BERTASBIHLAH SI ORANGE
PERSIAPAN untuk pameran selesai tepat pada waktunya, tentu persiapannya
tidak sebagus pameran pada umumnya, aku lebih memikirkan pameran ini cepat
selesai tanpa memikirkan bagus atau tidak hasilnya, hanya beberapa lukisan yang
terpajang menghiasi ruangan rumah Inayah. sehari penuh hanya menata persiapan
pameran, akhirnya malam ini tinggal pemantapan atas persiapan-persiapan yang
kiranya besok dibutuhkan. Setelah semua selesai, tanpa berbicara banyak dengan
Inayah, aku pun langsung beranjak pulang.
Sesampai di
rumah, aku istirahat sejenak sambil melihati terus foto-foto kebersamaanku
dengan Inayah, satu persatu kubuka seraya mengingat kembali kebersamaan itu.
kadang kekonyolan yang kita lakukan saat bersama-bersama maelah itu yang
menjadi cerita terbaik ketika mengenangnya. Tak peduli Inayah menyukai atau
tidak atas tingkah kekonyolanku, meski harus menjadi orang lain, tidak kenal
malu, dan tak mengenal batas hu-bungan lelaki dan wanita, yang jelas kebersamaan
yang pernah terjaling antara aku dan Inayah kini membuatku tidak berhenti
tersenyum saat mengingatnya.
Bersama malam,
aku menulis sepucuk surat untuk Inayah, surat ini yang akan berbicara kepada Inayah tentang perasaanku. Meskipun,
surat ini tak akan berpengaruh bagi Inayah, namun surat ini kutulis hanya untuk
memenuhi keinginan hati yang selama ini tak mampu terucapkan. Jika suatu ketika
aku akan menyesal dengan surat ini, maka aku menyesali tentang sebuah cinta.
Dan jika aku terus di bahagiakan lantaran surat ini, maka telah kutemukan
jodohku. Jika suatu ketika surat ini tak mampu menyuarakan dirinya, maka itu
berarti isi yang ada di dalamnya telah aku suarakan dengan caraku tersendiri.
Malam semakin
larut, rasa capek yang kurasakan setelah hari ini penuh dengan kesibukan,
akhirnya kulelapkan saja tidurku bersama kenyataan yang akan kutinggalkan dalam
ruang mimpiku.
Pagi ini,
adalah awal hari yang sangat penting bagiku, karena itu sebelum matahari jauh
meninggalkan ufuknya, kukerahkan segera langkahku menuju ke rumah Inayah, tidak
boleh ada waktu yang terbuang sia-sia, jika ingin mencapai kesuksesan acara
pameran, maka aku harus memaksakan diri untuk melakukannya semaksimal mungkin.
Jam sudah
menunjukkan pukul 10: 20, namun tak satupun pengunjung yang datang,
aku mulai ragu akan datangnya pengunjung. Namun, sesuai rencanaku bahwa aku tak
terlalu memperdulikan banyak sedikitnya pengunjung yang terpenting selesainya
acara hari ini. Tetapi, aku juga tidak boleh hanya diam lantaran tidak ada
pengunjung. Karena itu sambil menunggu pengunjung datang, aku menyibukkan diri
untuk menata satu persatu lukisan, dan memperhatikan dengan seksama segala
sesuatu yang mungkin akan berpengaruh oleh pengunjung.
Di tengah
kesibukanku, kulihat Inayah juga sedang sibuk dalam mengatur kursi-kursi
ruangan. Entah mengapa timbul rasa bersalah dalam benakku karena telah
melibatkan wanita itu dalam acaraku ini. Dia semestinya tidak melakukan
pekerjaan seperti ini, dia sekarang harusnya berada di masjid, memberikan
pengajian kepada masyarakat, menyiarkan ajaran Islam. Tetapi kali ini, karena aku,
seorang wanita rela meninggalkan tugasnya sebagai seorang ustadzah, dan memilih
untuk membantuku.
Entah apa yang
dipikirkan oleh Inayah, meski pekerjaan ini sebelumnya dia tidak menyukainya,
namun kali ini dia terlihat bersemangat menatap satu persatu lukisan yang
terpampan. Anehnya, seakan tidak terasa rasa capek bagi wanita itu. Melihat
tingkah Inayah, aku mencoba mnghampirinya.
“Ina, kamu
istirahatlah, dari tadi aku lihat kamu sibuk”
“nanti aku
istirahat, kita harus siap-siap untuk menyambut tamu” kata Inayah sambil terus
membersihkan meja-meja ruang tamu.
Melihat tingkah
Inayah, membuatku semakin kebingungan, di satu sisi aku tidak tega melihatnya,
mungkin karena baru kali ini aku melihatnya bekerja keras membantuku. Tetapi di
sisi lain aku juga senang, lantaran menjalani hari terakhir bersamanya. Tak
peduli dalam keadaan terluka atau bahagia, Inayah menjadi milikku atau tidak,
cukup bersamanya maka sungguh itu telah membuatku lengkap sebagai sosok orang
yang mencintainya.
“Ina, aku ingin
mengatakan sesuatu” kataku dengan nada pelan, nampaknya isi surat yang tertuang dalam kertas akan terungkap
langsung tanpa melalui surat.
Inayah
menghentikan pekerjaannya, “sesuatu, apaan?” tanya Inayah.
“beberapa hari
yang lalu, aku sering memperhatikan kamu bersama lelaki yang datang saat
sepeninggal ayahmu” ungkapku.
“Bang Dedi ?” kata Inayah.
“iya, mungkin
itu” sahutku membayangkan lelaki yang bernama Dedi. “kamu punya hubungan khusus
yah dengan lelaki itu, Dedi?” tanyaku sedikit berani.
“iya, tapi
dulu”
“maksudnya”
kataku memotong perkataan Inayah.
“dulu kami
sempat menjaling hubungan, saling menyayangi, saling melengkapi, saat itu dia
berbicara dengan ibu dan mengungkapkan keinginannya untuk melamarku, mungkin
saat itu belum saatnya aku menikah karena aku baru lulus SMA, sehingga ibuku
menolak lamarannya, ibu menyuruh untuk menyimpan niat untuk menikah itu, dan
fokus pada belajar dulu. Dedi, dianggap sudah menjadi bagian kelaurga kami,
setiap kali dia datang ke rumah, selalu bersama-sama keluarga. Tetapi, beberapa
bulan kemudian, ibu saya meninggal dunia dengan pernyataan atas belum merestui
kami untuk menikah, karena itu sekalipun aku sangat ingin menikah dengan Dedi,
tetapi ibu belum pernah mengatakan akan merestui keinginan kami untuk menikah.
Sehingga aku dan Dedi menjalani hubungan sebatas saling mencintai, namun karena
Dedi sering kali dipaksa oleh keluarganya untuk menikah, sehingga kami memilih
untuk berpisah dengan baik-baik, dan Dedi pun menikah dengan wanita pilihan
keluarganya” jelas Inayah menceritakan kisah-nya dengan lelaki yang pernah
mengisi hidup.
“bagus yah
kamu, meski berpisah namun berpisah dengan baik-baik, bahkan sampai sekarang
Dedi masih datang ke keluarga kamu, berbeda denganku” kataku sedikit mengingat
tentang perpisahanku dengan Alya.
“tapi, hanya
beberapa bulan bersama istrinya, Dedi lalu bercerai dengannya” kata Inayah,
meneruskan cerita tentang mantan pacarnya.
“kenapa bisa?”
“tentang alasannya,
aku juga tidak tahu, yang aku tahu rahasia yang selama ini kamu sembunyikan
padaku tentang Dedi” jelas Inayah melihat dalam ke arahku.
“maksudnya?”
tanyaku heran.
“kamu tidak
perlu lagi menyembunyikan semuanya kepadaku, aku sudah tahu kalau kamu yang
menyuruh Dedi untuk datang saat ayahku di rumah sakit”
Perkataan
Inayah membuatku mulai gugup mengakuinya “saat di rumah sakit, kulihat seorang
wanita tengah menangisi ayahnya, saat itu kuingat masa kecilku tentang seorang
yang kejadiannya persis denganmu, duluh wanita itu juga itu menangisi ayahnya
yang juga tak berdaya, karena aku tidak tega melihatnya terus menangis,
akhirnya berbagai cara untuk berbicara padanya, sampai wanita itu tenang dan
setelah itu aku dan dia menjadi akrab, bahkan menjaling hubungan lebih dari
teman. Tapi seiring berubahnya waktu, kisah kami juga berubah. Saat kulihat
dirimu menangisi ayahmu, aku tidak ingin mendekatimu lalu menenangkanmu, karena
aku taku kalau kamu nantinya akan sama dengan wanita masa laluku. Karena itu
aku menghubungi orang-orang yang dekat dengan keluargamu, aku tidak pernah
menyangkah bahwa yang datag adalah orang yang pernah menjadi masa lalumu”
terangku mengakui keberadaan Dedi.
“tidak hanya
itu, setelah melihatku akrab bersama Dedi, kamu sengaja tidak mendekatiku lagi,
kamu berusaha menghindariku, bahkan ketika aku butuh sesuatu, sebenarnya yang
lebih tahu tentang apa yang aku butuhkan adalah kamu dan kamu bisa saja
melakukannya, tetapi kamu malah memberikan semuanya kepada Dedi, sehingga
terasa Dedi yang selalu melangkapi hidupku setelah kepergian ayahku, padahal
semua itu bukan murni dari Dedi, melainkan bayangan perasaanmu yang tergambar
melalui perhatian Dedi padaku, kenapa ndi? Kenapa kamu sembunyikan semuanya?” jelas Inayah menangis seraya
menundukkan kepalanya.
Setelah mendengar cerita Inayah, aku hanya terdiam, cukup lama keadaan saling terdiam satu sama
lain, pikirku bahwa semua rahasia tentang perasaanku telah dia ketahui, keadaan kami
sungguh tak ada lagi hijab yang menghalanginya. Mungkin ini adalah kesempatan untuk mengungkapkan
perasaanku, apa-pun jawabannya, aku siap menerimanya.
“Ina..” kataku
melihatnya dalam, seraya memikirkan kata-kata yang tepat untuk aku ungkapkan.
“iya?” jawabnya
yang juga menatapku.
“aku cinta
kamu, maukah kamu jadi pacarku?” bibirku berucap secara spontan, karena
perkataan itu kurasakan rasa malu yang seakan menampar jiwaku, aku bergetar
setelah mengucapkan kata itu, aku menundukkan kepalaku lantaran malu. Keadaan
seketika menjadi sunyi, pera-saanku mulai memberontak ingin mengatakan
pernyataan cinta yang selama ini tersimpan untuk Inayah, namun aku menahannya,
aku tidak ingin karena keegoisan perasaanku ini sehingga memutuskan pertemananku
dengan Inayah, kupaksa agar bibirku tidak berucap lagi, kutundukkan kepalaku
sekuat mungkin.
“cinta tidak
cukup untuk hubungan pacaran. Datanglah nanti kalau kamu sudah siap jadi
imamku” jelas Inayah dengan senyumannya.
Seketika saja
kata-kata Inayah membuyar
angan-anganku menjadi sebuah impian, seakan membisikkan kerinduan untuk
menjaling mahligai cinta sejati.
“Insya Allah” kataku
dengan senang mengiyakan permintaan Inayah, seraya menggenggam tanganku dengan
yakin seyakin-yakinnya, bahwa Inayahlah yang akan menjadi jodohku.
Cukup lama kami
saling terdiam dan hanya tersenyum satu sama lain, tiba-tiba seseorang memasuki
ruang pameran kami, orang itu membubarkan romantisme yang kubangun bersama
Inayah.
Namun, apa yang
kulihat di hadapanku, hampir saja aku terjatuh tak berdaya melihatnya, seorang
wanita yang telah lama meninggalkanku, tiba-tiba kedatangannya menyisipkan luka
di saat ku akan memulai kisah baru bersama Inayah.
“Assalamu
alaikum” ucap Alya di sela-sela percakapanku dengan Inayah.
“Alya” kataku
sangat kaget melihatnya.
“kamu kenal dia
?” kata Inayah melihat Alya.
“iya” kataku
pada Inayah, “aku permisi dulu ina, aku ingin bicara dengan Alya” kataku dengan
perasaan malu atas kedatangan Alya.
“iya, silahkan”
Inayah mengiyakan permintaanku.
Aku menarik
Alya keluar dari ruangan pamerann, dan menuju kular beberapa langkah dari
rumah.
“kenapa kamu
datang?” kataku dengan suara yang keras, bahkan sedikitpun tak sudi melihat ke arah Alya.
“kamu ingat
dengan orang yang suka lukisan wanita kamu, yang kemudian kamu suruh untuk
datang saat pameran ?” kata Alya, mengingatkanku dengan pelanggangku yang
sangat menginginkan lukisanku, namun aku menolaknya.
“kau orangnya
yang ingin membeli lukisan itu ?” kataku heran dan penuh rasa tidak percaya.
Alya mengangguk
mengiyakan pertanyaanku, “aku datang dari Makassar langsung ke sini, hanya
untuk bertemu denganmu” suara Alya terdengar bercampur tangisan, namun itu
tidak membuatku menoleh ke arahnya.
“kamu dari
Makassar ke sini hanya untuk bertemu denganku, apakah kamu tidak merasa itu
adalah tindakan bodoh?”
“entah yang
kulakukan ini kebodohan atau tidak, aku hanya menuruti kerinduan cintaku yang
selama ini masih tersimpan untukmu”
“kerinduan
cinta katamu? Bohong!” kataku menatap marah pada wanita itu.
“aku tidak
berbohong” kata Alya dengan suara tangisannya.
“aku tidak
percaya lagi dengan ucapan cintamu, itu semua kebohongan semata yang kau
lontarkan, agar aku terpedaya, kemudian kau tinggalkan aku dalam keadaan lemah”
“saya minta
maaf, kalau dulu aku meninggalkanmu tanpa alasan yang jelas, dan tak memberimu
kabar, maafkan aku”
“maaf ?,
tidakkah kau sadari betapa besar dosa yang kau perbuat lantaran meninggalkanku,
tidakkah kau sedikit menoleh dan menanyakan kabarku dahulu, sungguh dulu aku
terjerumus jauh dari kehinaan hidup, karena dirimu! Karena dirimu, aku dulu
tidak percaya dengan keyakinan cinta, bahkan karena kau aku diusir oleh
masyarakat di kampungku, hampir saja aku mati tanpa tempat tinggal,
bertahun-tahun kau siksa diriku dengan perpisahan yang kau, kemudian kini kau
datang dengan permintaan maafmu, tidakkah kau malu sebagai orang Makassar yang
telah membuat seorang lelaki terhina di kam-pungnya, membuatku meninggalkan mahligai
keluargaku, bagaimana mungkin kamu bisa dengan tenang mengatakan maaf ?”
“aku tidak
tahu, apa yang harus aku lakukan, agar kamu memahami apa yang sebenarnya
terjadi semenjak kita berpisah, mungkin kata maaf pun tak cukup mewakilinya.
Tidakkah kau memperta-nyakan bagaimana keadaanku saat dulu kita berpisah ? saat
itu aku tinggalkan per-nyataan ridhoku kepada ibuku, karena menolak
perjodohanku dengan lelak jadi lain, beberapa kali aku kabur dari rumah, agar
ibuku mengerti bahwa hanya kamu yang ingin aku jadikan imamku, aku
men-inggalkan rumah, dan menuju ke rumah pamanku, namun di sana aku malah
mendapatkan cemohan karena dianggap sebagai anak yang membangkah permin-taan
orang tua. Sudah berbagai cara aku yang kulakukan untuk mengubah kehendak
ibuku. Namun, tekad ibuku untuk menikahkanku dengan lelaki lain tak pudar
sedikitpun. Sehingga dengan terpaksa aku
dinikahkan dengan lelaki pilihan ibuku. Hanya berselang beberapa bulan kami
bersama, bahkan belum sempat membang-un mahligai keluarga, sebagaimana yang
diimpikan oleh keluarga, tetapi aku memu-tuskan untuk bercerai, karena meski
harus tetap bertahan bersamanya, namun pernikahan itu akan percuma saja jika
tidak ada cinta yang menghiasinya. Sungguh cintaku telah tersimpan dalam
untukmu.” Jelas Alya, mencoba
mengambil rasa simpatiku.
“tidak!!, aku
tidak mungkin lagi bersamamu, lebih baik kau buang jauh-jauh cintamu itu, jika
tidak, maka cintamu padaku kupastikan akan sia-sia. Pulanglah, mengenai lukisan
wanita itu, aku tidak akan memberikan siapapun, karena dalam lukisan itu ada
diriku, dan aku tidak akan memberikannya ke sembarangan orang, apalagi
kepadamu” ungkapku berusaha tegas pada wanita itu.
“kalau itu
keinginanmu, maka aku akan pergi, tapi ada sesuatu yang ingin saya sampaikan”
kata Alya menatapku.
“ibumu sangat
merindukanmu, sekarang dia sedang sakit lantaran rindu ingin bertemu denganmu”.
“apa!! Ibu
sedang sakit??” Perkataan Alya tentang ibu membuatku tiba-tiba tersuntuk
kesakitan “Astagfirullah” semua ini adalah kesalahanku sehingga ibu jatuh
sakit.
“karena itu,
ibu menyuruhku untuk menjemputmu”
Tanpa berpikir
panjang, aku langsung berlari memasuki rumah Inayah.
“Ina..!!”
teriakku mencari Inayah.
“iya, ada apa?”
“kita
selesaikan saja acara ini sekarang, karena aku akan langsung pulang ke
Makassar” kataku mendesak.
“iya, tapi
kenapa?” Inayah sangat heran melihat tingkahku.
“ibu sedang
sakit” kataku sambil melangkah cepat keluar dari rumah Inayah.
Saat aku hendak
menuju ke Alya, kulihat dia sedang bersama lelaki lain, seketika pertemuan Alya
dengan lelaki itu membuatku heran, lelaki itu adalah lelaki yang sering bersama
Inayah, Dedi.
“Andiii..!!”
teriak Inayah memanggilku.
Aku
menghentikan langkahku lalu menoleh kepadanya, Inayah menghampiriku.
“kamu yang
hati-hati, aku menunggu kedatanganmu di sini” kata Inayah mengingatkanku dengan
janjiku.
Aku melihatnya
sangat dalam “iya, pasti aku akan kembali sesegera mungkin”. Kataku meyakinkan
Inayah.
Belum selesai
percakapanku, tiba-tiba Inayah melihat ke arah Alya dan Dedi.
“Dedi,” kata
Inayah dengan suara sedikit heran melihat Dedi akrab berbicara dengan Alya.
Percakapan mereka mem-buat aku dan Inayah semakin penasaran,
akhirnya kami menghampiri mereka.
“Dedi” kata
Inayah heran memasuki percakapan Dedi dan Alya.
“Alya” kataku
yang juga heran deng-an pertemuan Alya dengan Dedi.
Pertemuan
mereka seolah sudah terbiasa, bahkan lebih dari pertemuan seorang teman,
sampai-sampai saat aku dan Inayah datang, mereka seketika terlihat sangat
gugup, seakan tengah terjadi sik-saan di antara mereka.
“Inayah, ini
wanita yang pernah kuceritakan padamu” kata Dedi memperkenalkan Alya kepada
Inayah.
Mendengar
perkataan Dedi, ragaku terbakar mendengarnya, rasa kejut seketika mengugupkan
pertemuan itu “Alya, itukah lelaki yang
barusan kau ceritakan?” tanyaku heran pada Alya tentang lelaki yang di
sampingnya.
Alya
menundukkan kepalanya, tidak ada jawaban, tidak ada suara, pertemuan seketika
menjadi sunyi, hanya kekakuan yang menyelimut pertemuan ini, Alya nampaknya
sangat malu mengakui lelaki itu di hadapanku, berbeda dengan Dedi, meski terlihat
takut, tetapi dia tetap memperkenalkan Alya kepada Inayah, di saat yang sama
Inayah mencoba berusaha mengerti tentang Dedi dan Alya, dia berusaha menyambut
baik kehadiran Alya dalam pertemuan ini, sementara aku hanya terus terdiam, aku
merasa akan tersudutkan dalam pertemuan orang-orang ini, Alya yang telah
kutetapkan untuk melepaskannya, ternyata adalah mantan istri Dedi, sementara
keakraban Dedi dan Inayah tidak pudar meski mereka terpisahkan oleh Alya,
bahkan Inayah menyambut baik kedatangan Inayah.
Keadaan ini
membuatku hanya terdiam menyaksikan kenyataan yang tiba-tiba mengasingkan
diriku. Aku tidak mungkin memperkenalkan Alya kepada Inayah, tidak mungkin aku
perkenalkan wanita yang sudah menjadi masa laluku, kepada wanita yang baru saja
kutetapkan sebagai masa depanku, tidak mungkin.
“aku Inayah”
tiba-tiba Inayah mendekati Alya dan memperkenalkan dirinya. Tingkah Inayah
membuatku tercengang, aku semakin bingung harus berbuat apa melihat kedua
wanita itu saling menyapa satu sama lain.
“saya Alya”
kata Alya, juga mem-perkenalkan dirinya.
Alya, Inayah,
maupun Dedi, ketiganya saling menyapa dengan ramahnya, sementara aku terpaksa
harus berpura-pura tersenyum melihat mereka saling menyambut satu sama lain.
Tidak ada cara lain untuk menyembunyikan kisahku dengan Alya kepada Inayah,
kecuali berbohong. Inilah ketakutanku yang mendalam, mungkin karena diantara
semua tentang diriku, aku belum pernah menceritakan tentang kisah percintaanku
dengan Alya kepada Inayah.
Setelah lama
melihat mereka saling berbagi cerita satu sama lain, tiba-tiba ponsel Alya
berbunyi, Alya mengangkat ponselnya, hanya
berselang beberapa detik Alya mendekatkan ponselnya di telinganya, tiba-tiba dia menjatuhkan
ponselnya. Kejadian itu membuat aku, Inayah dan Dedi kebingungan.
“Andi, ibu
kamu...” kata Alya mendekatiku. Aku sedikit canggung saat di dekatinya karena
kehadiran Inayah. Tetapi ketika mendengar Alya menyebut ibuku, aku tiba-tiba
tidak memperdulikan Inayah lagi.
“ibu kenapa?”
kataku mendesak Alya untuk memberitahukanku tentang apa yang terjadi pada
ibuku.
“ibu kamu,”
Alya sejenak terdiam, air matanya mulai membasahi pipinya “meninggal” kata Alya
menangis keras.
Mendengar
perkataan Alya, ragaku terasa mati, tanganku kaku, kakiku melemah, jiwaku
meleleh tak sanggup menahan sakitnya ditinggal mati oleh wanita surgaku, air
mata mengalir sederas-derasnya, nafasku sesak tak terkendali, tak sanggup
kutahan rasa sakit itu, bibirku tak berhenti berucap “ibu, ibu, ibu” tak kurasa
badanku telah jatuh ke tanah, hanya memanggil terus wanita surgaku, sampai
pandanganku mulai gelap, sedikitpun tak kelihatan, hanya kegelapan, gelap, dan
kehampaan menyekikku.
Tiga sampai
empat jam aku terbaring tak sadarkan diri, kukira aku sedang ber-tarung melawan
kegelapan, dan kalah karena dia terlalu kuat sehingga aku harus melepaskan
nyawaku. Anehnya, bibirku tidak berhenti memanggil wanita Tuhanku, “ibu,
ibu, ibu” terucap terus dalam ketidak sadarku. Kugunakan keadaanku ini mencari
sosok ibuku, kulihat ibuku berpakaian putihnya sedang memanggilku terus menerus,
kucoba menghampirinya, namun semakin kudekati, ibu semakin menjauhiku, aku
berteriak memanggilnya “ibuuu..!!” namun beliau tak mendengarkanku, ibu terus
menjauhiku, seolah akan pergi jauh, jauh ke atas langit, kulihat ada cahaya
sedang menarik tangan ibuku, cahaya itu sangat kuat dan cepat. Segera
kukerahkan kekuatanku untuk berlari mengejar ibu yang tengah tertarik oleh
cahaya yang berasal dari langit itu, namun semakin aku mengejarnya, cahaya itu
semakin cepat membawa lari ibuku, hingga ibu dan cahaya itu menghilang
tiba-tiba, aku berteriak sekencang-kencangnya, “ibuuuu” mereka menghilang,
ibuku menghilang, pergi, ibuku meninggalkanku sendirian, “ibu aku takut bu”
kataku seraya melihat sekelilingku yang penuh kegelapan, “aku takut bu”,
badanku dingin menggigil, mat-aku seakan buta tak melihat secerca cahaya pun,
aku hanya bisa duduk merangkul kakiku, sambil terus menangis, mencari ibuku,
terus mencarinya. Tapi tak kutemui, semua gelap, gelap dan gelap membawa sakit.
“Andi?”
terdengar suara sedang memanggilku, namun aku tak memperdulikannya, aku masih
merasa ketakutan, jangan sampai suara itu adalah cahaya tadi yang membunuh dan
membawa ibuku.
“Andi?” suara
itu masih memanggilku, kututup keras kedua telingaku, berusaha sekuat tenagaku
agar suara itu tak terdengar lagi. Sampai tidak ada suara apapun terdengar, aku
mulai melepaskan tangan yang menutup telingaku, kulihat ke sekelilingku, sudah
aman, tak ada lagi suara-suara yang terus memanggilku.
“Andi?”
tiba-tiba suara itu lagi-lagi memanggilku, dengan keadaan tertekan, kubungkam
tubuhku untuk melawan suara itu, aku bangkit ingin mencari suara itu, jika
kudapat aku ingin bertanya banyak hal tentangnya, dan jika tak memenuhi permintaanku,
maka akan kubunuh dia. Dengan marah aku berteriak “siapa kau?” teriakku, lalu
aku tersadar.
“kamu kenapa
ndi?” tanya Inayah, memegang tanganku, seraya di sampingnya kuliat Alya dan
Dedi. Badanku terasa sakit, air mataku masih belum berhenti, pikiranku
berhenti, dan jiwaku melayan.
“ibu, ibu, ibu”
bibirku berucap lemah memanggil wanita Tuhanku, nafasku sesak tak kuat menahan
rasa sakit. “aku ingin pulang, pulaaang, pulaaaaang…!!!” suaraku dengan
sendirinya memberontak.
“aku mau
pulang” kataku bangun dari tempat tidur.
“tapi kamu
sedang sakit” kata Inayah
“istirahatlah
dulu, kalau keadaanmu sudah membaik barulah pergi, perjalanan dari Jogja ke
Makassar sangat jauh” Dedi menambahkan.
“aku tidak
apa-apa, aku baik-baik saja” kataku memaksakan diri untuk bangun. “saya permisi
dulu, aku minta maaf karena telah merepotkan kalian, ayo Alya” setelah
mengucapkan kata perpisahan, aku pun mengajak Alya untuk berangkat menuju
Bandara dan langsung ke Makassar.
. . . . .
Kulihat dari
kejauhan, bendera putih telah terpampan di depan rumahku, orang-orang tidak
henti-hentinya meramaikan rumahku, aku masih tidak percaya bahwa aku harus
kehilangan seorang ibu, aku melangkah mendekati rumah yang telah lama kutinggalkan,
semakin kudekati rumah itu semakin kurasakan kesepian di tengah keramaian ini.
dalam langkahku memasuki kediamanku, tiba-tiba seseorang mendatangiku.
“tabe’, kapanki
datang?” tanya pak RT menyambut kehadiranku.
Tanpa menjawab
pertanyaan pak RT, aku langsung melangkahkan kaki memasuki ruangan yang tengah
dikerumuni banyak orang. Lagi-lagi ragaku terasa meleleh, jiwaku menggigil saat
melihat jasad ibuku sedang terbaring tak berdaya. Kubuka kain yang menutupi
wajah ibuku, kulihat mata ibu tertutup rapat seakan tak akan terbuka untuk
selamanya, kulihat mulut ibuku yang juga tertutup rapat, seakan tak akan
berbicara lagi untuk selamanya. Sungguh kulihat sosok wanita Tuhanku tengah tak
berdaya, dia hanya terdiam di saat kedatanganku.
Inilah ibuku,
wanita teristimewah yang diciptakan oleh Tuhan, dia yang telah mempertaruhkan
nyawanya demi kehadiranku di dunia ini, dia yang dengan kasih sayangnya
memperkenalkaku dengan ciptaan-ciptaan-Nya, bahkan dialah wanita yang dengan
tegarnya menjadi ibu sekaligus ayah dalam keluargaku.
Tatkalah ibu
sedang dalam keadaan mencuci, memasak, mandi, bahkan ketika ibu sedang tertidur
lelap, seketika saja semua itu buyar bersama tangisan bayinya. Kalau aku tidur
dan kurasakan dinginnya angin merasuk dalam tubuhku, di saat itu ibuku hadir
memberikanku kehangatan kasih sayangnya. Tidak jarang aku yang tengah tidur
terlelap di tengah malam, di mana semua orang telah berada di dunia mimpinya
masing-masing namun di saat itu ibuku bangun meninggalkan kenikmatan
bunga-bunga tidurnya, untuk bermunajat tahajjut pada Tuhan, memohonkan bimbingan
kebaikan untuk anaknya, mengungkapkan curahannya pada Tuhan, agar anaknya kelak
menjadi anak yang shaleh, membawa kebahagian keluarga, yang setiap perbuatan
anaknya berbuah senyum untuk ibu. seorang ibu selalu mendoakan anaknya dalam
ketidak tahuan anaknya.
Aku sebagai
anaknya, akan bersedia menjadi saksi atas pengorbanan yang dilakukan oleh ibuku
selama ini, agar kelak ibu mendapatkan tempat dan kedudukan yang mulia disisi
sang pemilik surga. Bila perlu aku yang akan berbicara langsung dengan Tuhan untuk
diberikan balasan yang berlimpah atas prestasi-prestasi kebaikan yang diraih oleh ibuku ini.
“Andi, sebentar
lagi akan dilakukan pemakaman untuk ibumu” kata pak RT yang duduk di depan
orang-orang di sekitar ibuku.
“kau yang kuat
ndi, sabar, insya Allah ada hikmahnya” kata paman aku, Dg. Tunrung.
Aku hanya
mengangguk seraya melihati terus jasad ibuku, terus melihatnya, sungguh banyak
pengorbanan yang di lakukan ibu demi anaknya ini, bagaimana mungkin aku bisa
melepaskannya begitu saja. Beliaulah yang menjadi penyinar dalam gelapku,
menjadi kehangatan dalam kedinginan, menjadi cinta dalam kebencianku, beliau
yang selalu hadir di saat orang-orang meninggalkanku, masih teringat dengan
jelas pengorbanannya yang tiada terbatas, di saat ketidaktahuanku atas apa yang
ada di dunia ini, dia hadir dengan kasih sayangnya mengajariku, membimbingku
dan menuntunku dalam menguasai kehidupan ini.
Beliaulah, yang
dengannya aku bisa melepaskan dahaga kesepianku, menghilangkan air mata
kesedihanku. Beliaulah yang dengannya aku mempelari merangkak, berjalan sampai
aku bisa berlari menggapai impianku. Karena beliaulah aku bisa menatap
kehidupan, karena beliaulah aku mampu menapaki kehidupan, dan karena beliaulah
aku mampu mengenal Tuhanku.
Setiap yang
bernyawa pasti akan mendapati kematian, entah itu secepatnya ataukah dalam
waktu yang lama. Bagiku kematian ibuku sangatlah cepat, belum rasanya aku
menikmati kebersamaan dengannya, bahkan aku belum pernah membuatnya bangga.
Rasanya hanya masa kecilku yang kurasakan saat-saat bersama ibu, adapun saat
remaja, sungguh masa itu telah membutakanku untuk berbuat baik kepadanya, dan
sejak itu aku terusi dan meninggalkannya, saat itu kusadari tentang kesuksesan
yang mungkin akan membahagiakannya, sehingga aku menghabiskan waktu rantauku
demi mengejar kesuksesan itu, dan demi baktiku pada ibu, namun di tengah
perjalanan kaririku, kudengar rintihan kerinduan ibu yang meng-getarkan jiwaku
dan terbersik untuk segera menemuinyam. Namun, bukan senyumannya yang kudapati,
bukan pula kebahagiaan yang menyambutku, tapi jasad ibu yang tak berdaya
kudapati, dan itu sungguh menyiksa batinku. Sampai nanti Tuhan memanggilku, aku
hanya ingin setelah kematianku agar dipertemukan dengannya Ibuku.
Kini, hanya
sabar dan keikhlasan yang dapat aku
lakukan, bersama do’a kulepaskan wanita surgaku menemui Tuhannya. Semoga Tuhan
mengasihi ibuku, sebagaimana beliau mengasihiku di setiap tahu dan ketidak
tahuanku., amin.
Jiwaku membeku
tak berdaya, tatkalah menyaksikan orang yang terpuja dalam hidupku di kubur dalam
galian tanah. Sungguh beliau telah kembali ke asalnya, meninggalkanku dengan
sejuta kerinduan. Jika bisa aku memilih dan diizinkan, aku ingin masuk ke dalam
ruangan kuburan itu, aku rela melepaskan kesuksesanku, bahkan kehidupanpun aku
rela melepaskannya, asalkan aku bisa bertemu dan bersama ibuku, sungguh yang
demikian itu adalah hajatku, namun apa dayalah aku, bahkan mungkin ketika aku
meminta izin ibu ataupun Tuhan, tetapi keinginanku yang demikian tidak akan
tercapai, bahkan ibu akan sedih mendengar hajatku itu.
Tidak ada yang
dapat kulakukan untuk bertemu dengan orang yang menjalani kehidupannya di alam
yang berbeda denganku, selain doa’. Mungkin itulah satu-satu cara agar aku
dengan ibu tetap saling terhubung. Doa menjadi Penghubung setia, untuk setiap
yang merindukan pertemuan satu sama lain. Bahkan doa menjadi obat atas
kerinduan yang tak mampu diobati oleh obat apapun, iya, apapun itu.
Istilah
perpisahan ataupun terputus tidak akan berlaku dalam konsep do’a, orang bisa
berbeda tempat, tetapi orang itu akan tetap terhubung oleh do’a, seperti itulah
aku dengan wanita surgaku. Sung-guh kepergiaannya tidaklah menjadi pemutus
hubunganku dengannya, karena aku punya do’a untuknya, dan dalam do’a kusisipkan
cinta seribu kerinduanku untuk ibuku.
Sudah seminggu
sejak kepergian ibuku, mungkin sudah waktunya aku melanjutkan perjalananku ke
Jawa, di daerah ini, belum rasanya aku berhak menempati daerah ini kalau belum
kudapati impianku.
Akhirnya,
kuputuskan untuk melanjutkan perantauanku, dan meninggalkan rumah kediamanku.
Di sana, di pulau jawa, seseorang telah menungguku, inilah saatnya untuk aku
penuhi janjiku sebagai seorang lelaki yang mencintai wanita, Inayah.
“Assalamu
alaikum” ucapku mengetuk pintu rumah Inayah.
“waalaikumussalam”
jawab Inayah seraya membuka pintu rumahnya. “Andi?, kapan tiba?” katanya
tersenyum menyambutku.
“Alhamdulillah,
barusan, sengaja aku langsung ke sini, untuk bertemu denganmu, aku ingin
memenuhi janjiku” jelasku setelah menempuh perjalanan pan-jang dari Makassar ke
Jogja.
Tanpa
menjawabku Inayah tersenyum, aku merasa sangat senang ketika melihatnya
tersenyum karena senyum yang satu ini berbeda dari biasanya, seakan senyum itu
menjadi pintu pertamaku untuk memasuki ruang mahligaiku dalam kekeluargaan.
“boleh kita
berbicara? di taman” tanyaku memberanikan diri.
Inayah hanya
mengangguk, nampak-nya dia mulai serius saat bersamaku, akupun demikian.
Berbeda dengan biasanya yang cukup saling membahas cerita layaknya seorang
teman, atau malah bercerita omong kosong satu dengan yang lainnya. Kali ini aku
telah memantapkan hajatku untuk cerita baru bersama Inayah, karena itu baik
berbicara maupun bertindak di hadapannya, harus kulakukan dengan
sebaik-baiknya.
“sebelum kita
menjaling hubungan serius, aku ingn menceritakan tentangku” kataku membuka
percakapan yang sangat serius dalam pertemuan kali ini.
“tentang kamu?”
tanya Inayah.
“iya tentang
aku, cerita tentangku”
“kalau kamu mau
bercerita tentang masa lalumu, aku sudah tahu” kata Inayah.
“kamu sudah
tahu, maksudnya?” kataku heran.
“iya, aku sudah
tahu tentang masa lalumu bersama Alya, waktu kamu pingsang, Alya bercerita
banyak tentang hubungan kalian” katanya Inayah terlihat memahami masa laluku.
Aku sejenak
terdiam “karena kamu sudah tahu tentangku, maka tidak ada alasan bagiku untuk menyembunyikannya
kepadamu, apapun itu, intinya aku mencintaimu, maukah kamu jadi pendamping
hidupku” kataku memberikannya sebuah cincin lamaranku.
“Pendamping
hidup?” tanya Inayah, seakan kata pendamping hidup masih umum baginya. Mungkin
dia mengira sebagai pacar.
“iya,
pendamping hidupku, istriku, maukah kau menikah denganku?” kuulang permintaanku
seraya tanganku masih me-nyodorkan kotak kecil yang berisikan cincin lamaran.
Inayah terdiam,
kemudian perlahan dia menganggukkan kepalanya “iya” kat-anya sembari tersenyum
menerima lamaranku.
“Alhamdulillah,
terima kasih ina” kataku sangat berbahagia.
Dalam pertemuan
akan ada kebersamaan, dari kebersamaan menumbuhkan
rasa keakraban, dari keakraban itu muncul ikatan, sebuah
ikatan yang mengantarkan seseorang untuk saling melengkapi satu dengan yang
lain, cepat atau lambat kita pasti akan mengambil sebuah pilihan, apakah itu
memilih untuk melanjutkan ikatan itu, atau melepaskannya. Karena itu, pertemuan
hari ini adalah awal menjalani sebuah hubungan yang kelak akan kau pilih.
Dalam kehidupan
ini, telah menjadi ketetapan bahwa lelaki dan wanita adalah makhluk yang
diciptakan untuk berpasangan, saling melengkapi, dan saling berbagi kasih
sayang. Setiap pertemuannya menimbulkan potensi untuk munculnya kesenangan satu
dengan lainnya, ketika kesenangan itu telah melekat dalam benak keduanya, maka
kesenangan itu akan terus berkembang sampai pada tahap kasih sayang, dan jika
kasih sayang itu masih terus menyelimuti benak keduanya, maka di saat itulah
timbul anugrah terbesar, yaitu cinta.
Karena cinta
menguatkan seseorang bukan melemahkannya, cinta memberikan penerangan bukan
menggelapkannya. Cinta memberikan keyakinan, bukan saling mencurigai, dan cinta
memberikan kenikamatan yang sebenarnya, bukan kenikmatan yang penuh tipu daya.
Cinta bu-kan nafsuh, dan nafsuh berbeda dengan cinta.
Keduanya merupakan dua hal yang cara berjalanannya sama, tetapi tempatnya
berbeda. Jika cinta berjalan di rel kebenaran, maka nafsuh berjalan di rel
kesesatan.
Cinta dan
nafsu, keduanya sangat sulit untuk membedakannya, tidak sedikit orang yang
mengatasnamakan cinta demi menghalalkan kemaksiatannya. Cinta itu suci, jangan
pernah kita mengotorinya dengan perbuatan bodoh. Kadang cinta tidak berdiri
sendiri, dia butuh wadah untuk menyuarakannya, dalam hal ini pernikahan adalah
rumah utamanya, karena dalam pernikahan, suami-istri sangat mengharapkan
keluarga yang sakinah, mawadda, warahma. Dan ketiga do’a ini tumbuh
dalam ringkup cinta. Dan cinta itu telah kusempurnakan dengan pernikahanku ber-sama seorang
wanita masa depanku, Ina-yah.
. . . . .
Setelah Inayah
sah menjadi istriku, aku berencana membawanya ke kampung halamanku untuk
memperkenalkannya dengan keluarga di kampung, sekaligus tinggal bersama dalam
satu atap di rumah kediamanku. Kelak
aku dan Inayah akan membangun keluarga baru di rumah itu. membuka lembaran baru
atas kekosongan rumah itu lantaran ditinggalkan pemiliknya, ayah dan ibuku.
Hari ini aku
sudah siap untuk melakukan perjalanan menuju ke kampung halamanku, kupersiapkan
barang-barang yang kelak akan menjadi kebutuhanku bersama Inayah. Kulihat
Inayah, masih belum yakin untuk bisa hidup beradaptasi di kampungku, mungkin
karena di jogja dan di Makassar banyak hal yang berbeda, mulai dari bahasa,
budaya, serta orang-orang yang dikenalinya.
“Mas, saat di
kampung, kamu jangan tinggalkan aku sendirian yah” minta Ina-yah, saat kami
duduk bersama di kursi ruang tamu untuk persiapan berangkat.
Aku
mendatanginya, dan memegang tangan Inayah “jangankan di kampung, di mana pun,
aku tidak akan tinggalkan kamu” kataku memanjakan istriku.
“ayo sayang,
kita berangkat” tambahku sambil beranjak mengangkat barang-barang menuju ke
sebuah mobil yang sedang menunggu kami untuk menempuh perjalanan ke bandara.
Perjalanan
panjang telah kutempuh bersama istriku tercinta, dari rumah naik mobil ke
bandara, di bandara Jogja naik pesawat langsung ke bandara Makassar. Di
Makassar aku langsung mengarahkan perjalananku ke sebuah kampung yang masih
termasuk daerah Makassar, bersama istriku akhirnya kulangkahkan kaki memasuki
rumah kedua orang tuaku, yang kini menjadi rumahku bersama istriku, Inayah.
Saat sampai di
rumah, berbagai keluargaku telah menyambutku di ruang tamu, segera saja
kusalami mereka satu persatu, dan kuperkenalkan istriku.
“ini istri
saya, namanya Inayah” kataku memperkenlkan Inayah. Inayah pun langsung member
salam kepada keluargaku.
“Alhamdulillah,
kami sangat senang melihat ananda Andi mempunyai istri yang sangat cantik dan
ramah seperti kamu nak” kata Dg. Tunrung, paman saya.
“dia ini
seorang ustadzah di jogja pak, setiap minggu dia mengisi pengajian untuk
masyarakat, dan dia juga yang membimbing saya selama di jogja” kataku
memperkenalkan kepribadian Inayah.
Inayah, sedikit
risih dengan perkataanku, mungkin baginya perkataanku terlalu berlebihan, tapi
bagiku itu adalah pujian seorang suami memilih istri yang shalehah bahkan
menjadi ustadzah.
“mas berlebihan
!” Inayah berbisik dengan suara keberatan. Aku hanya mem-balasnya dengan
senyuman.
“kalau begitu,
kalian istirahat dulu, pasti capek dari menempuh perjalanan jauh” kata paman
aku.
“iya” kataku
yang kemudian beranjak ke dalam kamar orang tuaku yang kini menjadi kamarku
bersama Inayah.
Ketika sampai
di ruang kamar, aku langsung membersihkan ruangan kamarku, kutata ulang
sebagian barang-barang di dalamnya, setelah semua beres kubersihkan, Inayah pun
kupersilahkan untuk istirahat lebih dulu.
“kamu
istirahatlah dahulu” kataku setelah membersihkan kasur ranjang.
“mas mau
ngapain?”
“aku masih mau
membersihkan kamar kita ini”
“iya, kalau
begitu aku tidur duluan yah mas” katanya sembari membaringkan badannya di atas
kasur.
Sementara aku
terus memperhatikan barang-barang yang kuanggap perlu membereskannya, satu
persatu kuangkat barang-barang itu keluar, lalu kusuruh keluargaku untuk
menyimpannya ke gudang. Di tengah kesibukanku membereskan barang-barang ruangan
kamar, kudapati kertas yang tersimpan dalam kotak kecil penyimpanan
barang-barang pribadi ibuku. Aku pun membuka kertas itu, lalu kubacanya.
“Assalamu
alaikum…
Nak, bagaimana
kabarmu, kudoakan semoga selalu baik dan senantiasa dalam naungan kasih sayang
Allah. Aku bahagia karena mempunyai anak yang memiliki semangat kerja keras
untuk mendapatkan kesuksesan, bermula dari Alya yang mendapati karyamu di
online, aku tidak henti-hentinya melihat karya-karya lukisanmu, karena itu aku
pernah menyuruh Alya untuk membeli lukisan kamu yang berjudul wanita, katanya
lukisan itu yang paling kamu sukai sehingga tidak ingin menjualnya, dan malah
menyuruh Alya untuk datang saat pameran lukisan-lukisanmu, aku sangat bangga
punya anak yang sudah sukses.
Aku ingin
bercerita tentang kehadiran Alya di rumah kita, waktu itu sehari dari
kepergianmu, Alya datang ingin mengucapkan selamat ulang tahun kepadamu, saat
itu dia datang sendirian karena ibunya telah meninggal dunia, aku sangat sedih
mendengarnya, karena sekarang dia telah kehilangan sandaran hidup, karena itu
aku memintanya untuk tinggal bersama ibu, selama Alya tinggal bersama Ibu, dia
sangat sopan dan ramah, akhlaknya yang baik itu membuatku senang bersamanya.
Kupikir kedepannya Alya bisa menjadi menantuku, sungguh yang demikian adalah
do’aku agar kalian bisa meneruskan dalam mahligai keluarga kita.
Jika suatu hari
aku tidak sempat berbicara kepadamu tentang pernikahanmu dengan Alya, kuharap
dengan surat ini, kamu bisa memahami maksudku nak.
Aku bangga
punya anak sepertimu nak, dan kudoakan kamu dan Alya bisa hidup dalam keluarga
yang sakinah, mawadda, warahmah, amin.”
Dalam do’aku,
Ibu
. . . . .
Entah harus
kurespon bagaimana tentang isi surat yang di tulis oleh ibuku ini, di satu
sisi aku
bahagia sebagaimana bahagianya ibuku yang tergambar dalam suratnya ini,
tetapi di sisi lain, seakan-akan surat ibuku ini menekanku, mencekikku tiba-tiba,
sampai tanganku bergetar kencang memegang surat ini, jiwa dan ragaku ketakutan
dengan maksud yang tertuang dalam tulisan ini.
Kenyataan yang
telah terjadi padaku, ternyata berbanding terbalik dengan do’a ibuku,
sedikitpun tak pernah terlintas padaku bahwa ternyata yang menginginkan lukisan
yang terus aku pertahankan adalah ibuku. Yang paling menusuk kehidupanku
tatkalah harus mengetahui bahwa ibu ternyata menginginkan Alya untuk menjadi
istriku.
Kini sebuah
surat dari seorang wanita Tuhanku telah hadir berkata di hadapanku tentang
keadaan ibuku, sebuah surat yang menyatakan terbukanya pintu surga dari do’a
ibuku, tetapi di saat yang sama, surat ini mencekikku seakan ingin menya-takan kedudukanku
di dalam neraka karena telah menyalahi isi yang terkandung di dalamnya. Di
tengah pembacaanku pada isi surat ibu, tanpa kusadari Inayah telah bangun dari
tidurnya. Tidak mungkin aku memperlihatkan surat dari ibuku ini padanya, dia
akan sangat terkejut melihat mendengar pernyataan ibuku, karena itu segeraja
kusembunyikan surat itu dari Inayah.
“ka, ka, Kamu
sudah bangun?” kataku gugup lantaran terkejut.
Inayah
mengangguk, “iya, emang ada apa mas, kok seperti ada yang disembunyikan”
katanya heran melihat tindakanku.
“ouh tidak papa
kok, aku hanya kecapean setelah membersihkan” kataku mencoba menghindar dari
kenyataanku.
Di tengah
percakapanku dengan Alya, tiba-tiba terdengar suara ketuka dari balik pintu
kamarku.
“Assalamu
alaikum” nampaknya itu suara paman aku.
“waalaikumussalam”
jawabku beranjak membuka pintu. Ternyata benar, suara itu milik paman. “ada apa
om?”
“ gini, di
masjid, setiap setelah shalat ashar, ada pengajian, tapi hari ini ustadzahnya
tidak bisa hadir, kebetulan om yang jadi ketua di masjid, karena itu aku minta
tolong kepada Inayah untuk mengisi acara sore ini, bagaimana?” jelas paman
Tunrung mencoba menawarkan untuk mengisi pengajian kepada Inayah.
“tunggu dulu
om, saya tanya orangnya dulu” kataku kemudian berjalan ke Inayah. “sayang, ada
acara pengajian di masjid setelah ashar, kamu di suruh mengisi pengajiannya,
bagaiman, mau nggak?”
“aku masih
capek mas, aku minta maaf mas, aku tidak bisa, kamu aja mas, lain kali baru
saya” kata Inayah yang terlihat masih kecapean.
“ouh, iya kalau
gitu kamu istirahat saja dulu sayang, biar saya yang ngisi” kataku
memanjakannya.
Inayah hanya
menganggukkan kepalanya lalu melanjutkan istirahatnya. Aku pun beranjak menemui
paman.
“ina, tidak
bisa, dia masih capek, biar aku saja yang ngisi” kataku kepada om tunrung.
Paman sejenak
terdiam, nampaknya dia memikirkan
sesuatu. “kamu yakin bisa mengisi pengajian?” kata paman meragukanku.
“InsyaAllah
saya bisa, daripada pengajiannya kosong karena tidak ada yang mengisi”
“oke, kalau
begitu kamu siap-siap, nanti kita sama-sama ke masjid”
“iya om”
kataku.
Seusai
bersiap-siap, akupun berangkat bersama paman menuju ke sebuah masjid untuk
melaksanakan shalat ashar yang kemudian mengadakan pengajian.
Sampai di
masjid, kulihat orang-orang melihat ke arahku, sambil saling berbisik satu
dengan yang lain. Aku menghentikan langkahku, kulihat ke masjid dan kuingat masa laluku yang sangat
kelam, di masjid ini dulunya aku pernah menjadi setan si penghasud para jama’ah
wanita, maka tidak heran jika sekarang orang-orang resah dengan kehadiranku,
mungkin anggapan mereka tentang diriku masih seperti dulu, itulah resiko yang
siap aku tanggung.
Sampai setelah
melaksanakan shalat, bukannya zikir, tetapi orang-orang masih saling berbisik
dan melihat ke arahku, aku hanya bisa diam menyaksikan cercahan orang-orang.
Sesaat kemudian, pamanku beridir kedepan para jama’ah dan menyampaikan
pengumuman tentang pengajian.
“jama’ah
sekalian, seperti biasanya sore ini akan di adakan pengajian, berhubung karena
ustadz yang biasa membawakan pengajian tidak bisa hadir, jadi pada kesempatan ini,
yang bertindak untuk membawakan pengajian adalah ustadz Andi, beliau baru saja
kembali dari Jogja bersama istrinya, karena itu di harapkan kepada para jama’ah
untuk tetap tinggal dan menghadiri pengajian ini” terang dg, Tunrung di hadapan
para jama’ah.
Entah apa yang
terjadi, setelah mendengar pengumuman dari paman, sebagian besar dari jama’ah
tiba-tiba meninggalkan ruangan masjid, bahkan yang tersisa hanya empat orang,
dalam keadaan seperti ini aku hanya bisa terdiam dan tawakkal serta menerimanya
dengan lapang dada.
Pengajian yang
hendak di laksanakan akhirnya lebih tepat dikatakan menjadi kelompok kecil,
beberapa orang itu menghampiriku, ternyata sebagian dari mereka adalah orang
yang aku kenal, bahkan mereka dekat denganku, mereka itu sahabatku, Randi, dan
si wanita cerewet, Dewi.
Randi menghampiriku “Assalamu alaikum, Subhanallah
sahabatku sekarang sudah jadi ustadz” kata Randi.
“waalaikumussalam
cika, Alhamdulillah ini semua karena istri saya” kataku tanpa mengabaikan jasa
Inayah.
“jadi sekarang
di mana istrimu ?” tanya Randi.
“dia ada di
rumah, sedang istirahat”
“ouiya
kenalkan, ini istri saya, Dewi” kata Randi memperkenalkan istri-nya kepadaku.
“subhanallah,
ternyata kalian sudah menikah, saya tidak menyangkah kalau lelaki yang pernah
diceritakan Dewi adalah sahabatku, selamat yah” kataku tersenyum senang melihat
Dewi menjadi istri sahabatku.
Setelah
beberapa kali percakapan pribadi diutarakan antara aku dan Randi, kami pun
memasuki tujuan berkumpul yang sebenarnya.
“jadi sekarang
kita mau bahas apa?” tanyaku kepada empat orang di hadapanku.
“Andi, saya mau
bertanya, bagai-mana orang menanggapi perbedaan bu-daya ?, yah kurang lebihnya
saat kamu berada di jogja, pastinya budayanya berbeda dengan di sini,
Makassar.” Tanya sahabatku, Randi membuka pertanyaan dalam diskusi sore ini.
“bagaimanapun
itu berbedanya budaya kita dengan budaya orang lain, kita harus menghormatinya,
karena perbedaan budaya mengantarkan kita pada saling mengenal satu sama lain”
jelasku mencoba menjawab pertanyaan Randi.
Dewi mengacungkan
tangan “bagaimana dengan budaya bercadar ? kita kenal bercadar adalah budaya
dari bangsa timur, tepatnya budaya orang Arab, tetapi sekarang banyak
orang-orang kita yang meniru budaya tersebut dengan alasan bahwa itu ajaran
agama, padahal itu hanya budaya Arab, sementara ajaran agama cukup dengan
menutup aurat” tanya Dewi mempertanyakan sekaum yang mengenakan cadar.
“sebelum
menghakimi budaya orang lain, alangkah baiknya kita mengetahui lebih luas
tentang budaya yang berasal darimana pun itu yang kini berbenturan dengan
budaya kita. Banyak orang yang menyalahkan orang yang bercadar karena itu
budaya orang Arab, sementara kita sadar telah terjerumus dalam budaya Barat yang
memakai pakaian yang menampakkan aurat. Kenapa kita menyalahkan budaya cadar, padahal
itu menutup aurat, sementara kita sedikitpun tidak sadar bahwa telah memakai
pakai yang terbuka, atau pakaian yang tertutup tetapi bentuk tubuh wanita sama
halnya saat tidak memakai busana. Pada dasarnya kita hanya diperintahkan untuk
menutup aurat saja, adapun bercadar atau tidak, itu bukanlah masalah, yang
jelas orang telah menutup auratnya maka itu sudah di anggap baik”. Jelas sedikit
mengemukakan pendapat tentang pakaian wanita.
Mendengar
penjelasanku, keempat orang di hadapanku menganggukkan kepalanya, seakan
mengerti dengan apa yang aku jelaskan, aku bersyukur, karena itu berarti
pendapatku sedikit banyak mereka pahami.
Setelah cukup
lama dalam pengajian, atau lebih tepatnya diskusi dalam kelompok kecil, akupun
menyelesaikan acara di sore ini, dengan meminta paman untuk menutupnya.
“Alhamdulillah,
akhirnya kita telah melaksanakan pengajian sore ini, semoga dari pertemuan kita
ini mendapatkan berkah dari Allah subhanahu wata’ala, amin. Demikianlah,
kurang lebihnya kami mohon maaf. wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
Kata pamanku menutup acara pengajian sore ini.
Akhirnya
pengajianpun selesai, aku merasa sangat senang karena dapat berbagi pengetahuan
dengan orang lain, meski hanya beberapa orang, namun itu bukan halangan bagiku
untuk berbagi ilmu, sebagaimana yang selalu dilakukan Inayah kepadaku, meski
satu orang, tetapi dia tetap semangat mengajariku.
Tanpa tinggal
berbincang-bincang dengan Randi yang sebenarnya aku sangat ingin berbicara
banyak dengannya lantaran rindu dengan sahabatku itu, namun aku merasa ada yang
lebih penting untuk aku temui, mungkin Inayah sedang menung-guku, mengingat
bahwa dia belum terbiasa tinggal di daerah ini, pasti dia belum mau bergaul
dengan keluargaku apalagi bergaul dengan masyarakat, karena itu segerah saja
aku dan pamanku menuju pulang ke rumah.
Setelah sampai
di rumah, aku pun langsung memasuki kamarku, namun ada yang aneh dengan Inayah,
kulihat dia sedang tertunduk dan menangis, aku menghampirinya dengan keheranan.
“ina?” kataku
mendekatinya, namun Inayah tidak menjawabku.
Inayah tak
menjawabku, “ Ina, kamu kenapa?” kataku mengulang memanggilnya. Namun lagi-lagi
dia tak menjawabku, aku mulai takut melihat istriku yang hanya tertunduk dan
menangis. Kupegang tangan istriku dan kucoba mengambil perhatiannya.
“sayang, ada
apa? Kamu kenapa?” kataku lembut merayunya.
Dia mengangkat
kepalanya dan melihat kepadaku tetapi tidak menjawabku, dia memberikanku sebuah
kertas. Betapa kagetnya aku ketika mengetahui surat dari ibuku, ternyata telah
di baca Inayah, dan kini wanita pendamping hidupku itu hanya terus menangis
setelah membaca surat itu.
“aku malu mas”
kata Inayah terus menangis. Terlihat dia sangat terpukul lantaran membaca surat
ibuku.
Aku tidak tahu
harus berbuat apa, ketika berhadapan dua kenyataan yang harus aku pilih salah
satunya, tidak mung-kin aku menolak permintaan ibu dalam suratnya , tetapi aku
juga tidak mungkin menduakan Inayah, sungguh keadaan seperti ini telah
mencekikku sampai aku tak bisa bernafas lega.
“apa yang mas
akan lakukan dengan semua ini?” tanya Inayah
mulai meredamkan tangisannya.
“aku tidak bisa
memilih, aku sangat takut” kataku bergetar.
“tapi bagaimana
dengan surat ibumu, bagaimana dengan saya? Pada akhirnya semua ini pasti
terungkap”. Kata Inayah seakan memaksaku memilih.
aku hanya
terdiam, suasana membisu, tak ada jawaban yang bisa kuutarakan dalam
permasalahan ini “aku mau tahu pendapatmu?” tanyaku meminta pen-dapat Inayah.
“tidak ada yang
bisa aku katakan, sebagai seorang istri, aku hanya mampu turut dengan apa yang
menjadi keputusan kamu, suamiku”
“bagaimana
mungkin aku bisa mengambil keputusan sendirian, aku tidak mau egois, aku ingin
mendengar pendapatmu, istriku. Katakanlah bagaimana menurutmu tentang surat
ini”
“kamu adalah
pemimpinku, dan kamu tahu yang terbaik untuk kita, hanya itu yang bisa aku
katakana”
Aku sejenak
terdiam, kemudian memegang tangan istriku “tidak ada yang bisa lakukan, karena
masalah ini adalah tentang ibuku, tentang keluargaku, hanya satu yang bisa
lakukan, membicarakan masalah ini kepada keluargaku, kita harus meminta
pendapat mereka, semoga saja ibu meridhoi tindakan kita ini”
Setelah berdiskusi panjang dengan istriku
tentang cara menanggapi surat ibuku, akhirnya kami sepakat untuk meminta
pendapat dari pihak keluargaku.
Setelah shalat
Isya, aku, dan Inayah mendatangi rumah paman Dg, Tunrung, rumah beliau tidak
terlalu jauh sehingga hanya berjalan kaki beberapa menit kami pun sampai di
rumahnya.
“Assalamu
alaikum” ucapku mengetuk pintu rumah paman.
“waalaikumussalam..”
jawab paman, seraya membuka pintu rumahnya. “Andi, Inayah, silahkan masuk” kata
paman menyambut kedatangan kami.
“maaf om,
karena malam-malam begini mengganggu paman” kataku sebelum membuka percakapan
inti.
“wah, malah saya
senang kalian datang” paman mempersilahkan kami du-duk di ruang tamu. “ada apa
ndi?”
Aku terdiam
sejenak, dan perlahan-lahan kusodorkan surat ibu kepada pamanku.
“apa ini?”
tanya paman.
“itu surat ibu
saya om” kataku sedikit takut.
Paman lalu
membuka surat ibuku dan membacanya, seketika saja ekspresi paman menjadi
tegang, semakin dia membaca surat ibu, semakin gelisah ekspresi wajah paman.
“ini benar dari
ibu kamu ndi?” tanya paman.
“iya” kataku
kaku dan hanya menundukkan kepala.
“terus, apa
yang akan kalian lakukan dengan surat ini?”
“sampai saat
ini, aku dan Inayah tidak tahu harus berbuat apa dengan surat itu, karena itu
kami meminta pendapat om, kiranya bisa memberikan solusi dengan surat Ibu”
“maaf ndi, om
tidak bisa mengambil keputusan dengan surat ini, satu-satunya cara untuk
mengetahui jawaban tentang surat ibumu ini yaitu kita kumpulkan keluarga yang
lainnya, dan membahas surat ini secara kekeluargaan, cumin itu satu-satunya
jalan” jelas paman aku berusaha membantuku, “bagaimana menurutmu ndi?”
Aku sedikit
terdiam, dan melihat keadaaan Inayah yang mulai tertekan dengan keadaan, “iya,
kalau itu jalan satu-satunya untuk mendapatkan jawabannya” kataku mengiyakan
usulan paman.
Setelah sepakat
untuk mengadakan pertemuan keluarga besar, akhirnya aku dan Inayah pun pulang
ke rumah, selama perjalanan aku merasa tengah menanggung dosa sehingga kakiku
terasa berat untuk melangkah, nafasku mulai sesak lagi, kali ini aku berusaha
kuat menghadapinya, aku tidak boleh terlihat lemah di hadapan istriku, Inayah
yang kini hanya terdiam seakan tengah tercekik oleh masalah besar, sampai tak
ada yang dapat di lakukannya untuk menyuarakan perasaannya, hanya terdiam dan
ikut dalam arus kebimbanganku.
Malam berlalu
sangat cepat, terkesan tak peduli dengan keadaanku, sehingga pagi ini aku
merasa akan memikul beban berat dalam mahligai keluargaku. Bersama keluarga
besarku, akhirnya aku dan Inayah menyatukan mereka di ruang rumahku, dalam
situasi di mana di hadapanku adalah orang-orang yang tegas dalam menjunjung
tinggi harga diri keluarga, sehingga mas-alah ini tidak hanya berdampak pada
masalah aku dan Inayah, dan pasti akan berdampak pada keluarga besarku.
Surat itu di
berikan kepada kakek aku, sebagai orang yang paling di hormati dalam keluargaku
“apakah ini benar, surat dari ibumu andi?” kata kakek aku setelah membaca surat
ibuku.
“iya” kataku
singkat mulai takut dengan situasi ini.
kakek
menganggukkan kepalanya “kamu mengenal Alya?” tanyanya seakan sedang menginterogasiku.
“iya” kataku
lagi singkat.
“kalau begitu,
kamu harus menikah dengan wanita yang bernama Alya itu” kata kakek dengan
keputusannya, seakan terjadi guncangan dalam keluargaku, perkataan kakek
membuat suasana tak terkendalikan.
“tapi kakek,
bagaimana mungkin aku bisa menikah lagi, baru saja aku menikah dengan Inayah,
tidak mungkin aku menduakannya” kataku berusaha menolak keputusan kakek.
Keadaan semakin
kacau, keputusan kaken benar-benar telah membuat keadaanku tercekik keras dalam
dunia pernika-han. Berhadapan dengan keputusan kakek, bahkan paman dan keluarga
lainku pun tidak mampu menentangnya, bahkan mereka mendukung keputusan kakek.
“Andi, kamu
jangan lupa, bahwa dalam tradisi kita, sangat menjunjung tinggi harga diri
keluarga, saya tidak ingin ada seorang pun dari keluarga ini yang melanggar
budaya itu” jelas kakekku menekanku dengan budaya keluargaku. “meski harus mati
sekalipun, kamu harus tetap menjaga harga diri keluarga kita, oleh karena itu,
kamu harus memenuhi permintaan terakhir dari ibumu ini, adapun masalah biaya
pernikahanmu akan ditanggung oleh keluarga kakek”.
“tapi kek”
kataku sedikit mengeraskan suaraku “bagaimana mungkin aku bisa menikah lagi,
tidak mungkin itu kek,”
“kamu jangan
membantah Andi, kamu harus pikirkan ibumu, pikirkan harga diri keluarga kita”
kata kakek mengeraskan suaranya “kalau kamu menolak permintaan ibumu, maka itu
berarti kamu siap pergi dari rumah ini, dan kamu bukan lagi termasuk dalam
keturunan keluarga ini” ungkap kakek, sangat keras menamparku, seperti di
hadapanku ada kilat dan guntur yang siap menghancurkanku.
Perkataan
mengejutkan dari kakek, ternyata menjadi keputusan akhir dari pertemuan ini,
keputusan yang sungguh membekukan jiwaku, menghancurkan impianku bersama
Inayah, ragaku kaku, pikiranku hancur berkeping-keping, tak ada dayaku lagi
untuk bertahan, mungkin mati lebih baik bagiku daripada keadaan seperti ini,
bagaimana pun itu sungguh aku tak bisa menghadapi kenyataan yang akan terjadi
padaku.
Dengan
keputusan dari kakek, mem-buat Inayah, tercengang menangis pilu, sungguh aku
tak bisa menggambarkan betapa sakitnya luka yang harus ditanggung istriku ini,
dia terus menangis, aku dan keluargaku yang lainnya pun tak mampu meredamkan
tangisannya.
Inayah memagang
erat tanganku “aku tidak bisa mas, tidak, aku tidak bisa di madu” kata istriku
itu seraya terus menangis.
Aku hanya
terdiam seribu bisu, sungguh kini tak ada yang dapat kujelaskan pada Inayah.
Melihatku hanya
terdiam, Inayah menggelengkan kepalanya, seakan tidak percaya lagi kepadaku,
tiba-tiba dia beranjak dengan cepatnya dan berlari meninggalkan rumah. Aku yang
terkejut dengan sikap Inayah, langsung mengejarnya, Inayah berlari cepat,
semakin menjauh dari rumah kediamanku dengannya, semakin menjauhiku, aku terus
mengejarnya, tidak henti-hentinya Inayah dan aku saling mengejar.
Jiwaku semakin
hancur, nafasku berhenti dan ragaku kaku tatkala menyaksikan wanita pendamping
hidupku sekejap mata terlempar lantaran mobil yang menabraknya, tanpa
memperdulikan apapun lagi, aku dengan cepat menghampiri istriku itu.
“sayang,
sayang, sayang” kataku terus memanggil-manggil istriku yang tengah tak sadarkan
diri. Kupanggil segera taksi, dan membawa istriku yang masih pingsang itu ke
rumah sakit.
Sejenak musibah
yang menimpah ist-riku membuatku terkaku dalam tekanan hidup yang tak
henti-hentinya, aku hanya pasrah pada keputusan Ilahi, Tuhan yang Maha
menciptakan kebaikan, Tuhan yang mengetahui yang terbaik untukku. Saat ini,
dalam sujudku hanya penyembuhan Inayah yang kuinginkan dari Tuhan.
“ya Allah,
kumohon selamatkan Inayah, Engkau Maha Pemberi penyembuhan, apapun akan aku
lakukan demi Inayah” dalam takbiratul ihram aku lepaskan duniaku, dalam rukuk
aku tundukkan kuasaku, dan dalam sujudku aku hinakan diriku, kulakukan semua
hanya untuk Tuhanku, kuyakin Dia tidak akan memberikanku cobaan melebihi
kemampuanku, karena itu bukannya aku takut menghadapi masalah-masalah yang kini
mencekikku, melainkan aku takut kalau Allah telah meninggalkanku dan tak
menemaniku dalam menghadapi cobaan ini.
Setelah
melaksanakan shalat, aku beranjak untuk mendampingi istriku yang tengah
terbaring, tiga empat jam belum ada tanda-tanda untuk sadar, kulihat dan
kuingat jasa yang telah dia lakukan selama perjalanan hidupku, sungguh Inayah
menjadi sosok wanita yang telah mengangkat derajatku.
Kupejamkan
mataku terus berdo’a kepada Tuhan, untuk kesembuhan Inayah, terus dan terus di
samping Inayah kucoba menghadirkan Allah dalam kesulitanku ini. Tiba-tiba
tanganku tersentuh oleh sesuatu, ada yang memegang tanganku, kubuka mataku
perlahan-lahan, dan ternyata tangan itu milik Inayah, betapa bersyukurnya hati
ini melihat wanita yang sangat kucintai telah kembali dari ketidak sadarannya.
“mas” kata
Inayah dengan suara lemah memanggilku.
“iya sayang,
aku di sini, aku ada untukmu” kataku sembari memegang erat tangannya.
“istirahat saja dulu sayang, jangan banyak bergerak”
“mas, aku ingin
berkata sesuatu”
“iya sayang,
katakanlah, apa yang ingin kamu katakan?”
“penuhilah
permintaan ibumu”
“maksudnya
sayang ?, itu tidak mungkin, aku tidak ingin menduakanmu”
“aku ikhlas
mas, sungguh aku benar-benar ikhlas, mungkin kecelakaanku ini menjadi pelajaran
bagiku untuk mengambil keputusan yang bijak, aku tidak ingin kamu mengabaikan
permintaan ibumu, aku tidak ingin kamu keluar dari nasab keluargamu, aku tidak
ingin kamu tersiksa karena aku, aku sayang kamu, suamiku” jelas Inayah lembut
namun terasa me-nyiksaku. Aku tidak tahu, apakah itu jawaban yang harus
kusyukuri ataukah jawaban itu adalah musibah bagiku.
“kalau itu yang
kamu inginkan, akan aku lakukan, tapi kamu harus tahu bahwa aku tidak mungkin
membagi cintaku kepad Alya lagi” kataku mengiyakan per-mintaan Inayah.
Kuambil
ponselku, sangat lambat rasanya tanganku mengetik nomor Alya, andai saja bukan
karena Inayah, tak akan pernah kuhubungi wanita itu.
“Assalamu
alaikum” kata Alya mendahuluiku
mengucapkan salam.
Aku terdiam
sejenak, seraya melihat ke istriku, Inayah menganggukkan kepa-lanya
mengisyaratkan agar aku berbicara dengan Alya, “boleh kita bertemu?” kataku
dengan nada lemah.
“boleh, ada
apa?”
“nanti aku
ceritakan” ucapku dan langsung menutup telpon.
Sangat sulit
rasanya ketika harus melakukan apa yang kehendak hati tak ingin meridhoinya,
namun apa daya bagiku, ibu dan Inayah, dua wanita kini memintaku untuk
merangkul wanita yang dulunya telah menyiksa hati ini, sungguh keadaan ini
telah membuatku semakin lemah, dadaku semakin sakit, nafasku tak berhembus normal
lagi, aku hanya mengharapkan Allah, sebagai Tuhan pemberi kekuatan.
Di tengah
kesakitan istriku, aku pergi meninggalkannya sendirian di ruang rumah sakit,
meninggalkan wanita yang sangat aku cintai, dan menuju untuk menemui wanita
yang sangat aku benci, Semakin lengkaplah luka bathinku.
Sesampai di
rumah, ternyata Alya telah menungguku, aku pun langsung menghampirinya.
“ada apa ndi?”
tanya Alya.
Tanpa
menjawabnya, kuberikan surat ibu kepada wanita itu, Alya membuka surat itu dan
seketika saja surat itu membuatnya sangat terkejut.
“surat itu
sudah aku di musyawarakan dalam keluargaku, dan keputusannya bahwa aku harus
menikahimu, aku tidak tahu, apakah kamu mau atau tidak”
“bagaimana dengan Inayah ? pasti dia tidak
ingin di madu”
“dia yang
menyuruhku untuk ber-temu denganmu, dia bilang kalau dia ikhlas dengan semua
ini, karena itu aku meminta jawabanmu”
“aku tidak
tahu, apakah aku layak kembali ke dalam hatimu atau tidak, aku sangat malu dan
bersalah dengan semua yang telah aku lakukan kepadamu, mungkin karena diriku
sehingga kamu dalam kesulitan seperti ini, maafkan aku” kata Alya mulai
meneteskan air matanya. Entah kenapa pengakuan Alya, membuat benakku tak tega
melihatnya terasa di salahkan dengan keadaan keluargaku.
Meski telah
banyak luka yang dia tancapkan ke dalam kehidupanku, tetapi sungguh aku tidak
bisa mengabaikan kebahagiaan, kebersamaan dan kasih sayang yang pernah mengisi
kehidupanku bersama Alya. Karena itu aku mendekatinya, dan kusandarkan
kepalanya pada pundakku, “tidak apa-apa, semua telah terjadi, ini seluruhnya
bukan salahmu, aku meminta maaf atas nama ibuku, karena dari suratnya kamu
terlibat dalam keluargaku”
Seiring
kesediaan Alya untuk menjadi istriku, seakan aku dibayang-bayangi oleh malaikat
pencabut nyawa yang siap melaksanakan tugasnya padaku ketika aku melangkah
dalam mahligai yang harus menanggung dua wanita sekaligus, sungguh aku tak
sanggup menanggungnya.
Berbeda dengan
saat pernikahanku dengan Inayah, yang prosesnya sangat kunikmati, mungkin
karena saat itu keuanganku masih bisa mencukupi resefsi pernikahanku dengannya,
sementara dalam pernikahanku dengan Alya, membuatku berpikir seribu kali, bukan
masalah masa laluku dengannya, karena yang demikian telah aku pupuskan lantaran
dia terus menyalahkan dirinya atas masalah yang kuhadapi, bagaimanapun Alya pernah
menjadi bagian dalam hidupku dan pernah membahagiakan aku, dan akan menjadi
bagian hidupku nantinya. Tetapi dalam pernikahanku dengannya, muncul berbagai
masalah khususnya dalam keuangan resefsi pernikahan nanti, menjalani pernikahan
dengan Alya sebagai bagian dari orang-orang Bugis-Makassar mencengankan benakku
ketika harus menyuarakan budaya uang panai’ dalam pernikahanku bersama
Alya.
Meski dalam hal
uang panai’ ditanggung penuh oleh keluargaku, tetapi sungguh yang
demikian membuatku malu, dan terpukul lantaran harus menerima bantuan dari
orang lain untuk pernikahanku, sekalipun itu keluargaku sendiri. Pada akhirnya,
keputusan kakekku melibatkan semua sanad keluargaku dalam mengsukseskan acara
pernikahan ini.
Hari itu telah
tiba, busana adat pernikahan daerahku kini menempel menjadi pakaianku di hari
pernikahanku dengan Alya, kurasakan sekental-kentalnya budayaku seketika
merasut dalam sukmaku. sebuah kebanggan, kekakuan, dan rasa takut menyatu dalam
pertemuanku dengan Alya menuju akad nikah.
Dengan izin
Inayah, istriku yang sudah sembuh, mendampingiku dalam pernikahanku dengan
Alya, aku tidak sang-gup mengungkapkan bagaimana sakitnya luka yang harus
ditanggung oleh istriku menyaksikan suaminya menikah lagi tepat di depan
matanya, dan aku juga tidak tahu bagaimana malu yang harus ditanggung Alya saat
harus menikah dengan lelaki yang telah mempunyai istri bahkan istri dari
pasangan pengantinnya itupun kini ikut hadir dalam akad nikahnya.
Cukup aku
mengungkapkan ketidak tahuanku dengan beratnya beban yang di tanggung oleh
kedua wanita itu, aku hanya bisa mengatakan beban yang mereka tanggung sangat
berat, lebih berat dari yang kupikirkan. Tetapi, bukan hanya mereka yang harus
aku kasihani keadaannya, sungguh diriku pun kini di landa bencana yang tak
henti-hentinya, seakan akan me-masuki ruang yang berapi-api sampai melihat
pintunya pun aku tak sanggup. Karena itu, sungguh hanya Allah yang menjadi Sang
Maha Penolong dalam keadaanku sekarang, kucoba memunajatkan pikirkan dalam rana
ketuhanan, rana penuh ketasawwufan, rana dimana yang ada hanya aku dan Allah di
dalamnya. Aku ingin bercakap dengan-Nya, mengadukan masalahku yang kini melanda
seperti bencana untuk kehidupanku, aku ingin merintih kesakitan di hadapan-Nya,
bahkan aku akan mengeluh manja pada-Nya atas cobaan yang diberikan kepadaku.
Orang-orang
telah ramai memadati ruangan rumahku, menyambut kedatanganku untuk melakukan
ikrar awal mahligai keluarga baruku. Entah kenapa kebahagiaan orang-orang yang
ada dirumah kuanggap sebagai amanah yang sangat berat selama hidupku, membuatku
takut untuk melangkah menghampiri ruang akad pernikahanku, kulihat ruang itu
berapi-api seakan mengisyaratkan ketidak mampuanku dalam membina keluarga yang
akan kujalani dalam dua istri sekaligus, ragaku semakin lemah, jiwaku terus
mencari Tuhan tapi tak kutemukan, semakin mendekati ruang akad itu semakin
bergejolak rasa ketakutanku, ragaku kaku, jiwaku sangat gelisah lantaran belum
mendapati Tuhanku.
Di hadapan
telah hadir sosok lelaki, yang sebentar lagi akan mengantarku dalam dunia
kekeluargaan, dia telah siap, dan sangat siap. Kulihat lelaki penghulu itu
telah mantap untuk menikahkanku dengan wanita yang duduk di sampingku, Alya.
Ragaku sedang duduk dalam acara besar ini, namun jiwaku melayang terus mencari
Tuhan, jiwaku masih sibuk dengan sendirinya, sedikitpun tak memperdulikan
tentang raganya.
Dengan ucapan bismillahirrahmanir
rahim, tanganku dan tangan penghulu saling berpegangan menyambut rangkaian
kata akad nikah yang dimulai dari penghulu dan dilanjutkan olehku. Di saat yang
sama, jiwaku semakin terbang menelusuri langit satu persatu, akhirnya jiwaku
sampai di titik arys ketuhanan, di sana jiwaku bermunajat memanggi Tuhan,
layaknya Musa, jiwaku meminta agar Tuhan menampakkan dirinya “ya Tuhanku,
perlihatkanlah diri-Mu, sungguh aku ingin melihatmu, aku ingin agar kita saling
berhadapan dan ku akan mengadukan segala cobaan yang Engkau berikan padaku,
sungguh aku ingin bersamamu, Tuhanku.” Kata jiwaku mencari Tuhannya ke
segala arah.
Jiwaku melihat
cahaya besar, sangat besar, cahaya itu mendekati jiwaku, lalu tiba-tiba cahaya
yang sangat besar itu menyatu menyelimuti jiwaku, jiwaku merasakan ketenangan
yang belum pernah di rasakaan sebelumnya. Dan di saat yang sama, ragaku
terjatuh ketika ingin mengikuti ucapan dari lelaki penghulu pernikahanku, ragaku
tak berdaya, jantungku berhenti berdetak, nafasku berhenti berhembus, dan
mulutku berhenti berucap, semua milik ragaku seketika berhenti melaksakan
tugasnya, tatkalan jiwaku tengah menik-mati kebahagiaan yang berlimpah bersama
cahaya yang di temuinya.
Ouh tidak, jiwa
dan ragaku tidak lagi menyatu, mereka benar-benar berpisah. Aku telah
meninggalkan dunia ini, keluargaku, istri dan calon istriku, sungguh aku tidak
lagi berada di alam syahada. Aku meninggalkan Inayah dan Alya, bukan karena aku
tidak mencintai mereka atau pun membecinya, tetapi sungguh aku meninggalkan mereka
karena aku belum tahu dan tidak akan tahu tentang warna-warni dari diri wanita.
Ada ‘sesuatu’
yang tidak akan diketahui oleh laki-laki tentang wanita, yang membuat lelaki
itu sangat sulit mengimbangi ketika harus menjalani keluarga bersama lebih dari
satu wanita (istri), bukan tentang harta, keturunan, akhlak, ataupun tentang
cinta. ‘Sesuatu’ itu hanya wanita dan Tuhannya sendiri yang dapat mengetahuinya.
Itulah sebabnya aku lebih memilih melepaskan kehidupanku daripada harus
menjaling hubungan dengan lebih dari satu wanita.
Apapun itu,
cerita ini bukan memperkenalkan tentang diriku, tetapi dirikulah yang
memperkenalkan tentang sebuah cerita yang terus berlabuh dalam naungan takdir
Tuhan.
. . . . . . .
Tamat . ..
(Terima kasih telah membaca, untuk lebih lengkapnya, tulisan ini termuat dalam
sebuah novel Warna Wanita)
Warna Wanita: Bertasbihlah Si Orange
4/
5
Oleh
Unknown