WANITA ABU-ABU
BERBEKAL kebaranian kukerahkan semua kekuatanku berjalan menelusuri panjangnya jalan. Kira-kira lebih sepuluh
kilometer aku berjalan menjauh dari kampungku, meninggalkankan rumah
kediamanku. Kemudian dengan memakai kendaraan umum, kuarahkan perjalananku
menuju ke pelabuhan, ini perjalanan pertamaku akan meninggalkan pulau Sulawesi
menuju pula Jawa, entah apa yang akan terjadi padaku di sana, kuserahkan
sepenuhnya pada Tuhan, aku hanya mengikuti kata hati ini sebagai penguasa atas
kehendak diri.
Setelah sampai
di depan pintu gerbang pelabuhan Makassar, akupun turun dari kendaraan umum itu
dan kulihat pintu gerbang pelabuhan, yang tengah ramai oleh para perantau,
entah mereka akan meninggalkan Makassar menuju ke tempat lain, ataukah mereka
datang dari tempat lain dan berkunjung ke Makassar, aku tak memperdulikannya,
yang jelas aku kini dan akan menjadi bagian dari mereka, menjadi si perantau.
Setelah lama terdiam melihati pemandangan yang memadati pelabuhan, akupun
mengangkat barang-barang bekalku, mengarahkan kaki yang menjadi pahlawan
utamaku menuju ke sebuah loket pembeliat tiket kapal. Ini pertama kalinya aku
memasuki dunia perantauan, sehingga tak satupun kuketahui tentang prosedur
pemberangkatan, yang kutahu hanya berjalan terus sampai kutemukan orang yang
bisa membim-bingku menapaki perjalananku ini.
Beberapa orang
kutanya, namun mereka menjawab dengan jawaban yang sama, mereka tidak sedang
bersiap berangkat, namun mereka baru saja datang, dan akan tinggal di kota ini,
yah mereka adalah para pendatang yang menjadi pengunjung kota mertopolitanku.
Aku berjalan terus, kulihat dari kejauhan banyak orang yang menuju ke sebuah
pintu masuk pelabuhan, melihat orang-orang yang sibuk melangkahkan kakinya
memasuki sebuah ruangan, akupun mengambil keputusan bahwa mereka itulah yang
akan bertindak sebagai perantau meninggalkan kota ini.
Lagi-lagi
kukerahkan kekuatanku yang sudah melemah lantaran perjalanan yang tak
henti-hentinya kutempuh. Setelah sampai dan menyatu pada orang-orang yang
hendak memasuki ruangan, akupun mengikuti langkahnya, entah kemana arahnya,
akupun tak mengetahui, aku hanya mengikuti langkah orang-orang yang berada di
sekitarku. Di tengah perjalananku, aku bertemu dengan seorang wanita, dia
menyapaku sangat ramah, aku hanya menatapnya keheranan padanya karena aku
benar-benar tidak mengenalinya. Wanita itu tengah sendiri dengan sebuah tas
yang di gandengnya, tak seorang pun yang menemaninya, sebagai seorang wanita
kuanggap dia sebagai orang yang cukup berani dalam melakukan perjalanan panjang
ini, belum lagi akan menghadapi masalah yang tak terduga nantinya.
“hendak ke
mana?” Tanya wanita asing itu.
“Jawa. Pulau
Jawa.” jawabku.
“Pulau Jawa, di
bagian mana? Tengah, barat, timur atau kemana?”
“saya belum
tahu, di mana kapal akan berhenti di situlah jawa yang kumaksud”
Wanita itu
hanya mengangguk mendengar penjelasanku, tak panjang percakapanku dengannya,
karena keramaian menerobos memutuskan percakapan kami. aku melanjutkan kakiku
untuk melangkah mengikuti iringin pejalan kaki lainnya, sampai tiba di sebuah
kamar kecil, di dalamnya terdapat dua atau tiga orang yang tengah sibuk
memberikan kertas-kertas para setiap orang. Kulihat orang-orang bersemangat
untuk mendapatkan sebuah kertas dari orang yang di dalam ruangan itu, mereka
rela berdesak-desakn demi mendapatkan sebuah kertas, mungkin kertas itu sangat
penting. Akhirnya akupun ikut masuk dalam desakan orang-orang itu, selangkah
demi selangkah kulewati beberapa orang, dan ruanggan itu semakin dekat
denganku, setelah berhasil melampaui orang-orang yang juga tengah sibuk
melangkah, akupun sampai di depan ruangan itu.
“maaf, ini
ruangan apa?” tanyaku melihat dinding ruangan itu.
“loket
pembelian tiket. Ada yang bisa saya bantu?” jelas orang dalam ruangan itu
memperkenalkan nama ruangannya.
“ouh, aku pesan
satu tiket ke pulau Jawa?”
“pulau Jawa
bagian mana?”
“terserah”
jawabku yang terus melihat masuk ke ruangan itu, kuanggap ruangan ini sangat
penting, aku penasaran dengan apa yang ada di dalamnya, mungkin ada sesuatu
yang berharga sehingga orang-orang mendatangi tempat ini.
“atas nama
siapa?”
“Andi”
“itu saja? Nama
lengkapnya siapa”
“iya, cukup
taruhkan saja itu, Andi”
Setelah
mendapatkan sebuah kertas dengan menukarkan beberapa lembar uangku, akhirnya
aku berkesimpulan bahwa kertas ini sangat penting. Kujaga kertas ini agar tetap
pada geganggamanku, aku terdiam sejenak, melihat isi yang tertulis di sebuah
kertas ini, aku tidak mengerti apa yang tertulis di dalamnya, aku mengalihkan
pandanganku dari kertas ini, lalu aku kembali melihat pada sekelilingku,
kulihat lagi orang-orang tengah duduk di kursi yang tersedia tepat berada di depan agak ke samping kiri dari sebuah
pintu masuk. Akupun berjalan mendekati orang-orang itu, lalu duduk di antara
mereka. Tidak lama kemudian, wanita asing itu
mendatangiku.
“boleh aku duduk?”
kata wanita asing itu.
“silahkan”
kataku bergeser melapangkan kursi untuknya.
Kulihat kembali
kertas penting ini, pelan-pelan aku membaca kata-kata yang tertulis di atasnya,
namun tetap saja tidak kumengerti.
“kamu mau ke
Surabaya?”
“Surabaya? Kau
tahu dari mana kalau saya mau ke Surabaya, aku tidak pernah memberitahumu
tentang Sura-baya”. tanyaku penuh heran.
“di tiket kamu
itu tercantum Makassar ke Surabaya”.
“oh, iya
mungkin saya mau ke sana” jawabku mulai mengerti isi kertas ini.
“kenapa
mungkin?”
“sebenarnya
saya sendiri tidak tahu mau ke mana, saya diusir dari kampungku, sehingga saya
memilih untuk mencari kehidupan baru. Jawa, menurutku sebaga daerah yang tepat
untuk perubahan hidupku, tapi saya tidak tahu banyak tentang Jawa”
“bagaimana
kalau kamu ikut dengan aku saja, tapi saya di jogja”
“jogja? Tapi di
tiket tertulis Surabaya, bukan jogja”
“itu bukan
masalah, nanti kalau sudah sampai di Surabaya, kita naik kereta menuju jogja,
bagaimana?”
Mendengar
perkataan wanita ini, aku sebenarnya ragu padanya, namun kulihat wanita itu
nampaknya ramah, selain itu juga karena keadaanku yang serba tidak tahu,
akhirnya kuturuti saja kemauannya, aku menganggu sebagai tanda mengiyakan
ajakan wanita itu.
“Andi, nama
saya Andi, kalau boleh tahu kita siapa” kuulurkan tanganku, hendak
mengenal lebih dekat dengan wanita itu.
“kita?
Maksudnya?” wanita itu bertanya keheranan tentang kata yang kuucapkan.
“maaf, maksud
saya, ka… kau, iya siapa nama kau siapa?” aku mengulang pertanyaanku, mungkin
dia tidak mengerti maksud aku.
“oh saya, Dewi”
wanita itu mengu-lurkan meraih tanganku untuk bersalaman.
“tadi kamu
bilang ‘kita’, itu mak-sudnya apa?” Tanya Dewi.
“oh, kita kalau
di kampung saya itu bahasa yang sopan dari panggilan kau. saya pikir kamu orang
yang pantas saya perlakukan sopan, jadi saya panggil kau dengan panggilan itu, kita”
terangku men-jelaskan satu kata yang mungkin baru Dewi dengar dari orang
kampung seper-tiku.
“oh gitu,
bagaimana kalau panggilan sopannya kata ‘saya’, ‘dia’, ‘mereka’ dan ‘kita’?”.
“yaa, sama
seperti itu sih, cuman yang beda panggilan sopan untuk kata ‘kau’ saja”
“ouh,, hehehe,
aneh yah bahasa kamu, kalau bahasa di daerah aku, kalau kamu ya kamu, kita ya
aku dan kamu.” wanita itu berbucara seakan sedang mengolokku.
Aku terdiam, setelah mendengarkan kata ‘aneh’
dari wanita itu. aku merasa keberatan jika bahasa yang kuanggap so-pan malah
wanita itu menganggapnya aneh.
Setelah lama
saling terdiam, tiba-tiba orang-orang yang tadi duduk bersamaku, seketika
bangkit dengan cepatnya dan bergegas masuk sebuah ruangan besar, melihat orang-orang itu, akupun beranjak
berdiri meninggalkan tempat dudukku.
“hei tunggu,”
suara Dewi berteriak kepadaku.
“ayo cepat”
ajakku terburu-buru.
Dewi dengan
tergesah-gesahnya menghampiriku. Dia terlihat keberatan dengan tingkahku yang
teruburu-buru.
“santai aja,
kita tidak bakalan ketinggalan kok, biarkan orang lain masuk duluan, nanti baru
kita, santai saja” terang si wanita itu.
“ouh iya”
kataku menurut.
Aneh, seorang
bos preman di kampung, kali ini harus menurut dengat kata-kata wanita asing.
Ternyata dibalik keramahannya, wanita itu sangat cerewat, tapi biarlah,
sekarang bagiku itu bukan masa-lah buatku, setidaknya aku tidak kesepian selama
perjalananku.
Dari intruksi
Dewi, hampir dua sampai tiga jam aku menunggu para penumpang yang tengah sibuk
mengambil tempat di ruangan kapal, setelah jalanan mulai kosong dari penumpang,
aku dan Dewi pun melangkah masuk ke ruangan kapal yang bagiku sangat besar.
Kulihat di dalamnya ada banyak orang, “ masyaAllah banyak sekali, apa mungkin
kapalnya sanggup mengangkut orang sebanyak ini” ucapku dalam hati yang takjub
melihat pemandangan orang-orang yang memadatai ruangan.
“ruangannya
sudah penuh, ayo kita naik di atap kapal saja” Kata Dewi menarik tanganku.
“ke atas?
Memang bisa?” tanyaku heran.
“yah bisalah,
malah lebih bagus di atas, kita bisa lihat pemandangan malam”.
Lagi-lagi aku
hanya bisa mengangguk mengikuti perintah si wanita cerewet ini, anehnya
tangannya masih sibuk menggenggam tanganku, seakan wanita asing itu telah
mengenaliku lebih dalam, namun berpisah sekian lama, kemudian bertemu lagi.
Kurasakan keakrabannya membawa seribu tanya, namun ah sudahlah, hal itu tidak perlu
lama terlintas dalam benakku, mungkin wanita ini me-mang memiliki karakter yang
ramah kepada siapapun, lagipula keadaanku sekarang tidak memungkinkan untuk
menghindar darinya, karena dialah mungkin aku bisa berangkat ke Jawa, pulau
yang menjadi tempat hijrah akhlakku.
Demi mengikuti
keinginan seorang wanita, aku melangkah perlahan-lahan melewati satu-persatu
orang-orang yang sedang duduk sepanjang ruangan, semakin banyak orang yang aku
lalu semakin banyak yang melihat ke arahku, dengan situasi seperti ini aku
merasa telah melakukan kesalahan besar pada orang-orang itu.
“Pelan-pelan!”
suara kecilku mengintruksikan Dewi.
Wanita itu
tidak menghiraukanku, dia terus menarik tanganku untuk mengikutinya, tiba di
depan tangga, namun Dewi belum melepaskan tanganku, aku semakin heran dengan
tingkah wanita ini. Dengan tangan yang terus di pegangnya, membuatku tidak
leluasa melangkah menaiki sebuah tangga.
“tolong
lepaskan tanganku, saya akan jatuh kalau kau terus memegangnya” kataku menarik
tanganku.
Perkataanku lagi-lagi
diabaikannya, dia terus menarik tanganku, tidak mau melepaskannya,
kegelisalakuannya itu membuatku mulai tidak tenang, hingga melewati tangga dan
berada di lantai paling atas pun Dewi masih memagang tanganku.
“oke, kita
sudah sampai, tolong lepaskan tangan saya!” kataku dengan nada tak karuan.
“ouh maaf, aku
tidak sadar” kata Dewi singkat.
“apa, kamu
tidak sadar??” tanyaku dengan nada tinggi keheranan, “hei !! bagaimana mungkin
kau tidak menyadari kalau dari tadi kau pegang tangan saya, kau tarik terus
tangan saya melewati banyaknya orang yang sedang duduk, kemudian naik tangga
sampai aku hampir saja karena kau tarik terus tangan aku, lalu kamu bilang
tidak sadar? Asstagaaa….” jelasku semakin jengkel.
“iya iya maaf,
udah lupain aja”. kata Dewi berjalan meninggalkan percakapanku.
“ah, lupain..??
astagaaa… saya pusing ikut dengan kau, lama-lama aku bisa mati di kapal ini
karena tingkahmu”.
“hei… mau
kemana lagi kau” teriak-ku pada wanita yang semakin jauh dan tak
menghiraukanku.
Dia tidak menjawabku, aku hanya diam
keheranan melihat tingkah lagu wanita itu, dia terlihat tidak ada beban setelah
membuatku pusing dengan tingkahnya, kulihat dia berjalan menghampiri satu
persatu sudut pinggir pembatas keamanan, di atap kapal ternyata luas, bahkan
hanya beberapa orang saja yang menempati ruangan ini. Wanita itu terus berlari
kesana-kemari, aku hanya terus melihatnya, kulihat dia berbalik padaku.
“Andi, ayooo ke
sini….!!” teriaknya melambaikan tangannya ke arahku.
“kenapaa?”
jawabku teriak.
Barang-barangku
kusimpan disebuah tempat pengistarahatan lalu melangkah mendekati wanita itu.
“ada apa?”
tanyaku pada Dewi yang sedang melihat langit malam.
“kamu suka
lihat bintang-bintang nggak?” tanya Dewi yang masih melihat ke langit, terlihat
menikmati pemandangan bintang di malam ini.
“iya suka”
jawabku yang mengikuti Dewi melihat ke bintang-bintang.
“kamu suka
bintang yang mana?”
“itu yang di
sana, bintang yang sejajar sampai tiga” kuarahkan tanganku men-unjuk pada
bintang yang kumaksud.
“berarti sama,
aku juga suka bintang yang itu”. kata Dewi sambil menatapku dengan senyumnya.
Senyum wanita itu tiba-tiba saja membuatku
terdiam menatapnya, dibalik kecerewetannya ternyata wanita ini juga manis kalau
sedang tersenyu, sampai-sampai membuatku kaku di hadapannya.
“kenapa
tersenyum begitu? Tidak perlu tersenyum aku tidak suka melihatmu tersenyum
begitu” tanyaku dengan nada yang lambat.
“tidak apa-apa,
kalau boleh tahu kenapa menyukai bintang tiga sejajar itu”.
“bintang tiga
sejajar itu memiliki cerita untuk saya, tepatnya untuk saya dan teman-teman
yang sudah kuanggap sebagai keluargaku sendiri, dulu hampir tiap malam saya dan
teman-teman memperhatikan bintang itu, sampa kami berjanji bahwa jika diantara
kita ada yang berpisah maka bintang itu menjadi penghubung malam-malam kita,
karena itu aku menyukai bintang itu.”
“ouh begitu,
bagus yah, dari pertemanan bisa saling mengingat satu sama lain melalui
bintang”
“kalau kau?”
tanyaku melihat ke arah wanita itu.
“kalau aku,
juga sama punya cerita tentang bintang tiga sejajar itu, aku, dan dua adik
saya, dulu waktu sering sama-sama tiap malam kami melihat bintang, sampai saya
menunjjukkan bintang tiga sejajar itu kepada adik-adik saya, mereka menyukai
bintang-bintang yang sejajar itu, sejak itu kami bersepakat untuk menjadikan itu
sebagai bintang kelauarga, tiga bintang untuk tiga orang juga, aku, dan kedua
adik aku. Tapi karena aku di suruh sekolah ke jogja, karena itu kami tidak
pernah lagi melihat sama-sama ketiga bintang itu.” wajah Dewi perlahan berubah
dari riang menjadi sedih bersama ceritanya.
“mungkin tidak
bisa melihat bintang sama-sama, tapi masih bisa melihat bintang sama meski dari
tempat yang berbeda”. ungkapku pada Dewi.
“iya benar!
Meskipun terpisah jauh tetapi langit dan bintang-bintangnya tetap menjadi atap
malam-malam bagi pencin-tanya”. ungkap Dewi yanncg terlihat kembali riang.
Si Dewi, wanita yang tiba-tiba mengingatkan
masa laluku, masa bersama teman-temanku. Kulihat Dewi masih saja terus
tersenyum melihat ke arah bintang-bintang. Malam mulai larut, sebaiknya aku
mengakhir perbincangan ini dan beristi-rahat.
“kalau begitu
saya istirahat duluan yah, selamat malam” ungkapku mengakhiri perbincangan
panjang.
. . . . .
Terbitan
matahari memberikan isyarat untuk memulai kehidupan baruku, teriknya matahari terpancar
menyilaukanku yang masih tertidur di dunia kapal. Satu persatu penumpang bangun
dari lelap tidurnya, sesekali kurasakan namaku ter-panggil dari balik tidurku,
namun aku hendak tak memperdulikan suara itu. aku masih memilih untuk menikmati
tidurku, berusaha mengabaikan suara itu. lagi-lagi suara itu terdengar, semakin
aku mengabaikannya suara itu semakin saja menggerutu menggangguku.
“Andi,
bangun….” kata suara itu.
“banguuuunn… banguuunn…”
terdengar lebih keras.
“Andiiii
banguunnn,, siap-siap kita akan sampai di Surabaya”
Surabaya!
Mendengar kata itu aku langsung membuyarkan mimpi-mimpiku, kubuka kelopak
mataku langsung dan kubangkit badanku dengan cepat dari keadaan berbaring.
“Surabaya? di
mana? kataku spontan berdiri seraya melihat ke arah laut.
Ternyata suara yang memanggil-manggilku itu
milik Dewi. Wanita itu lagi-lagi berdiri di pinggiran pagar keamanan kapal,
nampaknya dia sedang menikmati pemandangan di pagi ini. Aku beranjak dari tempat
tidurku, dan berjalan menghampirinya.
“Kamu lama banget
tidur, padahal tadi aku mau ngajakin kamu lihat-lihat matahari terbit” kata
Dewi terdengar kesal padaku.
“iya iya maaf”
kataku singkat.
Berdiri di
pinggir kapal, dan melihati pemandangan sungguh membuatku takjub, ternyata
pemandangan pagi sangat indah. Baru kali ini aku melihat pemandangan seindah
ini, mungkin karena selama ini aku tidak pernah bangun sepagi ini, biasanya aku
bangun saat menjelang siang. Pagi ini kulihat daratan Surabaya yang di hiasi
oleh bangunan-bangunannya, terlihat seperti bangunan-bangunan itu telah
dirancang dengan seindah-indahnya, kuli-hat pula dari kejauhan sebuah jembatan
panjang, sangat panjang. Ini pertama kalinya aku melihat jembatan sepanjang
itu, jembatan itu tidak hanya berhasil menjadi penghubung dua pulau yang terpisah,
tetapi dia juga telah berhasil memikau siapapun yang melihatnya lantaran
keindahan bentuknya.
“alangkah
indahnya surabaya..” kataku tersenyum sambil terus melihat ke penjuru daratan
Surabaya.
“iya, sangat
indah” kata Dewi yang lebih awal menikmati pemandangan pagi.
“Yang di sana,
jembatan apa” kataku menunjuk ke arah jembatan.
“Suramadu,
jembatan penghubung Surabaya dan Madura, bagus kan?”
“iya, bagus,
sangat bagus”
Kapal semakin
mendekati pelabuhannya, tempat yang menjadi pengistirahatannya, sekaligus menjadi
kepulangan ataupun kedatangan orang-orang yang diangkutnya. Tinggal beberapa
menit kapal akan menepi kesebuah daratan yang dipersiapkan untuknya, beberapa
penumpang tengah sibuk mempersiapkan diri dan barang-barangnya untuk menginjak
tanah Surabaya, dan beberapa penumpang lainnya masih terlihat santai di
tempatnya masing-masing. Aku segera mengambil barang-barangku dan mengajak Dewi
untuk beranjak hendak meninggalkan kapal.
“kamu mau
ngapain?” tanya Dewi heran melihat tingkahku yang agak memaksakan diri.
“ayo kita ke
pintu keluar, sebentar lagi kapal akan menepi di pelabuhan”.
“kamu yang
sabar, kita tunggu sampai semua penumpang turun duluan supaya tidak
berdesak-desakan di jalanan, terlalu ramai kalau berebutan untuk cepat keluar”.
“apa kita harus
menunggu lagi, kita sudah menuggu sebelumnya, ayo sekarang saja, saya sudah
tidak sabar untuk meng-injakkan kaki di tanah Jawa”. jelasku memaksa Dewi
berjalan.
“tidak,
kalaupun kita turun dan ingin keluar bersama orang-orang, itu hanya akan
menyusakkan kita, sebab pasti terjadi desak-desakan karena semuanya ingin
duluan keluar”. jelas Dewi menahanku.
Tanganku di
tarik keras oleh Dewi, dia memaksaku untuk diam dan bersama menunggu para
penumpang terlebih da-hulu, namun sungguh aku tak bisa sabar, dalam hal ini
bukan bagianku untuk bersabar menunggu, sudah cukup aku sabar saat menunggu
penunggu penumpang menaiki kapal. Kali ini, aku haru melawan, aku tidak ingin
kalah oleh keinginan wanita, kali ini aku tidak mendengarkan intruksi si wanita
cerewet itu, karena aku ingin segera bertemu dengan tanah jawa, berbaur dengan
kebaikan kebudayaannya, dan mendapatkan cahaya akhlakku yang lebih baik. Aku
menarik kencang tanganku.
“kalau kau mau
menunggu, saya tidak akan menahanmu, tapi tolong jangan tahan saya untuk bersegera
keluar dari kapal ini, saya tidak sabar lagi untuk bertemu dengan tanah
keramahan jawa”. kataku melepaskan tanganku dari pegangan Dewi.
“aku tidak akan
melepaskan tanganmu! Oke, kalau begitu aku ikut denganmu, kita pergi sama-sama”
Dewi meraih kembali tanganku.
Setelah
keegoisanku menang melawan keegoisan wanita itu, aku dan Dewi pun beranjak
menuruni tangga. Di tangga aku dan Dewi harus berdesak-desak bersama beberapa
orang yang ingin menuruni tangga itu, aku dan Dewi melangkah melewati satu
persatu anak tangga, tanganku masih terpegang oleh tangan Dewi, tangan wanita
itu terasa manja pada tanganku, dia tidak mau terlepas meski hanya sebentar,
keadaan pegangan kedua tangan ini aku biarkan saja, aku lebih fokus pada kakiku
untuk bisa mengantarku keluar dari keramaian ini.
Setelah
berhasil menuruni tangga, aku dan Dewi tidak menghentikan langkah, kami
melangkah terus sampai kulihat keramaian itu memadati ruangan kapal ini. Bagitu
banyak orang-orang yang tengah berusaha meloloskan dirinya untuk keluar dari
pintu kapal ini, seakan tidak ada kata ‘sabar menunggu’, semua orang berusaha
memenangkan keegoisan masing-masing, tidak peduli lagi akan adanya kecelakaan
yang terjadi, tidak lagi berlaku hormat menghormati satu sama lain, dalam
keadaan seperti ini semua anjuran ke-baikan diabaikan begitu saja. Aku berjalan
terus, semakin memasuki keramaian itu, dari belakang mendorong dan memaksaku
untuk berjalan maju, dari belakang bersikeras menahanku seakan tidak mau
memberikan langkah pagiku, tidak ketinggalan dari samping kiri dan kanan terus
saja mempersempit ruang gerakku. Dari berbagai arah begitu kompak membuatku
tersiksa, tidak kutemukan peluang untuk melawan berbagai desakan ini. Aku
menyerah, aku pasrah, sungguh aku tak sanggup berjalan dengan keadaan terdesak
seperti ini, aku memilih untuk diam, namun dari belakang seseorang mendorongku.
“kan aku sudah
bilang tadi, mestinya kita tidak usah buruh-buruh keluar, karena kemauan kamu
jadinya begini, pokoknya kamu jangan tinggal, jalan saja terus, kita ikut arus
langkah orang-orang saja.” kata Dewi sambil terus mendorongku.
“aku tahu apa
kalau kejadiannya akan seperti ini” kataku dengan nada kecil.
Aku kembali
melangkah, dengan terpaksa kukerahkan seluruh kekuatanku, kali ini aku patuh
dengan intruksi Dewi, terus berjalan, jangan berhenti, dan ikuti arus langkah
orang-orang.
Setelah
beberapa kali tersentak lantaran desak-desakan serta beberapa kali mendengaran
ocehan yang terlontar dari Dewi. Akhirnya sampailah aku di suasana segar, tidak
ada lagi desakan, gerakanku pun terbebas ke arah kanan, kiri, depan, maupun ke
belakang. Orang-orang yang tadinya menghempit gerakanku kini satu persatu
berjalan menuju ke arahnya masing-masing, tak lupa aku pun berjalan bersama
wanita yang masih memegang tanganku, kami hendak menuju ke arah yang aku tujuh.
“setelah ini, kita mau ke mana?” tanyaku
sambil perlahan-lahan melepaskan tanganku dari pegangannya.
“ayo kita
langsug saja ke jogja, kita akan naik travel khusus”.
Aku hanya
mengangguk mengiyakan ajakan Dewi, sekarang tidak ada alasan bagiku untuk
menolaknya, karakter kebencianku pada wanita harus aku lupakan sementara, aku
tidak bisa membuat wanita ini meninggalkanku sendirian di tempat asing ini, aku
tidak ingin keberangkatanku ini menjadi musibahku ini, mungkin kalau bukan karena
wanita ini, aku akan hilang di pulau ini, bahkan bisa saja aku hilang saat
masih di bandara lantaran ketidak tahuanku. Karena itu, bagaimanapun
menyusahkannya Dewi dengan tingkahnya yang aneh, aku harus tetap bersamanya,
agar sampai pada tujuanku.
Sangat
repot untuk keluar dari pelabuhan, aku
harus mengangkat barang-barangku ke sana ke sini. Belum lagi mendengarkan Dewi
terus berbicara sepanjang perjalanan, sungguh dia tak berhenti mengajakku
berbicara, kayaknya tidak berlebihan jika aku menjulukinya si cerewet.
Setelah keluar
dari pelabuhan, aku dan dewi pun berjalan lumayan jauh meninggalkan rumah kapal
itu, dan hendak mencari mobil yang akan menjadi penghubung perjalananku.
“Mas, mas mas…”
teriak Dewi sambil mengangkat tangannya mengisyaratkan panggilan kepada seorang
lelaki yang berdiri di samping kendaraannya.
Aku melihat
lelaki itu, memasuki mobilnya setelah mendengar teriakan Dewi, dia begitu cepat
mengarahkan laju kendaraannya mendekati kami. Mobil itu berhenti di hadapan
kami, langsung saja Dewi menghampirinya dan mengajakku masuk ke dalam mobil
itu.
“ Mas, bawa
kami ke jogja” kata Dewi kepada pemilik mobil itu, Dewi duduk tepat di belakang
supir, dan aku di sampingnya, Dewi memajukan badannya mendekati lelaki yang
bertindak sebagai supir, kulihat dia sedang membisikkan sesuatu, namun aku
tidak bisa mendengarkan apa yang si wanita itu katakana pada si supir.
“Nggeh
mba” kata supir seraya menganggukkan kepalanya.
Aku sedikit
penasaran menyaksikan percakapan dua orang ini, terasa ada sesuatu yang Dewi
rencanakan kemudian diberitahukan ke supir, dan terjadilah kesepakatan di
antara mereka yang tidak aku ketahui. Namun, segera saja kuabaikan rasa
penasaran itu, “lupakan dan tidak perlu ikut campur” kataku dalam hati.
Sepanjang
perjalanan aku hanya terdiam sambil melihati pemandangan Surabaya yang terus
ketelusuri. Berbeda dengan wanita si cerewet ini, tidak henti-hentinya
memandangi jalanan dari berbagai arah, dia seakan mencari sesuatu, tapi aku
tidak mengetahuinya. Sedangkan laju mobil semakin menjauh dari pelabuhan,
kecepatannya semakin berkurang, mobil itu semakin melambat, tidak lama kemudian
dia berhenti. Mungkin aku sudah sampai di tujuan.
“kita sudah
sampai di jogja?”tanyaku pada Dewi yang kulihat hendak turun dari mobil.
“belum, kita
masih di Surabaya, kita singgah saja dulu untuk makan, aku lapar, ayo turun”.
jelasnya menarikku keluar dari ruangan mobil.
Aku menurut
saja dengan perkataan Dewi, meskipun terasa aneh berada di tempat yang asing,
tetapi aku harus tetap mengikuti perkataan si wanita itu, lagi pula aku juga
lapar setelah menempuh perjalanan. Bersama Dewi, aku melangkahkan kaki menuju
ke sebuah warung yang terlihat bernuansa batik.
“Kamu mau makan
apa?” tanya Dewi sambil melihat menu makanan yang telah tersedia di setiap
meja.
“terserah”
kataku singkat.
Dewi meneriaki
seorang wanita dengan sebutan pelayan, wanita itu segera menghampiri kami, Dewi
menunjuk ke nama-nama makanan yang tercantum di dalam lembaran menu, si pelayan
menganggukkan kepalanya sebagai tanda mengerti apa yang di inginkan Dewi.
Sambil menunggu
makanan yang di pesan, aku dan Dewi sedikit banyak mengobrolkan tentang diri
masing-masing.
“Jadi kau juga
orang Makassar?” tanyaku setelah mendengar masa lalu wanita itu.
“iya, asalku
juga Makassar, aku ke jogja untuk kuliah tapi aku sudah selesai, ini aku mau
mengambil barang-barangku untuk aku bawa pulang ke Makassar.”
Beberapa menit
kemudian, seorang pelayan wanita itu kembali menghampiri meja kami, dengan
membawa dua piring yang diisi makanan yang sama.
Aku heran dengan
diriku, sedikitpun tak mampu menahan pembicaraan si Dewi, wanita itu sangat
cerewet, selama proses makan, selama itu pula dia mengajakku berbicara, anehnya
aku pun tidak bisa berhenti untuk berbicara, aku terhanyut dalam percakapan si
wanita cerewet itu.
Seusai kami
menyantap makanan, Dewi kembali memanggil pelayan itu kemudian memberikannya
beberapa lembaran uang. Seketika saja wanita ini membuatku malu dengan
membayarkan makananku, kelakuannya membuatku merasa orang yang tak punya uang
sepeser pun.
“kau tidak
perlu bayarkan saya, biar saya sendiri yang bayar” kataku mengeluarkan uang
dari dompet.
“nggak papa
kok, aku aja yang bayarin, kan aku yang ngajakin makan”
“tidak perlu,
itu sungguh membuatku tidak enak”
“tidak enak
sama siapa? Aku? Tidak usah dipikirin nggak enak atau bagaimana, sekarang
biarkan saya yang teraktir kamu” jelas Dewi yang tetap mau membayarkan
makananku.
Bergulat dengan
wanita cerewet ini, membuatku sangat malu, di saat yang sama dia selalu
membuatku terpedaya dengan perkataannya, aku heran melihat sikap wanita itu
padaku, tapi aku lebih heran sikapku, kurasakan jati diriku sebagai lelaki yang
sebelumnya menguasai wanita, namun kini Dewi perlahan melembutkan kebencianku
itu, seakan dia tahu tentang seluk beluk diriku kemudian dia ingin mengubah
pandanganku tentang wanita.
Usai makan, dan
diperlukan oleh wanita yang tak mau mengalah itu, aku dan Dewi pun beranjak
meninggalkan meja makan warung, kemudian menuju ke mobil tumpanganku. Di dalam
mobil, si Dewi langsung mengisyaratkan supir untuk mengantarkan kami ke jogja.
Mobil
perlahan-lahan meninggalkan tempat parkirnya, dan diarahkan menuju jalan raya,
untuk selanjutnya mobil pun melaju dengan cepatnya. Aku yang saat itu merasa
kekenyangan, kusandarkan saja kepalaku di kursi mobil, dan memperbaiki posisi
tubuhku senyaman mungkin, dan segera kupejamkan mataku untuk menyambut bunga
tidurku.
Beberapa aku
terbangun dari tidurku namun belum juga sampai di jogja, sedikit demi sedikit
pegal tubuh menyertai per-jalananku, entah sampai di mana mobil ini terus
melaju, semakin lama, badan ini semakin capek, tidak hanya itu, aku juga
semakin bosan dengan posisi duduk yang tak bisa berubah di kursi mobil ini.
Sangat berbeda dengan keadaan Dewi, wanita itu terlihat menikmati perjalanan,
bahkan sepanjang perjalanan dia tidak pernah berhenti berbicara dengan sopir,
aku tidak bisa membayangkan bagaimana kesalnya si sopir itu yang terus
mendengarkan cerita penumpangnya yang cerewet itu, jangankan sopir itu, aku
yang jelas-jelas sedang menikmati tidurku pun tetap saja wanita itu mengajakku
bercakap, untung saja aku bisa menghindarinya dengan menutup kedua telinga dan
terus memejamkan mat-aku, supaya terkesan tak memperdulikan wanita cerewet itu.
Setelah
beberapa jam mobil terus melaju, Dewi mulai membicarakan daerah-daerah Jogja,
aku mulai berpikir bahwa sekarang sudah tiba di kota Jogja.
“kita sudah
sampai?” tanyaku pada Dewi.
“belum, kita
baru masuk di jogja, sebentar lagi kita sampai di rumah kontrakanku”. Jelas
Dewi.
Tinggal
beberapa saat lagi aku akan menjadi orang jawa, dan bernaung dalam kebudayaan
yang terkenal keramahan masyarakatnya, entah itu hanya sekedar mencari budaya
yang bisa membuatku lebih ramah dalam kehidupan ataukah akan tinggal untuk
jangka waktu yang sangat lama, atau bahkan akan tinggal seumur hidup di daerah
ini, aku belum bisa mengiyakan ataupun menolaknya, yang kutahu aku ke sini
hanya untuk berusaha menyatu dalam jawa dan menggapai cahaya itu.
“Alhamdulillah,
akhirnya kita sampai” kata Dewi mulai mempersiapkan dirinya untuk turun dari
mobil.
Aku pun tidak
ketinggalan mempersiapkan diriku untuk meninggalkan mobil, kubuka pintu mobil,
kuhirup udara segar kota jogja, kulihati pemandangan rumah yang tertata
memadati kota ini. aku turun dan mengangkat barang-barangku.
“ayo masuk”
ajak Dewi sambil membukakan pintu gerbang kontrakannya.
Aku pun
melangkah mendekati kemudian melewati pintu gerbang kontrakan Dewi, kulihat
sepintas rumah ini, lumayan sederhana, tak banyak motif yang menghiasinya,
tanaman-tanaman pun sedikit yang menghiasi pekarangannya. Tapi untuk ukuran
luasnya, cukuplah untuk menampung satu keluarga.
“kau tinggal
sama siapa?” tanyaku pada Dewi yang sedang membuka pintu rumahnya.
“sendiri,
makanya aku ngajak kamu supaya ada yang nemanin” kata Dewi.
“aku tidak bisa
tinggal di sini, aku akan langsung pergi mencari tempat tinggal sendiri”
“kenapa
buru-buru, malu?” kata De-wi melihatku.
“bukan malu,
tapi laki-laki dan wanita tak semestinya tinggal bersama kalau belum waktunya”
“ouh gitu, kamu
tinggal dululah di sini sehari, besok baru cari tempat tinggal sendiri, pliss,
paling tidak barang-barang kamu simpan aja sementara di sini, sekalian
istirahat, sudah sore, kamu juga belum tahu apa-apa tentang jogja ini”.
Mendengar
perkataan Dewi, aku hanya bisa menganggukkan kepala sebagai tanda mengiyakan
permintaannya, selain karena ketidak tahuanku tentang kota ini, juga wanita ini
benar-benar telah membuatku tidak bisa melawan keinginannya. Karena ajakan Dewi
yang tak henti-hentinya memohon padaku, akhirnya kup-utuskan saja untuk tinggal
dengannya di rumah yang sederhana ini.
Malam berlalu
begitu cepat, lantaran aku yang langsung mengistirahatkan diriku, Dewi pun
berubah yang sebelum-sebelumnya cerewet, namun tadi malam dia tidak
keluar-keluar dari kamarnya, mungkin dia sangat capek setelah menempuh
perjalanan dari Surabaya, sehingga dia juga cepat beristirahat, aku yang
memilih tidur di ruang tamu tak sepintas pun melihat wanita cerewet itu keluar
dari kamarnya.
Matahari mulai
menyingsing di ufuk timur, terlihat bersemangat menyinari para pejalan
kehidupan, dia tak mengenal bosan untuk memancarkan cahayanya pada setiap
makhluk di muka bumi ini, juga tak mengenal marah tatkala beberapa makhluk
begitu sombong mengabaikan kehadirannya, dia tak pernah mengadu kesah. “jika
beberapa makhuk tak pernah berterima kasih padanya, sungguh dia ciptaan yang
mulia, kalau dia yang hanya di tugaskan oleh Tuhan untuk terus menyinari perjalananku,
kenapa aku sebagai makhluk yang sangat dimuliakan-Nya enggang untuk tersenyum
menyebar kebaikan dalam kehidupan ini?” tanyaku pada diriku sendiri.
Sinaran
matahari begitu hangat menyapa kehidupan pagiku, menemaniku menjalani kehidupan
baru di daerah yang kata khalayak dengan sebutan daerah istimewa, dengan
sebutan itu, aku yakin akan banyak kebaikan yang kutemui selama aku berbaur
dalam kebudayaannya, tekadku semakin kuat untuk menelusuri seluk-beluk budaya
Jogja.
Pagi ini, aku
hendak mencari penjual makanan untuk sarapanku, karena ketidak tahuanku,
akhirnya aku memilih untuk terus berjalan tanpa arah, sambil menikmati udarah
pagi, kurasakan kesejukan yang terhembus dari perpaduan kehangatan matahari
dengan dinginnya pepohonan. Awalnya aku ragu untuk berjalan jauh dari rumah
karena takut jika akhirnya aku tak bisa kembali, namun suasana jogja menghanyutkanku
dalam keindahan pemandangannya, akhirnya kuputuskan untuk terus berjalan lebih
jauh, beberapa tempat pen-jual makanan kuhiraukan begitu saja, kuyakin masih
banyak penjual yang akan aku temui di depan sana.
Selain suasana
pagi yang membuatku terhanyut dalam perjalanan ini, juga setiap orang yang
kutemui berpapasan tersenyum menyapaku, sedikit aku bingung dengan tingkah laku
orang-orang di sini, namun di saat yang sama aku merasa kehadiranku di sambut
baik oleh mereka. pada awalnya aku tidak mengerti untuk apa mereka tersenyum
katika aku hendak lewat di hadapan orang-orang itu, namun sedikit demi sedikit
aku mulai terbuka untuk membalas senyuman keramahan orang-orang, mungkin
tingkah laku orang-orang di sini sangat ramah jika berpapasan satu dengan yang
lainnya, Hal ini tidak aku temukan di kampungku.
Aku terus
berjalan, semakin jauh dari kediaman Dewi, terus dan terus, tiba-tiba perutku
mulai mengisyaratkan kelaparannya, sesekali dia berbunyi seakan menggerutu atas
pengabaianku untuk memberinya makanan. Akhirnya aku singgah di sebuah tempat
penjual makanan yang terletak di pinggir jalanan, aku membeli beberapa macam
kue, “cukuplah untuk menempuh perjalanan selanjutnya” kataku sambil membawa
kantongan yang berisikan makanan itu.
Semakin jauh
aku menempuh jalanan Jogja, tak sadar ternyata posisi matahari telah berada
tepat di atas keplaku, pagi telah tergantikan oleh siang, melengserkan
kesejukan itu dan di gantikan oleh panas terik siang ini, di saat yang sama,
kakiku pun mulai terasa pegal, memaksaku untuk beristirahat, tapi aku bingung
di mana aku bisa beristirahat, kulihat dari kejauhan orang-orang mendekati
bangunan suci berwarna hijau, masjid itu terlihat ramai oleh
kunjungan-kunjungan masyarakatnya. Melihat rombongan orang-orang yang menuju ke
masjid itu, kuputuskan untuk mengikutinya. Kukerahkan langkahku menuju bangunan
masjid itu, mungkin di sana aku bisa beristirahat dengan baik.
Setelah jauh
melampaui perjalanan, aku masuk ke sebuah ruangan utama masjid itu, kulihati
banyak orang tengah duduk khusyuk mendengarkan cerita seorang wanita. Begitu
tenang nan sejuk kurasa tatkala kulihat ada wanita yang dengan kecakapannya
menyiarkan ajaran-ajaran Tuhannya.
“lelaki lebih
kuat daripada wanita, oleh karenanya sangat dianjurkan lelaki menjaga wanita,
wanita tercipta dari tulang sulbi seorang lelaki, tulang itu akan patah jika
terus dipaksakan untuk lurus tetapi akan tetap bengkok jika dia didiamkan
terus, karena itu tulang itu harus di luruskan dengan cara yang lembut dan
terus di jaga, begitulah perumpamaan kedudukan lelaki pada wanita. maka dari
itu wanita sangatlah rapuh tanpa lelaki, sebaliknya lelaki pun membutuhkan
wanita, kita semua akan selalu mem-butuhkan satu sama lain”.
Di hadapanku,
telah nampak seorang wanita yang sedang berdiri di tengah-tengah banyaknya wanita
dan lelaki, perkataannya menggetarkan ragaku, mengetuk pintu jiwa ini yang lama
tertutupi oleh kesalah pahaman tentang wanita. Kalau saja wanita menyadari
berartinya sebagai makhluk ciptaan-Nya, sungguh tak satu pun lelaki akan
menyakitinya, bahkan lelaki akan memanjakannya penuh kasih. Kududuk tenang
mendengarkan perkataan dari seorang wanita, kuperhatikan begitu seksama kata
perkata yang terucap dari kaum hawa itu.
“Dalam rumah
tangga, suami adalah imam dari seorang istrinya, suami sepenuhnya berkewajiban
atas istrinya, bahkan suami tidak akan masuk ke dalam surga jikalau istrinya
belum masuk surga terlebih dahulu, setiap dari kita adalah pemimpin, dan suami
bertidak sebagai pemimpin rumah tangga, maka hendaklah dia menjadi panutan yang
baik untuk keluarganya”.
Seketika
kudengar penjelasan yang kuanggap aneh dari wanita itu. aku, lelaki yang kelak
menjadi suami akankah sanggup menjadi imam yang baik untuk istriku, jika tidak,
apakah aku berdosa lantaran hanya seorang wanita dan bahkan aku tertahan untuk
masuk menikmati surga-Nya. Seketika terdengar tidak adil namun bukan itu
intinya, sebagai lelaki yang dicap sebagai pemimpin wanita, maka wajarlah aku
melakukan yang terbaik untuk diriku dan untuk wanita.
Seketika wanita
itu mengubah kesalah pandanganku tentang wanita, dia memberikanku cahaya
kehidupan yang kurasakan menenangkanku, seketika saja aku ingin mengenalnya
lebih dalam, barangkali dengan bersama wanita itu aku bisa mendapatkan cahaya
kebaikan. Setelah wanita itu selesai menyiarkan ajaran Tuhannya, para jama’ah
pun beranjak keluar dari ruangan ini, aku yang saat itu terus memperhatikannya,
dengan segera kukerahkan langkahku menghampirinya.
“Aku suka kau,
kau mau jadi pacarku?” tanyaku langsung di hadapan wanita suci itu.
Dia tidak
menjawabku, hanya melihatku dengan sinisnya.
“aku serius,
aku suka kamu”
Entah apa yang
dipikirkannya, wanita itu tiba-tiba langsung manamparku ke-ras, dalam hitungan
singkat kurasakan sakit di kedua pipiku.
“Astagfirullah,”
kata wanita itu yang kemudian pergi begitu saja meninggalkanku.
Aku yang tengah
kesakitan lantaran tamparannya, bingung dengan wanita itu yang tiba-tiba
menamparku dan pergi begitu saja. Sebagai lelaki yang disadarkan oleh
ceramahnya tentunya tidak salah kalau aku menyukainya, barangkali dengan
berhubungan dengannya aku bisa seperti dengannya, berakhlak yang lebih baik dan
mendalami ajaran dengan baik pula. Aku ingin mengejarnya, namun keadaan tidak
mendukung, orang-orang menghampirinya begitu cepat, dan mengantarnya ke sebuah
mobil yang terparkir di halaman masjid, sehingga tidak ada luang untuk
meneruskan keinginanku.
Aku yang
terabaikan oleh seorang wanita, seketika saja merasa terpukul keras yang
sakitnya tiada terbanding, namun entah apa yang terjadi pada diriku sehingga
tak sedikitpun kurasakan dendam pada wanita itu, raga ini tak mampu membalas
tamparan wanita itu, jiwa ini pun tak sanggup membenci acukannya. Aku hanya
bisa menundukkan kepala seraya terus memegang pipiku yang kemerahan sakitnya,
kemudian keluar dari ruangan masjid.
Kulanjutkan
perjalananku menjelai kota istimewa ini, hari semakin gelap namun langkahku tak
berhenti, membuatku semakin jauh dari rumah kontrakan Dewi, selain itu, juga
semakin banyak keunikan Jogja yang ketemukan, ini membuatku semakin yakin
dengan kabaikan yang akan kutemukan di daerah ini.
Pagi digantikan
oleh teriknya siang, siang digantikan oleh gelapnya malam, perjalananku semakin
terseret jauh, hingga aku menemukan pemandangan yang menggoyahkan bathinku,
kulihat seorang wanita tua sedang sibuk mengotak-atik tempat sampah di pinggir
jalan, seolah mencari sesuatu yang sangat berharga, wanita tak henti-hentinya
memeriksa isi tempat sampah itu, aku yang melihat kesibukan wanita tua itu,
segera meng-hampirinya, dengan suara hati kecilku ingin membantunya menemukan
apa yang dia cari sehingga harus sesibuk itu.
“maaf, kalau
boleh tahu, ibu cari apa?” tanyaku pada wanita tua itu.
“aku sedang
mencari plastik-plastik” jawab wanita tua itu tanpa menghentikan pekerjaannya.
“plastik? untuk
apa?”
“untuk aku
jual, inilah pekerjaanku, menjual plastik supaya aku bisa bertahan hidup” jelas
wanita tua yang sejenak menghentikan pekerjaannya.
Seketika
kudengar pengakuan seorang wanita tua yang menggetarkan bathinku, sungguh
malang nasib wanita itu, di tengah-tengah kota istimewa ini ternyata ada orang
yang kehidupannya bersandar pada sampah-sampah. Aku yang saat itu masih sanggup
menanggung perjalananku, langsung saja kuberikan sedikit uang ke wanita tua
itu.
“ini bu, ambillah,
mudah-mudah ini bisa membantu kebutuhan ibu” kuberikan beberapa lembar uang
sakuku.
“matur nuwun
nak, semoga Tuhan memberikan pahala yang berlimpah
untukmu”. ungkap
sang ibu itu, seraya memegang syukur tanganku.
Keadaan ibu
membuatku bertanya-tanya, jika wanita ini tahu tentang Tuhan, lantas kenapa dia
memilih untuk hidup menderita seperti ini, bukankah semes-tinya dia meminta
pada Tuhan supaya diberikan kehidupan yang lebih baik dari sekarang, ataukah
mungkin inilah kehidupan yang mesti dijalaninya. Ini bukan takdir Tuhan, Tuhan
tidak mungkin berbuat sehina ini, pasti ada yang salah dengan kehidupan wanita
itu.
“Tuhan, kenapa Engkau ciptakan wanita? Jika hanya menjadi sampah
kehidupan. Tuhan, kenapa Engkau
ciptakan wanita? Jika harus menanggung kepedihan hidup ini, kenapa Engkau ciptakan wanita? Jika Kau
tak mendengarkan rintihannya”.
Kehidupan
wanita terlalu sempit jika dia diciptakan untuk hal-hal yang tak berguna.
Kehidupan akan terus berkembang, entah wanita akan terus bernasib sama atau
akan bangkit hingga bisa membimbing dirinya sendiri, aku tak tahu, yang jelas
Tuhan yang mencipatakan mereka, biarkan Dia yang mengatur skenario kehidupan
ini.
Malam semakin
menggelapkan kehi-dupan ini, hendak kuajak wanita tua itu
berjalan menikmati kehidupan yang masih menyimpan karunia-Nya, sebagaimana
kehidupan baru yang kini juga tengah kujalani. Namun dia menolaknya, dia lebih
memilih untuk tetap bertahan dalam kehidupannya yang menyedihkan, entah sampai
kapan dia akan tetep bertahan, mungkin sampai Tuhan sendiri dengan Kasih
sayang-Nya memberikan kenikmatan-Nya pada sosok wanita itu. Kulangkahkan kaki
menjauhi wanita tua itu, mungkin lain waktu aku akan bertemu dengannya lagi,
mungkin saja, jika Tuhan menaqdirkan itu, kuharap itu terjadi dengan keadaan yang
berbeda, tak hina seperti sekarang.
“Tuhan, Engkau
adalah Pelaku utama kehidupan ini, maka kuyakin Engkau bisa melakukan perubahan
pada wanita itu, kehendakmu sungguh menjadi anugrah bagi ciptaan-Mu”.
Semakin jauh
aku berjalan meninggalkan sosok wanita tua itu, kupikir sudah cukup
penjelajahanku untuk hari ini, kuarahkan langkahku untuk pulang ke rumah
kontrakan Dewi, terlalu lama aku meninggalkan Dewi sendirian di kontrakannya,
mungkin di rumah Dewi mencari-cariku, aku tiba-tiba merasa khawatir padanya,
mungkin karena cerewetnya sekarang mulai terbayang-bayang dalam pikirku, aku
merasa kasian meninggalkannya sendirian dan tidak ada orang yang menemaninya
untuk bercerita, sungguh itu telah menahan kecerewatan yang hakikatnya menjadi
kekhasannya.
Karena perjalananku
yang sangat jauh, sehingga sangat lama rasanya untuk sampai di rumah, langkahku
kupercepat, tak peduli lagi sakit yang ditanggung kakiku. Ternyata sangat jauh
telah aku telusuri daerah ini, sangat panjang jalanan yang telah ditempuh oleh
kakiku ini. aku terus berjalan, tanpa henti, tak lagi memperhatikan apa yang
ada di sekitarku, aku hanya berfokus untuk sampai di rumah Dewi.
Setelah
menempuh panjangnya perjalanan kembali akhirnya akupun tiba di rumah, akupun
mengetuk pintu, namun Dewi tak membukakan pintu rumah, kucoba beberapa kali
namun hasilnya tetap sama, Dewi tetap tidak menyahut panggilanku. Aku mulai khawatir dengan wanita itu, kuketuk keras pintu, namun
lagi-lagi tak ada tanda-tanda Dewi untuk membukakan pintu. Di tengah kesibukanku
mengetuk terus pintu rumah kontrakan, tiba-tiba seorang wanita keluar dari
kontrakan yang berada di samping kontrakan Dewi, wanita itu menghampiriku.
“mas cari mba
Dewi?” kata wanita itu.
“iya” kataku
menyahutnya.
“mba Dewi baru
saja berangkat ke bandara”
“bendara? Untuk
apa ke bandara?” tanyaku heran.
“katanya, dia
akan pulang ke kampungnya di Makassar, karena urusan di jogja sudah selesai”.
Jelas wanita itu.
“oiya, ini ada
titipan surat dari mba Dewi, dan ini kunci kontrakannya, karena masa
kontrakannya belum selesai jadi Dewi minta masnya yang nerusin untuk tinggal di
kontrakan ini” tambah wanita itu sambil memberikan surat dan kunci.
“ ANDI….
Sudah lama aku
menunggu momen ini, lelaki yang selama ini aku nanti, akhirnya dipertemukan
juga dengannya, aku sangat senang karena rindu yang lama tersimpan ini telah
terbayar oleh sejenak kebersamaan.
Mungkin kamu
baru mengenalku kemarin, tapi sejak di pesantren aku telah mengenalmu, masih
teringat jelas tentangmu yang begitu bersemangat belajar, namamu dikenal oleh
berbagai kalangan di pesantren, sampai akhirnya tentangmu sampai di telinga
ayahku yang saat itu menjadi kepala sekolah, beliau sering bercerita tentangmu
padaku, kebanggaan ayah padamu membuatku
penasaran tentangmu, dari sejak itu aku ingin mengenalmu lebih dalam, beberapa
kali aku mengunjung sekolahmu, dan mencari tahu tentangmu.
Sedikit banyak
aku mengenal tentangmu, entah mengapa aku merasa nyaman ketika mendengarkan
tentangmu, namun saat itu aku tidak bisa mengatakan kalau aku sedang jatuh cinta
padamu, karena aku tahu kalau itu hanya akan membuatku tidak bisa dekat
denganmu, mungkin selain karena di pesantren santri dilarang pacaran, juga
karena ayah memang melarangku untuk menyentuh dunia pacaran.
Semakin lama,
cinta itu semakin nyata, seringkali aku terluka lantaran harus menanggung rindu
denganmu, karena cinta itu, aku semakin sering ke pesantren hanya untuk
melihatmu, meski itu tak sebanding dengan besarnya rindu itu, namun melihatmu
dari kejauhan adalah pilihan yang terbaik untuk kita berdua, agar tidak ada
yang mendapat masalah diantara kita lantaran keegoisanku.
Sangat lama
rasanya aku hanya melihatmu dari kejauhan, bahkan tanpa kamu ketahui. Juga
semakin sulit aku mengendalikan perasaan ini agar tetap berada dalam ruang
sekedar rindu, tak ingin sampai diketahui oleh orang lain, apalagi ayah. Namun,
di balik kerinduan dan pengharapan yang sangat besar, seketika lebur bersama
kabar yang kudengar dari temanmu bahwa kamu telah menjaling cinta dengan wanita
lain. Sempat aku kecewa denganmu, sangat kecewa, namun sungguh aku tidak mampu
membencimu, salahku yang terus menyembunyikan rasa itu tanpa menyadari
kehadiran wanita lain di benakku, sejak kebersamaanmu dengan wanita lain,
gejolak cinta itu semakin saja mengga-ngguku, sampai suatu ketika aku
mence-ritakannya kepada ayah, namun, bukan simpati ayah yang kudapatkan
melainkan kemarahan yang harus kutanggung. Meski pun dia sangat bangga pada
santri-santrinya namun aturan untuk tidak pacaran harus tetap dia tegakkan,
begitu juga denganku, sebagai anak dari seorang yang kuat pendiriannya, aku
harus menanggung aturannya, meski kutahu itu sangat sulit. Setelah
menyelesaikan studi madrasah Aliyah, dengan berbagai pertimbangan ayah
memutuskan untuk mengantarku ke jogja untuk kuliah, kehendak ayahku adalah
titah yang tak bisa aku hindari, meskipun saat itu aku sangat ingin satu
perkuliahan denganmu, tapi itu hanya menjadi ang-anku semata jika berhadapan
dengan kehendak ayah.
Kerinduan tanpa
ikatan yang kulalui denganmu, membuatku ingin sesegera mungkin menyelesaikan
kuliahku dan bertemu denganmu, setiap kali aku merindukanmu maka semakin
memuncat keinginan untuk pulang ke Makassar hanya sekedar bertemu denganmu.
Beberapa minggu
yang lalu akhirnya studi perkuliahanku berhasil aku selesaikan dengan waktu
yang termasuk cepat, setelah itu aku pulang ke Makassar, sesampai di Makassar,
aku tak pernah menduga, bahwa kerinduan ingin bertemu denganmu, seketika saja
harus terhapus oleh kehendak ayah. Lagi-lagi ayah mengambil keputusan yang tak
sesuai keingi-nanku, tentunya aku tidak bisa membantahnya, ayah menjodohkanku
dengan lelaki lain.
Aku mendengar
tentang kabarmu yang diusir oleh warga lantaran berbagai kejahatan yang kamu
lakukan, aku sempat tidak percaya, dan memilih untuk mengunjungi rumahmu, namu
belum sampai di rumahmu, dari kejauhan aku melihatmu tengah melangkah jauh
meninggalkan rumah kediamanmu. Saat itu juga aku ingin mengikutimu, pertemuan
kita di pelabuhan bukan kebetulan, karena aku telah merencanakannya.
aku tidak ingin
melepaskan kesempatan lagi, kupikir pertemuaan kita saat itu adalah momen yang
dianugrahkan padaku sebelum pernikahanku tiba. Karena itu aku bertingkah menjadi orang lain,
menjadi orang yang tidak mengenalmu sebelumnya, bahkan mengubah karakterku.
Maaf, karena
telah mengejekmu, terkait dengan kata “kita”, sebenarnya aku sudah tahu, tetapi
aku pura-pura tidak mengerti. waktu pertama ke jogja, aku juga pernah diejek
karena menggunakan kata “kita” ketika berbicara dengan orang lain. Tapi itu
tidak berlangsung lama, nanti kalau sudah lama di sini, dan berbaur dengan
budaya Jogja, pasti kamu akan terbiasa dengan semua yang ada di dalamnya, saya
yakin itu.
Hari ini, kamu
pergi dari rumah tanpa sepengetahuanku, aku telah mencarimu ke mana-mana, namun
aku tak menemukanmu, aku ingin sekali bersamamu di akhir terkahirku di kota
istimewah ini, berjalan bersama menelusuri berbagai tempat-tempat rekreasi yang
mungkin dapat mewakili jawaban atas cinta yang selama ini tumbuh untukmu,
sekaligus menjadi momen yang kelak akan kukenang tentang kita, dan akan kuceritakan
tentang dirimu pada duniaku. Namun, mungkin itu hanya menjadi anganku semata,
ketidak hadiranmu di hari ini adalah jawaban akan perpisahan nyata yang mesti
kulewati.
Saat kamu
membaca surat ini, mungkin aku telah tiada di Jogja, mungkin aku sudah berada
di tempat lain, malam ini aku akan berangkat pulang ke tanah kelahiranku,
maafkan aku jika kecerewetanku membuatmu kesal denganku, karena keegoisanku
sehingga kamu menjadi susah, dan karena kebohonganku sehingga kamu tidak tahu tentang
aku yang sebenarnya.
Maafkan
aku, sungguh aku akan merindukanmu.
Salam
rinduku,
DEWI
. .
. . .
Seketika saja
surat Dewi menjadikanku sebagai makhluk yang paling bersalah, Tak pernah
sepintaspun terpikirkan olehku bahwa
selama ini ada seorang wanita yang terluka karena diriku, sungguh aku tidak
mengerti apa yang telah kulakukan sehingga Dewi menanggung cintanya.
“kapan Dewi
berangkat mba?” tanyaku kepada wanita yang memberikan surat Dewi.
“Barusan mas,
Dewi pergi kemudian mas datang, mungkin kalau mas menyusul dia, masih sempat
ketemu dengan mba Dewi.”
“terima kasih
mba”
Tanpa masuk ke
rumah kontrakan, aku langsung berlari mengejar Dewi, aku tidak tahu harus
melakukan apa, aku yang belum tahu tentang daerah ini, berpikir hanya
mengandalkan kendaraan umum, akupun langsung berteriak memanggil ojek untuk
mengantarku ke jalan raya. Setelah sampai di jalan raya, aku lagi-lagi berteriak
memanggil taksi untuk mengantarku ke bandara, kuintruksikan supir taksi untuk
mempercepat laju mobil, selama perjalanan aku memikirkan wanita itu. Betapa
bersalahnya aku jika tak sempat bertemu dengannya, untuk terakhir kalinya aku
ingin meminta maaf, meski tak tahu harus berbuat apa untuk mempertanggung
jawabkan ketidaktahuanku tentang cinta Dewi. Tidak henti-hentinya aku memaksa
supir untuk lebih cepat melajukan mobilnya. Tiba-tiba mobil berhenti di depan
bangunan besar nan luas, yang tengah ramai oleh orang-orang.
“sudah sampai
mas,”
“aku langsung
memberikan uang kepada supir, tak peduli berapa yang harus aku bayar. Kemudian
langsung saja aku turun dari mobil dan berlari hendak mencari Dewi, karena
tempat ini dipadati oleh banyak orang, sehingga membuatku kesulitan mencari
Dewi. Kupaksakan diriku untuk menerobos keramaian itu, dan akhirnya aku melihat
Dewi yang tengah menuju pintu masuk bandara.
“Dewiii, Dewii,
Dewii !!” teriakku pada wanita itu, namun dia tak mendengarnya. Beberapa kali
aku memanggilnya namun tak juga berhasil untuk didengarnya.
Dengan cepat
aku berlari mendekatinya, tak peduli orang berkata apa dengan tingkahku, aku
hanya berfokus agar Dewi mendengarkan teriakku.
“Dewii..!!” aku
kembali teriak, saat berada tepat di belakang wanita itu, namun sedikit jauh.
Wanita itu
akhirnya menoleh kearahku, akupun langsung berjalan menghampirinya.
“kamu mau ke
mana?” tanyaku sambil merebut tasnya.
“aku harus
pulang, ada urusan penting yang harus aku hadiri, tapi nanti aku akan kembali
ke sini beberapa hari lagi.” kata Dewi tersenyum.
Aku sangat
yakin, tingkah Dewi itu hanya untuk menghilangkan kecemasanku, dia seakan tidak
mau mengakui perpisahan itu.
“kamu yakin?”
Dewi
menganggukka kepalanya “iya, setelah urusanku selesai aku akan kembali lagi ke
sini, dan menemani kamu, kamu tenang saja”
Mendengar
ucapannya, semakin membuatku untuk tidak mempercayainya.
“selama aku
tidak ada, aku titip kontrakan ke kamu yah, nikmati hidup di kota ini, kamu
akan lebih baik karena tidak ada lagi wanita cerewet seperti aku, tapi aku
yakin kalau suatu saat nanti kamu akan rindu dengan kecerewetanku” jelas Dewi
menghibur keadaan yang sebenarnya tak sanggup dia lakukan.
“aku pergi dulu
yah” kata Dewi yang kemudian melangkah meninggalkanku.
Kulihat wanita
itu melangkah penuh terpaksa, suara tangisannya berusaha dita-hannya agar tak
terdengar olehku.
“bohong!”
kataku tegas pada wanita itu.
Dia
menghentikan langkahnya, kemudian berbalik ke arahku, langsung aku melangkah
menghampirinya.
“kamu bohong!
Aku sudah tahu semuanya, kamu tidak usah berpura-pura untuk membohongiku”
Wanita itu tak
sanggup menahan tangisannya, dia menangis pilu dan langsung memelukku.
Kubiarkan dia melampiaskan kesedihannya, sejenak perasaanku seakan tidak ingin
menerima perpisahan ini.
“ikutlah
denganku, kita ke Makassar, aku tidak ingin berpisah denganmu” kata Dewi dengan
suara tangisannya.
Mendengar
ajakan Dewi untuk pu-lang ke Makassar, tersentak benakku untuk segera
menolaknya.
“tidak! Aku
tidak bisa” kataku mele-paskan pelukannya.
“kenapa?”
“aku tidak bisa
kembali ke Makassar sebelum aku berhasil mendapatkan apa yang menjadi niatku ke
sini, meski aku harus melepaskan segalanya, bahkan meski aku harus mati di
sini, aku tetap tidak akan kembali ke Makassar sebelum akhlakku di terima oleh
masyarakat, perilakuku telah membuat malu keluargaku di mata masyarakat, karena
itu aku harus memperbaiki akhlakku agar dapat menebus kesalahan yang pernah
kulakukan”. Jelasku.
Mendengar
ucapanku, Dewi tersenyum dan memegang kedua tanganku.
“sungguh mulia
niatmu, aku do’akan mudah-mudahan apa yang kamu impiankan bisa tercapai” kata
Dewi.
Sejenak suasana
sedih hilang, kami pun saling tersenyum.
“Aku punya
teman wanita, dia seorang ustadzah, namanya Inayah, ham-pir setiap hari sekitar
jam sepuluh dia memberikan pengajian kepada masya-rakat, biasanya pengajiannya
itu di adakan di masjid yang tak jauh dari rumah kontrakan, pergi dan mintalah
kepadanya untuk diajarkan apa yang kamu inginkan, katakan padanya kalau aku
yang memintamu untuk menemuinya, maka dia akan menerimamu”.
“aku akan
berusaha mencarinya”
“kalau begitu
aku berangkat, kamu baik-baik yah di sini”
Belum sempat
menjawabnya, Dewi langsung memelukku, akupun hanya bisa terhanyut dalam
kesedihan perpisahan.
“iya, kamu juga
baik-baik di sana, sampaikan salamku pada kota daeng”
Akhirnya Dewi melepaskan pelukannya, dan
perlahan melangkah menjauhiku, namun, suara tangisannya mulai terdengar. Aku yang
mendengarnya menangis tak sanggup menahan air mataku, perasaanku ikut dalam
kesedihan perpisahan. Wanita itu melangkah bersama tangisannya, semakin jauh
meninggalkanku, akupun hanya mampu melihatnya, tak bisa lagi kuraih, juga tak
bisa kutahan kepergiannya, dia telah menyatu dalam keramaian para penumpan
lainnya, satu persatu orang-orang menutupi jarak kami, wanita itu telah pergi,
tak lagi kudengar suara langkahnya, namun masih terasa kehangatan lukanya.
Kebingungan, penyesalan dan ketidak percayaan akan sosok wanita yang telah
pergi dengan lukanya lantaran mengharapkan cinta yang tak sedikitpun kurasakan,
aku berusaha memahami perasaannya, namun tak sampai pada jenjang cinta,
akhirnya wanita itu pergi dengan sejuta tanya tentang sebuah cinta.
. . . . . . . .
Lanjut ke Warna Wanita berikutnya . . .
(Terima kasih telah membaca, untuk lebih lengkapnya, tulisan ini termuat dalam
sebuah novel berjudul Warna Wanita)
Warna Wanita: Wanita Abu-Abu
4/
5
Oleh
Unknown