Kamis, 12 Januari 2017

DEWASA DALAM BINGKAI OTORITAS TEKS




DEWASA DALAM BINGKAI OTORITAS TEKS

Muh Alwi HS
(14530083)
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Kehidupan semakin berkembang, zaman terus berubah, namun sayangnya kedewasaan hidup beragam semakin terlukai. Lebih jauh, mungkin inilah dampak dari ‘dunia semakin menyempit’, satu pendapat dengan cepat merambak ke telinga orang lain, yang kadang –atau seringkali- tidak sesuai dengan pendapat yang lain. Satu sisi kita menyadari, bahwa orang dahulu dengan orang sekarang berbeda dalam memandang dunia ini. Orang dahulu menganggap dunia ini hanya sebatas sekitar daerahnya saja, sehingga tidak menyadari kalau ada dunia lain yang berada jauh dari tempatnya. Sebaliknya, pandangan terhadap dunia bagi orang-orang yang hidup pada masa sekarang, karena kecanggihan elektronik, telah mampu menyaksikan dunia yang lebih luas.[1]
Nampaknya jarak yang semakin sempit ini, membuat perbedaan-perbedaan itu menjadi persoalan serius. Ia (perbedaan) tidak lagi dijadikan sebagai wawasan pengetahuan, tidak lagi menjadi ajang untuk saling menghormati. Akan tetapi, perbedaan kini menjadi alat untuk menyudutkan seseorang (atau etnis) tertentu, bahkan sampai pada titik kekerasan. Padahal “sebuah perbedaan, tidak harus berakhir dengan perselisihan, dan sebuah perselisihan tidak harus berakhir dengan kekerasan.”[2]
Tulisan ini berusaha menyelami perbedaan yang lahir dari sebuah teks (al-Qur’an dan Hadits). Hal ini dilakukan, atas penyadaran penulis bahwa ada banyak tugas yang harus kita selesaikan untuk merespons perbedaan itu, terutama dalam hal ini, adalah tentang bagaimana seseorang bersikap pada perbedaan yang lahir atas pandangan terhadap sebuah teks (baca: al-Qur’an dan Hadits) untuk kemudian menjadi sebuah legatimasi otoritas bagi pengkajinya. Lebih jauh, penulis di sini berasumsi bahwa perilaku (tindakan) manusia sangat dipengaruhi oleh pemahaman yang dia miliki. Dikaitkan dengan teks, apa yang dipahami dari teks maka itulah kemudian tercermin dalam tindakan.

Menyelami Perbedaan
Jika kita mencari awal perbedaan itu, maka kita akan menemukan bahwa teks itu sendiri yang memicu munculnya perbedaan. Hal ini dapat ditemukan dalam al-Qur’an, misalnya, apakah sebauh ayat itu muhkam atau mutasyabih, apakah sebuah ayat itu  bersifat umum atau khusus. Inilah yang kemudian para pengkaji al-Qur’an terjadi perbedaan dalam kesimpulan kajiannya.[3] Karena itulah kita tidak bisa menentukan bagaimana supaya mencapai puncak kebenaran sejati.
Paling tidak, kita senantiasa disemangati oleh hadits yang menyatakan bahwa orang yang melakukan ijtihad (kreatifitas) akan mendapatkan pahala. Jika ijtihadnya benar, maka dua pahala yang didapatinya. Tetapi, jika ijtihadnya itu salah, maka satu pahala baginya. Sehingga tidak ada yang perlu ditakutkan dalam berijtihad.[4] Namun, dalam ijtihad tersebut, terlebih dahulu harus dibedakan mana yang bisa diijtihadkan sehingga terjadi perubahan, dan mana yang tidak perlu diijtihadkan. Dalam konteks ini, urusan yang berkaitan dengan ibadah, maka itu tidak boleh diganggu gugat. Sementara, jika urusan itu berkaitan dengan muamalah, maka diperlukan adanya ijtihad itu.[5]
Dalam Ijtihad itu sendiri, kemudian menimbulkan adanya perbedaan satu pendapat dengan pendapat lain. Untuk tetap menjaga keharmonisasian, maka dalam hal kita perlu mempelajari kaidah fukaha, bahwa “bisa jadi pendapatku benar, sementara pendapat yang lain salah. Sebaliknya, bisa jadi pendapatku salah, dan pendapat yang lain benar”.[6] Selain itu, penulis menekankan perlunya kesepahaman terhadap perbedaan-perbedaan yang muncul. Jika yang demikian itu dipegang teguh, maka tidak akan ada dikotomi otoritas teks, sehingga melekatlah sikap kedewasaan kita dalam merespons tiap perbedaan pemahaman teks.


Referensi
Al Makin, 2016, Keragaman Dan Perbedaan, Budaya Dan Agama Dalam Lintas Sejarah Manusia, (Yogyakarta: SUKA-Press, 2016).
El Fadl, Khaled M. Abou, 2004, Atas Nama Tuhan, Dari Fikih Otoriter Ke Fikih Otoritatif, terj, (Jakarta: PT Serambil Ilmu Semesta).
Faiz,Fahruddin, Kekerasan Intelektual Dalam Islam (Telaah Terhadap Peristiwa Mihnah Mu’tazilah), dalam Jurnal Esensia Vol. XIII NO. 1. Januari 2012. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Mattson, Ingrid, 2013, Ulumul Qur’an Zaman Kita, Pengantar Untuk Memahami Konteks, Kisah, dan Sejarah Al-Qur’an, Terj, (Jakarta: Zaman).
Saeed, Abdullah, 2016, Paradigma, Prinsip Dan Metode Penafsrian Kontekstualis Atas Al-Qur’an, Terj, (Yogyakarta: Baitul Hikmah Press).






NB:
Tugas UTS
Judul: PERGESERAN POSISI AL-QUR’AN;
dari Hudan li al-Muttaqin menuju Hudan li al-Nas.

Link Publikasi Online:
http://cahaya-al-jazirah.blogspot.co.id/2017/01/pergeseran-posisi-al-quran-dari-hudan.html


[1] Al Makin, Keragaman Dan Perbedaan, Budaya Dan Agama Dalam Lintas Sejarah Manusia, (Yogyakarta: SUKA-Press, 2016), hlm, 92.
[2] Fahruddin Faiz, Kekerasan Intelektual Dalam Islam (Telaah Terhadap Peristiwa Mihnah Mu’tazilah), dalam Jurnal Esensia Vol. XIII NO. 1. Januari 2012. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, hlm, 2.
[3] Misalnya dalam kasus penciptaan perempuan (QS. An-Nisa: 1), pada kata nafs ada yang menafsirkan “adam”, ada juga yang menafsirkan “jenis yang sama”.
[4] Lebih jauh, rujuk Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan, Dari Fikih Otoriter Ke Fikih Otoritatif, terj, (Jakarta: PT Serambil Ilmu Semesta, 2004), hlm, 22-23.
[5] Abdullah Saeed, Paradigma, Prinsip Dan Metode Penafsrian Kontekstualis Atas Al-Qur’an, Terj, (Yogyakarta: Baitul Hikmah Press, 2016), hlm, 243-244.
[6] Ingrid Mattson, Ulumul Qur’an Zaman Kita, Pengantar Untuk Memahami Konteks, Kisah, dan Sejarah Al-Qur’an, Terj, (Jakarta: Zaman, 2013), hlm, 303.

Related Posts

DEWASA DALAM BINGKAI OTORITAS TEKS
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.