Perempuan, Cinta Kasih dan Wacana Otoritas Teks
Sebuah
Wacana dari Khaled M. Abou El Fadl
Oleh:
Muh
Alwi HS
UIN
Sunan Kalijaga
Sujud
Kepada Suami
Kita
akan berangkat dari kebingungan dalam pernikahan, satu sisi ia (pernikahan)
bersuara cinta kasih, tetapi sisi lain ia menjadi pintu ketidakberdaan
perempuan (baca: Istri) kepada lelaki (baca: Suami). Tentang pernikahan, ada
banyak ayat al-Qur’an yang menggambarkan perintah menikah, hal ini dapat
dilihat misalnya dalam QS An-Nisa: 3, QS. An-Nur: 32, dan QS. Ar-Rum: 21. Dari
beberapa ayat tersebut, tentu kita meyakini bahwa segala perintah dari Allah
senantiasa mendatangkan kemaslahatan hamba-Nya baik secara individual maupun kolektif,
sehingga pernikahan harus dimaknai sebagai keberkahan yang bersifat perintah
dari Allah SWT.
Namun,
keberkahan itu akan ‘ternodai’ ketika pada kenyataannya kedua pihak
(suami-istri) dalam perjalanan pernikahannya mengalami ketidakharmonisasian lantaran
ada ego yang bermain di dalamnya. Hal ini tentu tidak terjadi begitu saja, akan
tetapi ada pra-perilaku yang lahir dari problem tersebut, di antaranya yaitu
pemahaman atas teks. Penulis berasumsi bahwa perilaku (tindakan) manusia
sangat dipengaruhi oleh pemahaman yang dia miliki. Dikaitkan dengan teks, apa
yang dipahami dari teks maka itulah yang lahir sebagai sebuah tindakan. Kalau
demikian, maka penodaan terhadap keberkahan atas pernikahan itu bisa jadi
berangkat dari teks atau/dan pemahaman atas teks yang ada.
Selanjutnya,
salah satu wacana hadits yang menampakkan penodaan atas pernikahan itu
–misalnya- dapat diketahui dari hadits tentang wajibnya istri bersujud kepada
suaminya:
“Seseorang tidak dibenarkan untuk bersujud kepada siapa pun. Tapi
sekiranya saya harus menyuruh seseorang untuk bersujud kepada seseorang
lainnya, saya akan menyuruh seorang isri bersujud kepada suaminya karena begitu
besarnya hak suami terhadap istrinya.”[1]
Dari
hadits di atas dapat ditangkap pemahaman bahwa kehormatan perempuan (istri) di
bawah kehormatan laki-laki. Abou El Fadl kemudian menyebutkan perkataan Ibn
al-Jawzi (w. 521 H) seorang ahli hukum, bahwa:
“Seorang perempuan wajib mengetahui bahwa ia seolah-olah menjadi
milik suaminya (ka al-mamlukah), sehingga ia tidak boleh berinisiatif
melakukan sesuatu atau menggunakan uang tanpa izin suaminya. Ia harus
mendahulukan hak-hak suaminya daripada hak dirinya atau keluarganya, dan ia
siap sedia memberikan kepuasan kepada suaminya dengan berbagai cara. Seorang
istri jangan membanggakan kecantikannya di depan suami, dan menyebut-nyebut
kekurangan suaminya… seorang istri wajib sabar atas perlakuan buruk suaminya,
layaknya sikap yang mesti ditunjukkan oleh seorang budak.”[2]
Apa
yang tertuang dalam perkataan di atas merupakan konsekuensi yang lahir dari
pemahaman atas hadits-hadits wajibnya istri bersujud kepada suami. Karena itu,
hadits-hadits semacam ini memerlukan jeda-ketelitian. Abou El Fadl mengatakan
bahwa jika kita mengacu pada standar zaman dan tempat, ataupun standar
perkembangan moral kemanusiaan, maka hadits-hadits tersebut akan mengganggu
kesadaran. Sehingga perlu berhenti sejenak untuk merenungkan kedudukan dan
dampak yang ditimbulkan hadits-hadits tersebut. Lebih jauh bahwa perilaku (Abou
El Fadl menyebutnya gerak hati) manusia dibatasi oleh kondisi sosial dan
historis, sehingga mengalami perubahan dan perkembangan. Maka apa yang dapat
mengganggu kesadaran dalam satu konteks, belum tentu mengganggu kesadaran pada
konteks lain.[3]
Abou
El Fadl dalam kajian ini memberikan sinyal keganjalan pada hadits tentang istri
bersujud kepada suami, yakni terdapat pada strukturalnya. Sering kali ketika
Nabi ditanya tentang apakah boleh bersujud kepada beliau, dijawabnya “Tidak!
Tapi jika manusia harus bersujud kepada sesamanya, maka seorang istri harus
bersujud kepada suaminya.” Pada dasarnya, penambahan Nabi atas jawaban yang
tidak ditanyakan oleh sahabatnya merupakan tambahan yang sambil lalu, hal ini
dikarenakan yang bertanya adalah laki-laki dan jawaban yang diberikan untuk
laki-laki. Lebih jauh bahwa pertanyaan sahabat bernada penghargaan kepada Nabi.[4] Selain
itu, bagi pihak tertentu hadits-hadits tersebut sangat bertentangan dengan
teologi atas kedaulatan Tuhan dan kehendak-Tuhan yang bersifat mutlak. Serta
bertentangan dengan spirit al-Qur’an sebagaimana yang terkandung dalam surah
al-Rum ayat 21:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.”
Juga
surah al-Baqarah: 187, tentang keharmonisasian sebuah pernikahan.
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan
isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian
bagi mereka.”
Selain
tidak sejalan dengan al-Qur’an, hadits tentang istri sujud kepada suami juga
tidak sejalan dengan riwayat (hadits) yang menggambarkan perilaku Nabi kepada
istri-istrinya.
“Kamu memarahi saya karena beradu argumentasi dengan kamu! Demi
Allah, Istri-istri Nabi juga beradu argument dengan beliau, bahkan salah
seorang di antaranya meninggalkan beliau dari pagi hingga malam.” (HR. Bukhari).[5]
Selain
banyaknya pertentangan dari segi matan, Abou El Fadl juga mengkritisi
Abu Hurairah, sebagai perawi yang banyak meriwayatkan hadits semacam ini. Pada
awal perkembangan Islam, Abu Hurairah termasuk orang yang dipandang kontroversial.[6]
Hal ini dikarenakan Abu Hurairah merupakan sahabat yang memeluk Islam
belakangan –yakni pada akhir-akhir Nabi wafat, namun banyak meriwayatkan
hadits. Dengan pertentangan tersebut, maka tidak heran jika kemudian riwayat-riwayat
Abu Hurairah oleh beberapa ahli hukum klasik menolak periwayatannya untuk
dijadikan fatwa.[7]
Selanjutnya,
Abou El Fadl menegaskan kembali pentingnya melakukan jeda-ketelitian. Perilaku
jeda-ketelitian merupakan bukti rasa kritis yang nyata terhadap hadits,
khususnya hadits-hadits yang mengganggu kesadaran. Hal ini dilakukan untuk
menguak persoalan yang terkait dengan substansi hadits, baik dari segi matan,
sanad, kondisi historis, dan konsekuensi moral serta sosialnya.[8]
Kembali
ke persoalan istri bersujud kepada suami, hadits tersebut bukan untuk
dinyatakan tidak autentik. Namun, berbagai keganjalan atas hadits tersebut
kemudian menyebabkan ia tidak bisa dijadikan sandaran dalam persoalan hukum
atau teologi.[9]
Membuat
Suami dan Tuhan Tetap Gembira
dan
Membawa Kita Masuk Surga
“Seorang istri yang meninggal dan suaminya rida kepadanya, maka ia
akan masuk surga.”[10]
“Tuhan tidak akan memedulikan seorang perempuan yang tidak
bersyukur kepada suaminya, padahal pada kenyataannya ia bergantung pada
suaminya.”[11]
Hadits-hadits
di atas sejajar dengan hadits tentang istri bersujud kepada suami yang
manggambarkan bahwa seorang istri untuk masuk surga sepenuhnya tergantung dari
suaminya, baik ia saleh maupun tidak.[12]
Hal ini kemudian memunculkan problem besar tentang adanya kaitan keridaan Tuhan
tergantung keridaan suami. Lantas bagaimana jika pada kenyataannya seorang
istri lebih shaleh dibandingkan suaminya? Ini merupakan persoalan yang sampai
pada jenjang teologis dan sosial yang sangat mendalam. Sehingga perlu dilakukan
jeda-ketelitian karena hadits semacam itu mengusik kesadaran, tidak sesuai
dengan gambaran sifat Nabi, dan bertentangan dengan spirit al-Qur’an, di mana
al-Qur’an mengandung spirit cinta kasih, persahabatan, dan perempuan shaleh
yang senantiasa taat kepada Tuhan (bukan kepada suami).[13]
Tentang
persoalan ini, Abou El Fadl menekankan perlunya mengedepankan logika
proporsionalitas, yang dalam hal ini diperlukan hadits-hadits dengan derajat autentisitas
tertinggi yang kemudian dijadikan sebagai landasan pada permasalahan yang
penting atau yang berpengaruh pada sosial.[14] Jika
dibandingkan derajat autentisitas antara sebuah hadits yang berstatus ahad
dengan hadits yang berstatus mutawatir, maka yang lebih besar
kemungkinan untuk diterima adalah hadits yang mutawatir. Pada rana
proporsionalitas, yang menjadi titik tekan adalah pengetahuan mengenai sumber teks
(baca: hadits) dan dampak yang ditimbulkannya. Jika besar dampak yang
ditimbulkan teks tersebut, maka semakin besar pula pembuktian tentang
autentisitasnya.[15]
Meski
demikian, persoalan mengenai perlunya pembuktian autentisitas sebuah hadits
tidak mesti dibatasi pada ahad atau mutawatir-nya hadits
tersebut. Terutama pada persoalan-persoalan yang membutuhkan jeda-ketelitian,
adapun tentang mutawatir atau ahad hanya menjadi awal persoalan.
Hal ini karena persoalan banyak sedikitnya perawi sebuah hadits tidaklah
menjadi penting ketika hadits itu sudah menjadi miliki sosial, dan berdampak
kepada kehidupan sosial, teologis, ataupun politis.[16]
[1] Hadits yang seperti ini banyak disebutkan
dalam kitab-kitab hadits, misalnya Abu Dawud, a-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad bin
Hanbal, al-Nasai’ dan Ibn Hibban. Lihat lebih jauh dalam Khaled M. Abou El
Fadl. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Terj.
(Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. 2004). hlm. 304-306.
[2]
Khaled M. Abou El Fadl. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih
Otoritatif. Terj.. 307-308.
[3] Khaled M. Abou El Fadl. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke
Fikih Otoritatif. Terj. hlm. 308.
[4] Khaled M. Abou El Fadl. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke
Fikih Otoritatif. Terj. hlm. 310.
[5] Khaled M. Abou El Fadl. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke
Fikih Otoritatif. Terj. hlm. 311.
[6] Ada banyak riwayat yang menampilkan
kekontroversial sahabat Abu Hurairah, misalnya ketika Aisyah memanggil Abu
Hurairah dan berkata “Abu Hurairah! Apa maksud semua riawayat yang selalu
kami dengar dari mulutmu! Katakana padaku, apakah kamu mendengar hal-hal (dari
Nabi) yang tidak kami dengar, apakah kamu melihat sesuatu (yang dilakukan Nabi)
yang tidak kami perhatikan?” Abu Hurairah menjawab, “Wahai ibu orang-orang
beriman (umm al-mu’minin), engkau sibuk dengan alis matamu dan mempercantik
diri untuk Nabi”. Juga riwayat yang mengisahkan Umar memarahi Abu Hurairah;
“Jika kamu tidak berhenti meriwayatkan hadits, saya akan mengasingkan kamu”.
dan berbagai riwayat lainnya yang serupa dengan ini. lihat selengkapnya Khaled
M. Abou El Fadl. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Terj.
hlm. 312-314.
[7] Khaled M. Abou El Fadl. Atas Nama Tuhan:
Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Terj. hlm. 314.
[8] Khaled M. Abou El Fadl. Atas Nama Tuhan:
Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Terj. hlm. 316.
[9] Lihat Khaled M. Abou El Fadl. Atas Nama
Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Terj. hlm. 316.
[10] Hadits seperti ini diriwayatkan oleh Abu
Dawud, al-Tirmidzi, Ibn Majah
[13] Lihat Khaled M.
Abou El Fadl. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Terj.
hlm. 320-321.
[14] Khaled M. Abou
El Fadl. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Terj.
hlm. 322.
[15] Khaled M. Abou
El Fadl. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Terj.
hlm. 323-324.
[16] Khaled M. Abou
El Fadl. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Terj.
hlm. 324.
Perempuan, Cinta Kasih dan Wacana Otoritas Teks
4/
5
Oleh
Unknown