Minggu, 01 November 2015

tafisiran tentang penciptaan manusia



TAFSIRAN ‘MIN NAFSIN WAHIDAH’ (Q.S. AN-NISA : 1) DALAM
AL-QUR’AN AL- HAKIM FI TAFSIR AL-MANAR

A.    Al-Qur’an Al- Hakim Fi Tafsir Al-Manar
Tafsir Al-manar di tulis oleh Asy-Syaikh Muhammad Abduh r.a., yang dipengaruhi oleh pemikiran Syaikh Jamaluddin Al-Afghani[1], dan Dilanjutkan oleh pewaris dan muridnya yaitu Muhammad Rasyid Ridha[2]. Orang yang meneliti tafsir Syaikh Muhammad Rasyid Ridha (tafsir al-Manar) akan mendapati di dalamnya jiwa Syaikh Muhammad Abduh, ucapan, ide, dan kemiripannya dalam memahami kitab Allah SAWT.[3]

B.     Tinjauan Umum Tentang ‘Min Nafsin Wahidah’
Ayat ini (QS. An-Nisa : 1) secara gamblang menjelaskan bahwa Tuhan menciptakan manusia dari nafs wahidah, dan istrinya juga diciptakan dari unsur itu. tapi Al-Qur’an tidak menjelaskan di dalam ayat itu apa yang dimaksud dengan ‘nafs wahidah’ tersebut. Sebagian besar ulama menafsirkannya dengan “diri yang satu (Adam)”. Ulama di Indonesia pada umumnya menganut paham ini, seperti di dalam kitab terjemahan Al-Qur’an departemen agama.
Timbulnya penafsiran seperti itu agaknya karena dipengaruhi oleh sebuah hadits Nabi yang menegaskan bahwa wanita diciptakan Tuhan dari tulang rusuk Nabi Adam ;
“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk, dan yang paling bengkok dari tulang itu ialah yang paling atas. Oleh karenanya, jika kamu paksa meluruskannya, dia akan patah, dan [sebaliknya] jika kamu biarkan, dia akan selalu bengkok”.[4]

C.    Tafsiran “Min Nafs Wahidah
Firman Allah SWT, dalam Surah An-Nisa ayat satu:
 ﴿ يآءيها الناس اتقوا ربكم الذى خلقكم من نفس واحدة   . . .
“Wahai sekalian manusia bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kalian dari nafs yang satu”.
Dalam kitab Tafsir al-Manar, jilid empat, halaman 327, tepatnya pada tafsiran surah An-Nisa, Muhammad Rasyid Ridha memberikan penafsirannya, sebagai berikut:
﴿ الذى خلقكم من نفس واحدة

D.    Metodologi Penafsiran
Kitab tafsir al-Manar merupakan tafsir yang menggunakan metode bi al-Ra’yi, Muhammad Abduh berusaha menjelaskan makna ayat Al-Qur’an, sehingga dapat dicerna dan dipahami.[5]
Lingkungan Muhammad Abduh
Abduh dilahirkan, dibesarkan, bahkan hidup dalam suatu masyarakat yang sedang disentuh oleh perkembangan-perkembangan mendasar di Eropa. Keadaan masyarakat di Eropa tersebut sebenarnya telah menampakkan benih-benih pengaruhnya sejak kedatangan pedisi Pracis (Napolion) ke Mesir (1798). Namun secara jelas pengaruh tersebut mulai dirasakan Muhammad Abduh pada saat ia memasuki pintu gerbang AL-Azhar, lembaga pendidikan yang Pembina dan ulamanya telah terbagi dalam dua kelompok, mayoritas dan minoritas.
Pertemuan Muhammad Abduh dengan Jamaluddin Al-Afghani mengubah sikap Abduh yang tadinya hanya cenderung kepada pembinaan rasa dan penguasaan ide serta teori-teori ilmiah, ke arah sikap praktis yang menjadikan pemiliknya berada di tengah-tengah kehidupan masyarakat, berjuang berdasarkan rasa dan ide-ide yang dimilikinya guna menghadapi tentangan dan menanggulangi problem.
Pertemuannya dengan Al-Afghanni menjadikan Abduh aktif dalam berbagai bidang sosial dan politik, dan kemudian mengantarkannya untuk bertempat tinggal di Paris, menguasai bahasa Prancis, menghayati kehidupan masyarakatnya, serta berkomunikasi dengan pemikir-pemikir Eropa ketika itu, khususnya Herbert Spencer.[6]

Ciri-ciri Penafsiran Muhammad Abduh
Ada beberapa landasan berpikir, patokan, atau prinsip yang dianut oleh Muhammad Abduh dalam menguraikan penafsiran-penafsirannya terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, yang dapat disebutkan seperti di bawah ini:
1.      Memandang setiap surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi.
2.      Menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber aqidah dan hukum, bukan melegitimasi pandangan mazhab melalui Al-Qur’an.
3.      Al-Qur’an berdialog dengan semua generasi
4.      Tidak merinci ayat-ayat yang sifatnya mubbam atau sepintas lalu.
5.      Sangat kritis terhadap riwayat-riwayat baik hadits Nabi SAW, maupun pendapat para sahabat dan tabi’in.
Yang paling menonjol bahkan dapat mengalahkan landasan, prinsip, atau patokan di atas tetaplah bahwa bahwa penafsiran Al-Qur’an harus dapat dipahami dan dicerna oleh akan pikiran. Di sini Abduh berbeda dengan ulama yang menyatakan bahwa selama makna redaksi satu ayat tidak bertentangan dengan akal—walaupun belum atau tidak dipahami oleh akal—maka ayat tersebut tidak perlu dialihkan maknanya atau dipaksakan pemahamannya secara metaforis.[7] [sebagai contoh][8]
E.     Penjelasan mendalam tentang tafsiran “Min Nafsin Wahidat”
Kata nafs (نفس) dalam berbagain konjugasinya di dalam ayat-ayat lain yang terulang sebanyak 295 kali di dalam Al-Qur’an, tidak ada yang berkonotasi ‘ADAM’. Berdasarkan kenyataan itu, maka menafsirkan ‘nafs wahidat’ dengan ‘Adam’ terasa kurang di dukung oleh ayat-ayat lain karena pengertian lafal ‘nafs’ di dalam Al-Qur’an tidak menunjukkan kepada diri Adam secara khusus, melainkan menunjuk kepada berbagai pengertian sesuai konteks pembicaraan, seperti ‘jiwa’ sebagaimana terdapat di dalam surat (Yusuf: 53)[9], (al-Fajr: 27)[10], (at-Takwir: 14)[11], dan lain-lan. Juga menunjukkan kepada pengertian jenis atau bangsa seperti terdapat di dalam surat (An-Nahl: 72)[12], (Ar-Rum: 21)[13], (At-Taubat: 128)[14], ketiganya aya yang di kutif di atas memakai lafal (أنفس), yakni jamak dari (نفس), dalam konotasi bangsa atau jenis, bukan dalam arti yang lain.
Pada ahli tafsir umumnya menafsirkan ketiga ayat (An-Nahl:72, ar-Rum:21, dan at-Taubat:128) dengan bangsa atau jenis. Bak mufassir bi al-ma’tsur seperti ibnu Katsir dan lain-lain, maupun mufassir bi al-ra’y seperti al-Zamakhsyari, al-Alusi dan lain-lain, mereka sepakat bahwa kata ‘anfus’ di dalam ayat-ayat tersebut berkonotasi bangsa atau jenis, bukan jiwa dan sebagainya.
Pengertian lafadz أنفس dengan ‘bangsa’ atau ‘jenis’ seperti terdapat di dalam ketiga ayat di atas terasa lebih tepat bila dipakaikan kepada kata نفس  yang ada pada ayat pertama dari surah an-Nisa’ telah dikutip di muka. Dengan demikian, ayat pertama surat an-Nisa tersebut dapat diterjemahkan sebagai berikut:
“Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari satu jenis (bangsa); [bangsa manusia bukan jin, hewan, dan sebagainya] . . .”
Berdasarkan kenyataan itulah maka Muhammad Rasyid Ridha (maupun Muhammad Abduh) menafsirkan kalimat ;  من نفس واحدة(Dari nafs yang satu), dengan :


DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Syaikh Muhammad, tanpa tahun, Tafsir Juz ‘Amma (penerjemah: Muhammad Bagir), Mesir,: Dar Mathabi’ Asy-Sya’b.
Al-Bana, Asy-Syahid Hasan, 2008, Kitab Muqaddimah Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Santusta.
Baidan, Nashruddin, 1999, Tafsir Bi Al-Ra’yi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mahmud, Mani’ Abd Halim, Manhaj al-Mufassirin (terjemahan), Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Ridha, Muhammad Rasyid, 1947, Al-Qur’an Al-Hakim Fi Tafsiri Al-Manar, Kairo : Al-Manar.
Shihab, M. Qurash, 1994, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, Bandung: Pustaka Hidayah.


[1] Lebih lanjut lihat; Syaikh Muhammad Abduh, Tafsir Juz ‘Amma (penerjemah: Muhammad Bagir), (Mesir,: Dar Mathabi’ Asy-Sya’b. tanpa tahun), hlm vi.
[2] Imam Asy-Syahid Hasan Al Bana, Kitab Muqaddimah Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Santusta, 2008), hlm 13.
[3] Prof. Dr. Mani’ Abd Halim Mahmud, Manhaj al-Mufassirin (terjemahan), (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada), hlm 275.
[4] DR. Nashruddin Baidan, tafsir bi Al-Ra’yi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm 6-7.

[5] Syaikh Muhammad Abduh, Tafsir Juz ‘Amma . . . hlm x
[6]  Dr. M. Qurash Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hlm 17-18.
[7] Syaikh Muhammad Abduh, Tafsir Juz ‘Amma . . . hlm ix
[8] Dalam surah Al-Fil ayat 3-4 tentang ‘thairan ababil’ ditafsirkan oleh Abduh sebagai ‘sejenis lalat atau nyamuk yang membawa bakteri-bakteri dan mengakibatkan penyakit cacar dan campak’.
 [9] وَمَآ أُبَرِّئُ نَفۡسِيٓۚ إِنَّ ٱلنَّفۡسَ لَأَمَّارَةُۢ بِٱلسُّوٓءِ...
 [10]يَٰٓأَيَّتُهَاٱلنَّفۡسُ ٱلۡمُطۡمَئِنَّةُ
[11]عَلِمَتۡ نَفۡسٞ مَّآ أَحۡضَرَتۡ
وَٱللَّهُ جَعَلَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا [12]
 [13] وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ خَلَقَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا...
[14] لَقَدۡ جَآءَكُمۡ رَسُولٞ مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ...

Related Posts

tafisiran tentang penciptaan manusia
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.