Sabtu, 14 Januari 2017

Warna Wanita: Bisikan Putih Inayah



BISIKAN PUTIH INAYAH

HANYA beberapa hari aku bersama Dewi, sosok wanita cerewet yang datang tiba-tiba. Namun, telah mengantarku pada kehidupan baru, tentang menghargai kebersamaan yang sedang dijalani, kepergiaan Dewi menyisahkan kisah tanpa awal namun berakhir, sungguh tak ada kata yang mampu menyimpulkannya.
Kemarin aku berusaha mengacuh-kannya, namun hari ini aku membutuhkannya, kemarin aku membencinya, namun hari ini aku merindukannya, dan kemarin aku berusaha untuk tidak mendengarkan cerita-ceritanya, namun hari ini aku mencari suaranya. Aku mulai berpikir bahwa kesunyian saat sampai di rumah kontrakan ini, adalah tanda bahwa akan hilangnya keributan dari wanita yang selama ini mengisinya. Hari ini hanya sunyi, senyap, kaku, dan ketidaktahuan yang kualami dalam ruangan kontrakan ini.
Hidup akan terus berjalan, entah diterima atau tidak, yang lalu akan semakin berlalu, dan yang datang akan semakin mendekat. Aku tidak bisa terus menerus diam dan hanya merenung lantaran kehilangan seseorang, tak boleh diriku berhenti menyambut kehidupan baruku, Dewi akan marah jika melihatku terdiam pilu, ibu akan kecewa jika kepergiaanku tak menghasilkan amal jariyah untuknya, dan masyarakat akan selalu memojokkanku jika kerusakan akhlakku terus berlanjut.
Akhirnya aku berkemas, memantapkan niat, mempersiapkan diri, untuk mengubur masa kelamku dan menyambut kebaikan akhlakku. Hari ini matahari pagi kubiarkan berlalu, aku berencana ingin menemui seorang ustadzah yang disarankan Dewi, barangkali dia bisa membagikan pengetahuannya, dan menerangi gelapnya kehidupanku. Di saat yang sama, aku juga ingin mencari tempat untuk mewadahi usaha melukisku, sebagai penghubung hidupku selama tinggal di daerah perantauan ini, karena itu aku sengaja membawa lukisan yang sebenarnya tercipta untuk Alya.
Pukul sembilan lewat beberapa menit, kumulai meninggalkan rumah kontrakan, dan kuarahkan langkahku mencari sebuah masjid yang di dalamnya ada pengajian, karena dengan itu, aku sangat yakin bahwa di situlah wanita yang Dewi maksud.
Setelah berjalan jauh, serta bertanya kepada beberapa orang, akhirnya sampai juga ke sebuah masjid yang di dalamnya terdapat sekelompok orang yang tengah mendengarkan ceramah dari seorang wanita, akupun melangkah masuk ke ruangan masjid, kulihat dengan seksama wanita itu, seketika timbul ketidak percayaanku dengan apa yang sedang kusaksikan, wanita yang tengah bercerita itu adalah wanita yang pernah menamparku, di satu sisi aku tidak yakin bahwa wanita itu adalah ustadzah yang Dewi, tapi di sisi lain kebutuhan akhlakku bergejolak untuk segera diperbaiki. Tanpa memperdulikan sakitnya tamparan yang telah wanita itu berikan, bahkan meski harus menerima tamparan beberapa kalipun, aku tetap harus bertemu dengan wanita itu.
Selangkah demi selangkah, perlahan kudekati para jama’ah sampai menyatu dengan mereka. Kulihat beberapa dari mereka sibuk mencatat apa yang dikatakan ustadzah itu, aku semakin yakin bahwa yang disampaikan wanita itu sangat berguna.
“Demikian untuk sementara, mung-kin ada yang ingin bertanya, kami persilahkan, monggo angkat tangannya, dan sebutkan namanya.” Kata ustadzah itu.
Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengangkat  tangan.
“saya! Saya ingin bertanya mas” teriakku pada wanita itu.
“iya, mas yang di belakang, silahkan ajukan pertanyaannya”.
Aku berdiri agar ustadza itu melihatku dengan jelas, “Assalamu alaikum, nama saya Andi, saya pernah mendengar, bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk lelaki, layaknya Hawa yang dicipatkan dari tulang rusuk Adam, apakah itu benar?
Wanita itu sejenak terdiam kemudian berdiri menghadap kearahku, “iya memang ada perkataan seperti itu, dan itu adalah hadits nabi sendiri, tetapi jangan salah memahaminya, hadits itu bukan menunjukkan asal mula penciptaan wanita, melainkan hadits itu berbicara tentang sifat dasar wanita, Nabi mengatakan wanita itu tercipta dari tulang rusuk lelaki, yakni wanita harus berada di samping pria, sehingga lelaki bisa menjaganya.
Kalau saja wanita mestinya dilindungi oleh lelaki, tetapi kenapa karena Hawa sebagai seorang wanita, sehingga adam di buang dari surga yang penuh kebahagiaan, bagaimana mungkin lelaki bisa melindungi wanita kalau wanita malah tidak melindungi lelaki itu, bahkan karenanya lelaki terusir dari surge yang megah nan penuh kenikmatan?
“tentang terusirnya Adam karena Hawa adalah cerita dongen yang telah tersebar luas, yang menjadi opini dunia, karena itu wanita dianggap sebagai sumber segala dosa dan godaan yang dapat menjerumuskan lelaki. padahal yang demikian itu adalah hal keliru, bacalah Al-Qu’ran, di dalamnya tidak pernah sedikitpun menyalahkan wanita dan mem-benarkan lelaki. Al-qur’an tidak pernah menggambarkan bahwa iblis menggoda hawa dan Hawa menggoda Adam. Tidaklah benar bahwa Hawa sebagai terdakwa utama dalam kasus terusirnya Adam dari surga, dalam ayat 22 surah al-A’raf, di jelaskan bahwa iblis membujuk keduanya dengan tipu daya, tampak dengan jelas iblislah yang menjadi pelakunya, dan dia menggoda Adam dan Hawa, bukan hanya Hawa. Karena itu, keluarnya adam dari surga, bukan disebabkan Hawa, tetapi keduanya bertanggung jawab secara bersama-sama karena keduanya telah terpengaruh oleh godaan setan.
Aku mengangguk mulai memahami jawaban dari ustadzah itu, “Bagaimana menurut ustadzah tentang derajat lelaki di atas para wanita?” tanyaku lagi.
Mendengar ucapanku, wanita itu terlihat menampakkan wajah kesalnya “itu pendapat  yang keliru, memang ada ayat menyatakan kepimipinan lelaki terhadap wanita, silahkan baca al-Qur’an surah al-Nisa ayat 34, dan surah al-Baqarah ayat 228. Namun, dari ayat-ayat itu bukan berarti lelaki lebih mulia daripada wanita, melainkan ayat-ayat tersebut mengacu kepada pembagian tugas antara lelaki dan wanita, bukan menjelaskan tentang kelebihan lelaki atas wanita. Para suami mempunyai tugas yaitu memimpin keluarga dan mencari nafkah untuk keluarganya, dan wanita ditugasi untuk mengandung melahirkan, dan menyusui anaknya, serta memberikan pelayanan pada suaminya. Sehingga pada akhirnya tidak ada yang lebih mulia antara wanita dan lelaki melainkan keduanya saling melengkapi dan saling membutuhkan.
Aku ingin membahas lebih luas, tidak hanya pada dunia keluarga, aku ingin tahu peran wanita dalam negara, ada yang mengatakan bahwa wanita tidak boleh menjadi pemimpin, bahkan mereka mengatakan negara itu tidak akan beruntung jika berada di bawah pimpinan wanita.
“Kamu pernah mendengar cerita tentang Ratu Balqis, dia seorang raja wanita yang berhasil memimpin kerajaannya dan menciptakan berbagai peradaban, negri mereka aman dan makmur, rakyatnya rukun dan damai, serta mempunyai kekuatan militer yang tangguh. Apakah kamu pernah dengan tentang Sharajat al-Dur, pendiri kerajaan Mamluk yang memerintah wilayah afrika utara terus ke asia barat. Selain itu, apakah kamu tidak tahu bagaimana Ratu Elizabeth dari inggris telah berhasil memerintah lebih dari empat dasa warsa. Pemahaman tentang ketidak bolehnya wanita memimpin negara sebaiknya dipahami bahwa wanita tidak bisa memimpin suatu negara tanpa melibatkan lelaki dalam kepimimpinannya, mulai dari jabatan tertinggi maupun terendah.  jika wanita sendiri menangani semua urusan pemerintahan tanpa ada lelaki yang diikutsertakan, maka barulah rakyat yang dipim-pinnya itu tidak akan mendapatkan keberuntungan.
Terima kasih atas jawabannya, tapi aku masih ingin bertanya, dan ini mengenai tentang pengalamanku. Selain ibuku, aku pernah tidak peduli dengan apa yang dikatakan wanita, pendapat, nasehatnya tak sedikitpun yang kuperhatikan.
“Cobalah buka al-Qur’an, di dalamnya ada surah bernama al-Mujadalah, yang artinya wanita yang berdebat. Saking dihormatinya pendapat dan nasehat yang disampaikan oleh wanita sampai-sampai diberi nama surah yaitu al-Mujadalah. Bukankah yang demikian itu menjadi bukti bahwa Allah amat menghargai buah pikiran kaum wanita. Kalau saja Allah yang Maha Kuasa, menghargai pendapat dari sosok wanita, mengapa kamu tidak?
Seketika aku terdiam, lantaran dikejutkan oleh perkataan wanita itu. aku berpikir bahwa perilaku yang selama ini kulakukan kepada wanita-wanita saat menjadi bos preman adalah perbuatan yang ternyata melampaui perbuatan Tuhanku. Tetapi, akupun tidak akan terima dengan kesalahan yang kuperbuat, karena yang membuat diriku mengabaikan nasehat dan pendapat wanita adalah Alya, seorang wanita, Lantaran dia meninggalkanku bersama perjodohannya dengan lelaki lain.
“Satu pertanyaan lagi,” kataku mencoba menungkapkan keadaanku, “pertanyaan ini berhubungan dengan kisah yang dialami oleh wanita yang pernah mengisih hidupku, dulu aku bersamanya hidup bahagia, namu kami berpisah lantaran dia dijodohkan dengan lelaki lain oleh ibunya. Jika boleh, apa yang harus dilakukan oleh wanita itu?
Wanita itu sedikit tersenyum, dalam pikirku bahwa dia sedang menertawai masa laluku “Aku tidak tahu sepenuhnya tentang masa lalumu dengan wanita itu, tetapi kalau masalah perjodohan, mungkin aku bisa menjawab, bahwa bagaimanapun itu untuk mendapatkan kesesuaian kedua calon mempelai, islam memberikan hak yang sama dalam menentukan jodoh. Wanita bebas menerima atau menolak penjodohan orang tuanya. Nabi sendiri menegaskan bahwa tidak boleh menikahkan wanita sebelum meminta izin kepadanya. Dengan catatan, jika orang tua menjodohkan anak wanitanya dengan lelaki yang buruk akhlak, agama, dan terkenal tak pantas menjadi pemimpin keluarga, maka si anak wanita itu bisa menolak penjodohan orang tuanya. Tetapi, jika orang tua menjodohkan anak wanitanya kepada lelaki yang taat agamanya, baik akhlaknya, dan mampu menjadi pemimpin keluarga, maka si anak wanita itu tidak boleh menolak perjodohan yang ditentukan oleh orang tuanya. Itu jawaban yang bisa saya berikan, mungkin cukup pertanyaannya. Terima kasih.”
Aku mengangguk tertakjub dengan jawaban-jawaban yang dikatakan oleh Ustadzah, sungguh perkataannya telah membuka wawasan baru untukku dalam memahami tentang wanita. Aku kembali duduk di tengah jama’ah, sejenak jama’ah melihat ke arahku, melihat pandangan orang-orang itu, aku hanya bisa tersenyum berusaha menyapa para jama’ah, meski pikirku sedang bingung harus berbuat apa untuk mengatasi orang-orang yang terus melihatku.
Mungkin pertanyaanku sangat banyak, dan terkesan kontradiksi, sehingga beberapa atau bahkan semua jama’ah risih dengan kelakuanku. Hanya sejenak mereka melihatku dengan pandangan yang tak dapat kuartikan, tapi ternyata membuatku terdiam oleh kekakuan. Setelah terdiam, dan merasa kebingungan, ku arahkan kembali perhatianku pada tausiya yang di sampaikan oleh wanita ustadzah itu. Baru saja aku hendak menfokuskan diriku pada kata-katanya, ternyata wanita itu menyelesaikan pengajian hari ini.
“Kita cukupkan pengajian kita untuk hari ini, mudah-mudah berberkah, dan dipertemukan lagi pada pertemuan selanjutnya dalam keadaan sehat wal afiat, mari kita tutup dengan mengucapkan Alhamdulillah”. Kata wanita itu yang kemudian beranjak meninggalkan tempat duduknya.
Aku yang masih kekurangan pengetahuan tentang ajaran agamaku, memberanikan diri untuk menghampiri wanita itu, ini kedua kalinya aku menghampirinya, kali ini aku tidak ingin berbuat konyol lagi pada wanita itu, kuarahkan niat baikku untuk wanita itu.
“Assalamu alaikum” sapaku mendekati wanita seorang ustadzah.
“Waalaikumussalam” jawab wanita itu, namun dia langsung saja pergi.
“Inayah!” aku menyebut nama wanita dari saran Dewi. Ternyata benar, ustadzah itulah yang bernama Inayah, wanita itu menghentikan langkahnya kemduian berbalik ke arahku. Lalu aku mengham-pirinya, dalam pikirku sangat yakin dialah Inayah teman Dewi.
Kamu tahu namaku dari mana?” tanya wanita itu.
“Dewi, dia sempat menceritakan tentang kamu”
“kamu kenal Dewi?”
“Iya, beberapa hari yang lalu aku dan Dewi sama-sama ke Jogja, namun besok-nya dia langsung kembali ke Makassar” kata menjelaskan temannya.
“kenalkan saya Andi” tambah saya mengulurkan tangan.
Dia hanya melihatku, tapi tak sedikitpun kulihat tanda-tanda untuk memperkenalkan dirinya. Tiba-tiba dia berbalik arah dan meninggalkan pertemuan denganku, melihat wanita itu berlaku acuh kepadaku, aku mulai berpikir agar membuat wanita itu bisa meluangkan waktunya meski sedikitpun untuk berbicara denganku. Kukerahkan langkahku mengejar wanita yang telah menjauhiku.
“Mba…!”  sapaku mendekati wanita itu, namun dia tetap mengabaikanku. “mba..!” kupanggil untuk yang kedua kalinya, namun tetap saja tak berhasil. “Inayah…!” panggilku dengan suara yang agak keras. Akhirnya dia menghentikan langkahnya, aku mulai tersenyum padanya, aku yakin sekali kalau kali ini akan berhasil mencuri waktunya. Wanita itu berbalik kepadaku.
“mas, jangan bertingkah konyol, sudah cukup kemarin aku menamparmu karena ucapan tidak sopanmu” katanya mengancamku dengan suara yang tegas.
“saya minta maaf soal kemarin, mungkin aku keterlaluan, saya khilaf” kataku menundukkan kepala lantaran malu.
“bukan lagi mungkin, tapi sudah keterlaluan”
“oke, saya akui kalau kemarin saya telah berbuat keterlaluan, tolong maafkan aku, sungguh aku hanya mencari orang yang bisa mengajariku tentang agama, dan kata Dewi kamulah orangnya yang tepat” kataku berusaha menjelaskan niat tujuanku.
Wanita itu sejenak terdiam, mungkin dia sedang memikir sesuatu. Aku hanya bisa memasang ekspresi wajah penuh harap di hadapan seorang wanita ustazda itu.  
“oke, Insya Allah, aku akan bantu kamu”
“makasih banyak mba.. makasih…” kataku senang mendengar kesediaan wanita itu untuk mengajariku. “jadi setiap kapan saya bisa kerumahmu?” lanjut tanyaku.
“kenapa di rumah? tidak !!! Aku tidak mau kalau ini bersifat pribadi, aku hanya mau mengajarimu di tempat umum, di sini, di masjid.” Kata Wanita itu dengan nada tegasnya.
Aku hanya mengangguk mengiyakan kata-kata wanita itu, aku tidak mau lagi mengucapkan sepatah katapun untuk saat ini, jangan sampai dia mengubah niatnya untuk mengajariku. Selang beberapa saat saling diam satu sama lain, seorang lelaki tua menghampiri pertemuan kami.
“Assalamu alaikum…” kata lelaki tua itu.
“waalaikumussalam…” jawab kami bersamaan menyahut salam lelaki tua itu.
Wanita itu langsung mencium tangan lelaki tua itu, melihat ekspresi wanita yang tadinya sangat cuek, tiba-tiba menjadi ramah dengan datangnya lelaki tua, dalam benakku lelaki tua itu sangat dekat dengannya.
“oiyah, perkenalkan ini ayah saya”. Kata Inayah memperkenalkan lelaki tua itu yang ternyata ayanya.
“saya Waryono” kata lelaki tua itu memperkenalnya dirinya.
“Andi” kataku memperkenalkan diri, yang Tanpa berpikir panjang, aku langsung meraih tangannya dan kecium tangan ayah Inayah. Kami saling tersenyum menyambut perkenalan kami, ternyata ayah Inayah sangat ramah, sangat berbeda dengan Inayah yang sedikitpun tak ada tanda-tandanya untuk tersenyum padaku.
“dia teman Dewi, orang Makassar itu” kata Inayah memperkenalkan diriku dengan menyebut nama Dewi. “Nampaknya Dewi telah dikenal oleh Inayah dan ayahnya, atau Inayah lebih senang mengenalku melalui Dewi daripada harus mengenalku karena kejadian kemarin saat aku mengatakan ‘aku suka sama dia’” kataku melirik ke arah wanita itu.  
“ouh, Makassar di bagian mana ka-mu?” tanya pak Waryono tentang daerahku.
“aku tinggal Makassar, dua puluh kilometer dari kotanya” kataku mencoba menjelaskan. Biasanya kalau orang jawa menyebut orang yang berasal dari pulau Sulawesi menyebut orang Sulawesi dengan sebutan orang Makassar saja, aku sendir tidak tahu jelas kenapa hal tersebut terjadi, sehingga orang-orang yang berasal dari Sulawesi meskipun dia tinggal di kota ataupun kabupaten lain, misalnya Kabupaten Maros, Pangkep, Barru, Gowa, dan daerah-daerah di Sulawesi lainnya pun, masih saja disebut dari Makassar.
“Kamu suka melukis?” tanya ayah Inayah melihat lukisan yang sejak tadi kupegangnya.
“iya pak”
“kebetulan sekali, aku juga suka melukis, saat ini aku sedang mencari teman untuk mengembangkan usaha lukisan, kalau kamu berkenang bekerjalah di tempatku”. kata lelaki itu menawarkan pekerjaan padaku.
“iya, tentu saja pak, dengan senang hati saya terima tawarannya” kataku menerima sepenuhnya tawaran ayah Inayah.
“kalau bisa, sekalian aku belajar agama kepada Inayah di rumah bapak, apa boleh pak” tambahku mencoba membujuk ayah Inayah.
“tidak! Belajar agamanya di masjid. Tadi aku sudah katakana” kata Inayah dengan tatapan tajamnya.
“iya, tidak apa-apa, supaya kamu tidak capek bolak-balik” kata ayah Inayah tersenyum padaku.
“tapi ayah!” kata Inayah tidak setuju.
“tidak apa-apa, kamu hargailah tekad orang yang sudah mau belajar agama, mestinya kamu bersyukur karena ilmumu akan bermanfaat, bukan malah kesal” jelas ayahnya kepada Inayah.
Inayah hanya mengangguk tak mampu membantah perkataan ayahnya, sementara itu, aku sangat bahagia mendengar perkataan ayah Inayah yang sepenuhnya berpihak padaku.
Setelah shalat dhuhur, akupun segera bergegas ke depan pintu masjid untuk menunggu Inayah dan ayahnya selesai melaksanakan shalatnya. tidak lebih dari sepuluh menit akhirnya mereka datang, aku tersenyum menyambut mereka, tapi cumin ayahnya membalas senyumanmu, sedangkan senyuman Inayah masih saja tak bisa diberikannya padaku. Kami kemudian melangkah meninggalkan masjid dan menuju ke sebuah rumah yang tak jauh dari masjid. Kulihat lingkungannya begitu sejuk menyambut kedatangan kami, lalu kami memasuki rumah itu, di dalamnya dihiasi berbagai macam lukisan, begitu indah lukisan-lukisan yang terpampang rapi di ruang tamu.
“Kami hanya tinggal berdua disini, ibunya meninggal saat Inayah masih menginjak usia 16 tahun, ibunya seorang ustadzah di daerah ini, dan Inayah ingin mengikuti jejak ibunya, karena itu, sejak kematian ibunya, dia kemudian menjadi penceramah menggantikan ibunya di daerah ini”. jelas ayah Inayah sambil mempersilahkanku duduk di sebuah kursi ruang tamunya.
Sebuah cerita pahit tapi berbuah hikmah telah kudengar dari seorang lelaki yang ditinggal mati oleh pasangan hidupnya, di saat yang sama seorang wanita yang berumuran denganku juga harus kehilangan sosok wanita surganya. Aku tidak tahu harus bagaimana caraku untuk menanggapi cerita dari pak waryono, apakah aku harus sedih dengan sepeninggal istri pak waryono sekaligus ibu dari seornah Inayah, ataukah aku tersenyum bangga dengan kepribadian Inayah yang sangat muliah itu. kediamkan saja cerita, “tak perlu menanggapinya, cukup cerita itu menjadi bayangan benakku, biarlah aku sendiri yang tahu bahwa aku sedih mendengar ceritanya, tetapi di saat yang sama aku juga bangga, tak perlu terungkap” ungkap dalam benakku.
Kehilangan seseorang bagian keluarga dan ketika harus memaksakan diri untuk menjadi pelengkap dari kekurangan meski sebenarnya itu hal yang tak akan bisa terwujud adalah sebuah cacat kehidupan bagi anak yang ditinggalinya, aku tahu bagaimana rasanya, karena hal demikian akupun tengah menjalaninya.
Begitu sulit ketika harus menempuh kehidupan ini dengan hilangnya separuh kasih sayang keluarga, “jikalau saja bisa aku ingin memohon pada-Nya meminta  keabadian dalam sebuah kekeluargaan” namun taqdir Tuhan telah dan akan berkata lain, bahwa kematian seseorang adalah ketetapan yang pasti akan dirasakan setiap makhluk-Nya.
Selang beberapa saat aku dan pak Waryono bercakap dan saling berbagi cerita, Inayah menghampiri kami dengan membawa Teh dan setoples kue untuk hidangan penyambutanku. aku lagi-lagi tersenyum padanya, namun dia tetap saja tidak membalas senyumanku, bahkan sesegera mungkin tatkala melihatku dia pun langsung membuang raut wajahnya untuk tidak melihatku.
“terima kasih” kataku pada wanita itu.
Tanpa menjawab ucapanku, Inayah langsung pergi dan kembali beranjak ke ruang dapur. Tingkahnya membuatku heran, ada saja orang yang sangat cuek, bahkan ketika berada di rumahnya pun dia tetap saja enggang untuk berbicara denganku. namun, apa daya bagiku, meski pada dasarnya aku tidak senang ketika diabaikan, dan itu membuatku akan membencin orang yang mengabaikanku, meski pada dasarnya aku telah berhenti memuja-muji wanita dan hanya ketidak percayaan yang masih tersisah dalam benakku tentang seorang wanita. Namun, kali ini aku harus bisa bertahan dalam kesabaran lantaran terus diabaikan, bertahan dalam meminta pengajaran untuk mendalami agamaku, bahkan aku harus bertahan dalam mengubah karakter diriku yang sebenarnya, karakter yang ketidak sudian untuk mengalah, terpaksa berubah agar diriku selalu siap mengalah pada sosok wanita yang satu ini.
Setelah lama bertamu dan berbincang-bincang dengan pak Waryono, dengan hasil akan memulai bekerja di rumahnya. Aku pun hendak untuk pamit meninggalkan pertemuan itu, karena hari sudah sore dan juga dari tadi Inayah tak terlalu senang dengan kehadiranku.
“kalau begitu, aku permisi pulang pak” kataku sambil berdiri dari kursi tamu.
“ouh iya silahkan, memangnya kamu tinggal di mana?” tanya pak waryono.
“aku tinggal di kontrakkan Dewi, karena Dewi sudah lebih dulu pulang ke  Makassar, sementara jata kontrakannya belum selesai, jadi aku di suruh menempati kontrakannya” jelasku, “aku permisi dulu yah pak, terima kasih banyak atas jamuannya pak, insyaAllah besok saya akan mulai belajar dengan Inayah, tolong di sampaikan ke Inayah pak, terima kasih, Assalamu alaikum” kataku yang kemudian menyalami tangan pak Waryono, dan menoleh ke arah dapur mencari Inayah.
“iya, nanti aku sampaikan ke Inayah, maaf yah karena Inayahnya tidak ada, memang dia begitu orangnya, tidak biasa akrab dengan lelaki, sangat tertutup untuk bergaul pada lelaki.” kata pak Waryono mencoba menjelaskan tentang diri seorang Inayah.
Aku mengangguk memahami perkataan pak waryono. Akhirnya aku tahu kenapa Inayah sangat mengabaikanku. Aku pun melangkahkan kaki keluar dari rumahnya, kemudian berjalan rencana langsung ke rumah kontrakanku.
Aku melangkah meninggalkan pertemuan dengan rumah yang ditinggali oleh dua orang yang mampu membangun kebahagiaan keluarganya, menuju ke sebuah kontrakan yang saat ini sepi tanpa seorangpun di sana, semakin saja kupercepat langkahku agar rumah itu ada yang mengisinya, meski itu aku seorang.
Sesampai di rumah, aku duduk seje-nak di kursi tamu, hanya terdiam, beristirahat dan mencoba memikirkan sesuatu yang bisa aku lakukan di rumah ini, agar tak terasa hampa tinggal di dalamnya. Akhirnya, aku berinisiatif untuk membuat beberapa lukisan sebagai penghias untuk ruangan-ruangan dirumah ini, khususnya di ruang tamu, agar siapapun yang masuk ke dalam rumah ini bisa menikmatinya, dan itu juga akan membuatku terasa hidup kembali dalam dunia seni lukis.
Akhirnya aku menyusun beberapa konsep lukisan, dan memikirkan tatanan-tananan untuk menyesuaikan ruangan yang sempit ini. Namun, Belum selesai menyusun konsep, perut ini mulai meminta untuk diberi haknya, rasa lapar membuatku tidak bisa konsentrasi untuk menyelesaikan rencana menghias ruangan. Akupun ke ruang dapur, jangankan mendapatkan makanan, bahan-bahan untuk memasak makananpun tidak ada, aku hanya terdiam melihat pemandangan ko-song, kucari bahan makanan yang bisa aku masuk, sayur, beras, ataupun hanya mie, kucari terus, namun tak ada hasil. Ruangan ini sangat kosong pada fungsinya sebagai tempat penyimpanan makanan, "ini bukan dapur, melainkan gudang” kataku kesal sambil mengotak-atik peralatan dapur.
Sangat lama untuk bisa menerima kenyataan ini, hidup sendiri, bahkan untuk menyediakan kebutuhan sendiripun sangat sulit terwujud. Yang bisa aku lakukan, hanya marah! Marah pada jiwa yang tak bisa merawat membimbing dirinya ini. Dalam marah mengalir air mata, menangisi diri dalam ketidak tahuan.
Beginilah akhirnya, karena ketidak tahuan maka segalanya akan bergantung pada hal lain. Untung saja aku masih punya uang, yang dapat aku belanjakan untuk kebutuhan sehari-hariku, entah sampai kapan aku akan berada dalam ketidak tahuan mengurusi dapur untuk memenuhi kebutuhan perutku, setidaknya saat ini perut aku masih tetap terpenuhi kebutuhunnya. Aku keluar dari rumah untuk membeli makanan, bersyukur karena jarak dari rumah ke warung tidak terlalu jauh, sehingga mulai sekarang aku memilih untuk makan di warung itu.
Sampai di warung, akupun masuk ke dalamnya, beberapa orang sedang antri dengan piringnya masing-masing, sebelumnya pemandangan ini hanya kutemukan saat aku berada di pesantren saja, selain itu, baru kali ini aku menemukannya lagi. Lalu, akupun mengambil pi-ring dan mengikuti antrian orang-orang menuju ke tempat pengambilan nasi, sayur, kemudian lanjut ke tempat lauk, selesai mengambil makanan sesuai porsi dan keinginannya, orang-orang itu pun langsung ke tempat duduk yang tersedia, kalau itu cukup. Jika tidak, maka harus rela menikmati makan di lantai.
Aku yang tengah ikut dengan keadaan ini, menyebabkan bercampur-aduk pikiran yang muncul dalam diriku, di satu sisi aku kesal dengan budaya antri seperti ini, tetapi di sisi lain aku ingin tertawa karena keadaan antri mengambil makanan saat ini mengingatkanku dengan masa pondokku. Masih teringat jelas, dulu hampir setiap kali mau makan, aku dan teman-teman santri di pondok harus antri untuk bisa mendapatkan makanan, budaya itu sudah mendarah daging di pesantrenku, tak antri maka tak ada makanan. Namun, ada masa di mana antri itu dapat di manipulasi, yakni masa senioritas. Sedikit banyak, biasanya santri senior tidak akan membiarkan dirinya berada di baris belakang juniornya, karena itu, sering kali santri senior langsung menerobos satu persatu junior yang tengah antri, hal itu bukan tanpa sepengetahuan junior, tetapi ketakutan junior untuk menegur  sikap buruk seniornya, sehingga seniornya terus melakukan tindakan manipulasi antrian. Selain itu, ada juga cara yang di pakai oleh beberapa senior lainnya, mereka tidak melakukan terobosan ke barisan-barisan jeniornya, tetapi santri senior itu menitipkan piring untuk diisikan makanan kepada santri juniornya. Tindakan yang terakhir ini yang paling menguntungkan bagi para santri senior, selain tanpa harus antri panjang, juga santri senior itu hanya menunggu di meja makan, dan menunggu makanan yang dibawakan oleh adik kelasnya. Karena budaya antri yang terakhir ini yang paling efektif dan paling di senangi oleh para santri senior, akhirnya dari pihak pondok melarang budaya itu, akibatnya santri senior harus kembali sabar dalam antrian panjang.
Antri di warung, tentunya tak selama pada saat antri saat hidup di pondok, hanya beberapa menit selang menunggu, satu persatu selesai mengambil makanannya, aku pun sampai di depan tempat nasi, langsung saja kuambil sendok nasi, dan mengisi piringku, kemudian ke tempat sayur, dan terakhir tempat lauk. Setelah selesai mengambil porsi makanan, akupun mencari kursi yang masih kosong, mataku melihat dari sudut sampat sudut ruangan, namun tak kudapati kursi kosong, semua kursi telah diduduki oleh orang-orang yang tengah menikmati makanannya, dengan keadaan seperti ini, terpaksa aku memilih untuk duduk melantai, tidak hanya aku yang makan melantai, ada beberapa orang yang juga dalam keadaan sepertiku, namun mereka terlihat menikmati keadaannya, tidak seperti aku yang harus menahan sabar dalam keadaan seperti ini.
Seusai membayar makanan, aku langsung beranjak ke rumah kontrakan. Sesampai di rumah, tanpa memikirkan untuk melanjutkan rencana menghiasi ruangan, langsung saja aku ke kamar tidur, tanpa berpikir apapun aku langsung membaringkan badangku dan hendak beristirahat dalam tidur, hari ini banyak hal baru yang mempekenalku tentang kota jogja, terutama telah kutemukan orang yang bisa menjadi penghubung antara aku dan Tuhanku, dan di saat yang sama, kutemukan orang yang bisa menjadi penghubung dalam pencarian rezkiku, mereka adalah Inayah seorang ustadzah dan pak Waryono, ayah Inayah sekaligus seorang seniman.
. . . . .


Telah kutemukan sosok orang yang menjadi perantara untuk memahami lebih dalam tentang agamaku, perlahan-lahan dan setapak demi setapak kuaringi dunia keimanan untuk Tuhanku, wanita itu telah berhasil mengubah kehidupan hinaku menjadi kehidupan bening dari noda kemaksiatan.
“Dahulu ada seorang wanita yang begitu tega menghinakanku lantaran telah menghianati cinta yang kusandarkan padanya, bahkan aku sempat hanyut bersama wanita-wanita malamku. Namun, sekarang telah kusaksikan makhluk Tuhan, seorang wanita telah memberikanku cahaya kasih sayang-Nya untuk kembali ke jalan yang penuh kedamaian cinta”. Pikirku tentang wanita yang bagiku mereka adalah makhluk yang penuh dengan teka-teki.
Selain itu, di saat yang sama, seorang lelaki yang tengah mengarungi kehidupan, namun telah ditinggalakan oleh istri sebagai wanita sandarannya telah membawaku pada sosok makhluk yang mampu mengembalikan potensi seniku. Seandainya bukan karena ayah dan anak wanitanya, mungkin kehidupanku tak seberuntung ini, bahkan mungkin saja aku tetap hidup dalam jurang kegelapan seperti masa lalu kelamku.
Dan kini, telah tersebar nama samaranku bersama lukisan-lukisan yang terjual laku dalam waktu yang singkat. Kini aku harus lebih tekun dalam menyelesaikan pesanan-pesanan para pelangganku. Di tengah-tengah kesibukanku melukis, kudengar panggilan lelaki tua yang kini kupanggil dia bapak.
“Andi, lihat! ada seorang wanita yang memesan lukisanmu katanya dia sangat menyukai karyamu”. panggil lelaki tua itu yang sedang melayani pelanggan melalui online.
Saat ini bisa dikatakan lukisanku telah tersebar di mana-mana, cara penjualan pun secara perlahan-lahan mulai berubah, dari yang dulunya hanya dipajang dalam ruangan rumah pak Waryono saja, namun minim sekali orang yang datang mengunjungi lukisan kamu, itupun hanya orang-orang terdekat dari keluarga pak Waryono. Lalu, aku mulai menjual kesana-kemari untuk menjual lukisan, hasilnya mulai menghasilkan banyak pelanggang, bahkan sejak itu perlahan-lahan orang-orang menghampiri rumah pak Waryono untuk membeli ataupu hanya untuk menikmati lukisanku. Karena menganggap cukup banyak pelanggang, akhirnya aku berinisiatif untuk memperjual-belikan lukisanku lewat internet.
“Alhamdulillah pak, dia mau lukisan yang bagaimana pak?” tanyaku senang.
“katanya dia mau lukisanmu yang berjudul “Wanita”, bagaiman menurutmu?”
“kalau lukisan itu tidak bisa pak, aku tidak menjualnya”. ungkapku senejak mengingat masa lalu tentang lukisan itu.
Meski aku melepaskan wanita dalam lukisan itu, meski aku telah tak yakin dengan cinta kepada wanita di dalam lukisan itu. namun, bersama lukisan itu telah kutempuh perjalanan perihku semenjak kepergian Alya, saat itu kulukiskan segala menafsiranku tentang wanita, apakah suatu saat nanti akan ada yang menyukainya atau bahkan jika orang-orang akan membenci karya lukisanku itupun, tetap akan aku simpan lukisan itu, karena dengannya aku hidup didalamnya.
“kalau begitu kamu saja yang balas pesannya, aku akan mengurus yang lainnya” ungkap pak Waryono yang kemudian beranjak meninggalkan percakapan onlinenya dengan pelanggan-pelanggannya.
“iya pak” sahutku seraya menuju ke komputer diatas sebuah meja yang terletak di pinggir ruangan kerja untuk melukis.
Kulihat obrolan tentang seorang pelanggang yang ingin membeli lukisan bertemakan wanita itu. dia seorang wanita, kulihat beberapa obral masuk darinya, hanya untuk mempertanyakan tentang lukisan yang tidak akan aku jual.
“kami moho maaf karena lukisan yang berjudul wanita kami tidak perjual belikan, tapi kalau anda mau melihatnya secara langsung silahkan datang di acara “Pameran Kasih” pada tanggal 08-15 Oktober di gedung “Senjaya”, terima kasih.” kuusaikan percakapan dengan pelanggang itu.
Demi membuat seorang pelanggang berhenti untuk berkomentar tentang lukisan yang satu itu, terpaksa aku mengatakan akan mengadakan acara pameran yang sebenarnya akupun tak tahu akan terlaksana atau hanya menjadi modus pengalihanku saja pada seorang wanita.
“Bagaimana? Dia jadi membeli lukisanmu?” kata bapak yang tengah menggoreskan kuasnya menyelesaikan lukisannya.
“Tidak pak, aku menolak untuk menjual lukisan itu, aku bilang kalau mau melihat langsung lukisan itu silahkan datang ke pameran nanti”. jelasku pada bapak, aku beranjak meninggalkan percakapanku dengan para pelanggang dan kembali hendak menyelesaikan lukisan baruku.
“Apa? Pameran? Siapa yang akan mengadakan acara pameran? Kamu? Untuk mengadakan sebuah acara pameran kita membutuhkan biaya yang lebih, apa kamu sanggup?”
“Sebenarnya itu cuman modus aku untuk menghindari wanita itu, tapi setelah kupikir-pikir membuat pameran bisa menambah pengenalan kita pada khalayak. Mudah-mudahan saja di berikan kes empatan untuk mengadakatannya”. kataku mulai bertekad untuk mewujudkan sebuah pameran lukisan.
Setelah sekian lama tanganku diam tanpa memainkan kuas di atas media lukisan, lantaran disibukkan oleh kehidupan yang terus menuru menyeretku ke dunia kehinaan. Akhirnya saat ini tangan ini mulai tumbuh dewasa bersama karya-karya ciptaannya. Bermula dari pelanggang wanita yang sangat menginginkan lukisan yang sangat berarti bagiku, sampai akhirnya aku berpikir untuk mempersembahkan karya-karyaku pada dunia khalayak.
 Sampai saat ini, bisa dikatakan telah banyak karya yang bernaung di bawah tanganku, satu persatu terjual dan yang lainnya masih terpampan rapi menghiasi ruangan kerja bapak, siapapun yang memasuki ruangan itu maka akan terhentikan oleh sejejeran lukisan yang menggambarkan penafsiranku tentang berbagai hal, terutama tentang wanita, yang kuanggap sebagai makhluk unik.
Di saat yang sama, sebuah kesyukuran terdalam bagiku, lantaran sedikit demi sedikit kedamaian iman telah menyelimuti kehidupanku, tengah kurasakan keindahan kasih sayang-Nya yang tak terbatas. Sejenak terpikirkan tentang masa kelamku, yang pernah sesat lantaran hubungan yang kuanggap saat itu cinta bersama sosok wanita. Namun, perasaan demikian telah menjauhkanku dari Tuhanku, sampai sekarang pernyataan bahwa perasaan itu adalah ‘cinta’ masih terus mengambang dalam benakku, namun, cinta tak bisa aku salahkan karena akulah pelakunya, mungkin ada yang salah ketika aku mengaku mencintai seseorang, bahkan mungkin bukan cuman aku, tapi setiap orang akan mengalami kesalahan dalam menganggap mencintai seseorang. Kesalahan karena ketidakpahaman tentang sebuah hubungan, ketidakpahaman karena keterlanjuran mengikuti alur sebuah hubungan itu, sampai berakhir dengan penyesalan, bahkan menjauhkan dari kedaiman, kasih sayang, dan jatuh pada nasib yang penuh kehinaan.
Sungguh tidak akan berubah nasib seseorang jikalau bukan dia sendiri yang mau berusaha mengubah nasibnya. Jatuhnya seseorang kejurang kehinaan tidak lain adalah akibat kebodohannya dalam menjalani hidup, padahal manusia telah diberi potensi berfikir dalam meningkatkan taraf kehidupannya. Dalam hidup ini, telah tertulis alur cerita setiap orang, ada yang mengatakan bahwa manusia hidup hanya mengikuti alur yang di buat Tuhannya, di saat yang sama, ada juga yang mengatakan bahwa manusia hidup sesuai apa yang mereka tentukan sendiri. Apapun itu, hidup ini terlalu singkat untuk mencari tahu siapa yang mengatur alur cerita ini, yang jelas bahwa Tuhan ataupun Manusia keduanya menginginkan alur cerita yang terbaik.
Sekali lagi, sebuah kesyukuran tersendiri bagiku, telah keluar dari dunia masa kelamku, kini aku hanya fokus pada pengembangan dalam memahami ajaran-ajaran Tuhanku. Bersama Inayah, wanita yang kerap mengantarku menjadi lelaki sejati dalam mengimami diriku sendiri bahkan bagi orang lain. Tidak terpikir sama sekali olehku bahwa aku akan menjadi figur penting dalam masyarakat, aku hanya berusaha mendalami ajaran-Nya, namun tidak jarang Inayah memperkenalkanku pada khalayak masyarakat.
Masih teringat dengan jelas, saat awal pertemuanku dengannya, sedikitpun Inayah tak memperlakukanku dengan baik, yang ada hanya sikap abai. Namun seiring menjalani pertemuan panjang, hari demi hari, sikap wanita itu pun mulai terlihat akrab denganku, sedikit demi sedikit dia mulai memahami tentangku, tak beda denganku, akupun sedikit banyak telah memahami tentangnya. Saking akrabnya, aku dan Inayah sudak seperti sepasang kekasih yang saling mencari ketika satu di antaranya tidak ada, atau bahkan seperti saudara kandung yang tak ada lagi penghalang untuk berbagi satu sama lain.
Hari ini, adalah hari penting untuk Inayah, aku berencana akan memberkannya hadiah, namun aku bingung hadiah apa yang cocok untuknya, aku ingin sekali membuat hari istimewah ini menjadi sebuah cerita terindah tentang kebersamaanku dengannya. Berkali-kali aku mondar-mandir di ruangan, untuk memikirkan tentang sebuah kado, hampir satu jam saya mondar-mandir, sampai kakiku merasa kesakitan, namun tak juga kutemukan kado yang cocok, kubuka internet untuk mencari hadiah ulang tahun, biasanya internet menjadi penolong untuk siapapun yang mencari apapun di dalamnya, namun, ternyata satupun tak ada hadiah yang cocok untuk kuberikan pada Inayah. sangat lama aku terdiam, memikirkan karakter Inayah, agar tergambar di dalamnya kado yang cocok. selang beberapa saat aku termenung, tiba-tiba terlintas dalam benakku tentang lukisan yang selama ini aku simpan. Lukisan yang ingin aku berikan pada orang yang memberikan keindahan dalam hidupku, dulunya aku ingin memberikannya kepada Alya karena kebahagiaan bersamanya, namun ternyata kebahagian itu hanya bagian dari fatamorgana saja. Kali ini aku memikirkan akan memberikan lukisan itu kepada Inayah, “mungkin Inayahlah orang yang tepat untuk lukisan ini” kataku sambil memandangi lukisan itu, “mungkin bagi orang lukisan ini tak terlalu indah, namun bagiku lukisan ini bukan hanya berbicara keindahannya, melainkan tentang kisah yang ada di dalamnya”.
“Andi...!!” teriak Inayah dari balik pintu kura rumah, “Andi..!!” katanya sambil melepaskan dan menyimpan sepatunya di rak sepatu dekat pintu, “Andi..!!” teriaknya lagi.
Aku yang tengah terus mempersiapkan lukisan utnuk kuberikan padanya, sejenak tak menghiraukan panggilan wanita itu. Terus saja ku goreskan kuas ke atas anvas seakan tak mendengar panggilannya sekalipun.
“Andi....!!!” teriak keras Inayah yang saat itu telah berada di hadapanku, aku terkejut. Inayah terlihat sangat kesal, dia menatap tajam ke arahku. Sepertinya ada hal penting yang ingin dia sampaikan sampai terlihat terburu-buru.  
Tanpa berbicara sekatapun, aku langsung menghentikan kerjaanku, dan beranjak membersihkan tanganku yang dipenuhi cat lukisan. Di rumah ini, satu sisi aku diperlakukan seperti parnert kerja oleh pak Waryono, tapi di sisi lain, aku diperlakukan layaknya anak kecil oleh Inayah.
“cepat Andi !” kata Inayah tengah berjalan ke pintu keluar. Tingkahnya membuatku bingung, baru kali ini aku melihatnya terburu-buru, seakan tidak nyaman tinggal di rumahnya sendiri, belum sempat beristirahat tetapi wanita itu bergegas mengajakku keluar.  
“kamu mau ke mana? tanyaku dengan heran sambil mengikuti wanita yang terus berjalan meninggalkan rumah.
“kita harus pergi, cepat!” Inayah berjalan terus.
“iya, tapi kenapa terburu-buru?”aku tidak mengerti apa yang sedang Inayah lakukan, mungkin sesuatu terjadi yang diluar biasanya.
“ayah kecelakaan…” Inayah menghentikan langkahnya, kulihat air matanya tengah membasahi kedua pipinya.
“kenapa bisa?” tanyaku heran bercampur tidak percaya.
Namun, Inayah tak menjawabku, dia kembali melanjutkan langkahnya dengan air matanya yang terus membasahi kedua pipinya, tubuhnya terlihat sangat lemas, namun wanita itu tak memperdulikannya, dia terus berjalan sangat cepat. Melihat keadaan wanita yang tengah menangisi keadaan ayahnya, membuatku hanya terdiam memikirkan kesedihan wanita itu. terbayang pak Waryono, yang telah banyak mengajariku tentang arti sebuah proses dalam usaha, dia yang setia mendampingi setiap karyaku, bahkan dia yang mengajariku tentang arti hidup di perantauan.
Setelah berjalan jauh dari rumah, Inayah memanggil taksi, dan menginstruksikan menuju ke rumah sakit. Selama perjalanan, aku tidak bisa berbuat banyak  melihat Inayah masih  saja terus menangis.
“ina, tenangkan dirimu, InsyaAllah ayahmu akan baik-baik saja” kataku berusaha menenangkannya. Namun, Sedikit pun kata-kataku yang menenangkannya, Inayah tetap saja menangis.
Selang beberapa menit menempuh perjalanan dengan suasana kesedihan yang berbaur dalam diri Inayah, akhirnya sampailah di depan rumah saki. Inayah langsung berlari mencari ruangan yang di tempati sang ayahnya. Beberapa ruangan kamu masuki, namun tak juga ketemu ayah, keadaan semakin mempersulit Inayah, tingkahpun semakin tak karuan, aku berusaha membantu untuk menemukan ruangan pak waryono, sampailah di se-buah ruangan yang masih di kerumunin beberapa suster dan seorang dokter, ter-nyata orang-orang itu tengah berusaha menyembuhkan pak Waryono.
“Inayah..!!  di sini” teriakku kepada Inayah yang terus berlari mencari ruangan ayahnya. Mendengar perkataanku, Inayah pun langsung berlari keruangan yang kumaksud.
Namun, ternyata kehadiran kami sudah terlambat, ayah Inayah tak dapat lagi di selamatkan, banyaknya pendarahan di bagian kepalanya, membuat sang ayah dari seorang wanita yang telah kehilanga ibunya, kini harus menanggung kepedihan yang berlipat-lipat. Di hari ulang tahunnya, hari yang mestinya mendatangkan kebahagiaan untuk Inayah, namun ternyata dia harus menjalaninya dengan kehilangan satu lagi sosok penting dalam hidupnya, hari ini seorang ayah telah meninggal dunia di hari ulang tahun anaknya.
Kejadian yang menimpah Inayah saat ini mengingatkanku dengan masa kecil Alya, yang saat ulang tahunnya juga harus ditinggalkan oleh seorang ayah untuk selama-lamanya. Kejadian ini, membuatku tercengang lantaran bingung harus berbuat apa untuk mengatasi masalah yang sama ini. Aku hanya terdiam membisu menyaksikan kesedihan Inayah, “dua wanita kusaksikan telah menjalani nasib yang sama persis, Tuhan, pertanda apa ini?” bingungku dalam hati.
Tak sanggup kujawab kisah yang terlalu perih ini, sungguh hanya kebingungan dan kebimbangan kini kurasakan bernaung dalam musibah yang menimpah seorang wanita yang ditinggal mati oleh sang ayah. Bergetar tubuhku menjadi lemah, darahku seakan berhenti mengalir, nadiku berdetak semakin lambat, entah mengapa dadaku sangat sakit ketika berhadapan dengan wanita yang tengah terluka, kufikir aku sedang sesak nafas, beberapa kali aku menarik nafas dengan tenang, namun tak sedikitpun mempengaruhinya, dada ini sangat sakit, sakit sekali, sampai kukira aku akan ikut mati bersama ayah Inayah.
Beberapa saat setelah keadaan menyiksa Inayah dengan ditinggal mati oleh ayahnya, yang juga menyiksaku lantaran tak ada lagi sosok yang bisa menemaniku dalam berkarya seni lukis. Tiba-tiba seorang lelaki muda datang dan ikut masuk dalam keadaan perih ini.
“Ina, maafkan aku, aku baru tahu info tentang ayahmu” kata lelaki itu.
“kamu ke mana aja selama ini?” kata Inayah dengan suara tangisnya.
“maafkan aku, kalau selama ini tidak ada di dekatmu”
Inayah tidak menjawabnya, dia terus menangis, di saat yang sama, lelaki itu melangkah mendekati jasad pak Waryono, lelaki itu ikut terhanyut dalam kesedihan. Sejenak aku bingung melihatnya, kulihat dia sangat akrab dengan keluarga Inayah. aku merasa tersudutkan karena kehadiran lelaki itu, Inayah lebih memilih untuk mencurahkan kesedihannya kepada lelaki itu daripada aku, semakin lama aku merasa kehadiranku tidak ada pengaruhnya untuk Inayah. tanpa berkata sepatah pun, aku langsung beranjak keluar dari ruangan, meninggalkan kesedihan yang masih menyelimuti Inayah karena kepergian ayahnya. Meski aku sulit untuk meninggalkannya menenangisi jasad ayahnya, namun aku harus tetap meninggalkannya, karena ada lelaki yang cukup menjadi pendangpingnya sekarang, yang membuat Inayah jauh lebih baik mungkin jika dibandingkan bersamaku.
. . . . . .


Seiring kepergian pak Waryono, lelaki asing yang datang saat di rumah sakit, sekarang seakan menggantikan kedudukan pak Waryono, lelaki itu sangat akrab dengan Inayah, bahkan kesedihan Inayah sedikit demi sedikit mulai pudar bersama kebersamaannya dengan lelaki yang sering Inayah panggil ‘abang’. Di bandingkan aku, memang lelaki itu lebih pintar dalam mengambil perhatian Inayah, dia juga lebih tahu banyak tentang keluarga Inayah, termasuk hal yang disukai dan dibenci Inayah. siapapun dan bagaimana pun keakraban Inayah dengan lelaki itu, tidak ada hak bagi saya untuk masuk dalam kehidupan mereka.
Aku merasa pembelajaranku dari Inayah, tidak senyaman dulunya, Inayah telah kehilangan ambisi untuk menga-jarkan ilmunya, mungkin dia masih merasakan kesedihan ditinggal mati oleh sang ayah, mungkin itu. atau mungkin karena kehadiran seorang lelaki lain, yang keak-rabannya dengan Inayah melebihi keakrabanku. Saya tidak tahu pasti tentang kebenarannya, namun yang kutahu, perasaan tidak nyaman semenjak ada lelaki asing itu.  
Kuputuskan untuk tidak belajar agama lagi kepada Inayah, “mungkin lebih baiknya kalau aku mencari guru lain yang dapat menggantikan Inayah, atau mungkin kucukupkan saja belajarku pada seorang guru ?” pikirku.
Pagi ini, aku tak memikirkan untuk pergi belajar, sambil membereskan rumah kontrakanku, aku berusaha menikmati tinggal di dalamnya. Di tengah kesibukanku mengatur kursi ruang tamu yang kuanggap terlalu meramaikan ruang tamu yang sangat sempit. Suara dering dari balik ponselku terdengar mengagetkanku. Kulihat nama yang tertulis di layarnya, ternyata Alya, nama Alya terpampang sebagai sedang menelponku. “kenapa dia tiba-tiba menelponku?” bingungku sambil terus melihat panggilannya, aku tak mau mengangkatnya, kutaruh ponselku di atas meja, namun dia terus bordering. Beberapa kali, dan itu membuatku tiba-tiba khawatir, entah mengapa, kurasakan firasat bahwa Alya sedang sangat membutuhkanku. Kulihat lagi ponselku, perlahan-lahan tanganku tergerak sendirinya menggapai ponselkua dan menekan tombol terima. 
“Assalamu alaikum..” sapa suara yang menelponku, suaranya sangat akrab di telingaku, namun bukan suara Alya.
“Waalaikumussalam…”
“bagaimana kabarmu nak?”
Itu suara ibuku, suara yang selama ini kurindukan, seketika saja suaranya menggetarkan jiwaku, meluap kesena-nganku sampai tak sanggup menahan air mataku.
“Halo nak !”
 “iya bu..” kataku sembari mengusap air mataku dan menenangkan kegembiraanku.
“Alhamdulillah baik bu, kalau ibu bagaimana kabar di sana?”
“Alhamdulillah, aku di sini baik-baik” kata ibu, “kapan pulang nak?” suara ibu menjadi pelan dan tiba-tiba menghentikan kegembiraanku menjadi rasa bersalah.
Aku tidak menjawab pertanyaan ibu, aku masih mengingat dengan jelas saat aku diusir dari kampungku, itu adalah kejadian yang sangat memalukan dalam hidupku, seakan hidupku saat itu tidak ada artinya, diusir lantaran dosa membuatku malu untk kembali lagi ke kampung halamanku. Kali ini aku dibingungkan dengan sebuah pilihan, aku tidak tahu harus memilih pulang dari tempat terusirku dan bertemu dengan masyarakat yang mungkin akan menghina dengan kebenciannya. Atau aku harus menolak permintaan ibuku, seorang yang bagiku adalah wanita Tuhanku, bagaiamana mungkin kehendakku menolak kewajibanku sebagai seorang anak.
“Andi, ibu sangat rindu nak, pulanglah nak” lagi-lagi ungkap ibuku, kali ini suaranya terdengar dicampuri tangisan.
“iya bu, pasti saya akan pulang, secepatnya saya pulang bu, kalau itu permintaan ibu, tidak ada alasan bagiku untuk menolaknya, saya juga rindu bu, sangat rindu denganmu, bu.” Kataku tak bisa menahan tangisan saat mendengar seorang wanita muliaku menangis. Tak peduli akan mendapatkan cacian oleh masyarakat, atau bahkan siksaan yang kelak kudapati saat tiba di kampungku, sungguh keinginanku untuk memenuhi permintaan ibuku membuatku tak menghiraukan apapun yang akan dilakukan masyarakat kepadaku.
“kalau begitu, ibu tunggu kedatanganmiu nak”
“iya bu”
“Assalamu alaikum”
“wa alaikumussalam wa rahmatullahi wa barakatuh”
Terasa sangat singkap percakapan itu, namun dapat menjawab kerinduanku selama ini. sebuah kesyukuran yang berlimpah seketika kurasakan saat berbicara dengan ibu, sungguh suara ibu menjadi obat atas kepedihan hidupku.
Setelah menutup telpon dari ibu, aku pun langsung beranjak menuju rumah Inayah. Sebelum aku pulang ke Makassar, aku ingin memenuhi rencana yang pernah kusepakati dengan pak Waryono untuk mengadakan sebuah pameran lukisan. Namun, karena ketiadaan pak Waryono, dan dana yang tersedia untuk acara pameran tersebut tidak mencukupi. Sehingga tidak ada jalan lain, kecuali acara tersebut diadakan di rumah Inayah.
“Assalamu alaikum” kataku sambil mengetuk pintu rumah Inayah.
“wa alaikumussalam” jawab Inayah yang kemudian membuka pintu.
“bisa kita bicara? Penting” kataku sedikit memaksa.
“iya bisa, memang mau bicara tentang apa ?” tanya Inayah melihatku heran.
“tapi tempatnya jangan di sini, bisa kita bicara di luar saja”
Inayah hanya mengangguk mengiyakan permintaanku. Aku dan Inayah berjalan ke sebuah taman, yang agak jauh dari rumahnya. Sebuah taman yang sering kami kunjungi dulu, di taman ini aku dan Inayah saling berbagi cerita. Sungguh taman ini telah menjadi saksi kisahku bersama Inayah.
“Inayah, aku berterima kasih karena kamu telah mengajariku banyak hal, kalau bukan karena kamu, mungkin aku masih berada dalam kehidupan yang sesat.” Kataku membuka kenangan.
“kamu tidak perlu berterima kasih kepadaku, itu merupakan kewajiban kita sesama umat Islam untuk saling membawa kepada jalan kebaikan” ungkap Inayah.
“di tempat ini, sedih, tawa, telah menjadi kisah tempat ini, aku bersyukur karena telah dipertemukan denganmu, terima kasih telah mengisi hidupku, dan mengajarku menjadi manusia”
“kamu kenapa? Kamu mau pergi?” kata Inayah yang melihatku dengan kebi-ngungannya.
“dua hari ke depan, saya akan pulang ke Makassar, mungkin sangat lama lagi untuk bisa kembali ke sini lagi” ungkapku melihat ke arah wanita itu.
Kulihat Inayah terkejut saat mendengar perkataanku, “kenapa? Kenapa mendadak?” kata Inayah dengan nada yang sedikit keras dari biasanya.
“maafkan saya, Ibu saya meminta saya untuk segera pulang” kataku mencoba menjelaskan tentang keadaanku.
Inayah menganggukkan kepalanya, “kalau itu atas permintaan ibumu, pergilah, penuhi kewajibanmu sebagai seorang anak” kata Inayah memaksakan senyumannya.
“Aku bisa minta tolong?” kali ini kuungkap permintaanku.
“mau minta tolong apaan?”
“aku ingin menepati janji yang per-nah saya buat bersama ayahmu, kami dulu berencana mengadakan pameran lukisan, karena itu untuk terakhir kalinya, aku ingin membalas kebaikan ayahmu, izinkan aku mengadakan acara pameran itu”
Inayah sejenak terdiam, “iya, lakukanlah yang kamu ingin lakukan, aku akan membantumu” kata Inayah setelah beberapa saat memikirkan sesuatu.
“besok, aku akan sebarkan pengumuman untuk khalayak tentang acara pameran ini, sekaligus kita persiapkan semua lukisan”
“apakah hasilnya akan maksimal, ini terlalu mendadak, sebaiknya diundur saja”
“aku juga pikirnya begitu, tapi acara itu harus diadakan secepatnya, tidak peduli banyak sedikit pengunjung yang akan datang”
“kalau itu keinginan kamu, aku akan membantumu semampuku”
“terima kasih, kalau begitu aku permisi pulang dahulu” kataku yang kemudian beranjak meninggalkan Inayah.
Aku tidak boleh menampakkan kesedihanku lantaran akan berpisah dengan Inayah, aku harus kuat menahan siksaan ini. meski aku mulai nyaman bersamanya, namun aku harus pergi, meninggalkan perasaan ingin bersama Inayah. aku hanya seorang murid dan temannya, tidak lebih dari itu. karena itu, cukuplah aku yang tahu tentang perasaan ini.
Semakin jauh aku melangkah, semakin kurasakan sakit yang akan menyiksaku saat berpisah dengan wanita itu, kurasakan sakit ini lebih dari sakit yang pernah kutanggung karena Alya. Lagi-lagi aku harus merasakan sebuah perpisahan yang hanya akan menjadi sebuah cerita tentang pertemuanku dengan seorang wanita.
Sesampai di rumah, aku langsung menyiapkan perisapan untuk pameran, kumulai dengan menata konsep pameran, kemudian kuambil lukisan-lukisanku. Siang, menjelang sore, dan sore digantikan malam yang membawaku ke dalam ruang mimpi.

. . . . . . .

Lanjut ke Warna Wanita berikutnya....


(Terima kasih telah membaca, untuk lebih lengkapnya, tulisan ini termuat dalam 
sebuah novel berjudul Warna Wanita)

Related Posts

Warna Wanita: Bisikan Putih Inayah
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.