهِ مِن سِحۡرِهِمۡ أَنَّهَا تَسۡعَىٰ
Berkata Musa: "Silahkan kamu sekalian melemparkan". Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka. Ketika syeikh Muhammad Abduh menafsirkan Al-Qur’an pada surah Al-Baqarah ayat 102 : يُعَلِّمُونَ ٱلنَّاسَ ٱلسِّحۡرَ  ia berkata : ayat menunjukkan bahwa sihir dapat dipelajari, sehingga deisimpulkannya bahwa sihir tidak lain adalah tipu daya atau ilmu-ilmu yang dapat dipelajari dan diketahui oleh sementar orang, kemudian orang tersebut dinamai penyihir, karena apa yang dilakukannya itu tidak diketahui rahasianya oleh orang lain. Sihir yang dilakukan oleh penyihir-penyihir pada masa musa, itu adalah dengan jalan melekatkan air raksa (Hg) pada tongkat dan tali-tali mereka sehingga tongkat dan tali-tali tersebut dapat bergerak.[6]
Selanjutnya ketika Muhammad Abduh menafsirkan firman Allah dalam surah Al-falaq ayat 4 : وَمِن شَرِّ ٱلنَّفَّٰثَٰتِ فِي ٱلۡعُقَدِ  (Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul dan tali-tali), ia menegaskan bahwa yang dimaksud ialah orang-orang yang membawa berita-berita (fitnah) kepada dua pihak sehingga memutuskan hubungan antara keduanya, redaksi tersebut dipakai  Muhammad Abduh karena Allah swt ingin mempersapkan mereka dengan tukang-tukang sihir yang bila mereka ingin memutuskana hubungan seumpama antar suami dan istri, mereka mengikat satu tali kemudian dimanterainya lalu dilepaskan ikatannya sebagai pertanda lepasnya ikatan kasih sayang antara suami-istri tersebut, berita yang dibawa (fitnah tersebut) merupakan suatu hal yang mirip dengan sihir karena ia mengalihkan kasih sayang antara dua sahabat menjadi permusuhan dengan cara-cara terselubung dan dengan penuh kebohongan. Fitnah ini menyesatkan kedua hati sahabat tadi sebagaimana malam dengan kegelapannya menyesatkan orang-orang yang berjalan pada waktu itu, dan karena itu  ٱلنَّفَّٰثَٰتِ فِي ٱلۡعُقَدِ  ditempatkan sesudah firman شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ  مِن (Dari kejahatan-kejahatan yang terjadi di wakktu malam pada saat gelap gulita).[7]
Atas dasar pemahaman tersebut Abduh menolak semua hadits-hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah saw pernah disihir sehingga mempengaruhi beliau, dan bahwa jibril turun memberitahukan tempat disembunyikannya bahan-bahan yang digunakan untuk menyihir beliau. Menurut Muhammad Abduh, jika benar Rasulullah saw disihir maka ini membenarkan tuduhan kaum musyrikin yang menyatakan sebagaimana diinformasikan Al-Qur’an  أن تتبعون إلارجل مسحور  (kamu sekalian tidak mengikuti kecuali seorang yang disihir). Disamping itu bahwa menyatakan beliau disihir menimbulkan anggapan atau kemungkinan bahwa akal pikiran beliau berubah sehingga bisa saja ketika itu beliau menyampaikan sesuatu yang bukan wahyu tetapi dianggapnya wahyu atau sebaliknya.[8]
Dapat kita lihat bahwa, hal ini mempunyai sisi positif selama penggunaannya tidak melampaui batas-batas kewajaran. Terkadang penggunaan akal secara bebas sering kali menjadikan seseorang mengabaikan hal-hal yang bersifat suprarasional sehingga lupa bahwa akal itu sendiri mempunyai keterbatasan-keterbatasan. 
Oleh karenanya prinsip tersebut ada baiknya dikaitkan dengan prinsip pokok ketiga, yakni “Al-Qur’an adalah sumber aqidah dan hukum”.[9] Jika penulis mengamati secara teliti, dapat disimpulkan bahwa motivasi yang mendorong Muhammad Abduh dan penganut-penganut alirannya adalah menggunakan prinsip pokok keempat, yaitu merasionalkan ajaran-ajaran agama serta mempersempit wilayah Ghaib yang kesemuanya merupakan sebab-sebab tumbuh kembangnya Israiliyat (dongeng atau cerita-cerita yang tidak dapat dipertanggung jawabkan serta telah menjadi panutan sebagian besar masyarakat Islam ketika itu.
D.    Penafsiran Muhammad Abduh terhadap hadits sihir
Selain mumpuni dalam bidang tafsir ia juga lihai dalam bidang hadits, Pemikiran Abduh mengenai kedudukan hadis dalam hukum islam memiliki peran penting dalam dunia Islam. Dalam risalah al-tauhidnya, Abdullah menyebutkan: setelah kita meyakini Nabi Saw, tak ada keraguan bahwa kita harus juga membenarkan serta mengimani hadits-hadits yang dibawa olehnya. Walaupun wahyu harus dipahami dengan akal, Muhammad Abduh tetap mengakui keterbatasan akal dan kebutuhan manusia akan bimbingan Nabi Saw. Abduh berpendapat :
 “ Baik wahyu maupun akal menunjukkan kenyataan bahwa pasti adsatu pencipta yang merupakan prima causa (sebab pertama) dari semua yang tercipta, dan abadi. Sang pencipta lalu mengutus seorang nabi untuk menjelaskan kehendak-Nya. Karenanya, sangat beruntunglah seorang interpretator, jika rumusannya selaras dengan harfiah wahyu. Namun jika tidak, kehendaklah ia tunduk dengan wahyu tersebut dan tidak memaksa dirinya untuk menggunakan ta’wil. Ta’wil hanya boleh digunakan untuk membela agama dari serangan kaum kafir”.  [10]

Abduh sangat kritis dalam menilai hadits yang dilatarbelakangi oleh sikapnya yang sangat rasional. Muhammad Abduh memiliki kriteria tersendiri tentang hadits-hadits yang dapat dijadikan hujjah. Adapun syaratnya adalah khabar Mutawatir yang memenuhi syarat: Diriwayatkan oleh jama’ah yang tak mungkin bersepakat untuk berbohong. Sedangkan hadits-hadits ahad, harus dianggap shahih jika disampaikan oleh orang yang mengetahui (benar-benar) keabsahannya. [11]
 Adapun jika dibawa oleh orang yang hadits itu tidak sampai kepadanya, atau sampai namun ada keraguan dalam penyampaian tersebut, maka tidak dianggap sebagai (yang serupa dengan) mutawatir. Tidak mempercayai hadits seperti ini bukan lah suatu”cela” bagi keimanan sesorang. Sebaliknya, bagi yang mengingkari sebuah hadits padahal ia mengetahui dengan pasti bahwa itu berasal dari nabi maka ia telah mendustakannya. Ungkapan ini tak lebih dari sebuah pengakuan dirinya bahwa tidak ada Hadis ahad yang bisa dijadikan hujjah.[12] Dengan kata lain menurut penulis Abduh tak meyakini adanya hadits ahad yang otentik.
Contohnya adalah kontroversi pemikiran Abduh dengan Bukhari terkait hadits tersihirnya Nabi dalam Shahih Bukhary dalam mausuah hadits no 5324.[13] Dalam argumentasinya disampaikan, Abduh berkata : “shahih bukhari adalah kitab ke-2 setelah al-Qur’an, dan saya tidak menyagsikan bahwa dia mendengar hadits ini dari guru-gurunya. Bukhari mensyaratkan al-mu’asharah dan al-liqa’ (pertemuan sezaman dengan guru). Hanya saja saya berpendapat bahwa kejadian ini (sihir) tak mungkin terjadi pada Nabi saw. Barangkali ia hanyalah kabar israiliyat dari israiliyat dari guru-guru Bukhary. Karena jika tidak demikian, jika kita percaya bahwa nabi saw tersihir, maka kita telah membenarkan perkataan orang-orang dhalim : وقال الظالمون أن تتبعون إلارجل مسحور . Ini adalah hadits Ahad dan ia sama sekali tak diperhitungkan dalam permasalahan aqidah (termasuk dalam meyakini bahwa Nabi saw terjaga dari sihir. Sehingga yang harus dilakukan adalah tindak menghukumi ‘aqidah kita dengan hadits ini. Kita mengambil dengan apa yang dinash-kan oleh al-Qur’an dengan dalil ‘aql. (dalam hadits tadi) jika Nabi saw benar disihir maka ia akan menyebut “wahyu” apa yang bukan “wahyu”  dan sebaliknya. Saya (Abduh) lebih suka mengatakan bahwa hadiys Bukhary adalah dhaif dari pada harus meyakini bahwa nabi pernah terkena sihir.[14]
Hasil penerapan cara berfikir ini dapat kita jumpai dalam Tafsir Almanar dimana banyak hadits yang dinilai ulama terkenal sebagai hadits-hadits shahih ia tolak karena dinilai tidak sesuai dengan pemikiran logikanya. Sebaliknya, ada juga hadits atau riwayat-riwayat al-Qur’an yang dinilai lemah justru dikukuhkan olehnya. Hemat penulis bahwa cara berfikir rasionalnya Abduh memiliki sisi positif selama penggunaannya tidak melampaui batas-batas kewajaran. Muhammad Abduh dalam pendapatnya menyangkut sihir, terpengaruh oleh pendapat golongan Mu’tazilah yang mengingkari adanya sihir dan hal ini dianut pula olehnya dalam rangka usaha memberikan gambaran logis, ilmiah dan rasional khususnya di hadapan orientalis dan orang-orang Barat. Metodologi penafsirannya dibangun berdasarkan dominasi rasional dan banyak ayat al-Qur’an yang dikompromikan antara Islam dengan revilasi Barat.[15]
Sayangnya ia lupa bahwa dalam hidup, disamping hal-hal yang irasional, ada pula yang rasional dan supranatural. Melihat kembali pada ciri penggunaan akal secara luas. Ciri tersebut dapat dikatakan merupakan prinsip pokok yang terpenting dalam penafsiran Abduh, sehingga bila prinsip-prinsip lainnya yang tidak sejalan, maka akan diabaikan. Walau demikian pemikiran Muhammad Abduh telah memberikan sumbangsih yang sangat besar bagi umat Islam, hal ini patut kita apresiasi sebab untuk menghasilkan pemikiran yang cemerlang tersebut tidaklah mudah.














Daftra Pustaka
Abdussalam Abdul Majid, Visi dan Paradifma Tafsir Al-Qur’an Kontemporer, (Al-   izzah, Bangil Jatim, 1997).
Abha Muhammad Makmun, Yang Membela Yang Menggugat, Yogjakarta  ,Css-Mora 2009.
CD-Rom Mausu’ah al-Kutub al-Tis’ah (Global Islamic Software, 2007).
Juynboll, Kontroversi Hadis di Mesir (1890-1960), terj. Ilyas Hasan. Bandung: Penerbit Mizan, 1999.
Nawawi Rif’at Syauqi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh Kajian Masalah      Akidah dan Ibadat, (Jakarta, Paramadina, 2002).
Shihab Quraish,  Studi Kritis Tafsir Al-manar karya Muhammad Abduh dan rasyid Ridha, (Pustaka Hidayah:Bandung, 1994).
Rosa Andi, Tafsir Kontemporer metode dan orientasi modern dari para ahli dalam  menafsirkan ayat al-Qur’an, (serang: dekdipbud Bantenpress. 2015).

                                                                                          


[1]Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridhha, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hlm. 11.

[2] Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, (paramadina, jakarta, 2002), .hlm. 40.
[3] Andi Rosa, Tafsir Kontemporer Metode Dan Orientasi Modern Dari Para Ahli Dalam Menafsirkan Ayat Al-Qur’an. dekdipbud Bantenpress. 2015).Hlm 42
[4] Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, (paramadina, jakarta, 2002 ).hlm. 101.
 [5] Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridhha  (Bandung:Pustaka Hidayah, 1994), hlm. 11.
[6] Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, (Bandung:Pustaka Hidayah, 1994), hlm. 39.
[7]Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar  Abduh dan Rasyid Ridha, (Bandung:Pustaka Hidayah, 1994). hlm.. 40.
[8] Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, (Bandung:Pustaka Hidayah, 1994), hlm.. 40
[9] Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar,  hlm. 11.
[10] M Makmun Abha, Yang Membela Dan Yang Menggugat, (CSS Suka Press: Yogjakarta, 2012).hlm. 28.
[11] Juynboll, Kontroversi Hadis Di Mesir, terj.Ilyas Hasan, (1890-1960), hlm. 24.
[12] M Makmun Abha, Yang Membela Dan Yang Menggugat, (CSS Suka Press: Yogjakarta, 2012).hlm. 29.
[13] حَدَّثَنَا عُبَيْدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سُحِرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى إِنَّهُ لَيُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ يَفْعَلُ الشَّيْءَ وَمَا فَعَلَهُ حَتَّى إِذَا كَانَ ذَاتَ يَوْمٍ وَهُوَ عِنْدِي دَعَا اللَّهَ وَدَعَاهُ ثُمَّ قَالَ أَشَعَرْتِ يَا عَائِشَةُ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَفْتَانِي فِيمَا اسْتَفْتَيْتُهُ فِيهِ قُلْتُ وَمَا ذَاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ جَاءَنِي رَجُلَانِ فَجَلَسَ أَحَدُهُمَا عِنْدَ رَأْسِي وَالْآخَرُ عِنْدَ رِجْلَيَّ ثُمَّ قَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ مَا وَجَعُ الرَّجُلِ قَالَ مَطْبُوبٌ قَالَ وَمَنْ طَبَّهُ قَالَ لَبِيدُ بْنُ الْأَعْصَمِ الْيَهُودِيُّ مِنْ بَنِي زُرَيْقٍ قَالَ فِيمَا ذَا قَالَ فِي مُشْطٍ وَمُشَاطَةٍ وَجُفِّ طَلْعَةٍ ذَكَرٍ قَالَ فَأَيْنَ هُوَ قَالَ فِي بِئْرِ ذِي أَرْوَانَ قَالَ فَذَهَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أُنَاسٍ مِنْ أَصْحَابِهِ إِلَى الْبِئْرِ فَنَظَرَ إِلَيْهَا وَعَلَيْهَا نَخْلٌ ثُمَّ رَجَعَ إِلَى عَائِشَةَ فَقَالَ وَاللَّهِ لَكَأَنَّ مَاءَهَا نُقَاعَةُ الْحِنَّاءِ وَلَكَأَنَّ نَخْلَهَا رُءُوسُ الشَّيَاطِينِ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَأَخْرَجْتَهُ قَالَ لَا أَمَّا أَنَا فَقَدْ عَافَانِيَ اللَّهُ وَشَفَانِي وَخَشِيتُ أَنْ أُثَوِّرَ عَلَى النَّاسِ مِنْهُ شَرًّا وَأَمَرَ بِهَا فَدُفِنَتْ.  

[14] M Makmun Abha, Yang Membela Dan Yang Menggugat, (CSS Suka Press: Yogjakarta, 2012).hlm.. 34.
[15] Abdul Majid, Abdussalam, Visi dan Paragigma Tafsir Al-Qur’an Kontemporer, (Al-Izzah: Bangil Jatim, 1997). hllm 279.

Related Posts

PENAFSIRAN MUHAMMAD ABDUH TERHADAP AYAT DAN HADITS TERSIHIRNYA NABI MUHAMMAD SAW
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.