Rabu, 11 Januari 2017

Konsep Metodologis Tafsir Fazlurrahman (Telaah Terhadap Metode Double Movement dan Tematiknya)



Konsep Metodologis Tafsir Fazlurrahman
(Telaah Terhadap Metode Double Movement dan Tematiknya)

Oleh:
Nuril Fajri
(14530001)
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta


          Fazlur Rahman, beliau adalah seorang pemikir dan tokoh intelektual Islam terkemuka yang lahir di tahun 1919 M. Beliau menganggap perlu adanya metode tafsir model baru untuk menafsirkan Al-Quran. Akan tetapi apakah metode yang di anggap model baru oleh beliau ialah baru secara keilmuan ataukah sudah ada dari zaman sebelumnya.
 Berbicara kajian Al-Qur’an serta penafsirannya, tidak akan lepas dari konteks ketika Al-Qur’an di turunkan. Akan tetapi, apakah memahami Al-Qur’an pada era sekarang ini sama halnya ketika Al-Qur’an itu di turunkan? Pastinya berbeda, karena seperti yang kita ketahui bahwa kajian Al-Qur’an akan selalu mengalami perkembangan yang dinamis seiring dengan akselerasi perkembangan kondisi sosial-budaya dan peradaban manusia.
            Al-Qur’an di turunkan guna menjawab dan menjadi solusi dari problem-problem yang terjadi pada saat itu, dan meskipun Al-Qur’an diturunkan di masa lalu, ia akan selalu relevan untuk setiap zaman dan tempatnya dan juga mengandung nilai-nilai yang universal. Lalu apa yang membedakan pemahaman penafsiran di era modern-kontemporer ini?, Kita sebagai orang yang hidup di era kontemporer ini kurang memandang perlu menggunakan kaca mata orang terdahulu dalam penafsirkan Al-Qur’an, karena problem-problem yang kita hadapi sekarang ini sangat berbeda dengan problem yang dihadapi oleh masyarakat dulu, meskipun kita juga perlu melihat sejarah terdahulu sebagai gambaran umumnya.
            Menjawab problem sosial-keagamaan umat Islam di era sekarang, menuntut untuk merumuskan epistemologi baru maupun metodologi tafsir yang dapat memberi pemahaman tehadap Al-Qur’an secara kritis, dialektis, reformasif, dan transformatif sehingga produk penafsiran itu dapat memberikan jawaban terhadap setiap tantangan dan problem yang dihadapi umat manusia di era kontemporer ini. Dan masalah ini ternyata telah mendorong para intelektual muslim kontemporer, salah satunya ialah Fazlur Rahman dengan metode double movement, yakni upaya membaca Al-Qur’an sebagai teks masa lalu dengan memperhatikan konteks sosial-historis untuk mencari nilai-nilai ideal moral, dan kemudian kembali ke masa sekarang untuk melakukan kontekstualisasi terhadap pesan-pesan eternal-universal Al-Qur’an yang hendak diaplikasikan di era kekinian, dan metode tematiknya untuk menggali pandangan Al-Qur’an yang holistik dan komprehensif dari Al-Qur’an sendiri sehingga subjektifitas dan bias-bias ideologi mufassir dapat diminimalisir. yang menjadi pembahasan ialah dimana posisi pemikiran Fazlur Rahman, bagaimana metode dan tafsir yang digunakan oleh fazlur Rahman dan apa tolak ukur kebenaran penafsirannya yang selanjutnya akan dibahas.[1]
A.    Biografi singkat Fazlur Rahman
Rahman di lahirkan pada 21 september 1919 di benua Indo-Pakistan hingga beliau berumur 35 tahun. ketika anak benua Indo-Pakistan masih belum terpecah kedalam dua negara merdeka, di daerah yang kini terletak di Barat Laut Pakistan. Ia dibesarkan dalam tradisi mazhab Hanafi, sebuah mazhab sunni yang lebih bercorak rasionalis dibandingkan dengan tiga mazhab sunni lainnya.
Rahman memperoleh pendidikan secara formal di madrasah, di samping itu, Rahman juga menerima pelajaran keagamaan dari ayahnya yang juga seorang “kiyai” yang berasal dari Deoban, sebuah madrasah tradisional paling bergengsi di anak benua Indo-Pakistan. Pada tahun 1942, Rahman berhasil menyelesaikan pendidikan nya di Departemen Ketimuran Punjab dan meraih gelar Master dalam bidang Sastra Arab (M.A.), Pada tahun 1942 hingga 1946 beliau meneruskan studi untuk program doktoral di Lahore. Kemudian tidak selesai disitu, ketika di Lahore ia merasa bahwa sistem pendidikan Islam  di India itu rendah, akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan studynya ke Barat yakni ke Oxford University.[2]
Paradigma intelektualitas islamnya bermunculan ketika beliau melanjutkan studynya di Universitas Oxford pada tahun 1946 . pada tahun 1950 Rahman berhasil merampungkan disertasi tentang Ibnu Sina di bawah bimbingan profesor Simon Van Den Bergh, dan beliau berhasil meraih gelar doctor of philosophy (D.phil). Setelah menyelesaikan studi nya Rahman  mengajar di beberapa Universitas terkenal di Eropa. Seperti, Durham University,  Institute of Islamic Studies, McGil University. Rahman kembali ke Pakistan pada awal tahun 1960-an. Pada tahun1962-1968, beliau di tunjuk sebagai Dierktur Lembaga Riset Islam.  Rahman juga di tunjuk sebagai anggota Dewan Penasihat Ideologi Islam Pemerintah Pakistan Pada tahun 1964. Selain itu beliau juga di tunjuk sebagai anggota Dewan Penasihat Ideologi Islam Pemerintah Pakistan. Rahman hijrah ke Amerika dikarena ada banyaknya masalah ketika berada di kampung halaman, akhirnya, dan pada tahun 1969 sebagai profesor tamu di University of California. Tidak selang beberapa bulan, Rahman di kukuhkan sebagai guru besar pemikiran islam di universtisa tersebut. Rahman wafat di Illinois pada tanggal 26 juli 1988.[3]
B.     Metodologi Tafsir yang Ditawarkan Fazlur Rahman
Sebelum masuk pada metode yang ditawarkan, sekiranya kita harus mengetahui letak pemikiran dari Fazlur Rahman. Dalam hal ini, beliau membagi menjadi 4 kaegori pemikiran yang muncul pada abad 18-19 M. Pertama, revivalisme pra-modernis dimana aliran ini memiliki keprihatinan yang tinggi terhadap degenerasi sosio—moral umat Islam untuk kembali kepada Islam yang sebenarnya, kemudian aliran ini juga menghimbau perlunya pembaharuan dan jihad dengan kekuatan senjata dan aliran ini cenderung kontra terhadap Barat. Kedua, modernisme klasik. Pemikiran ini menganjurkan perlunya untuk menyerap pranata-pranata Barat dengan tradisi Islam serta megembangkan ijtihad dan pastinya dengan bersumber pada Al-Qur’an dan as-sunnah. Ketiga, neo-revivalisme yaitu pemikiran yang berkeinginan untuk membedakan antara Barat dengan umat Islam, akan tetapi sangat disayangkan aliran ini tidak dapat mengembangkan metodologinya. Keempat, neo-modernisme dimana aliran ini ingin mengembangkan sikap kritisnya terhadap Barat dan juga terhadap khazanah-khazanah keilmuan dan sejarah Islam itu sendiri. Dan dari keempat kategori ini, Tokoh Fazlur Rahman ini masuk dalam pemikiran yang neo-modernisme dengan melihat karya-karyanya yang mengembangkan sikap kritisnya terhadap Barat dan juga warisan-warisan sejarah islam itu sendiri.[4]
Mengenai metodologinya, Fazlur Rahman dalam artikelnya “Toward Reformulating the Methodology of Islamic Law: shakih Yamani on Public Interest in Islamic Law” menyebutkan metode ini dengan systematic Interpretation method, kemudian dengan the correct method of interpreting the Qur’an (metode yang tepat untuk menafsirkan Al-Qur’an). Akhirnya, metode tersebut disempurnakan dalam karyanya “Islam and Modernity: Transformation of an Intelectual Tradition”, dengan teori  double movement yang terdiri dari suatu gerakan ganda dan metode tematiknya. Rahman membuat gagasan pembaharuannya itu dilatarbelakangi oleh kesadarannya akan krisis yang dihadapi Islam pada periode modern.[5]
Tawaran metode Rahman: gerakan ganda (double movement), dari situasi sekarang dikembalikan ke masa al-Qur’an diturunkan dan dikembalikan lagi ke masa kini. (hukum dan moral etis).Gerakan Pertama, kajian ini diawali dari hal-hal spesifik dalam konteks yang spesifik juga didalam Al-Qur’an, kemudian menggali dan mensistematisir prinsip-prinsip umumnya, nilai-nilai dan tujuan jangka panjangnya, dengan kata lain melihat dan menelusuri jejak asbabun nuzul mikro dan makronya. Gerakan pertama Rahman terdiri dari dua langkah, yakni memahami suatu ayat sesuai dengan konteksnya pada masa Al-Qur’an turun mikro dan makro (asbab al-nuzul), sehingga dengan hal ini akan dihasilkan penafsiran yang obyektif. Dan selanjutnya hasil pemahaman tersebut degeneralisasikan. Beliau menggunakan konsep “al-‘ibrah bi’umūm al-lafz, lā bi khus,ūs,  al-sabab. Selanjutnya Gerakan Kedua, dari masa Al-Qur’an diturunkan (setelah menemukan prinsip-prinsip umum) dikembalikan lagi ke masa sekarang. Dalam arti bahwa ajaran-ajaran yang bersifat umum tersebut harus ditumbuhkan ke dalam konteks sosio-historis yang kongkrit di masa sekarang. beliau meyakinkan bahwa “apabila kedua gerakan ini berhasil diwujudkan, niscaya perintah-perintah Al-Qur’an akan menjadi hidup dan efektif kembali”.[6]
Perlu dipahami bahwa  metode double movement ini hanya efektif diterapkan dalam ayat-ayat hukum, bukan ayat-ayat metafisik seperti konsep Tuhan, Malaikat, setan dan lainnya. Rahman dalam mengkaji ayat-ayat metafisik tidak menggunakan metode double movement, melainkan menggunakan metode tematik dengan prinsip analisis logis, dimana ayat-ayat itu dipahami melalui metode intertekstual untuk kemudian dicari hubungan logisnya.[7]
Kemudian mengenai metode tematik Fazlur Rahman, beliau berasumsi bahwa ayat-ayat Al-Qur’an saling menafsirkan. “Metode penafsiran tematik ini adalah upaya untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an dengan memfokuskan pada tema yang telah ditetapkan dan kemudian dikaji secara serius dan mendalam tentang ayat-ayat yang terkait dengan tema tersebut”. Dan Rahman telah mengaplikasikan dalam bukunya yang bertitel Major Themes of the Qur’an.[8]
 Jika melihat metode tematiknya, sebagaimana dengan para ulama yang terdahulu yang populer dengan adagium Al-Qur’an “yufassiru ba’dhuhu ba’dhan”. Menurut beliau terdapat kekurangan dari para ulama terdahulu dalam menafsirkan Al-Qur’an. Beliau menganggap bahwa ulama terdahulu tidak berusaha menyatukan makna ayat-ayat Al-Qur’an secara sistematis. Dan Rahman juga menganggap bahwa sedikit sekali usaha yang mereka lakukan untuk memahami Al-Qur’an sebagai satu kesatuan. Menurut hemat penulis sendiri metode tematik ini bukan merupakan model baru pastinya karena sudah dilakukan oleh para ulama sebelumnya, hanya saja menurut beliau mereka masih memiliki bias-bias subjektifitas akan tetapi meskipun demikian menurut ulama tradisional mungkin itu sudah objektif meskipun bias subjektif tetap tidak lepas dari pemikiran para mufassir.
Oleh karena itu beliau menawarkan metode tematik yang menurut beliau lebih utuh dan komprehensif yang dapat meminimalisir subjektifitas dan bias-bias ideologi mufassir. Akan tetapi menurut hemat penulis meskipun Rahman mencoba untuk objektif dalam merumuskan metodologinya, unsur subjektifitasnya juga tidak dapat dihilangkan dari setiap penafsir dan keinginan beliau menghilangkan subjektifitas juga tidak sepenuhnya benar sebab langkah-langkah dalam metode tematik juga memberi peluang bagi masuknya subjektifitas mufassir. Dan salah satu kekurangan dari pengaplikasiannya bahwa beliau tidak menjelaskan langkah-langkah metode secara detail mengenai bagaimana menerapkan metode tafsir tematiknya.
Mengenai tolak ukur kebenaran penafsiran dari Fazlur Rahman sendiri bahwa yang menjadi salah satu problem epistemologi dalam penafsiran Al-Qur’an ialah menyangkut tolak ukur kebenaran dari sebuah penafsiran; dengan maksud sejauh mana sebuah produk penafsiran  itu dapat dikatakan benar? Dan ini penting utnuk diperhatikan karena produk penafsiran Al-Qur’an biasanya dimaksudkan untuk menjadi ajaran dan pegangan dalam hidup. Meminjam kalimat pak Abdul Mustaqim, “Tanpa tolak ukur yang jelas maka sebuah produk penafsiran akan sulit dikatakan sebagai benar atau salah secara objektif dan ilmiah, terlebih jika tolak ukurnya sangat subjektif”.  
Oleh karena itu, Rahman memiliki tolak ukur untuk mengukur kebenaran dari metode-metodenya yang relatif sama dengan Muhammad Syahrur. “Pertama, bersifat koherensi, dalam arti bahwa sebuah produk tafsir dapat dikatakan benara sejauh ada konsistensi logis-filosofis antara proposisi-proposisi yang dinyatakannya. Kedua, bersifat korespondensi dalam arti  bahwa produk penafsiran harus sesuai dengan kenyataan empiris dilapangan. Ketiga, bersifat pragmatis dalam arti bahwa sebuah produk penafsiran itu dianggap benar selagi secara fungsional dapat menjadi solusi alternatif bagi pemecahan problem sosial keagamaan umat Islam. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jika produk tafsir tidak lagi mampu menjadi solusi atas problem yang dihadapi oleh umat manusia, maka produk penafsiran tersebut dapat dinyatakan keliru sehingga perlu dikaji dan direvisi ulang”.[9]
Dari penulis sendiri menanggapi mengenai apakah metode yang diusungkannya termasuk dalam metode model baru atau tidak, maka jawaban dari penulis tidak. Sebagaimana yang telah penulis paparkan di awal mengenai metode double movement yang sebenarnya juga sudah dilakukan oleh para ulama sebelumnya mulai dari mengapa ayat itu diturunkan, dalam konteks apa ayat itu diturunkan, dan mengapa ayat itu turun, semua pertanyaan-pertanyaan itu telah tercakup dalam pendekatan para ulama memahami al Qur’an dari sisi asbabun nuzul (sebab-sebab diturunkannya) baik mikro maupun makronya, jadi pendekatan semacam ini tidaklah bisa dikatakan pendekatan model baru. tapi ini adalah bentuk baru namun unsur yang digunakan adalah unsur lama.
Dengan kata lain, konsep asbabun nuzul mikro dan makro sudah dilakukan oleh ulama terdahulu dalam mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an, dimana mereka juga melihat konteks ketika ayat itu diturunkan, dalam keadaan bagaimana ayat tersebut diturunkan, kemudian para ulama mengqiyaskan hukum peristiwa serta problem yang terjadi pada masanya dengan peristiwa yang terjadi pada zaman Nabi. sama halnya dengan metode double movement yang mengembalikan situasi sekarang ke masa al-Qur’an diturunkan dan dikembalikan lagi ke masa kini, hanya saja problem yang terjadi pada masa klasik berbeda dengan problem pada era modern, sehingga sangat memungkinkan terjadi perbedaan pemahaman serta dalam  istimbath hukum.
Menurut hemat penulis juga mengenai metode tematiknya, dalam bukunya pak Abdul Mustaqim juga dijelaskan bahwa metode tematik juga sudah dilakukan dengan ulama-ulama klasik terdahulu, dan Rahman sendiri juga mengakui bahwa metode ini dimunculkan kembali dengan tujuan untuk melengkapi data-data serta menyatukan makna ayat-ayat Al-Qur’an secara sistematis karena menurut beliau mereka masih memiliki bias-bias subjektifitas akan tetapi meskipun demikian menurut ulama tradisional mungkin itu sudah objektif meskipun bias subjektif tetap tidak lepas dari pemikiran para mufassir.

C.    Kesimpulan
Dapat diambil kesimpulan bahwa Raman menawarkan dua metode penafsiran Al-Qur’an: Pertama, metode double movement yaitu suatu gerakan ganda dari situasi sekarang ke masa Al-Qur’an diturunkan, kemudian gerakan kembali ke masa sekarang. Dan gerakan ini hanya efektif diterapkan dalam ayat-ayat hukum, bukan ayat-ayat metafisik, seperti konsep Tuhan, Malaikat, setan dan lainnya. Rahman tidak menggunakan metode double movement, tetapi menggunakan metode tematik dengan prinsip analisis logis, dimana ayat-ayat itu dipahami melalui metode intertekstual untuk kemudian dicari hubungan logisnya.
Kemudian mengenai metode tematiknya yang dimaksudkan untuk mengurangi subjektivitas dalam pennfsiran. Metode ini ingin membiarkan Al-Qur’an “berbicara sendiri” dengan cara mengumpulkna ayat-ayat yang setema dan dengan memperhatikan konteks kalimatnya sehingga bias-bias ideologi mufassir dapat dieliminasi sedemikian rupa. Akan tetapi bagaimanapun dikatakan bahwa metode ini  tidak akan mampu menghilangkan subjektivitas mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an, paling tidak dapat meminimalisir subjektivitas penafsirannya. 
Rahman memiliki tolak ukur untuk mengukur kebenaran dari metode-metodenya yang relaif sama dengan Muhammad Syahrur. Pertama, bersifat koherensi. Kedua, berisifat korespondensi. Ketiga, bersifat pragmatis.





Daftar Pustaka
Amal, Taufik Adnan. Islam dan Tantangan Modernitas: studi atas pemikrian Fazlur Rahman. Bandung: Mizan, 1989
Mas’adi, Ghufron A. Pemikrian Fazlur Rahman tentang metodologi pembaharuan Hukum Islam. Jakarta: Raja Garfindo Persada, 1998
Mustaqim, Abdul. Epistemologi tafsir kontemporer. Yogyakarta: LKIS, 2010
Mahasiswa UIN Jogja. PPT. Pemikiran Fazlur Rahman, 2016
Sutrisno. Fazlur Rahman: kajian terhadap metode epistemologi dan sisitem pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006
Rahman, Fazlur. Islam dan modernitas tetang transformasi intelektual, terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka,  1985


[1] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir kontemporer, (yogyakarta:LKIS, 2013) hlm. 3
[2] Gufran A. Mas’adi, Pemikrian Fazlur Rahman tentang metodologi pembaharuan Hukum Islam. (Jakarta: Raja Garfindo Persada, 1998) hlm. 15. Baca juga Taufik Adnan Amal. Islam dan Tantangan Modernitas: studi atas pemikrian Fazlur Rahman. (Bandung: Mizan, 1989) hlm. 4-5
[3] Mahasiswa UIN Jogja. PPT. Pemikiran Fazlur Rahman, 2016
[4] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir kontemporer, hlm. 108. Lihat juga bukunya Taufik Adnan Amal. Islam dan Tantangan Modernitas: studi atas pemikrian Fazlur Rahman.
[5] Sutrisno. Fazlur Rahman: kajian terhadap metode epistemologi dan sisitem pendidikan. hlm. 133
[6] Lihat Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir kontemporer, hlm. 180. Untuk penjelasan lebihnya Lihat juga bukunya Taufik Adnan Amal. Islam dan Tantangan Modernitas: studi atas pemikrian Fazlur Rahman. Hlm. 195. dan juga Fazlur Rahman,. Islam dan modernitas tetang transformasi intelektual, terj. Ahsin Muhammad. (Bandung: Pustaka,  1985) hlm. 6-7
[7] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir kontemporer, hlm. 178
[8] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir kontemporer, hlm. 167
[9] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir kontemporer, hlm. 330

Related Posts

Konsep Metodologis Tafsir Fazlurrahman (Telaah Terhadap Metode Double Movement dan Tematiknya)
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.