Senin, 16 Januari 2017

Perempuan, Cinta Kasih dan Wacana Otoritas Teks




Perempuan, Cinta Kasih dan Wacana Otoritas Teks

 
Sebuah Wacana dari Khaled M. Abou El Fadl

Oleh:
Muh Alwi HS
UIN Sunan Kalijaga

Sujud Kepada Suami
Kita akan berangkat dari kebingungan dalam pernikahan, satu sisi ia (pernikahan) bersuara cinta kasih, tetapi sisi lain ia menjadi pintu ketidakberdaan perempuan (baca: Istri) kepada lelaki (baca: Suami). Tentang pernikahan, ada banyak ayat al-Qur’an yang menggambarkan perintah menikah, hal ini dapat dilihat misalnya dalam QS An-Nisa: 3, QS. An-Nur: 32, dan QS. Ar-Rum: 21. Dari beberapa ayat tersebut, tentu kita meyakini bahwa segala perintah dari Allah senantiasa mendatangkan kemaslahatan hamba-Nya baik secara individual maupun kolektif, sehingga pernikahan harus dimaknai sebagai keberkahan yang bersifat perintah dari Allah SWT.  
Namun, keberkahan itu akan ‘ternodai’ ketika pada kenyataannya kedua pihak (suami-istri) dalam perjalanan pernikahannya mengalami ketidakharmonisasian lantaran ada ego yang bermain di dalamnya. Hal ini tentu tidak terjadi begitu saja, akan tetapi ada pra-perilaku yang lahir dari problem tersebut, di antaranya yaitu pemahaman atas teks. Penulis berasumsi bahwa perilaku (tindakan) manusia sangat dipengaruhi oleh pemahaman yang dia miliki. Dikaitkan dengan teks, apa yang dipahami dari teks maka itulah yang lahir sebagai sebuah tindakan. Kalau demikian, maka penodaan terhadap keberkahan atas pernikahan itu bisa jadi berangkat dari teks atau/dan pemahaman atas teks yang ada.
Selanjutnya, salah satu wacana hadits yang menampakkan penodaan atas pernikahan itu –misalnya- dapat diketahui dari hadits tentang wajibnya istri bersujud kepada suaminya:
“Seseorang tidak dibenarkan untuk bersujud kepada siapa pun. Tapi sekiranya saya harus menyuruh seseorang untuk bersujud kepada seseorang lainnya, saya akan menyuruh seorang isri bersujud kepada suaminya karena begitu besarnya hak suami terhadap istrinya.”[1]

Dari hadits di atas dapat ditangkap pemahaman bahwa kehormatan perempuan (istri) di bawah kehormatan laki-laki. Abou El Fadl kemudian menyebutkan perkataan Ibn al-Jawzi (w. 521 H) seorang ahli hukum, bahwa:
“Seorang perempuan wajib mengetahui bahwa ia seolah-olah menjadi milik suaminya (ka al-mamlukah), sehingga ia tidak boleh berinisiatif melakukan sesuatu atau menggunakan uang tanpa izin suaminya. Ia harus mendahulukan hak-hak suaminya daripada hak dirinya atau keluarganya, dan ia siap sedia memberikan kepuasan kepada suaminya dengan berbagai cara. Seorang istri jangan membanggakan kecantikannya di depan suami, dan menyebut-nyebut kekurangan suaminya… seorang istri wajib sabar atas perlakuan buruk suaminya, layaknya sikap yang mesti ditunjukkan oleh seorang budak.”[2]

Apa yang tertuang dalam perkataan di atas merupakan konsekuensi yang lahir dari pemahaman atas hadits-hadits wajibnya istri bersujud kepada suami. Karena itu, hadits-hadits semacam ini memerlukan jeda-ketelitian. Abou El Fadl mengatakan bahwa jika kita mengacu pada standar zaman dan tempat, ataupun standar perkembangan moral kemanusiaan, maka hadits-hadits tersebut akan mengganggu kesadaran. Sehingga perlu berhenti sejenak untuk merenungkan kedudukan dan dampak yang ditimbulkan hadits-hadits tersebut. Lebih jauh bahwa perilaku (Abou El Fadl menyebutnya gerak hati) manusia dibatasi oleh kondisi sosial dan historis, sehingga mengalami perubahan dan perkembangan. Maka apa yang dapat mengganggu kesadaran dalam satu konteks, belum tentu mengganggu kesadaran pada konteks lain.[3]
Abou El Fadl dalam kajian ini memberikan sinyal keganjalan pada hadits tentang istri bersujud kepada suami, yakni terdapat pada strukturalnya. Sering kali ketika Nabi ditanya tentang apakah boleh bersujud kepada beliau, dijawabnya “Tidak! Tapi jika manusia harus bersujud kepada sesamanya, maka seorang istri harus bersujud kepada suaminya.” Pada dasarnya, penambahan Nabi atas jawaban yang tidak ditanyakan oleh sahabatnya merupakan tambahan yang sambil lalu, hal ini dikarenakan yang bertanya adalah laki-laki dan jawaban yang diberikan untuk laki-laki. Lebih jauh bahwa pertanyaan sahabat bernada penghargaan kepada Nabi.[4] Selain itu, bagi pihak tertentu hadits-hadits tersebut sangat bertentangan dengan teologi atas kedaulatan Tuhan dan kehendak-Tuhan yang bersifat mutlak. Serta bertentangan dengan spirit al-Qur’an sebagaimana yang terkandung dalam surah al-Rum ayat 21:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.”

Juga surah al-Baqarah: 187, tentang keharmonisasian sebuah pernikahan.
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.”

Selain tidak sejalan dengan al-Qur’an, hadits tentang istri sujud kepada suami juga tidak sejalan dengan riwayat (hadits) yang menggambarkan perilaku Nabi kepada istri-istrinya.
“Kamu memarahi saya karena beradu argumentasi dengan kamu! Demi Allah, Istri-istri Nabi juga beradu argument dengan beliau, bahkan salah seorang di antaranya meninggalkan beliau dari pagi hingga malam.” (HR. Bukhari).[5]

Selain banyaknya pertentangan dari segi matan, Abou El Fadl juga mengkritisi Abu Hurairah, sebagai perawi yang banyak meriwayatkan hadits semacam ini. Pada awal perkembangan Islam, Abu Hurairah termasuk orang yang dipandang kontroversial.[6] Hal ini dikarenakan Abu Hurairah merupakan sahabat yang memeluk Islam belakangan –yakni pada akhir-akhir Nabi wafat, namun banyak meriwayatkan hadits. Dengan pertentangan tersebut, maka tidak heran jika kemudian riwayat-riwayat Abu Hurairah oleh beberapa ahli hukum klasik menolak periwayatannya untuk dijadikan fatwa.[7]
Selanjutnya, Abou El Fadl menegaskan kembali pentingnya melakukan jeda-ketelitian. Perilaku jeda-ketelitian merupakan bukti rasa kritis yang nyata terhadap hadits, khususnya hadits-hadits yang mengganggu kesadaran. Hal ini dilakukan untuk menguak persoalan yang terkait dengan substansi hadits, baik dari segi matan, sanad, kondisi historis, dan konsekuensi moral serta sosialnya.[8]
Kembali ke persoalan istri bersujud kepada suami, hadits tersebut bukan untuk dinyatakan tidak autentik. Namun, berbagai keganjalan atas hadits tersebut kemudian menyebabkan ia tidak bisa dijadikan sandaran dalam persoalan hukum atau teologi.[9]


Membuat Suami dan Tuhan Tetap Gembira
dan Membawa Kita Masuk Surga
“Seorang istri yang meninggal dan suaminya rida kepadanya, maka ia akan masuk surga.”[10]

“Tuhan tidak akan memedulikan seorang perempuan yang tidak bersyukur kepada suaminya, padahal pada kenyataannya ia bergantung pada suaminya.”[11]

Hadits-hadits di atas sejajar dengan hadits tentang istri bersujud kepada suami yang manggambarkan bahwa seorang istri untuk masuk surga sepenuhnya tergantung dari suaminya, baik ia saleh maupun tidak.[12] Hal ini kemudian memunculkan problem besar tentang adanya kaitan keridaan Tuhan tergantung keridaan suami. Lantas bagaimana jika pada kenyataannya seorang istri lebih shaleh dibandingkan suaminya? Ini merupakan persoalan yang sampai pada jenjang teologis dan sosial yang sangat mendalam. Sehingga perlu dilakukan jeda-ketelitian karena hadits semacam itu mengusik kesadaran, tidak sesuai dengan gambaran sifat Nabi, dan bertentangan dengan spirit al-Qur’an, di mana al-Qur’an mengandung spirit cinta kasih, persahabatan, dan perempuan shaleh yang senantiasa taat kepada Tuhan (bukan kepada suami).[13]
Tentang persoalan ini, Abou El Fadl menekankan perlunya mengedepankan logika proporsionalitas, yang dalam hal ini diperlukan hadits-hadits dengan derajat autentisitas tertinggi yang kemudian dijadikan sebagai landasan pada permasalahan yang penting atau yang berpengaruh pada sosial.[14] Jika dibandingkan derajat autentisitas antara sebuah hadits yang berstatus ahad dengan hadits yang berstatus mutawatir, maka yang lebih besar kemungkinan untuk diterima adalah hadits yang mutawatir. Pada rana proporsionalitas, yang menjadi titik tekan adalah pengetahuan mengenai sumber teks (baca: hadits) dan dampak yang ditimbulkannya. Jika besar dampak yang ditimbulkan teks tersebut, maka semakin besar pula pembuktian tentang autentisitasnya.[15]
Meski demikian, persoalan mengenai perlunya pembuktian autentisitas sebuah hadits tidak mesti dibatasi pada ahad atau mutawatir-nya hadits tersebut. Terutama pada persoalan-persoalan yang membutuhkan jeda-ketelitian, adapun tentang mutawatir atau ahad hanya menjadi awal persoalan. Hal ini karena persoalan banyak sedikitnya perawi sebuah hadits tidaklah menjadi penting ketika hadits itu sudah menjadi miliki sosial, dan berdampak kepada kehidupan sosial, teologis, ataupun politis.[16]


[1]  Hadits yang seperti ini banyak disebutkan dalam kitab-kitab hadits, misalnya Abu Dawud, a-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad bin Hanbal, al-Nasai’ dan Ibn Hibban. Lihat lebih jauh dalam Khaled M. Abou El Fadl. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Terj. (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. 2004). hlm. 304-306.
[2] Khaled M. Abou El Fadl. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Terj.. 307-308.
[3] Khaled M. Abou El Fadl. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Terj. hlm. 308.
[4] Khaled M. Abou El Fadl. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Terj. hlm. 310.
[5] Khaled M. Abou El Fadl. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Terj. hlm.  311.
[6]  Ada banyak riwayat yang menampilkan kekontroversial sahabat Abu Hurairah, misalnya ketika Aisyah memanggil Abu Hurairah dan berkata “Abu Hurairah! Apa maksud semua riawayat yang selalu kami dengar dari mulutmu! Katakana padaku, apakah kamu mendengar hal-hal (dari Nabi) yang tidak kami dengar, apakah kamu melihat sesuatu (yang dilakukan Nabi) yang tidak kami perhatikan?” Abu Hurairah menjawab, “Wahai ibu orang-orang beriman (umm al-mu’minin), engkau sibuk dengan alis matamu dan mempercantik diri untuk Nabi”. Juga riwayat yang mengisahkan Umar memarahi Abu Hurairah; “Jika kamu tidak berhenti meriwayatkan hadits, saya akan mengasingkan kamu”. dan berbagai riwayat lainnya yang serupa dengan ini. lihat selengkapnya Khaled M. Abou El Fadl. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Terj. hlm. 312-314.
[7]  Khaled M. Abou El Fadl. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Terj. hlm. 314.
[8]  Khaled M. Abou El Fadl. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Terj. hlm. 316.
[9]  Lihat Khaled M. Abou El Fadl. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Terj. hlm. 316.
[10]  Hadits seperti ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibn Majah
[11]  Diriwayatkan oleh Abdullah ibn Umar.
[12]  M. Abou El Fadl. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Terj. hlm. 318-319.
[13]  Lihat Khaled M. Abou El Fadl. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Terj. hlm. 320-321.
[14]  Khaled M. Abou El Fadl. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Terj. hlm. 322.
[15]  Khaled M. Abou El Fadl. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Terj. hlm. 323-324.
[16]  Khaled M. Abou El Fadl. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Terj. hlm. 324.

Related Posts

Perempuan, Cinta Kasih dan Wacana Otoritas Teks
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.