BISIKAN PUTIH INAYAH
HANYA beberapa hari aku bersama Dewi, sosok wanita cerewet yang datang
tiba-tiba. Namun, telah mengantarku pada kehidupan baru, tentang menghargai
kebersamaan yang sedang dijalani, kepergiaan Dewi menyisahkan kisah tanpa awal
namun berakhir, sungguh tak ada kata yang mampu menyimpulkannya.
Kemarin aku
berusaha mengacuh-kannya, namun hari ini aku membutuhkannya, kemarin aku
membencinya, namun hari ini aku merindukannya, dan kemarin aku berusaha untuk
tidak mendengarkan cerita-ceritanya, namun hari ini aku mencari suaranya. Aku
mulai berpikir bahwa kesunyian saat sampai di rumah kontrakan ini, adalah tanda
bahwa akan hilangnya keributan dari wanita yang selama ini mengisinya. Hari ini
hanya sunyi, senyap, kaku, dan ketidaktahuan yang kualami dalam ruangan
kontrakan ini.
Hidup akan
terus berjalan, entah diterima atau tidak, yang lalu akan semakin berlalu, dan
yang datang akan semakin mendekat. Aku tidak bisa terus menerus diam dan hanya
merenung lantaran kehilangan seseorang, tak boleh diriku berhenti menyambut
kehidupan baruku, Dewi akan marah jika melihatku terdiam pilu, ibu akan kecewa
jika kepergiaanku tak menghasilkan amal jariyah untuknya, dan masyarakat akan
selalu memojokkanku jika kerusakan akhlakku terus berlanjut.
Akhirnya aku
berkemas, memantapkan niat, mempersiapkan diri, untuk mengubur masa kelamku dan
menyambut kebaikan akhlakku. Hari ini matahari pagi kubiarkan berlalu, aku
berencana ingin menemui seorang ustadzah yang disarankan Dewi, barangkali dia
bisa membagikan pengetahuannya, dan menerangi gelapnya kehidupanku. Di saat
yang sama, aku juga ingin mencari tempat untuk mewadahi usaha melukisku,
sebagai penghubung hidupku selama tinggal di daerah perantauan ini, karena itu
aku sengaja membawa lukisan yang sebenarnya tercipta untuk Alya.
Pukul sembilan
lewat beberapa menit, kumulai meninggalkan rumah kontrakan, dan kuarahkan
langkahku mencari sebuah masjid yang di dalamnya ada pengajian, karena dengan
itu, aku sangat yakin bahwa di situlah wanita yang Dewi maksud.
Setelah
berjalan jauh, serta bertanya kepada beberapa orang, akhirnya sampai juga ke
sebuah masjid yang di dalamnya terdapat sekelompok orang yang tengah mendengarkan
ceramah dari seorang wanita, akupun melangkah masuk ke ruangan masjid, kulihat
dengan seksama wanita itu, seketika timbul ketidak percayaanku dengan apa yang
sedang kusaksikan, wanita yang tengah bercerita itu adalah wanita yang pernah
menamparku, di satu sisi aku tidak yakin bahwa wanita itu adalah ustadzah yang
Dewi, tapi di sisi lain kebutuhan akhlakku bergejolak untuk segera diperbaiki.
Tanpa memperdulikan sakitnya tamparan yang telah wanita itu berikan, bahkan
meski harus menerima tamparan beberapa kalipun, aku tetap harus bertemu dengan
wanita itu.
Selangkah demi
selangkah, perlahan kudekati para jama’ah sampai menyatu dengan mereka. Kulihat
beberapa dari mereka sibuk mencatat apa yang dikatakan ustadzah itu, aku
semakin yakin bahwa yang disampaikan wanita itu sangat berguna.
“Demikian untuk
sementara, mung-kin ada yang ingin bertanya, kami persilahkan, monggo
angkat tangannya, dan sebutkan namanya.” Kata ustadzah itu.
Tanpa berpikir
panjang, aku langsung mengangkat tangan.
“saya! Saya
ingin bertanya mas” teriakku pada wanita itu.
“iya, mas yang
di belakang, silahkan ajukan pertanyaannya”.
Aku berdiri
agar ustadza itu melihatku dengan jelas, “Assalamu alaikum, nama saya Andi,
saya pernah mendengar, bahwa wanita diciptakan
dari tulang rusuk lelaki, layaknya Hawa yang dicipatkan dari tulang rusuk Adam, apakah itu benar?
Wanita itu
sejenak terdiam kemudian berdiri menghadap kearahku, “iya memang ada perkataan seperti itu, dan itu
adalah hadits nabi sendiri, tetapi jangan salah memahaminya, hadits itu bukan
menunjukkan asal mula penciptaan wanita, melainkan hadits itu berbicara tentang
sifat dasar wanita, Nabi mengatakan wanita itu tercipta dari tulang rusuk
lelaki, yakni wanita harus berada di samping pria, sehingga lelaki bisa
menjaganya.”
Kalau saja
wanita mestinya dilindungi oleh lelaki, tetapi kenapa karena Hawa sebagai
seorang wanita, sehingga adam di buang dari surga yang penuh kebahagiaan,
bagaimana mungkin lelaki bisa melindungi wanita kalau wanita malah tidak
melindungi lelaki itu, bahkan karenanya lelaki terusir dari surge yang megah
nan penuh kenikmatan?
“tentang
terusirnya Adam karena Hawa adalah cerita dongen yang telah tersebar luas, yang
menjadi opini dunia, karena itu wanita dianggap sebagai sumber segala dosa dan
godaan yang dapat menjerumuskan lelaki. padahal yang demikian itu adalah hal
keliru, bacalah Al-Qu’ran, di dalamnya tidak pernah sedikitpun menyalahkan
wanita dan mem-benarkan lelaki. Al-qur’an tidak pernah menggambarkan bahwa
iblis menggoda hawa dan Hawa menggoda Adam. Tidaklah benar bahwa Hawa sebagai
terdakwa utama dalam kasus terusirnya Adam dari surga, dalam ayat 22 surah al-A’raf, di jelaskan
bahwa iblis membujuk keduanya dengan tipu daya, tampak dengan jelas iblislah
yang menjadi pelakunya, dan dia menggoda Adam dan Hawa, bukan
hanya Hawa. Karena itu, keluarnya adam dari surga,
bukan disebabkan Hawa, tetapi keduanya bertanggung jawab secara bersama-sama
karena keduanya telah terpengaruh oleh godaan setan.
Aku mengangguk
mulai memahami jawaban dari ustadzah itu, “Bagaimana menurut ustadzah tentang derajat lelaki di atas para wanita?” tanyaku lagi.
Mendengar
ucapanku, wanita itu terlihat menampakkan wajah kesalnya “itu pendapat
yang keliru, memang ada ayat menyatakan kepimipinan lelaki terhadap
wanita, silahkan baca al-Qur’an surah al-Nisa ayat 34, dan surah al-Baqarah
ayat 228. Namun, dari ayat-ayat itu bukan berarti lelaki lebih
mulia daripada wanita, melainkan ayat-ayat tersebut mengacu kepada pembagian
tugas antara lelaki
dan wanita, bukan
menjelaskan tentang kelebihan lelaki atas wanita. Para suami mempunyai tugas
yaitu memimpin keluarga dan mencari nafkah untuk keluarganya, dan wanita
ditugasi untuk mengandung melahirkan, dan menyusui anaknya, serta memberikan
pelayanan pada suaminya. Sehingga pada akhirnya tidak ada yang lebih mulia
antara wanita dan lelaki melainkan keduanya saling melengkapi dan saling
membutuhkan.
Aku ingin
membahas lebih luas, tidak hanya pada dunia keluarga, aku ingin tahu peran
wanita dalam negara, ada yang mengatakan bahwa wanita tidak boleh menjadi
pemimpin, bahkan mereka mengatakan negara itu tidak akan beruntung jika berada di bawah pimpinan
wanita.
“Kamu pernah mendengar cerita tentang Ratu Balqis, dia seorang raja wanita yang berhasil
memimpin kerajaannya dan menciptakan berbagai peradaban, negri mereka aman dan
makmur, rakyatnya rukun dan damai, serta mempunyai kekuatan militer yang
tangguh. Apakah kamu pernah dengan tentang Sharajat al-Dur, pendiri kerajaan
Mamluk yang memerintah wilayah afrika utara terus ke asia barat. Selain itu,
apakah kamu tidak tahu bagaimana Ratu Elizabeth dari inggris telah berhasil
memerintah lebih dari empat dasa warsa. Pemahaman tentang ketidak bolehnya
wanita memimpin negara sebaiknya dipahami bahwa wanita tidak bisa memimpin
suatu negara tanpa melibatkan lelaki dalam kepimimpinannya, mulai dari jabatan
tertinggi maupun terendah. jika wanita
sendiri menangani semua urusan pemerintahan tanpa ada lelaki yang
diikutsertakan, maka barulah rakyat yang dipim-pinnya itu tidak akan
mendapatkan keberuntungan.
Terima kasih
atas jawabannya, tapi aku masih ingin bertanya, dan ini mengenai tentang
pengalamanku. Selain ibuku,
aku pernah tidak peduli dengan apa yang dikatakan wanita, pendapat, nasehatnya
tak sedikitpun yang kuperhatikan.
“Cobalah buka al-Qur’an, di dalamnya ada surah
bernama al-Mujadalah, yang artinya wanita yang berdebat. Saking dihormatinya
pendapat dan nasehat yang disampaikan oleh wanita sampai-sampai diberi nama
surah yaitu al-Mujadalah. Bukankah yang demikian itu menjadi bukti bahwa Allah
amat menghargai buah pikiran kaum wanita. Kalau saja Allah yang Maha Kuasa,
menghargai pendapat dari sosok wanita, mengapa kamu tidak?
Seketika aku
terdiam, lantaran dikejutkan oleh perkataan wanita itu. aku berpikir bahwa
perilaku yang selama ini kulakukan kepada wanita-wanita saat menjadi bos preman
adalah perbuatan yang ternyata melampaui perbuatan Tuhanku. Tetapi, akupun
tidak akan terima dengan kesalahan yang kuperbuat, karena yang membuat diriku
mengabaikan nasehat dan pendapat wanita adalah Alya, seorang wanita, Lantaran dia
meninggalkanku bersama perjodohannya dengan lelaki lain.
“Satu
pertanyaan lagi,” kataku mencoba menungkapkan keadaanku, “pertanyaan ini
berhubungan dengan kisah yang dialami oleh wanita yang pernah mengisih hidupku,
dulu aku bersamanya hidup bahagia, namu kami berpisah lantaran dia dijodohkan
dengan lelaki lain oleh ibunya. Jika boleh, apa yang harus dilakukan oleh
wanita itu?
Wanita itu
sedikit tersenyum, dalam pikirku bahwa dia sedang menertawai masa laluku “Aku
tidak tahu sepenuhnya tentang masa lalumu dengan wanita itu, tetapi kalau
masalah perjodohan, mungkin aku bisa menjawab, bahwa bagaimanapun itu untuk
mendapatkan kesesuaian kedua calon mempelai, islam memberikan hak yang sama
dalam menentukan jodoh. Wanita bebas menerima atau menolak penjodohan orang
tuanya. Nabi sendiri menegaskan bahwa tidak boleh menikahkan wanita sebelum
meminta izin kepadanya. Dengan catatan, jika orang tua menjodohkan anak
wanitanya dengan lelaki yang buruk akhlak, agama, dan terkenal tak pantas
menjadi pemimpin keluarga, maka si anak wanita itu bisa menolak penjodohan
orang tuanya. Tetapi, jika orang tua menjodohkan anak wanitanya kepada lelaki
yang taat agamanya, baik akhlaknya, dan mampu menjadi pemimpin keluarga, maka
si anak wanita itu tidak boleh menolak perjodohan yang ditentukan oleh orang
tuanya. Itu jawaban yang bisa saya berikan, mungkin cukup pertanyaannya. Terima
kasih.”
Aku mengangguk
tertakjub dengan jawaban-jawaban yang dikatakan oleh Ustadzah, sungguh
perkataannya telah membuka wawasan baru untukku dalam memahami tentang wanita.
Aku kembali duduk di tengah jama’ah, sejenak jama’ah melihat ke arahku, melihat
pandangan orang-orang itu, aku hanya bisa tersenyum berusaha menyapa para
jama’ah, meski pikirku sedang bingung harus berbuat apa untuk mengatasi
orang-orang yang terus melihatku.
Mungkin
pertanyaanku sangat banyak, dan terkesan kontradiksi, sehingga beberapa atau bahkan
semua jama’ah risih dengan kelakuanku. Hanya sejenak mereka melihatku dengan
pandangan yang tak dapat kuartikan, tapi ternyata membuatku terdiam oleh
kekakuan. Setelah terdiam, dan merasa kebingungan, ku arahkan kembali
perhatianku pada tausiya yang di sampaikan oleh wanita ustadzah itu. Baru saja
aku hendak menfokuskan diriku pada kata-katanya, ternyata wanita itu
menyelesaikan pengajian hari ini.
“Kita cukupkan
pengajian kita untuk hari ini, mudah-mudah berberkah, dan dipertemukan lagi
pada pertemuan selanjutnya dalam keadaan sehat wal afiat, mari kita tutup
dengan mengucapkan Alhamdulillah”. Kata wanita itu yang kemudian beranjak
meninggalkan tempat duduknya.
Aku yang masih
kekurangan pengetahuan tentang ajaran agamaku, memberanikan diri untuk menghampiri
wanita itu, ini kedua kalinya aku menghampirinya, kali ini aku tidak ingin
berbuat konyol lagi pada wanita itu, kuarahkan niat baikku untuk wanita itu.
“Assalamu
alaikum” sapaku mendekati wanita seorang ustadzah.
“Waalaikumussalam”
jawab wanita itu, namun dia langsung saja pergi.
“Inayah!” aku
menyebut nama wanita dari saran Dewi. Ternyata benar, ustadzah itulah yang
bernama Inayah, wanita itu menghentikan langkahnya kemduian berbalik ke arahku.
Lalu aku mengham-pirinya, dalam pikirku sangat yakin dialah Inayah teman Dewi.
“Kamu tahu namaku dari mana?” tanya wanita itu.
“Dewi, dia
sempat menceritakan tentang kamu”
“kamu kenal
Dewi?”
“Iya, beberapa
hari yang lalu aku dan Dewi sama-sama ke Jogja, namun besok-nya dia langsung
kembali ke Makassar” kata menjelaskan temannya.
“kenalkan saya
Andi” tambah saya mengulurkan tangan.
Dia hanya
melihatku, tapi tak sedikitpun kulihat tanda-tanda untuk memperkenalkan
dirinya. Tiba-tiba dia berbalik arah dan meninggalkan pertemuan denganku,
melihat wanita itu berlaku acuh kepadaku, aku mulai berpikir agar membuat
wanita itu bisa meluangkan waktunya meski sedikitpun untuk berbicara denganku.
Kukerahkan langkahku mengejar wanita yang telah menjauhiku.
“Mba…!” sapaku mendekati wanita itu, namun dia tetap
mengabaikanku. “mba..!” kupanggil untuk yang kedua kalinya, namun tetap saja
tak berhasil. “Inayah…!” panggilku dengan suara yang agak keras. Akhirnya dia
menghentikan langkahnya, aku mulai tersenyum padanya, aku yakin sekali kalau
kali ini akan berhasil mencuri waktunya. Wanita itu berbalik kepadaku.
“mas, jangan
bertingkah konyol, sudah cukup kemarin aku menamparmu karena ucapan tidak
sopanmu” katanya mengancamku dengan suara yang tegas.
“saya minta maaf
soal kemarin, mungkin aku keterlaluan, saya khilaf” kataku menundukkan kepala
lantaran malu.
“bukan lagi
mungkin, tapi sudah keterlaluan”
“oke, saya akui
kalau kemarin saya telah berbuat keterlaluan, tolong maafkan aku, sungguh aku
hanya mencari orang yang bisa mengajariku tentang agama, dan kata Dewi kamulah
orangnya yang tepat” kataku berusaha menjelaskan niat tujuanku.
Wanita itu
sejenak terdiam, mungkin dia sedang memikir sesuatu. Aku hanya bisa memasang
ekspresi wajah penuh harap di hadapan seorang wanita ustazda itu.
“oke, Insya
Allah, aku akan bantu kamu”
“makasih banyak
mba.. makasih…” kataku senang mendengar kesediaan wanita itu untuk mengajariku.
“jadi setiap kapan saya bisa kerumahmu?” lanjut tanyaku.
“kenapa di
rumah? tidak !!! Aku tidak mau kalau ini bersifat pribadi, aku hanya mau
mengajarimu di tempat umum, di sini, di masjid.” Kata Wanita itu dengan nada
tegasnya.
Aku hanya
mengangguk mengiyakan kata-kata wanita itu, aku tidak mau lagi mengucapkan
sepatah katapun untuk saat ini, jangan sampai dia mengubah niatnya untuk
mengajariku. Selang beberapa saat saling diam satu sama lain, seorang lelaki
tua menghampiri pertemuan kami.
“Assalamu
alaikum…” kata lelaki tua itu.
“waalaikumussalam…”
jawab kami bersamaan menyahut salam lelaki tua itu.
Wanita itu
langsung mencium tangan lelaki tua itu, melihat ekspresi wanita yang tadinya
sangat cuek, tiba-tiba menjadi ramah dengan datangnya lelaki tua, dalam benakku
lelaki tua itu sangat dekat dengannya.
“oiyah,
perkenalkan ini ayah saya”. Kata Inayah memperkenalkan lelaki tua itu yang
ternyata ayanya.
“saya Waryono”
kata lelaki tua itu memperkenalnya dirinya.
“Andi” kataku
memperkenalkan diri, yang Tanpa berpikir panjang, aku langsung meraih tangannya
dan kecium tangan ayah Inayah. Kami saling tersenyum menyambut perkenalan kami,
ternyata ayah Inayah sangat ramah, sangat berbeda dengan Inayah yang sedikitpun
tak ada tanda-tandanya untuk tersenyum padaku.
“dia teman
Dewi, orang Makassar itu” kata Inayah memperkenalkan diriku dengan menyebut
nama Dewi. “Nampaknya Dewi telah dikenal oleh Inayah dan ayahnya, atau Inayah
lebih senang mengenalku melalui Dewi daripada harus mengenalku karena kejadian
kemarin saat aku mengatakan ‘aku suka sama dia’” kataku melirik ke arah wanita
itu.
“ouh, Makassar
di bagian mana ka-mu?” tanya pak Waryono tentang daerahku.
“aku tinggal
Makassar, dua puluh kilometer dari kotanya” kataku mencoba menjelaskan.
Biasanya kalau orang jawa menyebut orang yang berasal dari pulau Sulawesi
menyebut orang Sulawesi dengan sebutan orang Makassar saja, aku sendir tidak
tahu jelas kenapa hal tersebut terjadi, sehingga orang-orang yang berasal dari
Sulawesi meskipun dia tinggal di kota ataupun kabupaten lain, misalnya Kabupaten
Maros, Pangkep, Barru, Gowa, dan daerah-daerah di Sulawesi lainnya pun, masih
saja disebut dari Makassar.
“Kamu suka
melukis?” tanya ayah Inayah melihat lukisan yang sejak tadi kupegangnya.
“iya pak”
“kebetulan
sekali, aku juga suka melukis, saat ini aku sedang mencari teman untuk
mengembangkan usaha lukisan, kalau kamu berkenang bekerjalah di tempatku”. kata
lelaki itu menawarkan pekerjaan padaku.
“iya, tentu
saja pak, dengan senang hati saya terima tawarannya” kataku menerima sepenuhnya
tawaran ayah Inayah.
“kalau bisa,
sekalian aku belajar agama kepada Inayah di rumah bapak, apa boleh pak”
tambahku mencoba membujuk ayah Inayah.
“tidak! Belajar
agamanya di masjid. Tadi aku sudah katakana” kata Inayah dengan tatapan
tajamnya.
“iya, tidak
apa-apa, supaya kamu tidak capek bolak-balik” kata ayah Inayah tersenyum
padaku.
“tapi ayah!”
kata Inayah tidak setuju.
“tidak apa-apa,
kamu hargailah tekad orang yang sudah mau belajar agama, mestinya kamu
bersyukur karena ilmumu akan bermanfaat, bukan malah kesal” jelas ayahnya
kepada Inayah.
Inayah hanya
mengangguk tak mampu membantah perkataan ayahnya, sementara itu, aku sangat
bahagia mendengar perkataan ayah Inayah yang sepenuhnya berpihak padaku.
Setelah shalat
dhuhur, akupun segera bergegas ke depan pintu masjid untuk menunggu Inayah dan
ayahnya selesai melaksanakan shalatnya. tidak lebih dari sepuluh menit akhirnya
mereka datang, aku tersenyum menyambut mereka, tapi cumin ayahnya membalas
senyumanmu, sedangkan senyuman Inayah masih saja tak bisa diberikannya padaku.
Kami kemudian melangkah meninggalkan masjid dan menuju ke sebuah rumah yang tak
jauh dari masjid. Kulihat lingkungannya begitu sejuk menyambut kedatangan kami,
lalu kami memasuki rumah itu, di dalamnya dihiasi berbagai macam lukisan,
begitu indah lukisan-lukisan yang terpampang rapi di ruang tamu.
“Kami hanya
tinggal berdua disini, ibunya meninggal saat Inayah masih menginjak usia 16
tahun, ibunya seorang ustadzah di daerah ini, dan Inayah ingin mengikuti jejak
ibunya, karena itu, sejak kematian ibunya, dia kemudian menjadi penceramah
menggantikan ibunya di daerah ini”. jelas ayah Inayah sambil mempersilahkanku
duduk di sebuah kursi ruang tamunya.
Sebuah cerita
pahit tapi berbuah hikmah telah kudengar dari seorang lelaki yang ditinggal
mati oleh pasangan hidupnya, di saat yang sama seorang wanita yang berumuran
denganku juga harus kehilangan sosok wanita surganya. Aku tidak tahu harus
bagaimana caraku untuk menanggapi cerita dari pak waryono, apakah aku harus
sedih dengan sepeninggal istri pak waryono sekaligus ibu dari seornah Inayah,
ataukah aku tersenyum bangga dengan kepribadian Inayah yang sangat muliah itu.
kediamkan saja cerita, “tak perlu menanggapinya, cukup cerita itu menjadi
bayangan benakku, biarlah aku sendiri yang tahu bahwa aku sedih mendengar
ceritanya, tetapi di saat yang sama aku juga bangga, tak perlu terungkap”
ungkap dalam benakku.
Kehilangan
seseorang bagian keluarga dan ketika harus memaksakan diri untuk menjadi
pelengkap dari kekurangan meski sebenarnya itu hal yang tak akan bisa terwujud
adalah sebuah cacat kehidupan bagi anak yang ditinggalinya, aku tahu bagaimana
rasanya, karena hal demikian akupun tengah menjalaninya.
Begitu sulit
ketika harus menempuh kehidupan ini dengan hilangnya separuh kasih sayang
keluarga, “jikalau saja bisa aku ingin memohon pada-Nya meminta keabadian dalam sebuah kekeluargaan” namun taqdir
Tuhan telah dan akan berkata lain, bahwa kematian seseorang adalah ketetapan
yang pasti akan dirasakan setiap makhluk-Nya.
Selang beberapa
saat aku dan pak Waryono bercakap dan saling berbagi cerita, Inayah menghampiri
kami dengan membawa Teh dan setoples kue untuk hidangan penyambutanku. aku lagi-lagi
tersenyum padanya, namun dia tetap saja tidak membalas senyumanku, bahkan sesegera
mungkin tatkala melihatku dia pun langsung membuang raut wajahnya untuk tidak
melihatku.
“terima kasih”
kataku pada wanita itu.
Tanpa menjawab
ucapanku, Inayah langsung pergi dan kembali beranjak ke ruang dapur. Tingkahnya
membuatku heran, ada saja orang yang sangat cuek, bahkan ketika berada di
rumahnya pun dia tetap saja enggang untuk berbicara denganku. namun, apa daya
bagiku, meski pada dasarnya aku tidak senang ketika diabaikan, dan itu
membuatku akan membencin orang yang mengabaikanku, meski pada dasarnya aku
telah berhenti memuja-muji wanita dan hanya ketidak percayaan yang masih
tersisah dalam benakku tentang seorang wanita. Namun, kali ini aku harus bisa bertahan
dalam kesabaran lantaran terus diabaikan, bertahan dalam meminta pengajaran
untuk mendalami agamaku, bahkan aku harus bertahan dalam mengubah karakter
diriku yang sebenarnya, karakter yang ketidak sudian untuk mengalah, terpaksa
berubah agar diriku selalu siap mengalah pada sosok wanita yang satu ini.
Setelah lama
bertamu dan berbincang-bincang dengan pak Waryono, dengan hasil akan memulai
bekerja di rumahnya. Aku pun hendak untuk pamit meninggalkan pertemuan itu,
karena hari sudah sore dan juga dari tadi Inayah tak terlalu senang dengan
kehadiranku.
“kalau begitu,
aku permisi pulang pak” kataku sambil berdiri dari kursi tamu.
“ouh iya
silahkan, memangnya kamu tinggal di mana?” tanya pak waryono.
“aku tinggal di
kontrakkan Dewi, karena Dewi sudah lebih dulu pulang ke Makassar, sementara jata kontrakannya belum
selesai, jadi aku di suruh menempati kontrakannya” jelasku, “aku permisi dulu
yah pak, terima kasih banyak atas jamuannya pak, insyaAllah besok saya akan
mulai belajar dengan Inayah, tolong di sampaikan ke Inayah pak, terima kasih,
Assalamu alaikum” kataku yang kemudian menyalami tangan pak Waryono, dan
menoleh ke arah dapur mencari Inayah.
“iya, nanti aku
sampaikan ke Inayah, maaf yah karena Inayahnya tidak ada, memang dia begitu
orangnya, tidak biasa akrab dengan lelaki, sangat tertutup untuk bergaul pada
lelaki.” kata pak Waryono mencoba menjelaskan tentang diri seorang Inayah.
Aku mengangguk
memahami perkataan pak waryono. Akhirnya aku tahu kenapa Inayah sangat
mengabaikanku. Aku pun melangkahkan kaki keluar dari rumahnya, kemudian
berjalan rencana langsung ke rumah kontrakanku.
Aku melangkah
meninggalkan pertemuan dengan rumah yang ditinggali oleh dua orang yang mampu
membangun kebahagiaan keluarganya, menuju ke sebuah kontrakan yang saat ini
sepi tanpa seorangpun di sana, semakin saja kupercepat langkahku agar rumah itu
ada yang mengisinya, meski itu aku seorang.
Sesampai di
rumah, aku duduk seje-nak di kursi tamu, hanya terdiam, beristirahat dan
mencoba memikirkan sesuatu yang bisa aku lakukan di rumah ini, agar tak terasa
hampa tinggal di dalamnya. Akhirnya, aku berinisiatif untuk membuat beberapa
lukisan sebagai penghias untuk ruangan-ruangan dirumah ini, khususnya di ruang
tamu, agar siapapun yang masuk ke dalam rumah ini bisa menikmatinya, dan itu
juga akan membuatku terasa hidup kembali dalam dunia seni lukis.
Akhirnya aku
menyusun beberapa konsep lukisan, dan memikirkan tatanan-tananan untuk
menyesuaikan ruangan yang sempit ini. Namun, Belum selesai menyusun konsep,
perut ini mulai meminta untuk diberi haknya, rasa lapar membuatku tidak bisa
konsentrasi untuk menyelesaikan rencana menghias ruangan. Akupun ke ruang
dapur, jangankan mendapatkan makanan, bahan-bahan untuk memasak makananpun
tidak ada, aku hanya terdiam melihat pemandangan ko-song, kucari bahan makanan
yang bisa aku masuk, sayur, beras, ataupun hanya mie, kucari terus, namun tak
ada hasil. Ruangan ini sangat kosong pada fungsinya sebagai tempat penyimpanan
makanan, "ini bukan dapur, melainkan gudang” kataku kesal sambil
mengotak-atik peralatan dapur.
Sangat lama
untuk bisa menerima kenyataan ini, hidup sendiri, bahkan untuk menyediakan
kebutuhan sendiripun sangat sulit terwujud. Yang bisa aku lakukan, hanya marah!
Marah pada jiwa yang tak bisa merawat membimbing dirinya ini. Dalam marah
mengalir air mata, menangisi diri dalam ketidak tahuan.
Beginilah akhirnya,
karena ketidak tahuan maka segalanya akan bergantung pada hal lain. Untung saja
aku masih punya uang, yang dapat aku belanjakan untuk kebutuhan sehari-hariku,
entah sampai kapan aku akan berada dalam ketidak tahuan mengurusi dapur untuk
memenuhi kebutuhan perutku, setidaknya saat ini perut aku masih tetap terpenuhi
kebutuhunnya. Aku keluar dari rumah untuk membeli makanan, bersyukur karena
jarak dari rumah ke warung tidak terlalu jauh, sehingga mulai sekarang aku
memilih untuk makan di warung itu.
Sampai di
warung, akupun masuk ke dalamnya, beberapa orang sedang antri dengan piringnya
masing-masing, sebelumnya pemandangan ini hanya kutemukan saat aku berada di
pesantren saja, selain itu, baru kali ini aku menemukannya lagi. Lalu, akupun
mengambil pi-ring dan mengikuti antrian orang-orang menuju ke tempat
pengambilan nasi, sayur, kemudian lanjut ke tempat lauk, selesai mengambil
makanan sesuai porsi dan keinginannya, orang-orang itu pun langsung ke tempat
duduk yang tersedia, kalau itu cukup. Jika tidak, maka harus rela menikmati
makan di lantai.
Aku yang tengah
ikut dengan keadaan ini, menyebabkan bercampur-aduk pikiran yang muncul dalam
diriku, di satu sisi aku kesal dengan budaya antri seperti ini, tetapi di sisi
lain aku ingin tertawa karena keadaan antri mengambil makanan saat ini
mengingatkanku dengan masa pondokku. Masih teringat jelas, dulu hampir setiap
kali mau makan, aku dan teman-teman santri di pondok harus antri untuk bisa
mendapatkan makanan, budaya itu sudah mendarah daging di pesantrenku, tak antri
maka tak ada makanan. Namun, ada masa di mana antri itu dapat di manipulasi,
yakni masa senioritas. Sedikit banyak, biasanya santri senior tidak akan
membiarkan dirinya berada di baris belakang juniornya, karena itu, sering kali
santri senior langsung menerobos satu persatu junior yang tengah antri, hal itu
bukan tanpa sepengetahuan junior, tetapi ketakutan junior untuk menegur sikap buruk seniornya, sehingga seniornya
terus melakukan tindakan manipulasi antrian. Selain itu, ada juga cara yang di
pakai oleh beberapa senior lainnya, mereka tidak melakukan terobosan ke
barisan-barisan jeniornya, tetapi santri senior itu menitipkan piring untuk
diisikan makanan kepada santri juniornya. Tindakan yang terakhir ini yang
paling menguntungkan bagi para santri senior, selain tanpa harus antri panjang,
juga santri senior itu hanya menunggu di meja makan, dan menunggu makanan yang
dibawakan oleh adik kelasnya. Karena budaya antri yang terakhir ini yang paling
efektif dan paling di senangi oleh para santri senior, akhirnya dari pihak
pondok melarang budaya itu, akibatnya santri senior harus kembali sabar dalam
antrian panjang.
Antri di
warung, tentunya tak selama pada saat antri saat hidup di pondok, hanya
beberapa menit selang menunggu, satu persatu selesai mengambil makanannya, aku
pun sampai di depan tempat nasi, langsung saja kuambil sendok nasi, dan mengisi
piringku, kemudian ke tempat sayur, dan terakhir tempat lauk. Setelah selesai
mengambil porsi makanan, akupun mencari kursi yang masih kosong, mataku melihat
dari sudut sampat sudut ruangan, namun tak kudapati kursi kosong, semua kursi
telah diduduki oleh orang-orang yang tengah menikmati makanannya, dengan
keadaan seperti ini, terpaksa aku memilih untuk duduk melantai, tidak hanya aku
yang makan melantai, ada beberapa orang yang juga dalam keadaan sepertiku,
namun mereka terlihat menikmati keadaannya, tidak seperti aku yang harus
menahan sabar dalam keadaan seperti ini.
Seusai membayar
makanan, aku langsung beranjak ke rumah kontrakan. Sesampai di rumah, tanpa
memikirkan untuk melanjutkan rencana menghiasi ruangan, langsung saja aku ke
kamar tidur, tanpa berpikir apapun aku langsung membaringkan badangku dan
hendak beristirahat dalam tidur, hari ini banyak hal baru yang mempekenalku
tentang kota jogja, terutama telah kutemukan orang yang bisa menjadi penghubung
antara aku dan Tuhanku, dan di saat yang sama, kutemukan orang yang bisa
menjadi penghubung dalam pencarian rezkiku, mereka adalah Inayah seorang
ustadzah dan pak Waryono, ayah Inayah sekaligus seorang seniman.
. . . . .
Telah kutemukan
sosok orang yang menjadi perantara untuk memahami lebih dalam tentang agamaku,
perlahan-lahan dan setapak demi setapak kuaringi dunia keimanan untuk Tuhanku,
wanita itu telah berhasil mengubah kehidupan hinaku menjadi kehidupan bening
dari noda kemaksiatan.
“Dahulu ada
seorang wanita yang begitu tega menghinakanku lantaran telah menghianati cinta
yang kusandarkan padanya, bahkan aku sempat hanyut bersama wanita-wanita
malamku. Namun, sekarang telah kusaksikan makhluk Tuhan, seorang wanita telah
memberikanku cahaya kasih sayang-Nya untuk kembali ke jalan yang penuh
kedamaian cinta”. Pikirku tentang wanita yang bagiku mereka adalah makhluk yang
penuh dengan teka-teki.
Selain itu, di
saat yang sama, seorang lelaki yang tengah mengarungi kehidupan, namun telah
ditinggalakan oleh istri sebagai wanita sandarannya telah membawaku pada sosok
makhluk yang mampu mengembalikan potensi seniku. Seandainya bukan karena ayah
dan anak wanitanya, mungkin kehidupanku tak seberuntung ini, bahkan mungkin
saja aku tetap hidup dalam jurang kegelapan seperti masa lalu kelamku.
Dan kini, telah
tersebar nama samaranku bersama lukisan-lukisan yang terjual laku dalam waktu
yang singkat. Kini aku harus lebih tekun dalam menyelesaikan pesanan-pesanan
para pelangganku. Di tengah-tengah kesibukanku melukis, kudengar panggilan
lelaki tua yang kini kupanggil dia bapak.
“Andi, lihat!
ada seorang wanita yang memesan lukisanmu katanya dia sangat menyukai karyamu”.
panggil lelaki tua itu yang sedang melayani pelanggan melalui online.
Saat ini bisa
dikatakan lukisanku telah tersebar di mana-mana, cara penjualan pun secara
perlahan-lahan mulai berubah, dari yang dulunya hanya dipajang dalam ruangan
rumah pak Waryono saja, namun minim sekali orang yang datang mengunjungi
lukisan kamu, itupun hanya orang-orang terdekat dari keluarga pak Waryono.
Lalu, aku mulai menjual kesana-kemari untuk menjual lukisan, hasilnya mulai
menghasilkan banyak pelanggang, bahkan sejak itu perlahan-lahan orang-orang
menghampiri rumah pak Waryono untuk membeli ataupu hanya untuk menikmati
lukisanku. Karena menganggap cukup banyak pelanggang, akhirnya aku berinisiatif
untuk memperjual-belikan lukisanku lewat internet.
“Alhamdulillah
pak, dia mau lukisan yang bagaimana pak?” tanyaku senang.
“katanya dia
mau lukisanmu yang berjudul “Wanita”, bagaiman menurutmu?”
“kalau lukisan
itu tidak bisa pak, aku tidak menjualnya”. ungkapku senejak mengingat masa lalu
tentang lukisan itu.
Meski aku
melepaskan wanita dalam lukisan itu, meski aku telah tak yakin dengan cinta
kepada wanita di dalam lukisan itu. namun, bersama lukisan itu telah kutempuh
perjalanan perihku semenjak kepergian Alya, saat itu kulukiskan segala menafsiranku
tentang wanita, apakah suatu saat nanti akan ada yang menyukainya atau bahkan
jika orang-orang akan membenci karya lukisanku itupun, tetap akan aku simpan
lukisan itu, karena dengannya aku hidup didalamnya.
“kalau begitu
kamu saja yang balas pesannya, aku akan mengurus yang lainnya” ungkap pak
Waryono yang kemudian beranjak meninggalkan percakapan onlinenya dengan
pelanggan-pelanggannya.
“iya pak”
sahutku seraya menuju ke komputer diatas sebuah meja yang terletak di pinggir
ruangan kerja untuk melukis.
Kulihat obrolan
tentang seorang pelanggang yang ingin membeli lukisan bertemakan wanita itu.
dia seorang wanita, kulihat beberapa obral masuk darinya, hanya untuk
mempertanyakan tentang lukisan yang tidak akan aku jual.
“kami moho maaf
karena lukisan yang berjudul wanita kami tidak perjual belikan, tapi kalau anda
mau melihatnya secara langsung silahkan datang di acara “Pameran Kasih” pada
tanggal 08-15 Oktober di gedung “Senjaya”, terima kasih.” kuusaikan percakapan
dengan pelanggang itu.
Demi membuat
seorang pelanggang berhenti untuk berkomentar tentang lukisan yang satu itu,
terpaksa aku mengatakan akan mengadakan acara pameran yang sebenarnya akupun
tak tahu akan terlaksana atau hanya menjadi modus pengalihanku saja pada
seorang wanita.
“Bagaimana? Dia
jadi membeli lukisanmu?” kata bapak yang tengah menggoreskan kuasnya
menyelesaikan lukisannya.
“Tidak pak, aku
menolak untuk menjual lukisan itu, aku bilang kalau mau melihat langsung
lukisan itu silahkan datang ke pameran nanti”. jelasku pada bapak, aku beranjak
meninggalkan percakapanku dengan para pelanggang dan kembali hendak
menyelesaikan lukisan baruku.
“Apa? Pameran?
Siapa yang akan mengadakan acara pameran? Kamu? Untuk mengadakan sebuah acara
pameran kita membutuhkan biaya yang lebih, apa kamu sanggup?”
“Sebenarnya itu
cuman modus aku untuk menghindari wanita itu, tapi setelah kupikir-pikir
membuat pameran bisa menambah pengenalan kita pada khalayak. Mudah-mudahan saja
di berikan kes empatan untuk mengadakatannya”. kataku mulai bertekad untuk
mewujudkan sebuah pameran lukisan.
Setelah sekian
lama tanganku diam tanpa memainkan kuas di atas media lukisan, lantaran disibukkan
oleh kehidupan yang terus menuru menyeretku ke dunia kehinaan. Akhirnya saat
ini tangan ini mulai tumbuh dewasa bersama karya-karya ciptaannya. Bermula dari
pelanggang wanita yang sangat menginginkan lukisan yang sangat berarti bagiku,
sampai akhirnya aku berpikir untuk mempersembahkan karya-karyaku pada dunia
khalayak.
Sampai saat ini, bisa dikatakan telah banyak
karya yang bernaung di bawah tanganku, satu persatu terjual dan yang lainnya
masih terpampan rapi menghiasi ruangan kerja bapak, siapapun yang memasuki
ruangan itu maka akan terhentikan oleh sejejeran lukisan yang menggambarkan
penafsiranku tentang berbagai hal, terutama tentang wanita, yang kuanggap
sebagai makhluk unik.
Di saat yang
sama, sebuah kesyukuran terdalam bagiku, lantaran sedikit demi sedikit
kedamaian iman telah menyelimuti kehidupanku, tengah kurasakan keindahan kasih
sayang-Nya yang tak terbatas. Sejenak terpikirkan tentang masa kelamku, yang
pernah sesat lantaran hubungan yang kuanggap saat itu cinta bersama sosok
wanita. Namun, perasaan demikian telah menjauhkanku dari Tuhanku, sampai
sekarang pernyataan bahwa perasaan itu adalah ‘cinta’ masih terus mengambang
dalam benakku, namun, cinta tak bisa aku salahkan karena akulah pelakunya, mungkin
ada yang salah ketika aku mengaku mencintai seseorang, bahkan mungkin bukan
cuman aku, tapi setiap orang akan mengalami kesalahan dalam menganggap
mencintai seseorang. Kesalahan karena ketidakpahaman tentang sebuah hubungan,
ketidakpahaman karena keterlanjuran mengikuti alur sebuah hubungan itu, sampai
berakhir dengan penyesalan, bahkan menjauhkan dari kedaiman, kasih sayang, dan
jatuh pada nasib yang penuh kehinaan.
Sungguh tidak
akan berubah nasib seseorang jikalau bukan dia sendiri yang mau berusaha
mengubah nasibnya. Jatuhnya seseorang kejurang kehinaan tidak lain adalah
akibat kebodohannya dalam menjalani hidup, padahal manusia telah diberi potensi
berfikir dalam meningkatkan taraf kehidupannya. Dalam hidup ini, telah tertulis
alur cerita setiap orang, ada yang mengatakan bahwa manusia hidup hanya
mengikuti alur yang di buat Tuhannya, di saat yang sama, ada juga yang
mengatakan bahwa manusia hidup sesuai apa yang mereka tentukan sendiri. Apapun
itu, hidup ini terlalu singkat untuk mencari tahu siapa yang mengatur alur
cerita ini, yang jelas bahwa Tuhan ataupun Manusia keduanya menginginkan alur
cerita yang terbaik.
Sekali lagi,
sebuah kesyukuran tersendiri bagiku, telah keluar dari dunia masa kelamku, kini
aku hanya fokus pada pengembangan dalam memahami ajaran-ajaran Tuhanku. Bersama
Inayah, wanita yang kerap mengantarku menjadi lelaki sejati dalam mengimami
diriku sendiri bahkan bagi orang lain. Tidak terpikir sama sekali olehku bahwa
aku akan menjadi figur penting dalam masyarakat, aku hanya berusaha mendalami
ajaran-Nya, namun tidak jarang Inayah memperkenalkanku pada khalayak
masyarakat.
Masih teringat
dengan jelas, saat awal pertemuanku dengannya, sedikitpun Inayah tak
memperlakukanku dengan baik, yang ada hanya sikap abai. Namun seiring menjalani
pertemuan panjang, hari demi hari, sikap wanita itu pun mulai terlihat akrab
denganku, sedikit demi sedikit dia mulai memahami tentangku, tak beda denganku,
akupun sedikit banyak telah memahami tentangnya. Saking akrabnya, aku dan
Inayah sudak seperti sepasang kekasih yang saling mencari ketika satu di
antaranya tidak ada, atau bahkan seperti saudara kandung yang tak ada lagi
penghalang untuk berbagi satu sama lain.
Hari ini,
adalah hari penting untuk Inayah, aku berencana akan memberkannya hadiah, namun
aku bingung hadiah apa yang cocok untuknya, aku ingin sekali membuat hari
istimewah ini menjadi sebuah cerita terindah tentang kebersamaanku dengannya.
Berkali-kali aku mondar-mandir di ruangan, untuk memikirkan tentang sebuah
kado, hampir satu jam saya mondar-mandir, sampai kakiku merasa kesakitan, namun
tak juga kutemukan kado yang cocok, kubuka internet untuk mencari hadiah ulang
tahun, biasanya internet menjadi penolong untuk siapapun yang mencari apapun di
dalamnya, namun, ternyata satupun tak ada hadiah yang cocok untuk kuberikan
pada Inayah. sangat lama aku terdiam, memikirkan karakter Inayah, agar
tergambar di dalamnya kado yang cocok. selang beberapa saat aku termenung,
tiba-tiba terlintas dalam benakku tentang lukisan yang selama ini aku simpan.
Lukisan yang ingin aku berikan pada orang yang memberikan keindahan dalam
hidupku, dulunya aku ingin memberikannya kepada Alya karena kebahagiaan
bersamanya, namun ternyata kebahagian itu hanya bagian dari fatamorgana saja.
Kali ini aku memikirkan akan memberikan lukisan itu kepada Inayah, “mungkin
Inayahlah orang yang tepat untuk lukisan ini” kataku sambil memandangi lukisan
itu, “mungkin bagi orang lukisan ini tak terlalu indah, namun bagiku lukisan ini
bukan hanya berbicara keindahannya, melainkan tentang kisah yang ada di
dalamnya”.
“Andi...!!”
teriak Inayah dari balik pintu kura rumah, “Andi..!!” katanya sambil melepaskan dan menyimpan sepatunya di rak sepatu dekat
pintu, “Andi..!!” teriaknya lagi.
Aku yang tengah
terus mempersiapkan lukisan utnuk
kuberikan padanya, sejenak tak menghiraukan panggilan wanita itu. Terus saja ku goreskan kuas ke atas
anvas seakan tak mendengar panggilannya sekalipun.
“Andi....!!!”
teriak keras Inayah yang saat itu telah berada di hadapanku, aku terkejut.
Inayah terlihat sangat kesal, dia menatap tajam ke arahku. Sepertinya ada hal penting yang ingin dia sampaikan sampai
terlihat terburu-buru.
Tanpa berbicara
sekatapun, aku langsung menghentikan kerjaanku, dan beranjak membersihkan
tanganku yang dipenuhi cat lukisan. Di rumah ini, satu sisi aku diperlakukan
seperti parnert kerja oleh pak Waryono, tapi di sisi lain, aku diperlakukan layaknya
anak kecil oleh Inayah.
“cepat Andi !”
kata Inayah tengah berjalan ke pintu keluar. Tingkahnya membuatku bingung, baru
kali ini aku melihatnya terburu-buru, seakan tidak nyaman tinggal di rumahnya
sendiri, belum sempat beristirahat tetapi wanita itu bergegas mengajakku
keluar.
“kamu mau ke
mana? tanyaku dengan heran sambil mengikuti wanita yang terus berjalan
meninggalkan rumah.
“kita harus
pergi, cepat!” Inayah berjalan terus.
“iya, tapi
kenapa terburu-buru?”aku tidak mengerti apa yang sedang Inayah lakukan, mungkin
sesuatu terjadi yang diluar biasanya.
“ayah
kecelakaan…” Inayah menghentikan langkahnya, kulihat air matanya tengah
membasahi kedua pipinya.
“kenapa bisa?”
tanyaku heran bercampur tidak percaya.
Namun, Inayah
tak menjawabku, dia kembali melanjutkan langkahnya dengan air matanya yang
terus membasahi kedua pipinya, tubuhnya terlihat sangat lemas, namun wanita itu
tak memperdulikannya, dia terus berjalan sangat cepat. Melihat keadaan wanita
yang tengah menangisi keadaan ayahnya, membuatku hanya terdiam memikirkan
kesedihan wanita itu. terbayang pak Waryono, yang telah banyak mengajariku
tentang arti sebuah proses dalam usaha, dia yang setia mendampingi setiap
karyaku, bahkan dia yang mengajariku tentang arti hidup di perantauan.
Setelah berjalan
jauh dari rumah, Inayah memanggil taksi, dan menginstruksikan menuju ke rumah
sakit. Selama perjalanan, aku tidak bisa berbuat banyak melihat Inayah masih saja terus menangis.
“ina, tenangkan
dirimu, InsyaAllah ayahmu akan baik-baik saja” kataku berusaha menenangkannya.
Namun, Sedikit pun kata-kataku yang menenangkannya, Inayah tetap saja menangis.
Selang beberapa
menit menempuh perjalanan dengan suasana kesedihan yang berbaur dalam diri
Inayah, akhirnya sampailah di depan rumah saki. Inayah langsung berlari mencari
ruangan yang di tempati sang ayahnya. Beberapa ruangan kamu masuki, namun tak
juga ketemu ayah, keadaan semakin mempersulit Inayah, tingkahpun semakin tak
karuan, aku berusaha membantu untuk menemukan ruangan pak waryono, sampailah di
se-buah ruangan yang masih di kerumunin beberapa suster dan seorang dokter,
ter-nyata orang-orang itu tengah berusaha menyembuhkan pak Waryono.
“Inayah..!! di sini” teriakku kepada Inayah yang terus
berlari mencari ruangan ayahnya. Mendengar perkataanku, Inayah pun langsung
berlari keruangan yang kumaksud.
Namun, ternyata
kehadiran kami sudah terlambat, ayah Inayah tak dapat lagi di selamatkan,
banyaknya pendarahan di bagian kepalanya, membuat sang ayah dari seorang wanita
yang telah kehilanga ibunya, kini harus menanggung kepedihan yang berlipat-lipat.
Di hari ulang tahunnya, hari yang mestinya mendatangkan kebahagiaan untuk
Inayah, namun ternyata dia harus menjalaninya dengan kehilangan satu lagi sosok
penting dalam hidupnya, hari ini seorang ayah telah meninggal dunia di hari
ulang tahun anaknya.
Kejadian yang
menimpah Inayah saat ini mengingatkanku dengan masa kecil Alya, yang saat ulang
tahunnya juga harus ditinggalkan oleh seorang ayah untuk selama-lamanya.
Kejadian ini, membuatku tercengang lantaran bingung harus berbuat apa untuk
mengatasi masalah yang sama ini. Aku hanya terdiam membisu menyaksikan
kesedihan Inayah, “dua wanita kusaksikan telah menjalani nasib yang sama
persis, Tuhan, pertanda apa ini?” bingungku dalam hati.
Tak sanggup
kujawab kisah yang terlalu perih ini, sungguh hanya kebingungan dan kebimbangan
kini kurasakan bernaung dalam musibah yang menimpah seorang wanita yang
ditinggal mati oleh sang ayah. Bergetar tubuhku menjadi lemah, darahku seakan
berhenti mengalir, nadiku berdetak semakin lambat, entah mengapa dadaku sangat
sakit ketika berhadapan dengan wanita yang tengah terluka, kufikir aku sedang
sesak nafas, beberapa kali aku menarik nafas dengan tenang, namun tak
sedikitpun mempengaruhinya, dada ini sangat sakit, sakit sekali, sampai kukira
aku akan ikut mati bersama ayah Inayah.
Beberapa saat
setelah keadaan menyiksa Inayah dengan ditinggal mati oleh ayahnya, yang juga
menyiksaku lantaran tak ada lagi sosok yang bisa menemaniku dalam berkarya seni
lukis. Tiba-tiba seorang lelaki muda datang dan ikut masuk dalam keadaan perih
ini.
“Ina, maafkan
aku, aku baru tahu info tentang ayahmu” kata lelaki itu.
“kamu ke mana
aja selama ini?” kata Inayah dengan suara tangisnya.
“maafkan aku,
kalau selama ini tidak ada di dekatmu”
Inayah tidak
menjawabnya, dia terus menangis, di saat yang sama, lelaki itu melangkah
mendekati jasad pak Waryono, lelaki itu ikut terhanyut dalam kesedihan. Sejenak
aku bingung melihatnya, kulihat dia sangat akrab dengan keluarga Inayah. aku
merasa tersudutkan karena kehadiran lelaki itu, Inayah lebih memilih untuk
mencurahkan kesedihannya kepada lelaki itu daripada aku, semakin lama aku merasa
kehadiranku tidak ada pengaruhnya untuk Inayah. tanpa berkata sepatah pun, aku
langsung beranjak keluar dari ruangan, meninggalkan kesedihan yang masih menyelimuti
Inayah karena kepergian ayahnya. Meski aku sulit untuk meninggalkannya
menenangisi jasad ayahnya, namun aku harus tetap meninggalkannya, karena ada
lelaki yang cukup menjadi pendangpingnya sekarang, yang membuat Inayah jauh
lebih baik mungkin jika dibandingkan bersamaku.
. . . . . .
Seiring
kepergian pak Waryono, lelaki asing yang datang saat di rumah sakit, sekarang
seakan menggantikan kedudukan pak Waryono, lelaki itu sangat akrab dengan
Inayah, bahkan kesedihan Inayah sedikit demi sedikit mulai pudar bersama
kebersamaannya dengan lelaki yang sering Inayah panggil ‘abang’. Di bandingkan
aku, memang lelaki itu lebih pintar dalam mengambil perhatian Inayah, dia juga
lebih tahu banyak tentang keluarga Inayah, termasuk hal yang disukai dan dibenci
Inayah. siapapun dan bagaimana pun keakraban Inayah dengan lelaki itu, tidak
ada hak bagi saya untuk masuk dalam kehidupan mereka.
Aku merasa
pembelajaranku dari Inayah, tidak senyaman dulunya, Inayah telah kehilangan
ambisi untuk menga-jarkan ilmunya, mungkin dia masih merasakan kesedihan
ditinggal mati oleh sang ayah, mungkin itu. atau mungkin karena kehadiran
seorang lelaki lain, yang keak-rabannya dengan Inayah melebihi keakrabanku.
Saya tidak tahu pasti tentang kebenarannya, namun yang kutahu, perasaan tidak
nyaman semenjak ada lelaki asing itu.
Kuputuskan
untuk tidak belajar agama lagi kepada Inayah, “mungkin lebih baiknya kalau aku
mencari guru lain yang dapat menggantikan Inayah, atau mungkin kucukupkan saja
belajarku pada seorang guru ?” pikirku.
Pagi ini, aku
tak memikirkan untuk pergi belajar, sambil membereskan rumah kontrakanku, aku
berusaha menikmati tinggal di dalamnya. Di tengah kesibukanku mengatur kursi
ruang tamu yang kuanggap terlalu meramaikan ruang tamu yang sangat sempit.
Suara dering dari balik ponselku terdengar mengagetkanku. Kulihat nama yang
tertulis di layarnya, ternyata Alya, nama Alya terpampang sebagai sedang
menelponku. “kenapa dia tiba-tiba menelponku?” bingungku sambil terus melihat
panggilannya, aku tak mau mengangkatnya, kutaruh ponselku di atas meja, namun
dia terus bordering. Beberapa kali, dan itu membuatku tiba-tiba khawatir, entah
mengapa, kurasakan firasat bahwa Alya sedang sangat membutuhkanku. Kulihat lagi
ponselku, perlahan-lahan tanganku tergerak sendirinya menggapai ponselkua dan
menekan tombol terima.
“Assalamu
alaikum..” sapa suara yang menelponku, suaranya sangat akrab di telingaku,
namun bukan suara Alya.
“Waalaikumussalam…”
“bagaimana
kabarmu nak?”
Itu suara ibuku,
suara yang selama ini kurindukan, seketika saja suaranya menggetarkan jiwaku,
meluap kesena-nganku sampai tak sanggup menahan air mataku.
“Halo nak !”
“iya bu..” kataku sembari mengusap air mataku
dan menenangkan kegembiraanku.
“Alhamdulillah
baik bu, kalau ibu bagaimana kabar di sana?”
“Alhamdulillah,
aku di sini baik-baik” kata ibu, “kapan pulang nak?” suara ibu menjadi pelan
dan tiba-tiba menghentikan kegembiraanku menjadi rasa bersalah.
Aku tidak
menjawab pertanyaan ibu, aku masih mengingat dengan jelas saat aku diusir dari
kampungku, itu adalah kejadian yang sangat memalukan dalam hidupku, seakan
hidupku saat itu tidak ada artinya, diusir lantaran dosa membuatku malu untk
kembali lagi ke kampung halamanku. Kali ini aku dibingungkan dengan sebuah
pilihan, aku tidak tahu harus memilih pulang dari tempat terusirku dan bertemu
dengan masyarakat yang mungkin akan menghina dengan kebenciannya. Atau aku
harus menolak permintaan ibuku, seorang yang bagiku adalah wanita Tuhanku,
bagaiamana mungkin kehendakku menolak kewajibanku sebagai seorang anak.
“Andi, ibu
sangat rindu nak, pulanglah nak” lagi-lagi ungkap ibuku, kali ini suaranya
terdengar dicampuri tangisan.
“iya bu, pasti
saya akan pulang, secepatnya saya pulang bu, kalau itu permintaan ibu, tidak ada
alasan bagiku untuk menolaknya, saya juga rindu bu, sangat rindu denganmu, bu.”
Kataku tak bisa menahan tangisan saat mendengar seorang wanita muliaku
menangis. Tak peduli akan mendapatkan cacian oleh masyarakat, atau bahkan
siksaan yang kelak kudapati saat tiba di kampungku, sungguh keinginanku untuk
memenuhi permintaan ibuku membuatku tak menghiraukan apapun yang akan dilakukan
masyarakat kepadaku.
“kalau begitu,
ibu tunggu kedatanganmiu nak”
“iya bu”
“Assalamu
alaikum”
“wa
alaikumussalam wa rahmatullahi wa barakatuh”
Terasa sangat
singkap percakapan itu, namun dapat menjawab kerinduanku selama ini. sebuah
kesyukuran yang berlimpah seketika kurasakan saat berbicara dengan ibu, sungguh
suara ibu menjadi obat atas kepedihan hidupku.
Setelah menutup
telpon dari ibu, aku pun langsung beranjak menuju rumah Inayah. Sebelum aku
pulang ke Makassar, aku ingin memenuhi rencana yang pernah kusepakati dengan
pak Waryono untuk mengadakan sebuah pameran lukisan. Namun, karena ketiadaan
pak Waryono, dan dana yang tersedia untuk acara pameran tersebut tidak
mencukupi. Sehingga tidak ada jalan lain, kecuali acara tersebut diadakan di
rumah Inayah.
“Assalamu
alaikum” kataku sambil mengetuk pintu rumah Inayah.
“wa
alaikumussalam” jawab Inayah yang kemudian membuka pintu.
“bisa kita
bicara? Penting” kataku sedikit memaksa.
“iya bisa,
memang mau bicara tentang apa ?” tanya Inayah melihatku heran.
“tapi tempatnya
jangan di sini, bisa kita bicara di luar saja”
Inayah hanya
mengangguk mengiyakan permintaanku. Aku dan Inayah berjalan ke sebuah taman,
yang agak jauh dari rumahnya. Sebuah taman yang sering kami kunjungi dulu, di
taman ini aku dan Inayah saling berbagi cerita. Sungguh taman ini telah menjadi
saksi kisahku bersama Inayah.
“Inayah, aku
berterima kasih karena kamu telah mengajariku banyak hal, kalau bukan karena
kamu, mungkin aku masih berada dalam kehidupan yang sesat.” Kataku membuka
kenangan.
“kamu tidak
perlu berterima kasih kepadaku, itu merupakan kewajiban kita sesama umat Islam untuk
saling membawa kepada jalan kebaikan” ungkap Inayah.
“di tempat ini,
sedih, tawa, telah menjadi kisah tempat ini, aku bersyukur karena telah
dipertemukan denganmu, terima kasih telah mengisi hidupku, dan mengajarku
menjadi manusia”
“kamu kenapa?
Kamu mau pergi?” kata Inayah yang melihatku dengan kebi-ngungannya.
“dua hari ke
depan, saya akan pulang ke Makassar, mungkin sangat lama lagi untuk bisa
kembali ke sini lagi” ungkapku melihat ke arah wanita itu.
Kulihat Inayah
terkejut saat mendengar perkataanku, “kenapa?
Kenapa mendadak?” kata Inayah dengan nada yang sedikit keras dari biasanya.
“maafkan saya,
Ibu saya meminta saya untuk segera pulang” kataku mencoba menjelaskan tentang keadaanku.
Inayah
menganggukkan kepalanya, “kalau itu atas permintaan ibumu, pergilah, penuhi
kewajibanmu sebagai seorang anak” kata Inayah memaksakan senyumannya.
“Aku bisa minta
tolong?” kali ini kuungkap permintaanku.
“mau minta
tolong apaan?”
“aku ingin
menepati janji yang per-nah saya buat bersama ayahmu, kami dulu berencana
mengadakan pameran lukisan, karena itu untuk terakhir kalinya, aku ingin
membalas kebaikan ayahmu, izinkan aku mengadakan acara pameran itu”
Inayah sejenak
terdiam, “iya, lakukanlah yang kamu ingin lakukan, aku akan membantumu” kata
Inayah setelah beberapa saat memikirkan sesuatu.
“besok, aku
akan sebarkan pengumuman untuk khalayak tentang acara pameran ini, sekaligus
kita persiapkan semua lukisan”
“apakah
hasilnya akan maksimal, ini terlalu mendadak, sebaiknya diundur saja”
“aku juga
pikirnya begitu, tapi acara itu harus diadakan secepatnya, tidak peduli banyak
sedikit pengunjung yang akan datang”
“kalau itu
keinginan kamu, aku akan membantumu semampuku”
“terima kasih, kalau
begitu aku permisi pulang dahulu” kataku yang kemudian beranjak meninggalkan
Inayah.
Aku tidak boleh
menampakkan kesedihanku lantaran akan berpisah dengan Inayah, aku harus kuat
menahan siksaan ini. meski aku mulai nyaman bersamanya, namun aku harus pergi,
meninggalkan perasaan ingin bersama Inayah. aku hanya seorang murid dan
temannya, tidak lebih dari itu. karena itu, cukuplah aku yang tahu tentang
perasaan ini.
Semakin jauh
aku melangkah, semakin kurasakan sakit yang akan menyiksaku saat berpisah dengan
wanita itu, kurasakan sakit ini lebih dari sakit yang pernah kutanggung karena
Alya. Lagi-lagi aku harus merasakan sebuah perpisahan yang hanya akan menjadi
sebuah cerita tentang pertemuanku dengan seorang wanita.
Sesampai di
rumah, aku langsung menyiapkan perisapan untuk pameran, kumulai dengan menata
konsep pameran, kemudian kuambil lukisan-lukisanku. Siang, menjelang sore, dan
sore digantikan malam yang membawaku ke dalam ruang mimpi.
. . . . . . .
Lanjut ke Warna Wanita berikutnya....
(Terima kasih telah membaca, untuk lebih lengkapnya, tulisan ini termuat dalam
sebuah novel berjudul Warna Wanita)
Warna Wanita: Bisikan Putih Inayah
4/
5
Oleh
Unknown