PENAFSIRAN
MUHAMMAD ABDUH TERHADAP
AYAT
DAN HADITS TERSIHIRNYA NABI MUHAMMAD SAW
Oleh:
Ridha Hayati
(14530002)
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Adanya kaca mata akan kebutuhan baru dalam
menghadapi problema kemanusiaan yang terjadi dalam masyarakat telah memberikan
dampak yang sangat besar dalam perkembangan tafsir al-Qur’an. Persoalan zaman
yang semakin kompleks menimbulkan tanda tanya besar bagi para ilmuan khususnya
ilmuan tafsir yang kemudian mencoba memberikan ide pembaharuan demi
terselesainya permasalahan zaman yang dihadapi masyarakat. Salah satu ilmuan
terkemuka memiliki ide cermelang di era konpemporer adalah Muhammad Abduh.
Muhammad Abduh merupakan seorang tokoh yang sangat
mempunyai pengaruh besar dalam pembaharuan Islam, beliau sangat termasyhur dan
dikenal serba bisa. Muhammad Abduh menempati posisi yang amat penting dalam
konstalasi gerakan modernisme Islam. Karena pemikirannya yang mendunia ia mampu
menghasilkan buah fikiran pada bidang tafsir. Abduh, tak hanya menyelam dalam
bidang tafsir namun juga dalam bidang Hadits. Sikapnya yang sangat kritis dan
selektif terhadap pemerimaan hadits memiliki peranan besar bagi pemikir Islam
modern.
Dalam memahami al-Qur’an pokok prinsip Abduh adalah
al-Qur’an sebagai kitab hidayah yang mampu mengatasi problem zaman sekarang
ini. Mengenai pemikirannya dalam bidang hadits, cara berfikirnya adalah
rasional sama halnya dalam bidang tafsir yang sangat memperjuangkan
rasionalitas. Menarik kiranya bagi kita untuk melihat bagaimana cara berfikir
rasionalnya Muhammad Abduh baik dalam bidang Tafsir maupun Hadits, disini
penulis akan berfokus pada bagaimana kerasionalan Muhammad Abduh dalam ayat dan
dalam perihal penolakannya terhadap Nabi Muhammad tersihir.
A.
Biografi
Muhammad Abduh
Muhammad Abduh adalah seorang mujaddid
dari Tantha. Nama lengkapnya adalah Muhammad Abduh bin Abdullah bin Hasan
Khairullah. Ia dilahirkan di pesisir kota Tantha pada akhir tahun 1849 M di
tengah masyarakat yang pencaharian sebagai petani. Abduh di kirim oleh ayahnya
untuk belajar di al-jami’ al-Ahmadi di Tantha. Disana beliau mempelajari
ilmu tajwid al-Qur’an , ilmu-ilmu tentang fiqih, nahwu serta mempelajari
filsafat Ibnu Sina dan filsafat Aristoteles dari Syeikh Hasab al-Thawil selain
itu juga sastra arab kepada syeikh Muhammad al-Basyhuni.[1]
Beliau
meninggal pada tanggal 11 Juli 1905 M di Iskandariah, karena menderita penyakit
kanker hati. Jenazahnya dimakamkan di Qurafat al-Mujawirin. Beliau meninggalkan
4 putri yang dua telah menikah dan yang dua belum yang kemudian ikut dengan
pamannya Hamudah Bin Abduh al-Muhami.[2]
B. Karya-Karya Muhammad
Abduh
Abduh memiliki karya dibidang tafsir, karya-karya
dalam bidang tafsirnya terbilang sedikit jika dibandingkan dengan kemampuannya.
Diantara karya-karya nya : Tafsir Juz
‘Amma, Tafsir Surah Wal-Ashr , Tafsir ayat-ayat surah An-nisa : 77 dan 87,
Al-Haj : 52, 53 dan 54, serta Al-Ahzab : 37, Tafsir Al-Quran yang dimulai dari
Al-Fatihah sampai ayat 129 surah An-Nisa. Penafsiran ayat-ayat tersebut tidak
ditulis langsung oleh Muhammad Abduh sendiri, Rasyid Ridha lah yang
menuliskannya.[3]
Pada karyanya tersebut ia memiliki corak penafsiran
yang unik, dalam menafsirkan Al-Qur’an beliau berusaha untuk menghindari dari
kisah Israiliyat, hadits maudhu, tinjauan ilmu maani dan bayan, pendekatan
ushul fiqh, istinbath para ahli fiqih yang taqlid, perdebatan ahli ilmu
kalam, takwil kaum sufi serta dari riwayat yang tidak penting.[4]
Ciri-ciri penafsiran selalu ada dalam tafsir, tafsir
Muhammad Abduh memiliki beberapa ciri-ciri yaitu :1. Memandang setiap surah
sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi. 2. Ayat Al-Qur’an bersifat umum. 3.
Al-Qur’an adalah sumber aqidah dan hukum. 4. Menggunakan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat
Al-Qur’an. terbukti bahwa Abduh sangat
selektif dalam membaca karya tafsir, memahami maksud lafal yang sulit dan tetap
berpegang teguh pada petunjuk al-Qur’an. Sehingga tak heran jika dirinya senang pada
kitab tafsir al-kasyaf, sebab baginya kitab tersebut lebih menarik,
rasional, dan bermanfaat dalam proses penafsiran bi ra’yi.[5]
Salah satu contoh pemikiran rasionalnya yang diaplikasikan kedalam bidang
tafsir adalah tentang sihir dimana ia tidak meyakini bahwa Nabi Muhammad
tersihir.
Menggunakan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat
al-Qur’an merupakan salah satu prinsip keempatnya sebagaimana telah dijelaskan
diatas, untuk lebih jelas dalam memahami bagaimana pemikirannya terhadap
prinsip tersebut dapat kita lihat pada contoh penafsirannya terhadap penolakan
ayat sihir.
C. Tafsir Muhammad
Abduh dalam ayat sihir
Muhammad
Abduh berpendapat bahwa sihir yang dijelaskan oleh Allah dalam Al-Qur’an ialah
: “pengelabuhan yang menipu mata sehingga terlihat apa yang sebenarnya tidak
ada menjadi ada. Sebagaimana firman Allah:
قَالَ بَلۡ أَلۡقُواْۖ فَإِذَا
حِبَالُهُمۡ وَعِصِيُّهُمۡ يُخَيَّلُ إِلَيۡهِ مِن سِحۡرِهِمۡ أَنَّهَا تَسۡعَىٰ
Berkata
Musa: "Silahkan kamu sekalian melemparkan". Maka tiba-tiba tali-tali
dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat,
lantaran sihir mereka. Ketika syeikh Muhammad Abduh menafsirkan Al-Qur’an pada
surah Al-Baqarah ayat 102 : يُعَلِّمُونَ ٱلنَّاسَ
ٱلسِّحۡرَ ia berkata : ayat menunjukkan bahwa sihir
dapat dipelajari, sehingga deisimpulkannya bahwa sihir tidak lain adalah tipu daya
atau ilmu-ilmu yang dapat dipelajari dan diketahui oleh sementar orang,
kemudian orang tersebut dinamai penyihir, karena apa yang dilakukannya itu
tidak diketahui rahasianya oleh orang lain. Sihir yang dilakukan oleh
penyihir-penyihir pada masa musa, itu adalah dengan jalan melekatkan air raksa
(Hg) pada tongkat dan tali-tali mereka sehingga tongkat dan tali-tali tersebut
dapat bergerak.[6]
Selanjutnya
ketika Muhammad Abduh menafsirkan firman Allah dalam surah Al-falaq ayat 4 : وَمِن شَرِّ ٱلنَّفَّٰثَٰتِ فِي ٱلۡعُقَدِ (Dan dari kejahatan wanita-wanita tukang
sihir yang menghembus pada buhul-buhul dan tali-tali), ia menegaskan bahwa yang
dimaksud ialah orang-orang yang membawa berita-berita (fitnah) kepada dua pihak
sehingga memutuskan hubungan antara keduanya, redaksi tersebut dipakai Muhammad Abduh karena Allah swt ingin
mempersapkan mereka dengan tukang-tukang sihir yang bila mereka ingin
memutuskana hubungan seumpama antar suami dan istri, mereka mengikat satu tali
kemudian dimanterainya lalu dilepaskan ikatannya sebagai pertanda lepasnya
ikatan kasih sayang antara suami-istri tersebut, berita yang dibawa (fitnah
tersebut) merupakan suatu hal yang mirip dengan sihir karena ia mengalihkan
kasih sayang antara dua sahabat menjadi permusuhan dengan cara-cara terselubung
dan dengan penuh kebohongan. Fitnah ini menyesatkan kedua hati sahabat tadi
sebagaimana malam dengan kegelapannya menyesatkan orang-orang yang berjalan
pada waktu itu, dan karena itu ٱلنَّفَّٰثَٰتِ فِي ٱلۡعُقَدِ ditempatkan sesudah firman شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ مِن (Dari
kejahatan-kejahatan yang terjadi di wakktu malam pada saat gelap gulita).[7]
Atas
dasar pemahaman tersebut Abduh menolak semua hadits-hadits yang menerangkan
bahwa Rasulullah saw pernah disihir sehingga mempengaruhi beliau, dan bahwa
jibril turun memberitahukan tempat disembunyikannya bahan-bahan yang digunakan
untuk menyihir beliau. Menurut Muhammad Abduh, jika benar Rasulullah saw
disihir maka ini membenarkan tuduhan kaum musyrikin yang menyatakan sebagaimana
diinformasikan Al-Qur’an أن تتبعون إلارجل مسحور (kamu sekalian tidak mengikuti kecuali
seorang yang disihir). Disamping itu bahwa menyatakan beliau disihir
menimbulkan anggapan atau kemungkinan bahwa akal pikiran beliau berubah
sehingga bisa saja ketika itu beliau menyampaikan sesuatu yang bukan wahyu tetapi
dianggapnya wahyu atau sebaliknya.[8]
Dapat
kita lihat bahwa, hal ini mempunyai sisi positif selama penggunaannya tidak
melampaui batas-batas kewajaran. Terkadang penggunaan akal secara bebas sering
kali menjadikan seseorang mengabaikan hal-hal yang bersifat suprarasional
sehingga lupa bahwa akal itu sendiri mempunyai keterbatasan-keterbatasan.
Oleh
karenanya prinsip tersebut ada baiknya dikaitkan dengan prinsip pokok ketiga,
yakni “Al-Qur’an adalah sumber aqidah dan hukum”.[9] Jika
penulis mengamati secara teliti, dapat disimpulkan bahwa motivasi yang
mendorong Muhammad Abduh dan penganut-penganut alirannya adalah menggunakan
prinsip pokok keempat, yaitu merasionalkan ajaran-ajaran agama serta
mempersempit wilayah Ghaib yang kesemuanya merupakan sebab-sebab tumbuh
kembangnya Israiliyat (dongeng atau cerita-cerita yang tidak dapat
dipertanggung jawabkan serta telah menjadi panutan sebagian besar masyarakat
Islam ketika itu.
D.
Penafsiran Muhammad Abduh terhadap hadits sihir
Selain
mumpuni dalam bidang tafsir ia juga lihai dalam bidang hadits, Pemikiran Abduh mengenai
kedudukan hadis dalam hukum islam memiliki peran penting dalam dunia Islam. Dalam
risalah al-tauhidnya, Abdullah menyebutkan: setelah kita meyakini Nabi
Saw, tak ada keraguan bahwa kita harus juga membenarkan serta mengimani hadits-hadits
yang dibawa olehnya. Walaupun wahyu harus dipahami dengan akal, Muhammad Abduh
tetap mengakui keterbatasan akal dan kebutuhan manusia akan bimbingan Nabi Saw.
Abduh berpendapat :
“ Baik wahyu maupun akal menunjukkan kenyataan
bahwa pasti adsatu pencipta yang merupakan prima causa (sebab pertama) dari
semua yang tercipta, dan abadi. Sang pencipta lalu mengutus seorang nabi untuk
menjelaskan kehendak-Nya. Karenanya, sangat beruntunglah seorang interpretator,
jika rumusannya selaras dengan harfiah wahyu. Namun jika tidak, kehendaklah ia
tunduk dengan wahyu tersebut dan tidak memaksa dirinya untuk menggunakan
ta’wil. Ta’wil hanya boleh digunakan untuk membela agama dari serangan kaum
kafir”. [10]
Abduh
sangat kritis dalam menilai hadits yang dilatarbelakangi oleh sikapnya yang
sangat rasional. Muhammad Abduh memiliki kriteria tersendiri tentang
hadits-hadits yang dapat dijadikan hujjah. Adapun syaratnya adalah
khabar Mutawatir yang memenuhi syarat: Diriwayatkan oleh jama’ah yang tak
mungkin bersepakat untuk berbohong. Sedangkan hadits-hadits ahad, harus
dianggap shahih jika disampaikan oleh orang yang mengetahui (benar-benar)
keabsahannya. [11]
Adapun jika dibawa oleh orang yang hadits itu
tidak sampai kepadanya, atau sampai namun ada keraguan dalam penyampaian
tersebut, maka tidak dianggap sebagai (yang serupa dengan) mutawatir. Tidak
mempercayai hadits seperti ini bukan lah suatu”cela” bagi keimanan sesorang.
Sebaliknya, bagi yang mengingkari sebuah hadits padahal ia mengetahui dengan
pasti bahwa itu berasal dari nabi maka ia telah mendustakannya. Ungkapan ini
tak lebih dari sebuah pengakuan dirinya bahwa tidak ada Hadis ahad yang bisa
dijadikan hujjah.[12]
Dengan kata lain menurut penulis Abduh tak meyakini adanya hadits ahad yang
otentik.
Contohnya
adalah kontroversi pemikiran Abduh dengan Bukhari terkait hadits tersihirnya
Nabi dalam Shahih Bukhary dalam mausuah hadits no 5324.[13]
Dalam argumentasinya disampaikan, Abduh berkata : “shahih bukhari adalah
kitab ke-2 setelah al-Qur’an, dan saya tidak menyagsikan bahwa dia mendengar
hadits ini dari guru-gurunya. Bukhari mensyaratkan al-mu’asharah dan al-liqa’
(pertemuan sezaman dengan guru). Hanya saja saya berpendapat bahwa kejadian
ini (sihir) tak mungkin terjadi pada Nabi saw. Barangkali ia hanyalah kabar
israiliyat dari israiliyat dari guru-guru Bukhary. Karena jika tidak demikian,
jika kita percaya bahwa nabi saw tersihir, maka kita telah membenarkan
perkataan orang-orang dhalim : وقال الظالمون أن تتبعون
إلارجل مسحور . Ini adalah hadits Ahad dan ia sama sekali tak diperhitungkan
dalam permasalahan aqidah (termasuk dalam meyakini bahwa Nabi saw terjaga dari
sihir. Sehingga yang harus dilakukan adalah tindak menghukumi ‘aqidah kita
dengan hadits ini. Kita mengambil dengan apa yang dinash-kan oleh al-Qur’an
dengan dalil ‘aql. (dalam hadits tadi) jika Nabi saw benar disihir maka ia akan
menyebut “wahyu” apa yang bukan “wahyu”
dan sebaliknya. Saya (Abduh) lebih suka mengatakan bahwa hadiys Bukhary
adalah dhaif dari pada harus meyakini bahwa nabi pernah terkena sihir.[14]
Hasil
penerapan cara berfikir ini dapat kita jumpai dalam Tafsir Almanar dimana
banyak hadits yang dinilai ulama terkenal sebagai hadits-hadits shahih ia tolak
karena dinilai tidak sesuai dengan pemikiran logikanya. Sebaliknya, ada juga hadits
atau riwayat-riwayat al-Qur’an yang dinilai lemah justru dikukuhkan olehnya. Hemat
penulis bahwa cara berfikir rasionalnya Abduh memiliki sisi positif selama
penggunaannya tidak melampaui batas-batas kewajaran. Muhammad Abduh dalam pendapatnya
menyangkut sihir, terpengaruh oleh pendapat golongan Mu’tazilah yang
mengingkari adanya sihir dan hal ini dianut pula olehnya dalam rangka usaha
memberikan gambaran logis, ilmiah dan rasional khususnya di hadapan orientalis
dan orang-orang Barat. Metodologi penafsirannya dibangun berdasarkan dominasi rasional
dan banyak ayat al-Qur’an yang dikompromikan antara Islam dengan revilasi
Barat.[15]
Sayangnya
ia lupa bahwa dalam hidup, disamping hal-hal yang irasional, ada pula yang
rasional dan supranatural. Melihat kembali pada ciri penggunaan akal secara
luas. Ciri tersebut dapat dikatakan merupakan prinsip pokok yang terpenting
dalam penafsiran Abduh, sehingga bila prinsip-prinsip lainnya yang tidak
sejalan, maka akan diabaikan. Walau demikian pemikiran Muhammad Abduh telah
memberikan sumbangsih yang sangat besar bagi umat Islam, hal ini patut kita
apresiasi sebab untuk menghasilkan pemikiran yang cemerlang tersebut tidaklah
mudah.
Daftra
Pustaka
Abdussalam Abdul Majid, Visi dan
Paradifma Tafsir Al-Qur’an Kontemporer, (Al- izzah, Bangil Jatim, 1997).
Abha Muhammad Makmun, Yang
Membela Yang Menggugat, Yogjakarta ,Css-Mora
2009.
CD-Rom Mausu’ah al-Kutub al-Tis’ah
(Global Islamic Software, 2007).
Juynboll, Kontroversi Hadis di Mesir
(1890-1960), terj. Ilyas Hasan. Bandung: Penerbit Mizan, 1999.
Nawawi Rif’at Syauqi, Rasionalitas
Tafsir Muhammad Abduh Kajian Masalah Akidah
dan Ibadat, (Jakarta, Paramadina, 2002).
Shihab Quraish, Studi Kritis Tafsir Al-manar karya
Muhammad Abduh dan rasyid Ridha, (Pustaka Hidayah:Bandung, 1994).
Rosa Andi, Tafsir
Kontemporer metode dan orientasi modern dari para ahli dalam menafsirkan ayat al-Qur’an, (serang: dekdipbud
Bantenpress. 2015).
[1]Quraish Shihab, Studi
Kritis Tafsir Al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridhha, (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1994), hlm.
11.
[2] Rif’at Syauqi
Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, (paramadina, jakarta, 2002),
.hlm. 40.
[3] Andi Rosa, Tafsir
Kontemporer Metode Dan Orientasi Modern Dari Para Ahli Dalam Menafsirkan Ayat
Al-Qur’an. dekdipbud Bantenpress. 2015).Hlm 42
[4] Rif’at Syauqi
Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, (paramadina, jakarta, 2002
).hlm. 101.
[6]
Quraish
Shihab, Studi
Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, (Bandung:Pustaka
Hidayah, 1994), hlm. 39.
[7]Quraish
Shihab, Studi
Kritis Tafsir Al-Manar Abduh dan Rasyid Ridha, (Bandung:Pustaka Hidayah, 1994). hlm..
40.
[8]
Quraish
Shihab, Studi
Kritis Tafsir Al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, (Bandung:Pustaka Hidayah, 1994), hlm..
40
[9] Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir
Al-Manar, hlm. 11.
[10] M Makmun Abha,
Yang Membela Dan Yang Menggugat, (CSS Suka Press: Yogjakarta, 2012).hlm.
28.
[11] Juynboll, Kontroversi
Hadis Di Mesir, terj.Ilyas Hasan, (1890-1960), hlm. 24.
[12] M Makmun Abha,
Yang Membela Dan Yang Menggugat, (CSS Suka Press: Yogjakarta, 2012).hlm.
29.
[13] حَدَّثَنَا عُبَيْدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا أَبُو
أُسَامَةَ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سُحِرَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى إِنَّهُ لَيُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ
يَفْعَلُ الشَّيْءَ وَمَا فَعَلَهُ حَتَّى إِذَا كَانَ ذَاتَ يَوْمٍ وَهُوَ
عِنْدِي دَعَا اللَّهَ وَدَعَاهُ ثُمَّ قَالَ أَشَعَرْتِ يَا عَائِشَةُ أَنَّ
اللَّهَ قَدْ أَفْتَانِي فِيمَا اسْتَفْتَيْتُهُ فِيهِ قُلْتُ وَمَا ذَاكَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ قَالَ جَاءَنِي رَجُلَانِ فَجَلَسَ أَحَدُهُمَا عِنْدَ رَأْسِي
وَالْآخَرُ عِنْدَ رِجْلَيَّ ثُمَّ قَالَ أَحَدُهُمَا لِصَاحِبِهِ مَا وَجَعُ
الرَّجُلِ قَالَ مَطْبُوبٌ قَالَ وَمَنْ طَبَّهُ قَالَ لَبِيدُ بْنُ الْأَعْصَمِ
الْيَهُودِيُّ مِنْ بَنِي زُرَيْقٍ قَالَ فِيمَا ذَا قَالَ فِي مُشْطٍ وَمُشَاطَةٍ
وَجُفِّ طَلْعَةٍ ذَكَرٍ قَالَ فَأَيْنَ هُوَ قَالَ فِي بِئْرِ ذِي أَرْوَانَ
قَالَ فَذَهَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي أُنَاسٍ مِنْ
أَصْحَابِهِ إِلَى الْبِئْرِ فَنَظَرَ إِلَيْهَا وَعَلَيْهَا نَخْلٌ ثُمَّ رَجَعَ
إِلَى عَائِشَةَ فَقَالَ وَاللَّهِ لَكَأَنَّ مَاءَهَا نُقَاعَةُ الْحِنَّاءِ
وَلَكَأَنَّ نَخْلَهَا رُءُوسُ الشَّيَاطِينِ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ
أَفَأَخْرَجْتَهُ قَالَ لَا أَمَّا أَنَا فَقَدْ عَافَانِيَ اللَّهُ
وَشَفَانِي وَخَشِيتُ أَنْ أُثَوِّرَ عَلَى النَّاسِ مِنْهُ شَرًّا وَأَمَرَ بِهَا
فَدُفِنَتْ.
[14] M Makmun Abha,
Yang Membela Dan Yang Menggugat, (CSS Suka Press: Yogjakarta, 2012).hlm..
34.
[15] Abdul Majid,
Abdussalam, Visi dan Paragigma Tafsir Al-Qur’an Kontemporer, (Al-Izzah:
Bangil Jatim, 1997). hllm 279.
PENAFSIRAN MUHAMMAD ABDUH TERHADAP AYAT DAN HADITS TERSIHIRNYA NABI MUHAMMAD SAW
4/
5
Oleh
Unknown