Konsep Metodologis Tafsir
Fazlurrahman
(Telaah Terhadap Metode Double
Movement dan Tematiknya)
Oleh:
Nuril
Fajri
(14530001)
UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta
Fazlur Rahman, beliau adalah seorang
pemikir dan tokoh intelektual Islam terkemuka yang lahir di tahun 1919 M.
Beliau menganggap perlu adanya metode tafsir model baru untuk menafsirkan Al-Qur’an. Akan tetapi apakah metode
yang di anggap model baru oleh beliau ialah baru secara keilmuan ataukah sudah
ada dari zaman sebelumnya.
Berbicara
kajian Al-Qur’an serta penafsirannya, tidak akan lepas dari konteks ketika Al-Qur’an
di turunkan. Akan tetapi, apakah memahami Al-Qur’an pada era sekarang ini sama
halnya ketika Al-Qur’an itu di turunkan? Pastinya berbeda, karena seperti yang
kita ketahui bahwa kajian Al-Qur’an akan selalu mengalami perkembangan yang
dinamis seiring dengan akselerasi perkembangan kondisi sosial-budaya dan
peradaban manusia.
Al-Qur’an di turunkan guna menjawab
dan menjadi solusi dari problem-problem yang terjadi pada saat itu, dan
meskipun Al-Qur’an diturunkan di masa lalu, ia akan selalu relevan untuk setiap
zaman dan tempatnya dan juga mengandung nilai-nilai yang universal. Lalu apa
yang membedakan pemahaman penafsiran di era modern-kontemporer ini?, Kita
sebagai orang yang hidup di era kontemporer ini kurang memandang perlu
menggunakan kaca mata orang terdahulu dalam penafsirkan Al-Qur’an, karena
problem-problem yang kita hadapi sekarang ini sangat berbeda dengan problem
yang dihadapi oleh masyarakat dulu, meskipun kita juga perlu melihat sejarah
terdahulu sebagai gambaran umumnya.
Menjawab problem sosial-keagamaan
umat Islam di era sekarang, menuntut untuk merumuskan epistemologi baru maupun metodologi
tafsir yang dapat memberi pemahaman tehadap Al-Qur’an secara kritis, dialektis,
reformasif, dan transformatif sehingga produk penafsiran itu dapat memberikan
jawaban terhadap setiap tantangan dan problem yang dihadapi umat manusia di era
kontemporer ini. Dan masalah ini ternyata telah mendorong para intelektual
muslim kontemporer, salah satunya ialah Fazlur Rahman dengan metode double
movement, yakni upaya membaca Al-Qur’an sebagai teks masa lalu dengan
memperhatikan konteks sosial-historis untuk mencari nilai-nilai ideal moral,
dan kemudian kembali ke masa sekarang untuk melakukan kontekstualisasi terhadap
pesan-pesan eternal-universal Al-Qur’an yang hendak diaplikasikan di era
kekinian, dan metode tematiknya untuk menggali pandangan Al-Qur’an yang
holistik dan komprehensif dari Al-Qur’an sendiri sehingga subjektifitas dan
bias-bias ideologi mufassir dapat diminimalisir. yang menjadi pembahasan ialah
dimana posisi pemikiran Fazlur Rahman, bagaimana metode dan tafsir yang
digunakan oleh fazlur Rahman dan apa tolak ukur kebenaran penafsirannya yang
selanjutnya akan dibahas.[1]
A. Biografi
singkat Fazlur Rahman
Rahman di lahirkan pada 21
september 1919 di benua Indo-Pakistan hingga beliau berumur 35 tahun. ketika
anak benua Indo-Pakistan masih belum terpecah kedalam dua negara merdeka, di
daerah yang kini terletak di Barat Laut Pakistan. Ia dibesarkan dalam tradisi
mazhab Hanafi, sebuah mazhab sunni yang lebih bercorak rasionalis dibandingkan
dengan tiga mazhab sunni lainnya.
Rahman memperoleh pendidikan
secara formal di madrasah, di samping itu, Rahman juga menerima pelajaran
keagamaan dari ayahnya yang juga seorang “kiyai” yang berasal dari Deoban,
sebuah madrasah tradisional paling bergengsi di anak benua Indo-Pakistan. Pada
tahun 1942, Rahman berhasil menyelesaikan pendidikan nya di Departemen
Ketimuran Punjab dan meraih gelar Master dalam bidang Sastra Arab (M.A.), Pada
tahun 1942 hingga 1946 beliau meneruskan studi untuk program doktoral di Lahore.
Kemudian tidak selesai disitu, ketika di Lahore ia merasa bahwa sistem
pendidikan Islam di India itu rendah,
akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan studynya ke Barat yakni ke Oxford
University.[2]
Paradigma intelektualitas islamnya
bermunculan ketika beliau melanjutkan studynya di Universitas Oxford pada tahun
1946 . pada tahun 1950 Rahman berhasil merampungkan disertasi tentang Ibnu Sina
di bawah bimbingan profesor Simon Van Den Bergh, dan beliau berhasil meraih
gelar doctor of philosophy (D.phil). Setelah menyelesaikan studi nya
Rahman mengajar di beberapa Universitas
terkenal di Eropa. Seperti, Durham University,
Institute of Islamic Studies, McGil University. Rahman kembali ke
Pakistan pada awal tahun 1960-an. Pada tahun1962-1968, beliau di tunjuk sebagai
Dierktur Lembaga Riset Islam. Rahman
juga di tunjuk sebagai anggota Dewan Penasihat Ideologi Islam Pemerintah
Pakistan Pada tahun 1964. Selain itu beliau juga di tunjuk sebagai anggota
Dewan Penasihat Ideologi Islam Pemerintah Pakistan. Rahman hijrah ke Amerika dikarena
ada banyaknya masalah ketika berada di kampung halaman, akhirnya, dan pada
tahun 1969 sebagai profesor tamu di University of California. Tidak selang
beberapa bulan, Rahman di kukuhkan sebagai guru besar pemikiran islam di
universtisa tersebut. Rahman wafat di Illinois pada tanggal 26 juli 1988.[3]
B. Metodologi
Tafsir yang Ditawarkan Fazlur Rahman
Sebelum masuk pada metode yang
ditawarkan, sekiranya kita harus mengetahui letak pemikiran dari Fazlur Rahman.
Dalam hal ini, beliau membagi menjadi 4 kaegori pemikiran yang muncul pada abad
18-19 M. Pertama, revivalisme pra-modernis dimana aliran ini memiliki
keprihatinan yang tinggi terhadap degenerasi sosio—moral umat Islam untuk
kembali kepada Islam yang sebenarnya, kemudian aliran ini juga menghimbau
perlunya pembaharuan dan jihad dengan kekuatan senjata dan aliran ini cenderung
kontra terhadap Barat. Kedua, modernisme klasik. Pemikiran ini menganjurkan
perlunya untuk menyerap pranata-pranata Barat dengan tradisi Islam serta
megembangkan ijtihad dan pastinya dengan bersumber pada Al-Qur’an dan
as-sunnah. Ketiga, neo-revivalisme yaitu pemikiran yang berkeinginan
untuk membedakan antara Barat dengan umat Islam, akan tetapi sangat disayangkan
aliran ini tidak dapat mengembangkan metodologinya. Keempat,
neo-modernisme dimana aliran ini ingin mengembangkan sikap kritisnya terhadap
Barat dan juga terhadap khazanah-khazanah keilmuan dan sejarah Islam itu
sendiri. Dan dari keempat kategori ini, Tokoh Fazlur Rahman ini masuk dalam
pemikiran yang neo-modernisme dengan melihat karya-karyanya yang mengembangkan
sikap kritisnya terhadap Barat dan juga warisan-warisan sejarah islam itu
sendiri.[4]
Mengenai
metodologinya, Fazlur Rahman dalam artikelnya “Toward Reformulating the
Methodology of Islamic Law: shakih Yamani on Public Interest in Islamic Law”
menyebutkan metode ini dengan systematic Interpretation method, kemudian
dengan the correct method of interpreting the Qur’an (metode yang tepat
untuk menafsirkan Al-Qur’an). Akhirnya, metode tersebut disempurnakan dalam
karyanya “Islam and Modernity: Transformation of an Intelectual Tradition”,
dengan teori double movement yang
terdiri dari suatu gerakan ganda dan metode tematiknya. Rahman membuat gagasan pembaharuannya
itu dilatarbelakangi oleh kesadarannya akan krisis yang dihadapi Islam pada
periode modern.[5]
Tawaran metode Rahman: gerakan
ganda (double movement), dari situasi sekarang dikembalikan ke masa
al-Qur’an diturunkan dan dikembalikan lagi ke masa kini. (hukum dan moral
etis).Gerakan Pertama, kajian ini diawali dari hal-hal spesifik dalam
konteks yang spesifik juga didalam Al-Qur’an, kemudian menggali dan
mensistematisir prinsip-prinsip umumnya, nilai-nilai dan tujuan jangka
panjangnya, dengan kata lain melihat dan menelusuri jejak asbabun nuzul
mikro dan makronya. Gerakan
pertama Rahman terdiri dari dua langkah, yakni memahami suatu ayat sesuai
dengan konteksnya pada masa Al-Qur’an turun mikro dan makro (asbab al-nuzul),
sehingga dengan hal ini akan dihasilkan penafsiran yang obyektif. Dan
selanjutnya hasil pemahaman tersebut degeneralisasikan. Beliau menggunakan
konsep “al-‘ibrah bi’umūm al-lafz,
lā bi khus,ūs, al-sabab”. Selanjutnya Gerakan Kedua,
dari masa Al-Qur’an diturunkan (setelah menemukan prinsip-prinsip umum)
dikembalikan lagi ke masa sekarang. Dalam arti bahwa ajaran-ajaran yang
bersifat umum tersebut harus ditumbuhkan ke dalam konteks sosio-historis yang
kongkrit di masa sekarang. beliau
meyakinkan bahwa “apabila kedua gerakan ini berhasil diwujudkan, niscaya
perintah-perintah Al-Qur’an akan menjadi hidup dan efektif kembali”.[6]
Perlu dipahami bahwa metode double movement ini hanya
efektif diterapkan dalam ayat-ayat hukum, bukan ayat-ayat metafisik seperti
konsep Tuhan, Malaikat, setan dan lainnya. Rahman dalam mengkaji ayat-ayat
metafisik tidak menggunakan metode double movement, melainkan menggunakan
metode tematik dengan prinsip analisis logis, dimana ayat-ayat itu dipahami
melalui metode intertekstual untuk kemudian dicari hubungan logisnya.[7]
Kemudian mengenai metode tematik
Fazlur Rahman, beliau berasumsi bahwa ayat-ayat Al-Qur’an saling menafsirkan. “Metode
penafsiran tematik ini adalah upaya untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an dengan
memfokuskan pada tema yang telah ditetapkan dan kemudian dikaji secara serius
dan mendalam tentang ayat-ayat yang terkait dengan tema tersebut”. Dan Rahman
telah mengaplikasikan dalam bukunya yang bertitel Major Themes of the Qur’an.[8]
Jika melihat metode tematiknya, sebagaimana
dengan para ulama yang terdahulu yang populer dengan adagium Al-Qur’an “yufassiru
ba’dhuhu ba’dhan”. Menurut beliau terdapat kekurangan dari para ulama
terdahulu dalam menafsirkan Al-Qur’an. Beliau menganggap bahwa ulama terdahulu
tidak berusaha menyatukan makna ayat-ayat Al-Qur’an secara sistematis. Dan
Rahman juga menganggap bahwa sedikit sekali usaha yang mereka lakukan untuk
memahami Al-Qur’an sebagai satu kesatuan. Menurut hemat penulis sendiri metode
tematik ini bukan merupakan model baru pastinya karena sudah dilakukan oleh
para ulama sebelumnya, hanya saja menurut beliau mereka masih memiliki
bias-bias subjektifitas akan tetapi meskipun demikian menurut ulama tradisional
mungkin itu sudah objektif meskipun bias subjektif tetap tidak lepas dari
pemikiran para mufassir.
Oleh karena itu beliau menawarkan
metode tematik yang menurut beliau lebih utuh dan komprehensif yang dapat meminimalisir subjektifitas dan
bias-bias ideologi mufassir. Akan tetapi menurut hemat penulis meskipun Rahman
mencoba untuk objektif dalam merumuskan metodologinya, unsur subjektifitasnya
juga tidak dapat dihilangkan dari setiap penafsir dan keinginan beliau menghilangkan
subjektifitas juga tidak sepenuhnya benar sebab langkah-langkah dalam metode tematik
juga memberi peluang bagi masuknya subjektifitas mufassir. Dan salah
satu kekurangan dari pengaplikasiannya bahwa beliau tidak menjelaskan
langkah-langkah metode secara detail mengenai bagaimana menerapkan metode
tafsir tematiknya.
Mengenai
tolak ukur kebenaran penafsiran dari Fazlur Rahman sendiri bahwa yang menjadi
salah satu problem epistemologi dalam penafsiran Al-Qur’an ialah menyangkut
tolak ukur kebenaran dari sebuah penafsiran; dengan maksud sejauh mana sebuah
produk penafsiran itu dapat dikatakan
benar? Dan ini penting utnuk diperhatikan karena produk penafsiran Al-Qur’an
biasanya dimaksudkan untuk menjadi ajaran dan pegangan dalam hidup. Meminjam
kalimat pak Abdul Mustaqim, “Tanpa tolak ukur yang jelas maka sebuah produk
penafsiran akan sulit dikatakan sebagai benar atau salah secara objektif dan
ilmiah, terlebih jika tolak ukurnya sangat subjektif”.
Oleh
karena itu, Rahman memiliki tolak ukur untuk mengukur kebenaran dari
metode-metodenya yang relatif sama dengan Muhammad Syahrur. “Pertama,
bersifat koherensi, dalam arti bahwa sebuah produk tafsir dapat dikatakan
benara sejauh ada konsistensi logis-filosofis antara proposisi-proposisi yang
dinyatakannya. Kedua, bersifat korespondensi dalam arti bahwa produk penafsiran harus sesuai dengan
kenyataan empiris dilapangan. Ketiga, bersifat pragmatis dalam arti
bahwa sebuah produk penafsiran itu dianggap benar selagi secara fungsional
dapat menjadi solusi alternatif bagi pemecahan problem sosial keagamaan umat
Islam. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jika produk tafsir tidak lagi
mampu menjadi solusi atas problem yang dihadapi oleh umat manusia, maka produk
penafsiran tersebut dapat dinyatakan keliru sehingga perlu dikaji dan direvisi
ulang”.[9]
Dari penulis sendiri menanggapi
mengenai apakah metode yang diusungkannya termasuk dalam metode model baru atau
tidak, maka jawaban dari penulis tidak. Sebagaimana yang telah penulis paparkan
di awal mengenai metode double movement yang sebenarnya juga sudah
dilakukan oleh para ulama sebelumnya mulai dari mengapa ayat itu diturunkan,
dalam konteks apa ayat itu diturunkan, dan mengapa ayat itu turun, semua pertanyaan-pertanyaan
itu telah tercakup dalam pendekatan para ulama memahami al Qur’an dari sisi asbabun
nuzul (sebab-sebab diturunkannya) baik mikro maupun makronya, jadi
pendekatan semacam ini tidaklah bisa dikatakan pendekatan model baru. tapi ini
adalah bentuk baru namun unsur yang digunakan adalah unsur lama.
Dengan kata lain, konsep asbabun
nuzul mikro dan makro sudah dilakukan oleh ulama terdahulu dalam mengkaji
ayat-ayat Al-Qur’an, dimana mereka juga melihat konteks ketika ayat itu
diturunkan, dalam keadaan bagaimana ayat tersebut diturunkan, kemudian para
ulama mengqiyaskan hukum peristiwa serta problem yang terjadi pada masanya
dengan peristiwa yang terjadi pada zaman Nabi. sama halnya dengan metode double
movement yang mengembalikan situasi sekarang ke masa al-Qur’an diturunkan
dan dikembalikan lagi ke masa kini, hanya saja problem yang terjadi pada masa
klasik berbeda dengan problem pada era modern, sehingga sangat memungkinkan
terjadi perbedaan pemahaman serta dalam
istimbath hukum.
Menurut hemat penulis juga mengenai
metode tematiknya, dalam bukunya pak Abdul Mustaqim juga dijelaskan bahwa
metode tematik juga sudah dilakukan dengan ulama-ulama klasik terdahulu, dan
Rahman sendiri juga mengakui bahwa metode ini dimunculkan kembali dengan tujuan
untuk melengkapi data-data serta menyatukan makna ayat-ayat Al-Qur’an secara
sistematis karena menurut beliau mereka masih memiliki bias-bias subjektifitas
akan tetapi meskipun demikian menurut ulama tradisional mungkin itu sudah
objektif meskipun bias subjektif tetap tidak lepas dari pemikiran para
mufassir.
C. Kesimpulan
Dapat diambil kesimpulan bahwa
Raman menawarkan dua metode penafsiran Al-Qur’an: Pertama, metode double
movement yaitu suatu gerakan ganda dari situasi sekarang ke masa Al-Qur’an diturunkan,
kemudian gerakan kembali ke masa sekarang. Dan gerakan ini hanya efektif
diterapkan dalam ayat-ayat hukum, bukan ayat-ayat metafisik, seperti konsep
Tuhan, Malaikat, setan dan lainnya. Rahman tidak menggunakan metode double
movement, tetapi menggunakan metode tematik dengan prinsip analisis logis,
dimana ayat-ayat itu dipahami melalui metode intertekstual untuk kemudian
dicari hubungan logisnya.
Kemudian mengenai metode
tematiknya yang dimaksudkan untuk mengurangi subjektivitas dalam pennfsiran. Metode
ini ingin membiarkan Al-Qur’an “berbicara sendiri” dengan cara mengumpulkna
ayat-ayat yang setema dan dengan memperhatikan konteks kalimatnya sehingga bias-bias
ideologi mufassir dapat dieliminasi sedemikian rupa. Akan tetapi bagaimanapun
dikatakan bahwa metode ini tidak akan
mampu menghilangkan subjektivitas mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an, paling
tidak dapat meminimalisir subjektivitas penafsirannya.
Rahman
memiliki tolak ukur untuk mengukur kebenaran dari metode-metodenya yang relaif
sama dengan Muhammad Syahrur. Pertama, bersifat koherensi. Kedua,
berisifat korespondensi. Ketiga,
bersifat pragmatis.
Daftar Pustaka
Amal, Taufik Adnan. Islam dan Tantangan
Modernitas: studi atas pemikrian Fazlur Rahman. Bandung: Mizan, 1989
Mas’adi,
Ghufron A. Pemikrian Fazlur Rahman tentang metodologi pembaharuan Hukum
Islam. Jakarta: Raja Garfindo Persada, 1998
Mustaqim, Abdul. Epistemologi tafsir
kontemporer. Yogyakarta: LKIS, 2010
Mahasiswa
UIN Jogja. PPT. Pemikiran Fazlur Rahman, 2016
Sutrisno. Fazlur Rahman: kajian terhadap
metode epistemologi dan sisitem pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2006
Rahman, Fazlur. Islam dan modernitas tetang
transformasi intelektual, terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka, 1985
[1] Abdul
Mustaqim, Epistemologi Tafsir kontemporer, (yogyakarta:LKIS, 2013) hlm.
3
[2]
Gufran A. Mas’adi, Pemikrian Fazlur Rahman
tentang metodologi pembaharuan Hukum Islam. (Jakarta: Raja Garfindo
Persada, 1998) hlm. 15. Baca juga Taufik
Adnan Amal. Islam dan Tantangan Modernitas: studi atas pemikrian Fazlur Rahman.
(Bandung: Mizan, 1989) hlm. 4-5
[3] Mahasiswa
UIN Jogja. PPT. Pemikiran Fazlur Rahman, 2016
[4]
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir kontemporer, hlm. 108. Lihat juga
bukunya Taufik
Adnan Amal. Islam dan Tantangan Modernitas: studi atas pemikrian Fazlur Rahman.
[5]
Sutrisno. Fazlur Rahman: kajian terhadap
metode epistemologi dan sisitem pendidikan. hlm. 133
[6]
Lihat Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir
kontemporer, hlm. 180. Untuk penjelasan lebihnya Lihat juga bukunya Taufik
Adnan Amal. Islam dan Tantangan Modernitas: studi atas pemikrian
Fazlur Rahman. Hlm. 195. dan juga Fazlur Rahman,. Islam dan modernitas
tetang transformasi intelektual, terj. Ahsin Muhammad. (Bandung:
Pustaka, 1985) hlm. 6-7
[7]
Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir kontemporer, hlm. 178
[8] Abdul
Mustaqim, Epistemologi Tafsir kontemporer, hlm. 167
[9] Abdul
Mustaqim, Epistemologi Tafsir kontemporer, hlm. 330
Konsep Metodologis Tafsir Fazlurrahman (Telaah Terhadap Metode Double Movement dan Tematiknya)
4/
5
Oleh
Unknown