DEWASA DALAM BINGKAI OTORITAS TEKS
Muh Alwi HS
(14530083)
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Kehidupan semakin berkembang, zaman
terus berubah, namun sayangnya kedewasaan hidup beragam semakin terlukai. Lebih
jauh, mungkin inilah dampak dari ‘dunia semakin menyempit’, satu pendapat
dengan cepat merambak ke telinga orang lain, yang kadang –atau seringkali-
tidak sesuai dengan pendapat yang lain. Satu sisi kita menyadari, bahwa orang
dahulu dengan orang sekarang berbeda dalam memandang dunia ini. Orang dahulu
menganggap dunia ini hanya sebatas sekitar daerahnya saja, sehingga tidak
menyadari kalau ada dunia lain yang berada jauh dari tempatnya. Sebaliknya,
pandangan terhadap dunia bagi orang-orang yang hidup pada masa sekarang, karena
kecanggihan elektronik, telah mampu menyaksikan dunia yang lebih luas.[1]
Nampaknya jarak yang semakin sempit ini,
membuat perbedaan-perbedaan itu menjadi persoalan serius. Ia (perbedaan) tidak lagi
dijadikan sebagai wawasan pengetahuan, tidak lagi menjadi ajang untuk saling
menghormati. Akan tetapi, perbedaan kini menjadi alat untuk menyudutkan
seseorang (atau etnis) tertentu, bahkan sampai pada titik kekerasan. Padahal “sebuah
perbedaan, tidak harus berakhir dengan perselisihan, dan sebuah perselisihan
tidak harus berakhir dengan kekerasan.”[2]
Tulisan ini
berusaha menyelami perbedaan yang lahir dari sebuah teks (al-Qur’an dan Hadits). Hal ini dilakukan, atas penyadaran
penulis bahwa ada
banyak tugas yang harus kita selesaikan untuk merespons perbedaan itu, terutama
dalam hal ini, adalah tentang bagaimana seseorang bersikap pada perbedaan yang
lahir atas pandangan terhadap sebuah teks
(baca: al-Qur’an dan Hadits) untuk kemudian menjadi sebuah legatimasi
otoritas bagi pengkajinya. Lebih jauh, penulis di sini berasumsi
bahwa perilaku (tindakan) manusia sangat dipengaruhi oleh pemahaman yang dia
miliki. Dikaitkan dengan teks, apa yang dipahami dari teks maka
itulah kemudian tercermin dalam tindakan.
Menyelami
Perbedaan
Jika kita
mencari awal perbedaan itu, maka kita akan menemukan bahwa teks itu sendiri yang memicu munculnya perbedaan. Hal ini dapat
ditemukan dalam al-Qur’an, misalnya, apakah sebauh ayat itu muhkam atau mutasyabih, apakah sebuah ayat itu
bersifat umum atau khusus. Inilah yang kemudian para pengkaji al-Qur’an
terjadi perbedaan dalam kesimpulan kajiannya.[3] Karena
itulah kita tidak bisa menentukan bagaimana supaya mencapai puncak kebenaran
sejati.
Paling tidak,
kita senantiasa disemangati oleh hadits yang menyatakan bahwa orang yang
melakukan ijtihad (kreatifitas) akan
mendapatkan pahala. Jika ijtihadnya
benar, maka dua pahala yang didapatinya. Tetapi, jika ijtihadnya itu salah, maka satu pahala baginya. Sehingga tidak ada
yang perlu ditakutkan dalam berijtihad.[4]
Namun, dalam ijtihad tersebut,
terlebih dahulu harus dibedakan mana yang bisa diijtihadkan sehingga terjadi perubahan, dan mana yang tidak perlu diijtihadkan. Dalam konteks ini, urusan
yang berkaitan dengan ibadah, maka
itu tidak boleh diganggu gugat. Sementara, jika urusan itu berkaitan dengan muamalah, maka diperlukan adanya ijtihad itu.[5]
Dalam Ijtihad itu sendiri, kemudian menimbulkan adanya perbedaan satu
pendapat dengan pendapat lain. Untuk tetap menjaga keharmonisasian, maka dalam
hal kita perlu mempelajari kaidah fukaha,
bahwa “bisa jadi pendapatku benar, sementara pendapat yang lain salah. Sebaliknya,
bisa jadi pendapatku salah, dan pendapat yang lain benar”.[6] Selain
itu, penulis menekankan perlunya kesepahaman terhadap perbedaan-perbedaan yang
muncul. Jika yang demikian itu dipegang teguh, maka tidak akan ada dikotomi
otoritas teks, sehingga melekatlah
sikap kedewasaan kita dalam merespons tiap perbedaan pemahaman teks.
Referensi
Al
Makin, 2016, Keragaman Dan Perbedaan,
Budaya Dan Agama Dalam Lintas Sejarah Manusia, (Yogyakarta: SUKA-Press,
2016).
El
Fadl, Khaled M. Abou, 2004, Atas Nama
Tuhan, Dari Fikih Otoriter Ke Fikih Otoritatif, terj, (Jakarta: PT Serambil Ilmu Semesta).
Faiz,Fahruddin,
Kekerasan Intelektual Dalam Islam (Telaah
Terhadap Peristiwa Mihnah Mu’tazilah), dalam Jurnal Esensia Vol. XIII NO.
1. Januari 2012. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Mattson,
Ingrid, 2013, Ulumul Qur’an Zaman Kita,
Pengantar Untuk Memahami Konteks, Kisah, dan Sejarah Al-Qur’an, Terj,
(Jakarta: Zaman).
Saeed, Abdullah, 2016, Paradigma, Prinsip Dan
Metode Penafsrian Kontekstualis Atas Al-Qur’an, Terj,
(Yogyakarta: Baitul Hikmah Press).
NB:
Tugas
UTS
Judul:
PERGESERAN POSISI AL-QUR’AN;
dari Hudan li al-Muttaqin menuju Hudan li
al-Nas.
Link
Publikasi Online:
http://cahaya-al-jazirah.blogspot.co.id/2017/01/pergeseran-posisi-al-quran-dari-hudan.html
[1] Al Makin, Keragaman Dan Perbedaan, Budaya Dan Agama Dalam Lintas Sejarah Manusia,
(Yogyakarta: SUKA-Press, 2016), hlm, 92.
[2] Fahruddin Faiz, Kekerasan Intelektual Dalam Islam (Telaah
Terhadap Peristiwa Mihnah Mu’tazilah), dalam Jurnal Esensia Vol. XIII NO.
1. Januari 2012. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, hlm, 2.
[3] Misalnya dalam kasus penciptaan
perempuan (QS. An-Nisa: 1), pada kata nafs
ada yang menafsirkan “adam”, ada juga yang menafsirkan “jenis yang sama”.
[4] Lebih jauh, rujuk Khaled M. Abou
El Fadl, Atas Nama Tuhan, Dari Fikih
Otoriter Ke Fikih Otoritatif, terj, (Jakarta:
PT Serambil Ilmu Semesta, 2004), hlm, 22-23.
[5]
Abdullah Saeed,
Paradigma, Prinsip
Dan Metode Penafsrian Kontekstualis Atas Al-Qur’an, Terj, (Yogyakarta: Baitul Hikmah
Press, 2016), hlm, 243-244.
[6] Ingrid Mattson, Ulumul Qur’an Zaman Kita, Pengantar Untuk
Memahami Konteks, Kisah, dan Sejarah Al-Qur’an, Terj, (Jakarta: Zaman,
2013), hlm, 303.
DEWASA DALAM BINGKAI OTORITAS TEKS
4/
5
Oleh
Unknown