TAFSIRAN ‘MIN NAFSIN WAHIDAH’ (Q.S. AN-NISA : 1) DALAM
AL-QUR’AN
AL- HAKIM FI TAFSIR AL-MANAR
A. Al-Qur’an
Al- Hakim Fi Tafsir Al-Manar
Tafsir Al-manar di tulis oleh Asy-Syaikh Muhammad Abduh
r.a., yang dipengaruhi oleh pemikiran Syaikh Jamaluddin Al-Afghani[1],
dan Dilanjutkan oleh pewaris dan muridnya yaitu Muhammad Rasyid Ridha[2]. Orang yang meneliti tafsir Syaikh Muhammad Rasyid Ridha
(tafsir al-Manar) akan mendapati di
dalamnya jiwa Syaikh Muhammad Abduh, ucapan, ide, dan kemiripannya dalam
memahami kitab Allah SAWT.[3]
B.
Tinjauan
Umum Tentang ‘Min Nafsin Wahidah’
Ayat ini (QS. An-Nisa : 1) secara gamblang menjelaskan bahwa Tuhan
menciptakan manusia dari nafs wahidah, dan istrinya juga diciptakan dari
unsur itu. tapi Al-Qur’an tidak menjelaskan di dalam ayat itu apa yang dimaksud
dengan ‘nafs wahidah’ tersebut. Sebagian besar ulama menafsirkannya dengan “diri
yang satu (Adam)”. Ulama di Indonesia pada umumnya menganut paham ini, seperti
di dalam kitab terjemahan Al-Qur’an departemen agama.
Timbulnya penafsiran seperti
itu agaknya karena dipengaruhi oleh sebuah hadits Nabi yang menegaskan bahwa
wanita diciptakan Tuhan dari tulang rusuk Nabi Adam ;
“Sesungguhnya wanita diciptakan
dari tulang rusuk, dan yang paling bengkok dari tulang itu ialah yang paling
atas. Oleh karenanya, jika kamu paksa meluruskannya, dia akan patah, dan
[sebaliknya] jika kamu biarkan, dia akan selalu bengkok”.[4]
C.
Tafsiran “Min Nafs Wahidah”
Firman Allah SWT, dalam Surah An-Nisa ayat satu:
﴿ يآءيها الناس اتقوا ربكم الذى
خلقكم من نفس واحدة . . .
﴾
“Wahai sekalian manusia
bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kalian dari nafs
yang satu”.
Dalam kitab Tafsir al-Manar, jilid empat,
halaman 327, tepatnya pada tafsiran surah An-Nisa, Muhammad Rasyid Ridha
memberikan penafsirannya, sebagai berikut:
﴿ الذى خلقكم من نفس واحدة
﴾
D.
Metodologi Penafsiran
Kitab tafsir al-Manar merupakan
tafsir yang menggunakan metode bi al-Ra’yi, Muhammad Abduh berusaha
menjelaskan makna ayat Al-Qur’an, sehingga dapat dicerna dan dipahami.[5]
Lingkungan Muhammad Abduh
Abduh dilahirkan, dibesarkan, bahkan hidup dalam
suatu masyarakat yang sedang disentuh oleh perkembangan-perkembangan mendasar
di Eropa. Keadaan masyarakat di Eropa tersebut sebenarnya telah menampakkan
benih-benih pengaruhnya sejak kedatangan pedisi Pracis (Napolion) ke Mesir
(1798). Namun secara jelas pengaruh tersebut mulai dirasakan Muhammad Abduh
pada saat ia memasuki pintu gerbang AL-Azhar, lembaga pendidikan yang Pembina
dan ulamanya telah terbagi dalam dua kelompok, mayoritas dan minoritas.
Pertemuan Muhammad Abduh dengan Jamaluddin
Al-Afghani mengubah sikap Abduh yang tadinya hanya cenderung kepada pembinaan
rasa dan penguasaan ide serta teori-teori ilmiah, ke arah sikap praktis yang
menjadikan pemiliknya berada di tengah-tengah kehidupan masyarakat, berjuang
berdasarkan rasa dan ide-ide yang dimilikinya guna menghadapi tentangan dan
menanggulangi problem.
Pertemuannya dengan Al-Afghanni menjadikan Abduh
aktif dalam berbagai bidang sosial dan politik, dan kemudian mengantarkannya
untuk bertempat tinggal di Paris, menguasai bahasa Prancis, menghayati
kehidupan masyarakatnya, serta berkomunikasi dengan pemikir-pemikir Eropa
ketika itu, khususnya Herbert Spencer.[6]
Ciri-ciri Penafsiran Muhammad Abduh
Ada beberapa landasan berpikir, patokan, atau prinsip yang
dianut oleh Muhammad Abduh dalam menguraikan penafsiran-penafsirannya terhadap
ayat-ayat Al-Qur’an, yang dapat disebutkan seperti di bawah ini:
1.
Memandang setiap surah sebagai
satu kesatuan ayat-ayat yang serasi.
2.
Menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber
aqidah dan hukum, bukan melegitimasi pandangan mazhab melalui Al-Qur’an.
3.
Al-Qur’an berdialog dengan
semua generasi
4.
Tidak merinci ayat-ayat yang
sifatnya mubbam atau sepintas lalu.
5.
Sangat kritis terhadap
riwayat-riwayat baik hadits Nabi SAW, maupun pendapat para sahabat dan tabi’in.
Yang paling menonjol bahkan
dapat mengalahkan landasan, prinsip, atau patokan di atas tetaplah bahwa bahwa
penafsiran Al-Qur’an harus dapat dipahami dan dicerna oleh akan pikiran. Di
sini Abduh berbeda dengan ulama yang menyatakan bahwa selama makna redaksi satu
ayat tidak bertentangan dengan akal—walaupun belum atau tidak dipahami oleh
akal—maka ayat tersebut tidak perlu dialihkan maknanya atau dipaksakan
pemahamannya secara metaforis.[7]
[sebagai contoh][8]
E.
Penjelasan mendalam tentang
tafsiran “Min Nafsin Wahidat”
Kata nafs (نفس) dalam berbagain konjugasinya di dalam ayat-ayat lain yang
terulang sebanyak 295 kali di dalam Al-Qur’an, tidak ada yang berkonotasi
‘ADAM’. Berdasarkan kenyataan itu, maka menafsirkan ‘nafs wahidat’ dengan
‘Adam’ terasa kurang di dukung oleh ayat-ayat lain karena pengertian lafal ‘nafs’
di dalam Al-Qur’an tidak menunjukkan kepada diri Adam secara khusus, melainkan
menunjuk kepada berbagai pengertian sesuai konteks pembicaraan, seperti ‘jiwa’
sebagaimana terdapat di dalam surat (Yusuf: 53)[9], (al-Fajr: 27)[10], (at-Takwir: 14)[11], dan lain-lan. Juga menunjukkan kepada
pengertian jenis atau bangsa seperti terdapat di dalam surat (An-Nahl: 72)[12], (Ar-Rum:
21)[13], (At-Taubat:
128)[14],
ketiganya aya yang di kutif di atas memakai lafal (أنفس), yakni jamak dari (نفس), dalam konotasi bangsa atau jenis, bukan
dalam arti yang lain.
Pada ahli tafsir umumnya menafsirkan ketiga
ayat (An-Nahl:72, ar-Rum:21, dan at-Taubat:128) dengan bangsa atau jenis. Bak
mufassir bi al-ma’tsur seperti ibnu Katsir dan lain-lain, maupun
mufassir bi al-ra’y seperti al-Zamakhsyari, al-Alusi dan lain-lain,
mereka sepakat bahwa kata ‘anfus’ di dalam ayat-ayat tersebut
berkonotasi bangsa atau jenis, bukan jiwa dan sebagainya.
Pengertian lafadz أنفس dengan ‘bangsa’ atau ‘jenis’ seperti terdapat
di dalam ketiga ayat di atas terasa lebih tepat bila dipakaikan kepada kata نفس yang ada pada ayat pertama dari surah an-Nisa’ telah
dikutip di muka. Dengan demikian, ayat pertama surat an-Nisa tersebut dapat
diterjemahkan sebagai berikut:
“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada
Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari satu jenis (bangsa); [bangsa manusia
bukan jin, hewan, dan sebagainya] . . .”
Berdasarkan kenyataan itulah maka Muhammad
Rasyid Ridha (maupun Muhammad Abduh) menafsirkan kalimat ; “من
نفس واحدة” (Dari nafs yang satu), dengan :
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Syaikh
Muhammad, tanpa tahun, Tafsir Juz ‘Amma (penerjemah: Muhammad Bagir),
Mesir,: Dar Mathabi’
Asy-Sya’b.
Al-Bana, Asy-Syahid Hasan, 2008, Kitab Muqaddimah Ilmu Tafsir, Yogyakarta:
Santusta.
Baidan, Nashruddin,
1999, Tafsir Bi Al-Ra’yi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mahmud, Mani’ Abd Halim, Manhaj al-Mufassirin (terjemahan), Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada.
Ridha, Muhammad Rasyid, 1947, Al-Qur’an Al-Hakim Fi Tafsiri
Al-Manar, Kairo : Al-Manar.
Shihab,
M. Qurash, 1994, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, Bandung: Pustaka Hidayah.
[1]
Lebih lanjut lihat; Syaikh Muhammad Abduh, Tafsir
Juz ‘Amma (penerjemah:
Muhammad Bagir), (Mesir,: Dar Mathabi’ Asy-Sya’b.
tanpa tahun), hlm vi.
[2]
Imam Asy-Syahid Hasan Al
Bana, Kitab Muqaddimah Ilmu Tafsir, (Yogyakarta:
Santusta, 2008), hlm 13.
[3] Prof. Dr. Mani’ Abd Halim
Mahmud, Manhaj al-Mufassirin (terjemahan),
(Jakarta: PT Rajagrafindo Persada), hlm 275.
[6] Dr. M. Qurash Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1994), hlm 17-18.
[8]
Dalam surah Al-Fil ayat 3-4 tentang ‘thairan ababil’ ditafsirkan
oleh Abduh sebagai ‘sejenis lalat atau nyamuk yang membawa bakteri-bakteri
dan mengakibatkan penyakit cacar dan campak’.
[11]عَلِمَتۡ
نَفۡسٞ مَّآ أَحۡضَرَتۡ
tafisiran tentang penciptaan manusia
4/
5
Oleh
Unknown