HUBUNGAN QIRAAT DENGAN TAFSIR
Oleh :
Muh Alwi HS
14530083
UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta
A.
Pendahuluan
Menurut
‘Abd Al-Wahhab Khallaf yang dikutip oleh Prof. Dr. Nashruddin Baidan dalam buku
Wawasan Baru Ilmu Tafsir merumuskan pengertian al-Qur’an bahwa:
Al-Qur’an
ialah firman Allah yang dibawa turun oleh al-Ruh al-Amin (jibril) ke dalam hati
sanubari Rasul Allah Muhammad bin ‘Abd Allah sekaligus bersama lafal Arab dan
maknanya, benar-benar sebagai bukti bagi Rasul bahwa ia adalah utusan Allah dan
menjadi pegangan bagi manusia agar mereka terbimbing dengan petunjuk-Nya ke
jalan yang benar, serta membacanya bernilai ibadah. Semua firman itu terhimpun
di dalam mushhaf yang diawali dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat
al-Nas, diriwayatkan secara mutawatir dari satu generasi ke generasi yang lain
melalui tulisan dan lisan, serta senantiasa terpelihara keorisinilannya dari
segala bentuk perubahan dan penukaran atau penggantian.[1]
Pengertian
di atas memberikan gambaran bahwa penyampaian al-Qur’an melalui beberapa
proses, yakni bermula dari Allah, ke Malaikat Jibril, terus Nabi Muhammad, yang
kemudian disampaikan kepada umatnya, sampai pada tahap penulisan mushhaf. Dia
(al-Qur’an) senantiasa terpelihara keorisinilannya dari segala bentuk perubahan
dan penukaran atau penggantian, karena itu al-Qur’an disebut bacaan yang
sempurna, walaupun penerima dan masyarakat pertama yang ditemuinya tidak
mengenal baca-tulis.[2]
Sebagai
pesan Tuhan, wahyu memiliki objek sasaran dan sasaran itu adalah masyarakat
Arab sebagai masyarakat pertama yang ditemuinya[3]. Selanjutnya,
untuk masa penyebaran dan pengabadian[4],
Nabi Muhammad memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk menulis al-Qur’an[5],
yang kemudian dilakukan penulisan ulang[6]
pada masa Abu Bakar serta pembukuan al-Qur’an (secara resmi) pada masa ‘Utsman.[7]
Pada proses penulisan al-Qur’an, masyarakat Arab dalam hal ini adalah para
Sahabat menulis Al-Qur’an sesuai Qira’atnya masing-masing, sehingga pada saat
penulisan mushhaf ‘Utsmani, yang hendak menyeragamkan –kalau enggang mengatakan
membatasi- Qira’at untuk masuk dalam mushhaf pada masanya, mengakibatkan
munculnya berbagai kontraversi dari sahabat, seperti yang terjadi pada Abdullah
bin Mas’ud.
Terlepas
dari masalah pembukuan al-Qur’an ke dalam bentuk mushhaf ‘Utsmani, yang
terpenting bahwa sebagian sahabat telah menganut qira’at yang berbeda dari
mushaf ‘Utsman, Hal tersebut tentu memicu munculnya perbedaan pandangan (baca:
pemahaman) umat terhadap al-Qur’an, yang pemahaman tersebut dalam hal ini
disebut penafsiran atas teks al-Qur’an. Kalau demikian adanya, maka pertanyaan
yang muncul, bagaimana peran qira’at dalam sebuah penafsiran? Serta bagaimana
hubungan qira’at dan tafsir? Dari pertanyaan ini, akan dilakukan beberapa
langkah untuk menjawabnya, pertama melihat aspek-aspek munculnya
perbedaan qira’at sebagai pengantar penafsiran, serta kedua melihat timbal-balik
(Hubungan) qira’at dengan penafsiran itu.
B.
Memahami
pembolehan Nabi atas membaca Al-Qur’an dengan qira’at berbeda
Membaca al-Qur’an dengan qira’at yang berbeda dari orang lain
dinilai sebagai problem atas pemahaman al-Qur’an sebagai kitab yang utuh,
bahkan sampai pada keraguan atas keorisinal al-Qur’an, hal ini sebagaimana yang
terjadi pada kasus sahabat Ubay bin Ka’b dan Ubadah bin shamit:
Ubadah bin Shamit bahwa Ubay bin Ka'b berkata, "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam telah membacakan ayat kepadaku, dan aku (Ubadah)
membacakannya kepada orang lain dengan selain bacaaan Ubay. Maka aku bertanya
padanya, "Siapa yang membacakannya padamu?" Ubay menjawab,
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang membacakannya padaku."
Aku berkata lagi, "Demi Allah, beliau telah membacakannya kepadaku begini
dan begitu." Ubay lantas menyaut, "Aku tidak pernah merasakan
keraguan idalam Islam semisal saat hari itu, maka aku pun datang menemui Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam, aku katakan, "Wahai Rasulullah, bukankah
engkau telah membacakan ayat ini kepadaku begini dan begitu?" Beliau
menjawab: "Ya." Ubay berkata, "Orang ini mengatakan bahwa engkau
juga telah membacakannya begini dan begitu!" Beliau lalu memukulkan
tangannya ke dadaku, hingga aku tidak lagi mendapati karaguan dalam hatiku setelah
itu." Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kemudian bersabda:
"Jibril dan Mikail Alaihimassalam mendatangiku. Jibril berkata, 'Bacalah al
Qur`an dengan satu huruf! ' lalu Mika`il berkata, 'Mintalah tambahan, ' lalu
Jibril berkata lagi, 'Bacalah dengan dua huruf! ' Mika`il berkata lagi,
'Mintalah tambahan, ' hingga menjadi tujuh huruf. Maka setiap bacaan adalah
sempurna dan mencukupi."[8]
Selain itu, perbedaan qira’at juga dapat menyebabkan seseorang
dengan orang lain terjadi kesalahpahaman yang menyebabkan pada tindakan kekerasan
satu terhadap yang lain, ini dapat dilihat pada kasus ‘Umar bin Khaththab yang hendak mencekik sahabat Ubay
bin Ka’b ketika mendengar Ubay membaca surah Al-Furqan dengan bacaan yang
berbeda dengannya. Sebagaimana hadits riwayat Bukhari, sebagai berikut:
‘Umar bin Al Khaththab berkata, "Aku pernah mendengar Hisyam
bin Hakim bin Hizam sedang membaca surat Al Furqan di masa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam, aku pun mendengarkan bacaannya dengan seksama.
Maka, ternyata ia membacakan dengan huruf yang banyak yang Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam belum pernah membacakannya seperti itu padaku.
Maka aku hampir saja mencekiknya saat shalat, namun aku pun bersabar menunggu
sampai ia selesai salam. Setelah itu, aku langsung meninting lengan bajunya
seraya bertanya, "Siapa yang membacakan surat ini yang telah aku dengan
ini kepadamu?" Ia menjawab, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
yang telah membacakannya padaku." Aku katakan, "Kamu telah berdusta.
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah membacakannya
padaku, namun tidak sebagaimana apa yang engkau baca." Maka aku pun segera
menuntunnya untuk menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Selanjutnya,
kukatakan kepada beliau, "Sesungguhnya aku mendengar orang ini membaca
surat Al Furqan dengan huruf (dialek bacaan) yang belum pernah Anda bacakan
kepadaku." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda:
"Bacalah wahai Hisyam." Lalu ia pun membaca dengan bacaan yang telah aku
dengar sebelumnya. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Begitulah ia diturunkan." Kemudian beliau bersabda: "Bacalah
wahai Umar." Maka aku pun membaca dengan bacaan sebagaimana yang dibacakan
oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepadaku. Setelah itu, beliau
bersabda: "Seperti itulah surat itu diturunkan. Sesungguhnya Al Qur`an ini
diturunkan dengan tujuh huruf (tujuh dialek bacaan). Maka bacalah ia, sesuai
dengan dialek bacaan yang kalian bisa."[9]
Hadits yang seperti ini (kasus ‘Umar
dan Ubay), banyak diriwayatkan oleh ulama hadits seperti hadits yang diriwayatkan
Bukhari nomor 2241, Muslim nomor 1354, At-Tirmidzi nomor 2867, An-Nasai nomor 927,
928, 929, dan 930, Ahmad bin Hanbal nomor 153, 180, 266.[10]
Perbedaan qira’at (bacaan) yang
terjadi pada para sahabat selalu ditanggapi terbuka oleh Nabi, dengan kata lain
bahwa Nabi membolehkan atau mengiyakan qira’at (bacaan) al-Qur’an yang dibaca
oleh sahabat-sahabatnya. Pembolehan Nabi atas bacaan para sahabat yang
berbeda-beda itu, menurut penulis, disebabkan karena Nabi Sendiri yang
menimbulkan perbedaan itu ketika dihendak diberikan wahyu kepada malaikat
Jibril. Nabi meminta agar al-Qur’an tidak hanya bisa dibaca dengan satu qira’at,
tetapi beliau meminta agar al-Qur’an dapat dibaca lebih dari satu bacaan.
Perhatikan hadits Nabi sebagai berikut:
"Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan al-Qur`an
kepada umatmu dengan satu huruf (lahjah bacaan)." Beliau pun bersabda:
"Saya memohon kasih sayang dan ampunan-Nya, sesungguhnya umatku tidak akan
mampu akan hal itu." kemudian Jibril datang untuk kedua kalinya dan
berkata, "Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan al-Qur`an
kepada umatmu dengan dua huruf." Beliau pun bersabda: "Saya memohon
kasih sayang dan ampunan-Nya, sesungguhnya umatku tidak akan mampu akan hal
itu." Lalu Jibril mendatanginya untuk ketiga kalinya seraya berkata,
"Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan al-Qur`an kepada
umatmu dengan tiga huruf." Beliau bersabda "Saya memohon kasih sayang
dan ampunan-Nya, sesungguhnya umatku tidak akan mampu akan hal itu."
Kemudian Jibril datang untuk yang keempat kalinya dan berkata,
"Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan al-Qur`an kepada
umatmu dengan tujuh huruf. Dengan huruf yang manapun yang mereka gunakan untuk
membaca, maka bacaan mereka benar." [11]
C.
Implikasi
atas perbedaan Qira’at
Dispensasi yang diberikan Rasulullah SAW dalam membaca al-Qur’an
lebih dari satu huruf (bacaan) dimaksudkan untuk memberikan kemudahan kepada
umat dalam membaca kitab suci (baca al-Qur’an), sehingga mereka tidak merasa
dibebani oleh bacaan-bacaan yang sukar mereka lafalkan. Dengan kemudahn atau
kelonggaran yang diberikan Rasulullah itu dalam membaca al-Qur’an tersebut,
maka mereka makin tertarik kepada Islam, sehingga mereka merasakan Islam itu
benar-benar dturunkan untuk mereka demi membimbing kehidupan mereka di muka
bumi ini agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat[12].
Di saat yang sama, perbedaan qira’at juga menyebabkan adanya
keragaman dalam cara membaca Al-Qur’an. Keragaman tersebut bisa terjadi karena
–misalnya-perbedaan bentuk kata benda ( الأسماءإختلاف),
perbedaan tashrif (perubahan) kata kerja, perbedaan kedudukan kata ( وجوه الإعرابإختلاف),
dan sebagainya[13].
Lebih jauh, bahwa perbedaan cara membaca al-Qur’an tidak
menutup kemungkinan memicu munculnya perbedaan dalam memahami isi kandungan al-Qur’an.
Misalnya pada kata وأرجلَكم (dengan harakat fatha pada
huruf lam), ada juga yang membacanya dengan وأرجلِكم
(dengan harakat kasrah pada huruf lam). Pada kata pertama
dipahami bahwa kaki harus dibasuh, hal ini karena kedudukan (i’rab) kata
وأرجلكم mengikut pada kalimat وُجُوهَكُم.
Tetapi, jika di baca kasrah, sebagaimana
disebutkan di atas, maka kaki tidak harus dibasuh, melainkan cukup mengusapnya.
Hal ini karena kedudukan (i’rab) kata وأرجلكم
mengikut pada kalimat بِرُءُوسِكُمۡ [14].
Hemat penulis, perbedaan qira’at yang terjadi menyebabkan
terjadinya perbedaan dalam memahami sebuah ayat. Untuk melengkapi penjelasan
mengenai pembahasan qira’at dan tafsir, penulis memuatnya ke dalam bahasan
selanjutnya.
D.
Hubungan
Qiraat dengan Tafsir
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa
perbedaan cara membaca (qira’at) mempengaruhi pemahaman terhadap teks bacaan. Selain
itu, pemahaman yang masih kabur (syubhat) terhadap teks al-Qur’an juga
memicu munculnya tambahan bacaan (baca: tafsiran) atasnya. Seperti yang
dilakukan oleh Abdullah bin Mas’ud dalam surat Al ‘Imran ayat 50, dinyatakan:
وَجِئۡتُكُم بَِٔايَاتٍ مِّن رَّبِّكُمۡ فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ [+
من أجل ما جئتكم به] وَأَطِيعُونِ [+ فيما دعوتكم إليه]
Dalam qira’at masyhurah dibaca dengan بَِٔايَةٖ . Tambahan-tambahan yang disisipkan diantara potongan-potongan ayat di atas
diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud adalah manifestasi dari penyempurnaan-penyempurnaan
penafsiran di sisi teks yang lebih dekat untuk penjelasan yang lebih[15].
Demikian juga yang terjadi pada pemahaman atas
surat al-Baqarah ayat 238:
حَٰفِظُواْ عَلَى ٱلصَّلَوَٰتِ وَٱلصَّلَوٰةِ ٱلۡوُسۡطَىٰ
Ayat ini secara tekstual masih terlihat
samar-samar/kabur (syubha), karena belum bisa diketahui maksud dari
shalat wushtha. Sebagian mufassir berusaha memahaminya sebagai shalat
subuh, sedangkan sebagian yang lain menafsirkannya sebagai shalat zhuhur.
Mayoritas mufassir klasik memahaminya sebagai shalat ashar. Di sini, kita perlu
melihat riwayat –misalnya- dari budak perempuan Aisya yang bernama Hamidah
binti Yunus, dia berkata : Aisyah mewasiatkan barang perhiasannya kepadaku, aku
menemukan dalam mushaf Aisyah:
Penambahan bacaan dari dua contoh di
atas, penulis mengistilahkannya sebagai bentuk penafsiran yang kemudian dikenal
dengan tafsir bil ma’tsur.
Selanjutnya, dapat diajukan pula contoh perbedaan qira’at
yang lebih sederhana dari apa yang telah diuraikan diatas. Yaitu perbedaan
dalam teks-teks, dimana masing-masing teks memiliki kata sinonim lain tetapi
dengan konsekuensi makna yang tetap sama. Sebagaimana yang tunjukkan oleh Abu
Sarrar al-Ghaznawi misalnya, yang membaca surat al-Baqarah ayat 48 sebagai
ganti dari lafazh: عن نفس نفس dengan kata sinonimnya yaitu lafazh نسمة عن نسمة. Perbedaan pada dataran teks seperti ini
di masa klasik direspon dengan semangat penuh kebebasan.
Ayat 38 surat al-Maidah memuat batasan yang
diwajibkan sebagai hukuman atas pencuri
وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقۡطَعُوٓاْأَيۡدِيَهُمَا
Namun tangan mana yang harus
dipotong? Jawabannya ada dalam qira’at yang diriwayatkan dari Abdullah bin
Mas’ud: وَٱلسَّارِقُ
وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقۡطَعُوٓاْأيْمَانَهُمَا (dengan bentuk plural sebagai ganti dari
bentuk non-plural yang disebutkan dalam qiraat yang masyhur)[17].
Dan masih banyak lagi contoh yang
penulis belum kemukakan pada tulisan ini. Paling tidak, dari penjelasan
sebelumnya dan juga beberapa contoh di atas, penulis mencoba menemukan beberapa
hubungan yang terjadi oleh perbedaan qira’at dengan pemahaman terhadap teks
(ataupun sebaliknya), diantaranya:
1. Cara bacaan (qira’at) dan
penafsiran merupakan dua hal yang muncul dan berkembang dalam teks al-Qur’an.
2. Dalam konteks menjadi mufassir,
ilmu qira’at sangat dibutuhkan untuk menafsirkan al-Qur’an.[18]
3. Pada kebebasan cara membaca
(qira’at) berjalan sesuai tempat dan waktu pengguna, hal ini juga berlaku bagi
para penafsiran al-Qur’an, dengan kata lain, bahwa penafsiran al-Qur’an
termasuk dipengaruhi oleh waktu dan tempat penafsir. Hal ini dapat senada dengan yang dikatakan
oleh Abdullah Saeed, bahwa kebebasan dalam membaca al-Qur’an seharusnya juga
ada dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an sejalan dengan kebutuhan umat
Islam di masa sekarang[19].
4. Dibebaskannya cara membaca (qira’at) bukan
berarti dapat membaca semaunya, hal ini harus berdasarkan sanad bacaan
dari Nabi. Hal ini juga berlaku dalam menafsirkan al-Qur’an, bahwa kebebasan
memahami dan menafsirkan harusulah tetap berada pada rambu-rambu yang telah
ditentukan, misalnya terlebih dahulu harus menguasai bahasa Arab, dan
sebagainya.
5. Jika merujuk pada pemetaan tafsir oleh Dr.
Abdul Mustaqim, bahwa tafsir dapat dipetakan menjadi dua, yakni tafsir sebagai
produk dan tafsir sebagai proses[20].
Hemat penulis, tafsir sebagai produk
muncul karena –termasuk-hasil dialektika mufassir, qira’at dan teks.
Qira’at di sini berfungsi sebagai jembatan dari mufassir menuju teks
yang kemudian menghasilkan tafsiran.
6. Tafsir sebagai proses muncul karena dialektika mufassir,
teks, dan qira’at. Di sini, kesamaran teks menjadi jembatan dari pemahaman
menuju penafsiran.
Perhatikan bagan berikut:
Al-Qur’an
|
Pemahaman/penafsiran berdasarkan qira’at
masing-masing
|
Tambahan / perubahan bacaan sebagai
tafsiran
|
Terjadi perbedaan qira’at antar sahabat
|
Proses penyampaian dari malaikat Jibril ke Nabi. Tujuh huruf (bacaan)
|
Nabi menyampaikan ke Sahabat (umat)
berdasarkan cara bacaan (qira’at) yang mudah bagi umatnya.
|
Daftar Pustaka
Baidan, Nashruddin.
2011. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar).
Djuned, Daniel. 2010. Antropologi
Al-Qur’an, (Jakarta: Penerbit Erlangga).
Goldziher, Ignaz. 2010. Mazhab Tafzir Dari Klasik Hingga Modern (terj). (Yogyakarta: Penerbit eLSAQ Press).
Lidwa Mausua i-Software-kitab
sembilan imam hadits.
Mustaqim, Abdul. 2011. Epistemologi
Tafsir Kontemporer. (Yogyakarta: PT LKiS Printing Cemerlang).
Romdhoni, Ali. Tradisi Hafalan
Qur’an Di Masyarakat Muslim Indonesia. 2015. Dalam Journal of Qur’an and
Hadits Studies. (Jakarta: Qur’an and Haditsh Academic Sociaty).
Saaed, Abdullah. 2016. Paradigma, Prinsip, dan Metode Penafsiran
Kontekstualis Atas al-Qur’an (Terj). (Yogyakarta: Lembaga Ladang Kata).
Shihab, M.
Quraish. 2104. Lentera Al-Qur’an Kisah Dan Hikmah Kehidupan. (Bandung:
Penerbit Mizan).
Sodiqin, Ali.
2010. Antropologi Al-Quran Model Dialektika Wahyu Dan Budaya. (Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media).
Suma, Muhammad Amin. 2013. Ulumul Qu’ran. (Jakarta: Rajawali Pers).
[1]
Prof. Dr. Nashruddin Baidan. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2011). hlm. 16.
[2] M.
Quraish Shihab. Lentera Al-Qur’an Kisah Dan Hikmah Kehidupan. (Bandung:
Penerbit Mizan. 2014). hlm. 23.
[3] Dr.
Ali Sodiqin. Antropologi Al-Quran Model Dialektika Wahyu Dan Budaya. (Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media. 2012). hlm. 12.
[4]
Meski pada dasarnya Al-Qur’an akan terus dijaga selamanya oleh Allah (lihat QS.
Al-Hijr: 9), tetapi usaha Nabi disini menjadi perantara pengabadian teks
Al-Qur’an tersebut.
[5] Ali
Romdhoni, Tradisi Hafalan Qur’an Di Masyarakat Muslim Indonesia. dalam
Journal of Qur’an and Hadits Studies. (Jakarta: Qur’an and Haditsh Academic
Sociaty. 2012). hlm. 12.
[6]
Penulisan di sini sudah masuk pada pembukuan dalam bentuk mushhaf, namun belum
seperti mushhaf ‘Utsmani.
[7]
Prof. Dr. Daniel Djuned. Antropologi Al-Qur’an. (Jakarta: Penerbit
Erlangga. 2010). hlm. 3.
[8] HR. Ahmad nomor 20179,
hadits bermakna seperti ini juga diriwayatkan oleh An-Nasai nomor 932. (rujuk
ke Lidwa Mausua i-Software-kitab sembilan imam hadits.).
[9] HR. Bukhari nomor 4608. (rujuk ke Lidwa Mausua i-Software-kitab
sembilan imam hadits.).
[10] Hadits-hadits
ini sesuai yang tercantum pada Lidwa Mausua i-Software-kitab sembilan imam
hadits.
[11] HR.
Muslim nomor 1355, hadits yang bermakna seperti ini juga dapat dilihat pada
hadits riwayat Ahmad nomor 2582, 2713, 19529, 19609.
[12] Prof.
Dr. Nashruddin Baidan. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. 2011). hlm. 94-95.
[13] Lihat Wawasan Baru Ilu Tafsir. hlm. 100-101. Di sana dijelaskan
secara rinci mengenai pembahasan ini. Nashruddin Baidan dalam hal al-Qur’an
diturunkan dengan tujuh huruf, cenderung kepada pendapat Ibnu al-Jaziri yang
juga didukung oleh al-Zarqani. Selanjutnya, ia berpendapat bahwa bacaan
ayat-ayat al-Qur’an tidak dibaca sesuka hati si pembacanya, melainkan ada
aturan sesuai dengan apa yang diajarkan Rasulullah.
[14] Lihat penjelasan Ignaz Goldziher. Mazhab Tafzir Dari Klasik Hingga
Modern (terj). (Yogyakarta: Penerbit eLSAQ Press. 2010). hlm. 15-16.
[18] Lihat komponen ilmu-ilmu yang dibutuhkan untuk menafsirkan al-Qur’an dalam
buku Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M. Ulumul Qu’ran. (Jakarta:
Rajawali Pers, 2013). hlm. 407.
[19] Abdullah Saeed. Paradigma, Prinsip, dan Metode Penafsiran
Kontekstualis Atas al-Qur’an (Terj). (Yogyakarta: Lembaga Ladang Kata.
2016). hlm. 148.
[20] Dr.
Abdul Mustaqim. Epistemologi Tafsir Kontemporer. (Yogyakarta: PT LKiS
Printing Cemerlang. 2011). hlm. 32.
HUBUNGAN QIRAAT DENGAN TAFSIR
4/
5
Oleh
Unknown