Sabtu, 14 Januari 2017

Warna Wanita: Wanita Abu-Abu

WANITA ABU-ABU

BERBEKAL kebaranian kukerahkan semua kekuatanku berjalan menelusuri  panjangnya jalan. Kira-kira lebih sepuluh kilometer aku berjalan menjauh dari kampungku, meninggalkankan rumah kediamanku. Kemudian dengan memakai kendaraan umum, kuarahkan perjalananku menuju ke pelabuhan, ini perjalanan pertamaku akan meninggalkan pulau Sulawesi menuju pula Jawa, entah apa yang akan terjadi padaku di sana, kuserahkan sepenuhnya pada Tuhan, aku hanya mengikuti kata hati ini sebagai penguasa atas kehendak diri.
Setelah sampai di depan pintu gerbang pelabuhan Makassar, akupun turun dari kendaraan umum itu dan kulihat pintu gerbang pelabuhan, yang tengah ramai oleh para perantau, entah mereka akan meninggalkan Makassar menuju ke tempat lain, ataukah mereka datang dari tempat lain dan berkunjung ke Makassar, aku tak memperdulikannya, yang jelas aku kini dan akan menjadi bagian dari mereka, menjadi si perantau. Setelah lama terdiam melihati pemandangan yang memadati pelabuhan, akupun mengangkat barang-barang bekalku, mengarahkan kaki yang menjadi pahlawan utamaku menuju ke sebuah loket pembeliat tiket kapal. Ini pertama kalinya aku memasuki dunia perantauan, sehingga tak satupun kuketahui tentang prosedur pemberangkatan, yang kutahu hanya berjalan terus sampai kutemukan orang yang bisa membim-bingku menapaki perjalananku ini.
Beberapa orang kutanya, namun mereka menjawab dengan jawaban yang sama, mereka tidak sedang bersiap berangkat, namun mereka baru saja datang, dan akan tinggal di kota ini, yah mereka adalah para pendatang yang menjadi pengunjung kota mertopolitanku. Aku berjalan terus, kulihat dari kejauhan banyak orang yang menuju ke sebuah pintu masuk pelabuhan, melihat orang-orang yang sibuk melangkahkan kakinya memasuki sebuah ruangan, akupun mengambil keputusan bahwa mereka itulah yang akan bertindak sebagai perantau meninggalkan kota ini.
Lagi-lagi kukerahkan kekuatanku yang sudah melemah lantaran perjalanan yang tak henti-hentinya kutempuh. Setelah sampai dan menyatu pada orang-orang yang hendak memasuki ruangan, akupun mengikuti langkahnya, entah kemana arahnya, akupun tak mengetahui, aku hanya mengikuti langkah orang-orang yang berada di sekitarku. Di tengah perjalananku, aku bertemu dengan seorang wanita, dia menyapaku sangat ramah, aku hanya menatapnya keheranan padanya karena aku benar-benar tidak mengenalinya. Wanita itu tengah sendiri dengan sebuah tas yang di gandengnya, tak seorang pun yang menemaninya, sebagai seorang wanita kuanggap dia sebagai orang yang cukup berani dalam melakukan perjalanan panjang ini, belum lagi akan menghadapi masalah yang tak terduga nantinya.
“hendak ke mana?” Tanya wanita asing itu.
“Jawa. Pulau Jawa.” jawabku.
“Pulau Jawa, di bagian mana? Tengah, barat, timur atau kemana?”
“saya belum tahu, di mana kapal akan berhenti di situlah jawa yang kumaksud”
Wanita itu hanya mengangguk mendengar penjelasanku, tak panjang percakapanku dengannya, karena keramaian menerobos memutuskan percakapan kami. aku melanjutkan kakiku untuk melangkah mengikuti iringin pejalan kaki lainnya, sampai tiba di sebuah kamar kecil, di dalamnya terdapat dua atau tiga orang yang tengah sibuk memberikan kertas-kertas para setiap orang. Kulihat orang-orang bersemangat untuk mendapatkan sebuah kertas dari orang yang di dalam ruangan itu, mereka rela berdesak-desakn demi mendapatkan sebuah kertas, mungkin kertas itu sangat penting. Akhirnya akupun ikut masuk dalam desakan orang-orang itu, selangkah demi selangkah kulewati beberapa orang, dan ruanggan itu semakin dekat denganku, setelah berhasil melampaui orang-orang yang juga tengah sibuk melangkah, akupun sampai di depan ruangan itu.
“maaf, ini ruangan apa?” tanyaku melihat dinding ruangan itu.
“loket pembelian tiket. Ada yang bisa saya bantu?” jelas orang dalam ruangan itu memperkenalkan nama ruangannya.
“ouh, aku pesan satu tiket ke pulau Jawa?”
“pulau Jawa bagian mana?”
“terserah” jawabku yang terus melihat masuk ke ruangan itu, kuanggap ruangan ini sangat penting, aku penasaran dengan apa yang ada di dalamnya, mungkin ada sesuatu yang berharga sehingga orang-orang mendatangi tempat ini.
“atas nama siapa?”
“Andi”
“itu saja? Nama lengkapnya siapa”
“iya, cukup taruhkan saja itu, Andi”
Setelah mendapatkan sebuah kertas dengan menukarkan beberapa lembar uangku, akhirnya aku berkesimpulan bahwa kertas ini sangat penting. Kujaga kertas ini agar tetap pada geganggamanku, aku terdiam sejenak, melihat isi yang tertulis di sebuah kertas ini, aku tidak mengerti apa yang tertulis di dalamnya, aku mengalihkan pandanganku dari kertas ini, lalu aku kembali melihat pada sekelilingku, kulihat lagi orang-orang tengah duduk di kursi yang tersedia tepat berada  di depan agak ke samping kiri dari sebuah pintu masuk. Akupun berjalan mendekati orang-orang itu, lalu duduk di antara mereka. Tidak lama kemudian, wanita asing itu  mendatangiku.
“boleh aku duduk?” kata wanita asing itu.
“silahkan” kataku bergeser melapangkan kursi untuknya.
Kulihat kembali kertas penting ini, pelan-pelan aku membaca kata-kata yang tertulis di atasnya, namun tetap saja tidak kumengerti.
“kamu mau ke Surabaya?”
“Surabaya? Kau tahu dari mana kalau saya mau ke Surabaya, aku tidak pernah memberitahumu tentang Sura-baya”. tanyaku penuh heran.
“di tiket kamu itu tercantum Makassar ke Surabaya”.
“oh, iya mungkin saya mau ke sana” jawabku mulai mengerti isi kertas ini.
“kenapa mungkin?”
“sebenarnya saya sendiri tidak tahu mau ke mana, saya diusir dari kampungku, sehingga saya memilih untuk mencari kehidupan baru. Jawa, menurutku sebaga daerah yang tepat untuk perubahan hidupku, tapi saya tidak tahu banyak tentang Jawa”
“bagaimana kalau kamu ikut dengan aku saja, tapi saya di jogja”
“jogja? Tapi di tiket tertulis Surabaya, bukan jogja”
“itu bukan masalah, nanti kalau sudah sampai di Surabaya, kita naik kereta menuju jogja, bagaimana?”
Mendengar perkataan wanita ini, aku sebenarnya ragu padanya, namun kulihat wanita itu nampaknya ramah, selain itu juga karena keadaanku yang serba tidak tahu, akhirnya kuturuti saja kemauannya, aku menganggu sebagai tanda mengiyakan ajakan wanita itu.
“Andi, nama saya Andi, kalau boleh tahu kita siapa” kuulurkan tanganku, hendak mengenal lebih dekat dengan wanita itu.
“kita? Maksudnya?” wanita itu bertanya keheranan tentang kata yang kuucapkan.
“maaf, maksud saya, ka… kau, iya siapa nama kau siapa?” aku mengulang pertanyaanku, mungkin dia tidak mengerti maksud aku.
“oh saya, Dewi” wanita itu mengu-lurkan meraih tanganku untuk bersalaman.
“tadi kamu bilang ‘kita’, itu mak-sudnya apa?” Tanya Dewi.
“oh, kita kalau di kampung saya itu bahasa yang sopan dari panggilan kau. saya pikir kamu orang yang pantas saya perlakukan sopan, jadi saya panggil kau dengan panggilan itu, kita” terangku men-jelaskan satu kata yang mungkin baru Dewi dengar dari orang kampung seper-tiku.
“oh gitu, bagaimana kalau panggilan sopannya kata ‘saya’, ‘dia’, ‘mereka’ dan ‘kita’?”.
“yaa, sama seperti itu sih, cuman yang beda panggilan sopan untuk kata ‘kau’ saja”
“ouh,, hehehe, aneh yah bahasa kamu, kalau bahasa di daerah aku, kalau kamu ya kamu, kita ya aku dan kamu.” wanita itu berbucara seakan sedang mengolokku.
 Aku terdiam, setelah mendengarkan kata ‘aneh’ dari wanita itu. aku merasa keberatan jika bahasa yang kuanggap so-pan malah wanita itu menganggapnya aneh.
Setelah lama saling terdiam, tiba-tiba orang-orang yang tadi duduk bersamaku, seketika bangkit dengan cepatnya dan bergegas masuk sebuah ruangan besar,  melihat orang-orang itu, akupun beranjak berdiri meninggalkan tempat dudukku.
“hei tunggu,” suara Dewi berteriak kepadaku.
“ayo cepat” ajakku terburu-buru.
Dewi dengan tergesah-gesahnya menghampiriku. Dia terlihat keberatan dengan tingkahku yang teruburu-buru.
“santai aja, kita tidak bakalan ketinggalan kok, biarkan orang lain masuk duluan, nanti baru kita, santai saja” terang si wanita itu.
“ouh iya” kataku menurut.
Aneh, seorang bos preman di kampung, kali ini harus menurut dengat kata-kata wanita asing. Ternyata dibalik keramahannya, wanita itu sangat cerewat, tapi biarlah, sekarang bagiku itu bukan masa-lah buatku, setidaknya aku tidak kesepian selama perjalananku.
Dari intruksi Dewi, hampir dua sampai tiga jam aku menunggu para penumpang yang tengah sibuk mengambil tempat di ruangan kapal, setelah jalanan mulai kosong dari penumpang, aku dan Dewi pun melangkah masuk ke ruangan kapal yang bagiku sangat besar. Kulihat di dalamnya ada banyak orang, “ masyaAllah banyak sekali, apa mungkin kapalnya sanggup mengangkut orang sebanyak ini” ucapku dalam hati yang takjub melihat pemandangan orang-orang yang memadatai ruangan.
“ruangannya sudah penuh, ayo kita naik di atap kapal saja” Kata Dewi menarik tanganku.
“ke atas? Memang bisa?”  tanyaku heran.
“yah bisalah, malah lebih bagus di atas, kita bisa lihat pemandangan malam”.
Lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk mengikuti perintah si wanita cerewet ini, anehnya tangannya masih sibuk menggenggam tanganku, seakan wanita asing itu telah mengenaliku lebih dalam, namun berpisah sekian lama, kemudian bertemu lagi. Kurasakan keakrabannya membawa seribu tanya, namun ah sudahlah, hal itu tidak perlu lama terlintas dalam benakku, mungkin wanita ini me-mang memiliki karakter yang ramah kepada siapapun, lagipula keadaanku sekarang tidak memungkinkan untuk menghindar darinya, karena dialah mungkin aku bisa berangkat ke Jawa, pulau yang menjadi tempat hijrah akhlakku.
Demi mengikuti keinginan seorang wanita, aku melangkah perlahan-lahan melewati satu-persatu orang-orang yang sedang duduk sepanjang ruangan, semakin banyak orang yang aku lalu semakin banyak yang melihat ke arahku, dengan situasi seperti ini aku merasa telah melakukan kesalahan besar pada orang-orang itu.
“Pelan-pelan!” suara kecilku mengintruksikan Dewi.
Wanita itu tidak menghiraukanku, dia terus menarik tanganku untuk mengikutinya, tiba di depan tangga, namun Dewi belum melepaskan tanganku, aku semakin heran dengan tingkah wanita ini. Dengan tangan yang terus di pegangnya, membuatku tidak leluasa melangkah menaiki sebuah tangga.
“tolong lepaskan tanganku, saya akan jatuh kalau kau terus memegangnya” kataku menarik tanganku.
Perkataanku lagi-lagi diabaikannya, dia terus menarik tanganku, tidak mau melepaskannya, kegelisalakuannya itu membuatku mulai tidak tenang, hingga melewati tangga dan berada di lantai paling atas pun Dewi masih memagang tanganku.
“oke, kita sudah sampai, tolong lepaskan tangan saya!” kataku dengan nada tak karuan.
“ouh maaf, aku tidak sadar” kata Dewi singkat.
“apa, kamu tidak sadar??” tanyaku dengan nada tinggi keheranan, “hei !! bagaimana mungkin kau tidak menyadari kalau dari tadi kau pegang tangan saya, kau tarik terus tangan saya melewati banyaknya orang yang sedang duduk, kemudian naik tangga sampai aku hampir saja karena kau tarik terus tangan aku, lalu kamu bilang tidak sadar? Asstagaaa….” jelasku semakin jengkel.
“iya iya maaf, udah lupain aja”. kata Dewi berjalan meninggalkan percakapanku.
“ah, lupain..?? astagaaa… saya pusing ikut dengan kau, lama-lama aku bisa mati di kapal ini karena tingkahmu”.
“hei… mau kemana lagi kau” teriak-ku pada wanita yang semakin jauh dan tak menghiraukanku.
   Dia tidak menjawabku, aku hanya diam keheranan melihat tingkah lagu wanita itu, dia terlihat tidak ada beban setelah membuatku pusing dengan tingkahnya, kulihat dia berjalan menghampiri satu persatu sudut pinggir pembatas keamanan, di atap kapal ternyata luas, bahkan hanya beberapa orang saja yang menempati ruangan ini. Wanita itu terus berlari kesana-kemari, aku hanya terus melihatnya, kulihat dia berbalik padaku.
“Andi, ayooo ke sini….!!” teriaknya melambaikan tangannya ke arahku.
“kenapaa?” jawabku teriak.
Barang-barangku kusimpan disebuah tempat pengistarahatan lalu melangkah mendekati wanita itu.
“ada apa?” tanyaku pada Dewi yang sedang melihat langit malam.
“kamu suka lihat bintang-bintang nggak?” tanya Dewi yang masih melihat ke langit, terlihat menikmati pemandangan bintang di malam ini.
“iya suka” jawabku yang mengikuti Dewi melihat ke bintang-bintang.
“kamu suka bintang yang mana?”
“itu yang di sana, bintang yang sejajar sampai tiga” kuarahkan tanganku men-unjuk pada bintang yang kumaksud.
“berarti sama, aku juga suka bintang yang itu”. kata Dewi sambil menatapku dengan senyumnya.
   Senyum wanita itu tiba-tiba saja membuatku terdiam menatapnya, dibalik kecerewetannya ternyata wanita ini juga manis kalau sedang tersenyu, sampai-sampai membuatku kaku di hadapannya.
“kenapa tersenyum begitu? Tidak perlu tersenyum aku tidak suka melihatmu tersenyum begitu” tanyaku dengan nada yang lambat.
“tidak apa-apa, kalau boleh tahu kenapa menyukai bintang tiga sejajar itu”.
“bintang tiga sejajar itu memiliki cerita untuk saya, tepatnya untuk saya dan teman-teman yang sudah kuanggap sebagai keluargaku sendiri, dulu hampir tiap malam saya dan teman-teman memperhatikan bintang itu, sampa kami berjanji bahwa jika diantara kita ada yang berpisah maka bintang itu menjadi penghubung malam-malam kita, karena itu aku menyukai bintang itu.”
“ouh begitu, bagus yah, dari pertemanan bisa saling mengingat satu sama lain melalui bintang”
“kalau kau?” tanyaku melihat ke arah wanita itu.
“kalau aku, juga sama punya cerita tentang bintang tiga sejajar itu, aku, dan dua adik saya, dulu waktu sering sama-sama tiap malam kami melihat bintang, sampai saya menunjjukkan bintang tiga sejajar itu kepada adik-adik saya, mereka menyukai bintang-bintang yang sejajar itu, sejak itu kami bersepakat untuk menjadikan itu sebagai bintang kelauarga, tiga bintang untuk tiga orang juga, aku, dan kedua adik aku. Tapi karena aku di suruh sekolah ke jogja, karena itu kami tidak pernah lagi melihat sama-sama ketiga bintang itu.” wajah Dewi perlahan berubah dari riang menjadi sedih bersama ceritanya.
“mungkin tidak bisa melihat bintang sama-sama, tapi masih bisa melihat bintang sama meski dari tempat yang berbeda”. ungkapku pada Dewi.
“iya benar! Meskipun terpisah jauh tetapi langit dan bintang-bintangnya tetap menjadi atap malam-malam bagi pencin-tanya”. ungkap Dewi yanncg terlihat kembali riang.
   Si Dewi, wanita yang tiba-tiba mengingatkan masa laluku, masa bersama teman-temanku. Kulihat Dewi masih saja terus tersenyum melihat ke arah bintang-bintang. Malam mulai larut, sebaiknya aku mengakhir perbincangan ini dan beristi-rahat.
“kalau begitu saya istirahat duluan yah, selamat malam” ungkapku mengakhiri perbincangan panjang.
. . . . .


Terbitan matahari memberikan isyarat untuk memulai kehidupan baruku, teriknya matahari terpancar menyilaukanku yang masih tertidur di dunia kapal. Satu persatu penumpang bangun dari lelap tidurnya, sesekali kurasakan namaku ter-panggil dari balik tidurku, namun aku hendak tak memperdulikan suara itu. aku masih memilih untuk menikmati tidurku, berusaha mengabaikan suara itu. lagi-lagi suara itu terdengar, semakin aku mengabaikannya suara itu semakin saja menggerutu menggangguku.
“Andi, bangun….” kata suara itu.
“banguuuunn… banguuunn…” terdengar lebih keras.
“Andiiii banguunnn,, siap-siap kita akan sampai di Surabaya”
Surabaya! Mendengar kata itu aku langsung membuyarkan mimpi-mimpiku, kubuka kelopak mataku langsung dan kubangkit badanku dengan cepat dari keadaan berbaring.
“Surabaya? di mana? kataku spontan berdiri seraya melihat ke arah laut.
   Ternyata suara yang memanggil-manggilku itu milik Dewi. Wanita itu lagi-lagi berdiri di pinggiran pagar keamanan kapal, nampaknya dia sedang menikmati pemandangan di pagi ini. Aku beranjak dari tempat tidurku, dan berjalan menghampirinya.
“Kamu lama banget tidur, padahal tadi aku mau ngajakin kamu lihat-lihat matahari terbit” kata Dewi terdengar kesal padaku.
“iya iya maaf” kataku singkat.
Berdiri di pinggir kapal, dan melihati pemandangan sungguh membuatku takjub, ternyata pemandangan pagi sangat indah. Baru kali ini aku melihat pemandangan seindah ini, mungkin karena selama ini aku tidak pernah bangun sepagi ini, biasanya aku bangun saat menjelang siang. Pagi ini kulihat daratan Surabaya yang di hiasi oleh bangunan-bangunannya, terlihat seperti bangunan-bangunan itu telah dirancang dengan seindah-indahnya, kuli-hat pula dari kejauhan sebuah jembatan panjang, sangat panjang. Ini pertama kalinya aku melihat jembatan sepanjang itu, jembatan itu tidak hanya berhasil menjadi penghubung dua pulau yang terpisah, tetapi dia juga telah berhasil memikau siapapun yang melihatnya lantaran keindahan bentuknya.
“alangkah indahnya surabaya..” kataku tersenyum sambil terus melihat ke penjuru daratan Surabaya.
“iya, sangat indah” kata Dewi yang lebih awal menikmati pemandangan pagi.
“Yang di sana, jembatan apa” kataku menunjuk ke arah jembatan.
“Suramadu, jembatan penghubung Surabaya dan Madura, bagus kan?”
“iya, bagus, sangat bagus”
Kapal semakin mendekati pelabuhannya, tempat yang menjadi pengistirahatannya, sekaligus menjadi kepulangan ataupun kedatangan orang-orang yang diangkutnya. Tinggal beberapa menit kapal akan menepi kesebuah daratan yang dipersiapkan untuknya, beberapa penumpang tengah sibuk mempersiapkan diri dan barang-barangnya untuk menginjak tanah Surabaya, dan beberapa penumpang lainnya masih terlihat santai di tempatnya masing-masing. Aku segera mengambil barang-barangku dan mengajak Dewi untuk beranjak hendak meninggalkan kapal.
“kamu mau ngapain?” tanya Dewi heran melihat tingkahku yang agak memaksakan diri.
“ayo kita ke pintu keluar, sebentar lagi kapal akan menepi di pelabuhan”.
“kamu yang sabar, kita tunggu sampai semua penumpang turun duluan supaya tidak berdesak-desakan di jalanan, terlalu ramai kalau berebutan untuk cepat keluar”.
“apa kita harus menunggu lagi, kita sudah menuggu sebelumnya, ayo sekarang saja, saya sudah tidak sabar untuk meng-injakkan kaki di tanah Jawa”. jelasku memaksa Dewi berjalan.
“tidak, kalaupun kita turun dan ingin keluar bersama orang-orang, itu hanya akan menyusakkan kita, sebab pasti terjadi desak-desakan karena semuanya ingin duluan keluar”. jelas Dewi menahanku.
Tanganku di tarik keras oleh Dewi, dia memaksaku untuk diam dan bersama menunggu para penumpang terlebih da-hulu, namun sungguh aku tak bisa sabar, dalam hal ini bukan bagianku untuk bersabar menunggu, sudah cukup aku sabar saat menunggu penunggu penumpang menaiki kapal. Kali ini, aku haru melawan, aku tidak ingin kalah oleh keinginan wanita, kali ini aku tidak mendengarkan intruksi si wanita cerewet itu, karena aku ingin segera bertemu dengan tanah jawa, berbaur dengan kebaikan kebudayaannya, dan mendapatkan cahaya akhlakku yang lebih baik. Aku menarik kencang tanganku.
“kalau kau mau menunggu, saya tidak akan menahanmu, tapi tolong jangan tahan saya untuk bersegera keluar dari kapal ini, saya tidak sabar lagi untuk bertemu dengan tanah keramahan jawa”. kataku melepaskan tanganku dari pegangan Dewi.
“aku tidak akan melepaskan tanganmu! Oke, kalau begitu aku ikut denganmu, kita pergi sama-sama” Dewi meraih kembali tanganku.
Setelah keegoisanku menang melawan keegoisan wanita itu, aku dan Dewi pun beranjak menuruni tangga. Di tangga aku dan Dewi harus berdesak-desak bersama beberapa orang yang ingin menuruni tangga itu, aku dan Dewi melangkah melewati satu persatu anak tangga, tanganku masih terpegang oleh tangan Dewi, tangan wanita itu terasa manja pada tanganku, dia tidak mau terlepas meski hanya sebentar, keadaan pegangan kedua tangan ini aku biarkan saja, aku lebih fokus pada kakiku untuk bisa mengantarku keluar dari keramaian ini.
Setelah berhasil menuruni tangga, aku dan Dewi tidak menghentikan langkah, kami melangkah terus sampai kulihat keramaian itu memadati ruangan kapal ini. Bagitu banyak orang-orang yang tengah berusaha meloloskan dirinya untuk keluar dari pintu kapal ini, seakan tidak ada kata ‘sabar menunggu’, semua orang berusaha memenangkan keegoisan masing-masing, tidak peduli lagi akan adanya kecelakaan yang terjadi, tidak lagi berlaku hormat menghormati satu sama lain, dalam keadaan seperti ini semua anjuran ke-baikan diabaikan begitu saja. Aku berjalan terus, semakin memasuki keramaian itu, dari belakang mendorong dan memaksaku untuk berjalan maju, dari belakang bersikeras menahanku seakan tidak mau memberikan langkah pagiku, tidak ketinggalan dari samping kiri dan kanan terus saja mempersempit ruang gerakku. Dari berbagai arah begitu kompak membuatku tersiksa, tidak kutemukan peluang untuk melawan berbagai desakan ini. Aku menyerah, aku pasrah, sungguh aku tak sanggup berjalan dengan keadaan terdesak seperti ini, aku memilih untuk diam, namun dari belakang seseorang mendorongku.
“kan aku sudah bilang tadi, mestinya kita tidak usah buruh-buruh keluar, karena kemauan kamu jadinya begini, pokoknya kamu jangan tinggal, jalan saja terus, kita ikut arus langkah orang-orang saja.” kata Dewi sambil terus mendorongku.
“aku tahu apa kalau kejadiannya akan seperti ini” kataku dengan nada kecil.
Aku kembali melangkah, dengan terpaksa kukerahkan seluruh kekuatanku, kali ini aku patuh dengan intruksi Dewi, terus berjalan, jangan berhenti, dan ikuti arus langkah orang-orang.
Setelah beberapa kali tersentak lantaran desak-desakan serta beberapa kali mendengaran ocehan yang terlontar dari Dewi. Akhirnya sampailah aku di suasana segar, tidak ada lagi desakan, gerakanku pun terbebas ke arah kanan, kiri, depan, maupun ke belakang. Orang-orang yang tadinya menghempit gerakanku kini satu persatu berjalan menuju ke arahnya masing-masing, tak lupa aku pun berjalan bersama wanita yang masih memegang tanganku, kami hendak menuju ke arah yang aku tujuh.
 “setelah ini, kita mau ke mana?” tanyaku sambil perlahan-lahan melepaskan tanganku dari pegangannya.
“ayo kita langsug saja ke jogja, kita akan naik travel khusus”.
Aku hanya mengangguk mengiyakan ajakan Dewi, sekarang tidak ada alasan bagiku untuk menolaknya, karakter kebencianku pada wanita harus aku lupakan sementara, aku tidak bisa membuat wanita ini meninggalkanku sendirian di tempat asing ini, aku tidak ingin keberangkatanku ini menjadi musibahku ini, mungkin kalau bukan karena wanita ini, aku akan hilang di pulau ini, bahkan bisa saja aku hilang saat masih di bandara lantaran ketidak tahuanku. Karena itu, bagaimanapun menyusahkannya Dewi dengan tingkahnya yang aneh, aku harus tetap bersamanya, agar sampai pada tujuanku.
Sangat repot  untuk keluar dari pelabuhan, aku harus mengangkat barang-barangku ke sana ke sini. Belum lagi mendengarkan Dewi terus berbicara sepanjang perjalanan, sungguh dia tak berhenti mengajakku berbicara, kayaknya tidak berlebihan jika aku menjulukinya si cerewet.
Setelah keluar dari pelabuhan, aku dan dewi pun berjalan lumayan jauh meninggalkan rumah kapal itu, dan hendak mencari mobil yang akan menjadi penghubung perjalananku.
“Mas, mas mas…” teriak Dewi sambil mengangkat tangannya mengisyaratkan panggilan kepada seorang lelaki yang berdiri di samping kendaraannya.
Aku melihat lelaki itu, memasuki mobilnya setelah mendengar teriakan Dewi, dia begitu cepat mengarahkan laju kendaraannya mendekati kami. Mobil itu berhenti di hadapan kami, langsung saja Dewi menghampirinya dan mengajakku masuk ke dalam mobil itu.
“ Mas, bawa kami ke jogja” kata Dewi kepada pemilik mobil itu, Dewi duduk tepat di belakang supir, dan aku di sampingnya, Dewi memajukan badannya mendekati lelaki yang bertindak sebagai supir, kulihat dia sedang membisikkan sesuatu, namun aku tidak bisa mendengarkan apa yang si wanita itu katakana pada si supir.
Nggeh mba” kata supir seraya menganggukkan kepalanya.
Aku sedikit penasaran menyaksikan percakapan dua orang ini, terasa ada sesuatu yang Dewi rencanakan kemudian diberitahukan ke supir, dan terjadilah kesepakatan di antara mereka yang tidak aku ketahui. Namun, segera saja kuabaikan rasa penasaran itu, “lupakan dan tidak perlu ikut campur” kataku dalam hati.
Sepanjang perjalanan aku hanya terdiam sambil melihati pemandangan Surabaya yang terus ketelusuri. Berbeda dengan wanita si cerewet ini, tidak henti-hentinya memandangi jalanan dari berbagai arah, dia seakan mencari sesuatu, tapi aku tidak mengetahuinya. Sedangkan laju mobil semakin menjauh dari pelabuhan, kecepatannya semakin berkurang, mobil itu semakin melambat, tidak lama kemudian dia berhenti. Mungkin aku sudah sampai di tujuan.
“kita sudah sampai di jogja?”tanyaku pada Dewi yang kulihat hendak turun dari mobil.
“belum, kita masih di Surabaya, kita singgah saja dulu untuk makan, aku lapar, ayo turun”. jelasnya menarikku keluar dari ruangan mobil.
Aku menurut saja dengan perkataan Dewi, meskipun terasa aneh berada di tempat yang asing, tetapi aku harus tetap mengikuti perkataan si wanita itu, lagi pula aku juga lapar setelah menempuh perjalanan. Bersama Dewi, aku melangkahkan kaki menuju ke sebuah warung yang terlihat bernuansa batik.
“Kamu mau makan apa?” tanya Dewi sambil melihat menu makanan yang telah tersedia di setiap meja.
“terserah” kataku singkat.
Dewi meneriaki seorang wanita dengan sebutan pelayan, wanita itu segera menghampiri kami, Dewi menunjuk ke nama-nama makanan yang tercantum di dalam lembaran menu, si pelayan menganggukkan kepalanya sebagai tanda mengerti apa yang di inginkan Dewi.
Sambil menunggu makanan yang di pesan, aku dan Dewi sedikit banyak mengobrolkan tentang diri masing-masing.
“Jadi kau juga orang Makassar?” tanyaku setelah mendengar masa lalu wanita itu.
“iya, asalku juga Makassar, aku ke jogja untuk kuliah tapi aku sudah selesai, ini aku mau mengambil barang-barangku untuk aku bawa pulang ke Makassar.”
Beberapa menit kemudian, seorang pelayan wanita itu kembali menghampiri meja kami, dengan membawa dua piring yang diisi makanan yang sama.
Aku heran dengan diriku, sedikitpun tak mampu menahan pembicaraan si Dewi, wanita itu sangat cerewet, selama proses makan, selama itu pula dia mengajakku berbicara, anehnya aku pun tidak bisa berhenti untuk berbicara, aku terhanyut dalam percakapan si wanita cerewet itu.
Seusai kami menyantap makanan, Dewi kembali memanggil pelayan itu kemudian memberikannya beberapa lembaran uang. Seketika saja wanita ini membuatku malu dengan membayarkan makananku, kelakuannya membuatku merasa orang yang tak punya uang sepeser pun.
“kau tidak perlu bayarkan saya, biar saya sendiri yang bayar” kataku mengeluarkan uang dari dompet.
“nggak papa kok, aku aja yang bayarin, kan aku yang ngajakin makan”
“tidak perlu, itu sungguh membuatku tidak enak”
“tidak enak sama siapa? Aku? Tidak usah dipikirin nggak enak atau bagaimana, sekarang biarkan saya yang teraktir kamu” jelas Dewi yang tetap mau membayarkan makananku.
Bergulat dengan wanita cerewet ini, membuatku sangat malu, di saat yang sama dia selalu membuatku terpedaya dengan perkataannya, aku heran melihat sikap wanita itu padaku, tapi aku lebih heran sikapku, kurasakan jati diriku sebagai lelaki yang sebelumnya menguasai wanita, namun kini Dewi perlahan melembutkan kebencianku itu, seakan dia tahu tentang seluk beluk diriku kemudian dia ingin mengubah pandanganku tentang wanita.
Usai makan, dan diperlukan oleh wanita yang tak mau mengalah itu, aku dan Dewi pun beranjak meninggalkan meja makan warung, kemudian menuju ke mobil tumpanganku. Di dalam mobil, si Dewi langsung mengisyaratkan supir untuk mengantarkan kami ke jogja.
Mobil perlahan-lahan meninggalkan tempat parkirnya, dan diarahkan menuju jalan raya, untuk selanjutnya mobil pun melaju dengan cepatnya. Aku yang saat itu merasa kekenyangan, kusandarkan saja kepalaku di kursi mobil, dan memperbaiki posisi tubuhku senyaman mungkin, dan segera kupejamkan mataku untuk menyambut bunga tidurku.
Beberapa aku terbangun dari tidurku namun belum juga sampai di jogja, sedikit demi sedikit pegal tubuh menyertai per-jalananku, entah sampai di mana mobil ini terus melaju, semakin lama, badan ini semakin capek, tidak hanya itu, aku juga semakin bosan dengan posisi duduk yang tak bisa berubah di kursi mobil ini. Sangat berbeda dengan keadaan Dewi, wanita itu terlihat menikmati perjalanan, bahkan sepanjang perjalanan dia tidak pernah berhenti berbicara dengan sopir, aku tidak bisa membayangkan bagaimana kesalnya si sopir itu yang terus mendengarkan cerita penumpangnya yang cerewet itu, jangankan sopir itu, aku yang jelas-jelas sedang menikmati tidurku pun tetap saja wanita itu mengajakku bercakap, untung saja aku bisa menghindarinya dengan menutup kedua telinga dan terus memejamkan mat-aku, supaya terkesan tak memperdulikan wanita cerewet itu.
Setelah beberapa jam mobil terus melaju, Dewi mulai membicarakan daerah-daerah Jogja, aku mulai berpikir bahwa sekarang sudah tiba di kota Jogja.
“kita sudah sampai?” tanyaku pada Dewi.
“belum, kita baru masuk di jogja, sebentar lagi kita sampai di rumah kontrakanku”. Jelas Dewi.
Tinggal beberapa saat lagi aku akan menjadi orang jawa, dan bernaung dalam kebudayaan yang terkenal keramahan masyarakatnya, entah itu hanya sekedar mencari budaya yang bisa membuatku lebih ramah dalam kehidupan ataukah akan tinggal untuk jangka waktu yang sangat lama, atau bahkan akan tinggal seumur hidup di daerah ini, aku belum bisa mengiyakan ataupun menolaknya, yang kutahu aku ke sini hanya untuk berusaha menyatu dalam jawa dan menggapai cahaya itu.
“Alhamdulillah, akhirnya kita sampai” kata Dewi mulai mempersiapkan dirinya untuk turun dari mobil.
Aku pun tidak ketinggalan mempersiapkan diriku untuk meninggalkan mobil, kubuka pintu mobil, kuhirup udara segar kota jogja, kulihati pemandangan rumah yang tertata memadati kota ini. aku turun dan mengangkat barang-barangku.
“ayo masuk” ajak Dewi sambil membukakan pintu gerbang kontrakannya.
Aku pun melangkah mendekati kemudian melewati pintu gerbang kontrakan Dewi, kulihat sepintas rumah ini, lumayan sederhana, tak banyak motif yang menghiasinya, tanaman-tanaman pun sedikit yang menghiasi pekarangannya. Tapi untuk ukuran luasnya, cukuplah untuk menampung satu keluarga.
“kau tinggal sama siapa?” tanyaku pada Dewi yang sedang membuka pintu rumahnya.
“sendiri, makanya aku ngajak kamu supaya ada yang nemanin” kata Dewi.
“aku tidak bisa tinggal di sini, aku akan langsung pergi mencari tempat tinggal sendiri”
“kenapa buru-buru, malu?” kata De-wi melihatku.
“bukan malu, tapi laki-laki dan wanita tak semestinya tinggal bersama kalau belum waktunya”
“ouh gitu, kamu tinggal dululah di sini sehari, besok baru cari tempat tinggal sendiri, pliss, paling tidak barang-barang kamu simpan aja sementara di sini, sekalian istirahat, sudah sore, kamu juga belum tahu apa-apa tentang jogja ini”.
Mendengar perkataan Dewi, aku hanya bisa menganggukkan kepala sebagai tanda mengiyakan permintaannya, selain karena ketidak tahuanku tentang kota ini, juga wanita ini benar-benar telah membuatku tidak bisa melawan keinginannya. Karena ajakan Dewi yang tak henti-hentinya memohon padaku, akhirnya kup-utuskan saja untuk tinggal dengannya di rumah yang sederhana ini. 
Malam berlalu begitu cepat, lantaran aku yang langsung mengistirahatkan diriku, Dewi pun berubah yang sebelum-sebelumnya cerewet, namun tadi malam dia tidak keluar-keluar dari kamarnya, mungkin dia sangat capek setelah menempuh perjalanan dari Surabaya, sehingga dia juga cepat beristirahat, aku yang memilih tidur di ruang tamu tak sepintas pun melihat wanita cerewet itu keluar dari kamarnya.
Matahari mulai menyingsing di ufuk timur, terlihat bersemangat menyinari para pejalan kehidupan, dia tak mengenal bosan untuk memancarkan cahayanya pada setiap makhluk di muka bumi ini, juga tak mengenal marah tatkala beberapa makhluk begitu sombong mengabaikan kehadirannya, dia tak pernah mengadu kesah. “jika beberapa makhuk tak pernah berterima kasih padanya, sungguh dia ciptaan yang mulia, kalau dia yang hanya di tugaskan oleh Tuhan untuk terus menyinari perjalananku, kenapa aku sebagai makhluk yang sangat dimuliakan-Nya enggang untuk tersenyum menyebar kebaikan dalam kehidupan ini?” tanyaku pada diriku sendiri.
Sinaran matahari begitu hangat menyapa kehidupan pagiku, menemaniku menjalani kehidupan baru di daerah yang kata khalayak dengan sebutan daerah istimewa, dengan sebutan itu, aku yakin akan banyak kebaikan yang kutemui selama aku berbaur dalam kebudayaannya, tekadku semakin kuat untuk menelusuri seluk-beluk budaya Jogja.
Pagi ini, aku hendak mencari penjual makanan untuk sarapanku, karena ketidak tahuanku, akhirnya aku memilih untuk terus berjalan tanpa arah, sambil menikmati udarah pagi, kurasakan kesejukan yang terhembus dari perpaduan kehangatan matahari dengan dinginnya pepohonan. Awalnya aku ragu untuk berjalan jauh dari rumah karena takut jika akhirnya aku tak bisa kembali, namun suasana jogja menghanyutkanku dalam keindahan pemandangannya, akhirnya kuputuskan untuk terus berjalan lebih jauh, beberapa tempat pen-jual makanan kuhiraukan begitu saja, kuyakin masih banyak penjual yang akan aku temui di depan sana.
Selain suasana pagi yang membuatku terhanyut dalam perjalanan ini, juga setiap orang yang kutemui berpapasan tersenyum menyapaku, sedikit aku bingung dengan tingkah laku orang-orang di sini, namun di saat yang sama aku merasa kehadiranku di sambut baik oleh mereka. pada awalnya aku tidak mengerti untuk apa mereka tersenyum katika aku hendak lewat di hadapan orang-orang itu, namun sedikit demi sedikit aku mulai terbuka untuk membalas senyuman keramahan orang-orang, mungkin tingkah laku orang-orang di sini sangat ramah jika berpapasan satu dengan yang lainnya, Hal ini tidak aku temukan di kampungku.
Aku terus berjalan, semakin jauh dari kediaman Dewi, terus dan terus, tiba-tiba perutku mulai mengisyaratkan kelaparannya, sesekali dia berbunyi seakan menggerutu atas pengabaianku untuk memberinya makanan. Akhirnya aku singgah di sebuah tempat penjual makanan yang terletak di pinggir jalanan, aku membeli beberapa macam kue, “cukuplah untuk menempuh perjalanan selanjutnya” kataku sambil membawa kantongan yang berisikan makanan itu.
Semakin jauh aku menempuh jalanan Jogja, tak sadar ternyata posisi matahari telah berada tepat di atas keplaku, pagi telah tergantikan oleh siang, melengserkan kesejukan itu dan di gantikan oleh panas terik siang ini, di saat yang sama, kakiku pun mulai terasa pegal, memaksaku untuk beristirahat, tapi aku bingung di mana aku bisa beristirahat, kulihat dari kejauhan orang-orang mendekati bangunan suci berwarna hijau, masjid itu terlihat ramai oleh kunjungan-kunjungan masyarakatnya. Melihat rombongan orang-orang yang menuju ke masjid itu, kuputuskan untuk mengikutinya. Kukerahkan langkahku menuju bangunan masjid itu, mungkin di sana aku bisa beristirahat dengan baik.
Setelah jauh melampaui perjalanan, aku masuk ke sebuah ruangan utama masjid itu, kulihati banyak orang tengah duduk khusyuk mendengarkan cerita seorang wanita. Begitu tenang nan sejuk kurasa tatkala kulihat ada wanita yang dengan kecakapannya menyiarkan ajaran-ajaran Tuhannya.
“lelaki lebih kuat daripada wanita, oleh karenanya sangat dianjurkan lelaki menjaga wanita, wanita tercipta dari tulang sulbi seorang lelaki, tulang itu akan patah jika terus dipaksakan untuk lurus tetapi akan tetap bengkok jika dia didiamkan terus, karena itu tulang itu harus di luruskan dengan cara yang lembut dan terus di jaga, begitulah perumpamaan kedudukan lelaki pada wanita. maka dari itu wanita sangatlah rapuh tanpa lelaki, sebaliknya lelaki pun membutuhkan wanita, kita semua akan selalu mem-butuhkan satu sama lain”.
Di hadapanku, telah nampak seorang wanita yang sedang berdiri di tengah-tengah banyaknya wanita dan lelaki, perkataannya menggetarkan ragaku, mengetuk pintu jiwa ini yang lama tertutupi oleh kesalah pahaman tentang wanita. Kalau saja wanita menyadari berartinya sebagai makhluk ciptaan-Nya, sungguh tak satu pun lelaki akan menyakitinya, bahkan lelaki akan memanjakannya penuh kasih. Kududuk tenang mendengarkan perkataan dari seorang wanita, kuperhatikan begitu seksama kata perkata yang terucap dari kaum hawa itu.
“Dalam rumah tangga, suami adalah imam dari seorang istrinya, suami sepenuhnya berkewajiban atas istrinya, bahkan suami tidak akan masuk ke dalam surga jikalau istrinya belum masuk surga terlebih dahulu, setiap dari kita adalah pemimpin, dan suami bertidak sebagai pemimpin rumah tangga, maka hendaklah dia menjadi panutan yang baik untuk keluarganya”.
Seketika kudengar penjelasan yang kuanggap aneh dari wanita itu. aku, lelaki yang kelak menjadi suami akankah sanggup menjadi imam yang baik untuk istriku, jika tidak, apakah aku berdosa lantaran hanya seorang wanita dan bahkan aku tertahan untuk masuk menikmati surga-Nya. Seketika terdengar tidak adil namun bukan itu intinya, sebagai lelaki yang dicap sebagai pemimpin wanita, maka wajarlah aku melakukan yang terbaik untuk diriku dan untuk wanita.
Seketika wanita itu mengubah kesalah pandanganku tentang wanita, dia memberikanku cahaya kehidupan yang kurasakan menenangkanku, seketika saja aku ingin mengenalnya lebih dalam, barangkali dengan bersama wanita itu aku bisa mendapatkan cahaya kebaikan. Setelah wanita itu selesai menyiarkan ajaran Tuhannya, para jama’ah pun beranjak keluar dari ruangan ini, aku yang saat itu terus memperhatikannya, dengan segera kukerahkan langkahku menghampirinya.
“Aku suka kau, kau mau jadi pacarku?” tanyaku langsung di hadapan wanita suci itu.
Dia tidak menjawabku, hanya melihatku dengan sinisnya.
“aku serius, aku suka kamu”
Entah apa yang dipikirkannya, wanita itu tiba-tiba langsung manamparku ke-ras, dalam hitungan singkat kurasakan sakit di kedua pipiku.
“Astagfirullah,” kata wanita itu yang kemudian pergi begitu saja meninggalkanku.
Aku yang tengah kesakitan lantaran tamparannya, bingung dengan wanita itu yang tiba-tiba menamparku dan pergi begitu saja. Sebagai lelaki yang disadarkan oleh ceramahnya tentunya tidak salah kalau aku menyukainya, barangkali dengan berhubungan dengannya aku bisa seperti dengannya, berakhlak yang lebih baik dan mendalami ajaran dengan baik pula. Aku ingin mengejarnya, namun keadaan tidak mendukung, orang-orang menghampirinya begitu cepat, dan mengantarnya ke sebuah mobil yang terparkir di halaman masjid, sehingga tidak ada luang untuk meneruskan keinginanku.
Aku yang terabaikan oleh seorang wanita, seketika saja merasa terpukul keras yang sakitnya tiada terbanding, namun entah apa yang terjadi pada diriku sehingga tak sedikitpun kurasakan dendam pada wanita itu, raga ini tak mampu membalas tamparan wanita itu, jiwa ini pun tak sanggup membenci acukannya. Aku hanya bisa menundukkan kepala seraya terus memegang pipiku yang kemerahan sakitnya, kemudian keluar dari ruangan masjid.
Kulanjutkan perjalananku menjelai kota istimewa ini, hari semakin gelap namun langkahku tak berhenti, membuatku semakin jauh dari rumah kontrakan Dewi, selain itu, juga semakin banyak keunikan Jogja yang ketemukan, ini membuatku semakin yakin dengan kabaikan yang akan kutemukan di daerah ini.
Pagi digantikan oleh teriknya siang, siang digantikan oleh gelapnya malam, perjalananku semakin terseret jauh, hingga aku menemukan pemandangan yang menggoyahkan bathinku, kulihat seorang wanita tua sedang sibuk mengotak-atik tempat sampah di pinggir jalan, seolah mencari sesuatu yang sangat berharga, wanita tak henti-hentinya memeriksa isi tempat sampah itu, aku yang melihat kesibukan wanita tua itu, segera meng-hampirinya, dengan suara hati kecilku ingin membantunya menemukan apa yang dia cari sehingga harus sesibuk itu.
“maaf, kalau boleh tahu, ibu cari apa?” tanyaku pada wanita tua itu.
“aku sedang mencari plastik-plastik” jawab wanita tua itu tanpa menghentikan pekerjaannya.
“plastik? untuk apa?”
“untuk aku jual, inilah pekerjaanku, menjual plastik supaya aku bisa bertahan hidup” jelas wanita tua yang sejenak menghentikan pekerjaannya.
Seketika kudengar pengakuan seorang wanita tua yang menggetarkan bathinku, sungguh malang nasib wanita itu, di tengah-tengah kota istimewa ini ternyata ada orang yang kehidupannya bersandar pada sampah-sampah. Aku yang saat itu masih sanggup menanggung perjalananku, langsung saja kuberikan sedikit uang ke wanita tua itu.
“ini bu, ambillah, mudah-mudah ini bisa membantu kebutuhan ibu” kuberikan beberapa lembar uang sakuku.
matur nuwun nak, semoga Tuhan memberikan pahala yang berlimpah untukmu”. ungkap sang ibu itu, seraya memegang syukur tanganku.
Keadaan ibu membuatku bertanya-tanya, jika wanita ini tahu tentang Tuhan, lantas kenapa dia memilih untuk hidup menderita seperti ini, bukankah semes-tinya dia meminta pada Tuhan supaya diberikan kehidupan yang lebih baik dari sekarang, ataukah mungkin inilah kehidupan yang mesti dijalaninya. Ini bukan takdir Tuhan, Tuhan tidak mungkin berbuat sehina ini, pasti ada yang salah dengan kehidupan wanita itu.
Tuhan, kenapa Engkau ciptakan wanita? Jika hanya menjadi sampah kehidupan. Tuhan, kenapa Engkau ciptakan wanita? Jika harus menanggung kepedihan hidup ini, kenapa Engkau ciptakan wanita? Jika Kau tak mendengarkan rintihannya”.
Kehidupan wanita terlalu sempit jika dia diciptakan untuk hal-hal yang tak berguna. Kehidupan akan terus berkembang, entah wanita akan terus bernasib sama atau akan bangkit hingga bisa membimbing dirinya sendiri, aku tak tahu, yang jelas Tuhan yang mencipatakan mereka, biarkan Dia yang mengatur skenario kehidupan ini.
Malam semakin menggelapkan kehi-dupan ini, hendak kuajak wanita tua itu berjalan menikmati kehidupan yang masih menyimpan karunia-Nya, sebagaimana kehidupan baru yang kini juga tengah kujalani. Namun dia menolaknya, dia lebih memilih untuk tetap bertahan dalam kehidupannya yang menyedihkan, entah sampai kapan dia akan tetep bertahan, mungkin sampai Tuhan sendiri dengan Kasih sayang-Nya memberikan kenikmatan-Nya pada sosok wanita itu. Kulangkahkan kaki menjauhi wanita tua itu, mungkin lain waktu aku akan bertemu dengannya lagi, mungkin saja, jika Tuhan menaqdirkan itu, kuharap itu terjadi dengan keadaan yang berbeda, tak hina seperti sekarang.
“Tuhan, Engkau adalah Pelaku utama kehidupan ini, maka kuyakin Engkau bisa melakukan perubahan pada wanita itu, kehendakmu sungguh menjadi anugrah bagi ciptaan-Mu”.
Semakin jauh aku berjalan meninggalkan sosok wanita tua itu, kupikir sudah cukup penjelajahanku untuk hari ini, kuarahkan langkahku untuk pulang ke rumah kontrakan Dewi, terlalu lama aku meninggalkan Dewi sendirian di kontrakannya, mungkin di rumah Dewi mencari-cariku, aku tiba-tiba merasa khawatir padanya, mungkin karena cerewetnya sekarang mulai terbayang-bayang dalam pikirku, aku merasa kasian meninggalkannya sendirian dan tidak ada orang yang menemaninya untuk bercerita, sungguh itu telah menahan kecerewatan yang hakikatnya menjadi kekhasannya.
Karena perjalananku yang sangat jauh, sehingga sangat lama rasanya untuk sampai di rumah, langkahku kupercepat, tak peduli lagi sakit yang ditanggung kakiku. Ternyata sangat jauh telah aku telusuri daerah ini, sangat panjang jalanan yang telah ditempuh oleh kakiku ini. aku terus berjalan, tanpa henti, tak lagi memperhatikan apa yang ada di sekitarku, aku hanya berfokus untuk sampai di rumah Dewi.
Setelah menempuh panjangnya perjalanan kembali akhirnya akupun tiba di rumah, akupun mengetuk pintu, namun Dewi tak membukakan pintu rumah, kucoba beberapa kali namun hasilnya tetap sama, Dewi tetap tidak menyahut panggilanku. Aku mulai khawatir dengan wanita itu, kuketuk keras pintu, namun lagi-lagi tak ada tanda-tanda Dewi untuk membukakan pintu. Di tengah kesibukanku mengetuk terus pintu rumah kontrakan, tiba-tiba seorang wanita keluar dari kontrakan yang berada di samping kontrakan Dewi, wanita itu menghampiriku.
“mas cari mba Dewi?” kata wanita itu.
“iya” kataku menyahutnya.
“mba Dewi baru saja berangkat ke bandara”
“bendara? Untuk apa ke bandara?” tanyaku heran.
“katanya, dia akan pulang ke kampungnya di Makassar, karena urusan di jogja sudah selesai”. Jelas wanita itu.
“oiya, ini ada titipan surat dari mba Dewi, dan ini kunci kontrakannya, karena masa kontrakannya belum selesai jadi Dewi minta masnya yang nerusin untuk tinggal di kontrakan ini” tambah wanita itu sambil memberikan surat dan kunci.
“ ANDI….
Sudah lama aku menunggu momen ini, lelaki yang selama ini aku nanti, akhirnya dipertemukan juga dengannya, aku sangat senang karena rindu yang lama tersimpan ini telah terbayar oleh sejenak kebersamaan.
Mungkin kamu baru mengenalku kemarin, tapi sejak di pesantren aku telah mengenalmu, masih teringat jelas tentangmu yang begitu bersemangat belajar, namamu dikenal oleh berbagai kalangan di pesantren, sampai akhirnya tentangmu sampai di telinga ayahku yang saat itu menjadi kepala sekolah, beliau sering bercerita tentangmu padaku, kebanggaan ayah  padamu membuatku penasaran tentangmu, dari sejak itu aku ingin mengenalmu lebih dalam, beberapa kali aku mengunjung sekolahmu, dan mencari tahu tentangmu.
Sedikit banyak aku mengenal tentangmu, entah mengapa aku merasa nyaman ketika mendengarkan tentangmu, namun saat itu aku tidak bisa mengatakan kalau aku sedang jatuh cinta padamu, karena aku tahu kalau itu hanya akan membuatku tidak bisa dekat denganmu, mungkin selain karena di pesantren santri dilarang pacaran, juga karena ayah memang melarangku untuk menyentuh dunia pacaran.
Semakin lama, cinta itu semakin nyata, seringkali aku terluka lantaran harus menanggung rindu denganmu, karena cinta itu, aku semakin sering ke pesantren hanya untuk melihatmu, meski itu tak sebanding dengan besarnya rindu itu, namun melihatmu dari kejauhan adalah pilihan yang terbaik untuk kita berdua, agar tidak ada yang mendapat masalah diantara kita lantaran keegoisanku.
Sangat lama rasanya aku hanya melihatmu dari kejauhan, bahkan tanpa kamu ketahui. Juga semakin sulit aku mengendalikan perasaan ini agar tetap berada dalam ruang sekedar rindu, tak ingin sampai diketahui oleh orang lain, apalagi ayah. Namun, di balik kerinduan dan pengharapan yang sangat besar, seketika lebur bersama kabar yang kudengar dari temanmu bahwa kamu telah menjaling cinta dengan wanita lain. Sempat aku kecewa denganmu, sangat kecewa, namun sungguh aku tidak mampu membencimu, salahku yang terus menyembunyikan rasa itu tanpa menyadari kehadiran wanita lain di benakku, sejak kebersamaanmu dengan wanita lain, gejolak cinta itu semakin saja mengga-ngguku, sampai suatu ketika aku mence-ritakannya kepada ayah, namun, bukan simpati ayah yang kudapatkan melainkan kemarahan yang harus kutanggung. Meski pun dia sangat bangga pada santri-santrinya namun aturan untuk tidak pacaran harus tetap dia tegakkan, begitu juga denganku, sebagai anak dari seorang yang kuat pendiriannya, aku harus menanggung aturannya, meski kutahu itu sangat sulit. Setelah menyelesaikan studi madrasah Aliyah, dengan berbagai pertimbangan ayah memutuskan untuk mengantarku ke jogja untuk kuliah, kehendak ayahku adalah titah yang tak bisa aku hindari, meskipun saat itu aku sangat ingin satu perkuliahan denganmu, tapi itu hanya menjadi ang-anku semata jika berhadapan dengan kehendak ayah.
Kerinduan tanpa ikatan yang kulalui denganmu, membuatku ingin sesegera mungkin menyelesaikan kuliahku dan bertemu denganmu, setiap kali aku merindukanmu maka semakin memuncat keinginan untuk pulang ke Makassar hanya sekedar bertemu denganmu.
Beberapa minggu yang lalu akhirnya studi perkuliahanku berhasil aku selesaikan dengan waktu yang termasuk cepat, setelah itu aku pulang ke Makassar, sesampai di Makassar, aku tak pernah menduga, bahwa kerinduan ingin bertemu denganmu, seketika saja harus terhapus oleh kehendak ayah. Lagi-lagi ayah mengambil keputusan yang tak sesuai keingi-nanku, tentunya aku tidak bisa membantahnya, ayah menjodohkanku dengan lelaki lain.
Aku mendengar tentang kabarmu yang diusir oleh warga lantaran berbagai kejahatan yang kamu lakukan, aku sempat tidak percaya, dan memilih untuk mengunjungi rumahmu, namu belum sampai di rumahmu, dari kejauhan aku melihatmu tengah melangkah jauh meninggalkan rumah kediamanmu. Saat itu juga aku ingin mengikutimu, pertemuan kita di pelabuhan bukan kebetulan, karena aku telah merencanakannya.
aku tidak ingin melepaskan kesempatan lagi, kupikir pertemuaan kita saat itu adalah momen yang dianugrahkan padaku sebelum pernikahanku tiba. Karena  itu aku bertingkah menjadi orang lain, menjadi orang yang tidak mengenalmu sebelumnya, bahkan mengubah karakterku.
Maaf, karena telah mengejekmu, terkait dengan kata “kita”, sebenarnya aku sudah tahu, tetapi aku pura-pura tidak mengerti. waktu pertama ke jogja, aku juga pernah diejek karena menggunakan kata “kita” ketika berbicara dengan orang lain. Tapi itu tidak berlangsung lama, nanti kalau sudah lama di sini, dan berbaur dengan budaya Jogja, pasti kamu akan terbiasa dengan semua yang ada di dalamnya, saya yakin itu.
Hari ini, kamu pergi dari rumah tanpa sepengetahuanku, aku telah mencarimu ke mana-mana, namun aku tak menemukanmu, aku ingin sekali bersamamu di akhir terkahirku di kota istimewah ini, berjalan bersama menelusuri berbagai tempat-tempat rekreasi yang mungkin dapat mewakili jawaban atas cinta yang selama ini tumbuh untukmu, sekaligus menjadi momen yang kelak akan kukenang tentang kita, dan akan kuceritakan tentang dirimu pada duniaku. Namun, mungkin itu hanya menjadi anganku semata, ketidak hadiranmu di hari ini adalah jawaban akan perpisahan nyata yang mesti kulewati.
Saat kamu membaca surat ini, mungkin aku telah tiada di Jogja, mungkin aku sudah berada di tempat lain, malam ini aku akan berangkat pulang ke tanah kelahiranku, maafkan aku jika kecerewetanku membuatmu kesal denganku, karena keegoisanku sehingga kamu menjadi susah, dan karena kebohonganku sehingga kamu tidak tahu tentang aku yang sebenarnya.
Maafkan aku, sungguh aku akan merindukanmu.
Salam rinduku,
DEWI

. . . . .


Seketika saja surat Dewi menjadikanku sebagai makhluk yang paling bersalah, Tak pernah sepintaspun terpikirkan olehku  bahwa selama ini ada seorang wanita yang terluka karena diriku, sungguh aku tidak mengerti apa yang telah kulakukan sehingga Dewi menanggung cintanya.
“kapan Dewi berangkat mba?” tanyaku kepada wanita yang memberikan surat Dewi.
“Barusan mas, Dewi pergi kemudian mas datang, mungkin kalau mas menyusul dia, masih sempat ketemu dengan mba Dewi.”
“terima kasih mba”
Tanpa masuk ke rumah kontrakan, aku langsung berlari mengejar Dewi, aku tidak tahu harus melakukan apa, aku yang belum tahu tentang daerah ini, berpikir hanya mengandalkan kendaraan umum, akupun langsung berteriak memanggil ojek untuk mengantarku ke jalan raya. Setelah sampai di jalan raya, aku lagi-lagi berteriak memanggil taksi untuk mengantarku ke bandara, kuintruksikan supir taksi untuk mempercepat laju mobil, selama perjalanan aku memikirkan wanita itu. Betapa bersalahnya aku jika tak sempat bertemu dengannya, untuk terakhir kalinya aku ingin meminta maaf, meski tak tahu harus berbuat apa untuk mempertanggung jawabkan ketidaktahuanku tentang cinta Dewi. Tidak henti-hentinya aku memaksa supir untuk lebih cepat melajukan mobilnya. Tiba-tiba mobil berhenti di depan bangunan besar nan luas, yang tengah ramai oleh orang-orang.
“sudah sampai mas,”
“aku langsung memberikan uang kepada supir, tak peduli berapa yang harus aku bayar. Kemudian langsung saja aku turun dari mobil dan berlari hendak mencari Dewi, karena tempat ini dipadati oleh banyak orang, sehingga membuatku kesulitan mencari Dewi. Kupaksakan diriku untuk menerobos keramaian itu, dan akhirnya aku melihat Dewi yang tengah menuju pintu masuk bandara.
“Dewiii, Dewii, Dewii !!” teriakku pada wanita itu, namun dia tak mendengarnya. Beberapa kali aku memanggilnya namun tak juga berhasil untuk didengarnya.
Dengan cepat aku berlari mendekatinya, tak peduli orang berkata apa dengan tingkahku, aku hanya berfokus agar Dewi mendengarkan teriakku.
“Dewii..!!” aku kembali teriak, saat berada tepat di belakang wanita itu, namun sedikit jauh.
Wanita itu akhirnya menoleh kearahku, akupun langsung berjalan menghampirinya.
“kamu mau ke mana?” tanyaku sambil merebut tasnya.
“aku harus pulang, ada urusan penting yang harus aku hadiri, tapi nanti aku akan kembali ke sini beberapa hari lagi.” kata Dewi tersenyum.
Aku sangat yakin, tingkah Dewi itu hanya untuk menghilangkan kecemasanku, dia seakan tidak mau mengakui perpisahan itu.
“kamu yakin?”
Dewi menganggukka kepalanya “iya, setelah urusanku selesai aku akan kembali lagi ke sini, dan menemani kamu, kamu tenang saja”
Mendengar ucapannya, semakin membuatku untuk tidak mempercayainya.
“selama aku tidak ada, aku titip kontrakan ke kamu yah, nikmati hidup di kota ini, kamu akan lebih baik karena tidak ada lagi wanita cerewet seperti aku, tapi aku yakin kalau suatu saat nanti kamu akan rindu dengan kecerewetanku” jelas Dewi menghibur keadaan yang sebenarnya tak sanggup dia lakukan.
“aku pergi dulu yah” kata Dewi yang kemudian melangkah meninggalkanku.
Kulihat wanita itu melangkah penuh terpaksa, suara tangisannya berusaha dita-hannya agar tak terdengar olehku.
“bohong!” kataku tegas pada wanita itu.
Dia menghentikan langkahnya, kemudian berbalik ke arahku, langsung aku melangkah menghampirinya.
“kamu bohong! Aku sudah tahu semuanya, kamu tidak usah berpura-pura untuk membohongiku”
Wanita itu tak sanggup menahan tangisannya, dia menangis pilu dan langsung memelukku. Kubiarkan dia melampiaskan kesedihannya, sejenak perasaanku seakan tidak ingin menerima perpisahan ini.
“ikutlah denganku, kita ke Makassar, aku tidak ingin berpisah denganmu” kata Dewi dengan suara tangisannya.
Mendengar ajakan Dewi untuk pu-lang ke Makassar, tersentak benakku untuk segera menolaknya.
“tidak! Aku tidak bisa” kataku mele-paskan pelukannya.
“kenapa?”
“aku tidak bisa kembali ke Makassar sebelum aku berhasil mendapatkan apa yang menjadi niatku ke sini, meski aku harus melepaskan segalanya, bahkan meski aku harus mati di sini, aku tetap tidak akan kembali ke Makassar sebelum akhlakku di terima oleh masyarakat, perilakuku telah membuat malu keluargaku di mata masyarakat, karena itu aku harus memperbaiki akhlakku agar dapat menebus kesalahan yang pernah kulakukan”. Jelasku.
Mendengar ucapanku, Dewi tersenyum dan memegang kedua tanganku.
“sungguh mulia niatmu, aku do’akan mudah-mudahan apa yang kamu impiankan bisa tercapai” kata Dewi.
Sejenak suasana sedih hilang, kami pun saling tersenyum.
“Aku punya teman wanita, dia seorang ustadzah, namanya Inayah, ham-pir setiap hari sekitar jam sepuluh dia memberikan pengajian kepada masya-rakat, biasanya pengajiannya itu di adakan di masjid yang tak jauh dari rumah kontrakan, pergi dan mintalah kepadanya untuk diajarkan apa yang kamu inginkan, katakan padanya kalau aku yang memintamu untuk menemuinya, maka dia akan menerimamu”.
“aku akan berusaha mencarinya”
“kalau begitu aku berangkat, kamu baik-baik yah di sini”
Belum sempat menjawabnya, Dewi langsung memelukku, akupun hanya bisa terhanyut dalam kesedihan perpisahan.
“iya, kamu juga baik-baik di sana, sampaikan salamku pada kota daeng”
Akhirnya Dewi melepaskan pelukannya, dan perlahan melangkah menjauhiku, namun, suara tangisannya mulai terdengar. Aku yang mendengarnya menangis tak sanggup menahan air mataku, perasaanku ikut dalam kesedihan perpisahan. Wanita itu melangkah bersama tangisannya, semakin jauh meninggalkanku, akupun hanya mampu melihatnya, tak bisa lagi kuraih, juga tak bisa kutahan kepergiannya, dia telah menyatu dalam keramaian para penumpan lainnya, satu persatu orang-orang menutupi jarak kami, wanita itu telah pergi, tak lagi kudengar suara langkahnya, namun masih terasa kehangatan lukanya. Kebingungan, penyesalan dan ketidak percayaan akan sosok wanita yang telah pergi dengan lukanya lantaran mengharapkan cinta yang tak sedikitpun kurasakan, aku berusaha memahami perasaannya, namun tak sampai pada jenjang cinta, akhirnya wanita itu pergi dengan sejuta tanya tentang sebuah cinta.

. . . . . . . .

Lanjut ke Warna Wanita berikutnya . . . 


(Terima kasih telah membaca, untuk lebih lengkapnya, tulisan ini termuat dalam 
sebuah novel berjudul Warna Wanita)

Related Posts

Warna Wanita: Wanita Abu-Abu
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.