Sabtu, 14 Januari 2017

Warna Wanita: Birunya Wanita Tuhan

BIRU-NYA WANITA TUHAN

SEIRING berubahnya cintaku menjadi kebencian kepada Alya, yang mengakibatkan berubahnya pula pa-ndanganku tentang wanita-wanita, membuat hidupku juga berubah, yang dulunya tak mengenal pergaulan bebas, namun kini kehidupan bebas itu menyatu denganku, bahkan aku telah berhasil menempati posisi sebagai bos preman di kampungku.
Malam-malam berkuasa dengan menutupi kecerahan siang, begitu gelap berada dalam kehampaan dunia ini, hanya duka dan kebencian menyelimuti malam-malamku, tak jarang kulampiaskan amarahku pada wanita-wanita hina, makhluk yang dulunya begitu kudambakan, kini hanya menjadi pelampiasan nafsuhku semata, tidak akan lebih  dari itu.
Aku adalah bos preman yang terkenal di kampungku, tak kusia-siakan posisiku, kucabut aturan moral yang membatasi kebebasanku, tak peduli kata orang tentang kehidupanku, kuhanya menikmati pemberian Tuhan padaku, mungkin inilah taqdirku, bermain dengan kebebasan bersama wanita-wanita hinaku.
Seperti inilah diriku, bernasib layak-nya Adam, yang kemuliaannya runtuh lantaran rayuan seorang wanita, membuatnya terusir dari kemasyhuran surga yang berlimpah. Adam, sosok lelaki yang termulia, mengalahkan berjuta-juta ciptaan-Nya, dengan kedudukannya yang begitu tinggi bahkan malaikat pun ridha bersujud padanya. Namun, kehadiran Hawa, wanita yang hakikatnya hadir dari bagian kecil dari Adam itu sendiri, telah menghancurkan prestasi yang dicapai sang lelaki mulia itu. Adam, lelaki yang telah kehilangan surganya karena bujukan wanita untuk melanggar aturan Tuhannya. Adam, seorang nabi yang terperdaya oleh seorang wanita, lantas bagaimana denganku? Kubukan seorang Nabi yang dilindungi langsung oleh Tuhan, bukan pula manusia istimewa yang malaikat pun akan ridho bersujud mengabdikan dirinya. Aku hanya manusia biasa, yang begitu lemah dari rayuan wanita, yang dengan mudahnya menjadi budak wanita. Maka salahkah aku jika saat ini aku menyuarakan kebencianku pada makhluk wanita itu?
Aku bukan makhluk mulia, yang segala tindakannya di bawah bimbingan Tuhan, aku hanya lelaki yang bertindak sesuai nafsuhku, bahkan nafsuhku telah menjadi raja di raja dalam diriku. Kiranya masih berlaku budaya raja kedzaliman, layaknya raja di masa kejahilian, yang saat itu wanita tidak akan dibiarkan untuk menikmati sedetikpun kebahagiaan, maka andaikan bisa, akulah yang akan menjadi pewaris raja itu. Akan aku kubur kembali wanita-wanita bersama kehinannya, akan aku perlakukan wanita-wanita itu lebih hina daripada daun pisang, akan aku perintahkan laki-laki untuk menikmati tubuhnya setelah itu aku suruh para lelaki membunuhnya. Sungguh dahsyat kehidupanku, tak ada lagi wanita yang akan membuatku menangis, tak ada lagi wanita yang memberikan rayuannya untuk mengasingkanku dari kemewahan hidup ini. Karena mereka telah berada kehinaan jauh di bawah telapak kakiku, bahkan jika wanita-wanita ingin mencium kakiku, aku tidak akan goyang terpengaruh untuk mengampuninya, tidak akan.
Aku ingin kembali ke kehidupan dahulu, jauh ke dahulu, agar aku bisa menemukan masa di mana wanita berada di bawah siksaan para lelaki, aku ingin melihat penderitaan para wanita, sungguh aku akan sangat bahagia melihat Kenyataan itu.
Tidak mengapa, sungguh aku tidak kebaratan jika takdirku tidak bisa hidup di masa dahulu, itu bukan masalah lagi bagiku, karena sekarang pun telah kukuasai kehidupan wanita-wanita. Bedanya, mungkin jika dahulu para wanita berteriak pilu ingin keluar dari kehinaan itu, namun untuk sekarang, bukan saja wanita tidak lagi meneriaki kebebasan itu, bahkan mereka sendiri yang selalu menyerahkan dirinya untuk dihinakan.
Aku bersyukur, karena mampu menguasai raga makhluk wanita, tanpa ada keberatan dari mereka, sungguh itu menjadi momen ternikmat sebagai tanda balas dendamku pada wanita yang telah merendahkanku, meninggalkanku bersama keegoisannya.
. . . . . .


Hari-hari kulewati seakan tidak mengenal siang, yang ada hanya kegelapan malam bersama gelapnya hati ini sebagai sang penguasa diri, layaknya matahari yang perlahan-lahan tenggelam di ufuk barat, siang pun telah digantikan oleh kegelapan malam ditemani bintang-bintang dan rembulan sebagai penghiasnya. Adzan maghrib berkumandang di setiap masjid kota Makassar, memanggil para hamba-Nya untuk bersimpuh bermu-najat serta mengadukan permohonannya kepada Sang Penerima do’a.
Terdapat masjid kecil di sebuah kampung yang masih menjadi bagian kota metropolitan ini sedang melaksakan shalat  berjama’ah. Kudekati masjid itu dan kudengar suara lantunan surah Al-Fatihah terdengar merdu dari sang imam, setelah itu imam melanjutkan membaca ayat lain, suara yang merdu itu perlahan berubah menjadi suara yang seakan diiringi ta-ngisan, ternyata benar, imam meneteskan air mata seraya membaca ayat-ayat-Nya, beliau terhanyut dalam kenikmatan firman-Nya, membuatnya tak menyadari banyaknya ayat yang dibacanya.
Kulihati dari luar sebaris wanita sedang mengikuti gerakan lelaki di depannya yang bertindak sebagai sang imam, para wanita itu terlihat khusyuk dalam shalatnya. aku berusaha mencoba mengalihkan kekhusyukan mereka, kulangkahkan kaki memasuki wilayah suci itu dengan pakaian yang tak layak di terima oleh rumah Tuhan. Tanpa kupedulikan apapun, langsung saja kutatap tajam satu persatu wanita itu kemudian kudekati mereka. Lihatlah wanita-wanita ini, mereka tidak bisa, dan tidak akan bisa mencapai derajat yang sama dengan lelaki, aku berada tepat di hadapan wanita-wanita itu kemudian kuhasut mereka.
“Wanita, mengapa kalian relah berada di posisi belakang dan membiarkan lelaki di depanmu, mengapa kamu begitu bodoh mau mengikuti apa yang dilakukan orang yang ada didepanmu, bukankah mereka tidak melihat apa yang kau lakukan di belakangnya?
Wanita, dirimu sangatlah rendah, kamu tidak mungkin melampaui kehendak lelaki, kedudukanmu yang berada di belakang lelaki menunjukkan kerendahanmu, sungguh jika kau tidak menyadari kedudukanmu yang rendah ini, dan melawan batas-batas kehendak pada lelaki, maka kau bisa meruntuhkan derajat para lelaki yang sedang berdiri di depanmu, sama halnya yang di lakukan Alya, wanita yang telah berhasil meruntuhkan dera-jatku, karena dia tidak sadar akan kedudukannya terhadapku. Lantas, kenapa tidak kau lakukan itu, kenapa kamu hanya terdiam mengikuti lelaki yang di depanmu, lepaskan saja kewibawaanmu untuk tetap menjadi pengikut lelaki itu kemudian kau berjalan kedepannya dan merampas kuasa mereka.”
Kuhasud mereka satu persatu, layaknya iblis yang tidak mengenal kata menyerah dalam usahanya menghasud manusia, berusaha menimbulkan kebencian di antara mereka, layaknya iblis yang selalu berhasil menimbulkan kebencian diantara manusia. Namun, sedikitpun wanita-wanita itu tak tergoyahkan olehku, hingga kuberanikan tanganku memegang satu persatu tangan wanita-wanita itu, alhasil, kekhusyukan yang susah paya mereka ciptakan, akhirnya aku berhasil merombak kekhusyukan mereka bahkan  berubah menjadi keributan.
Mendengar keributan wanita-wanita itu, Aku menoleh ke arah para lelaki yang berbaris di depan wanita-wanita ini, kulihati mereka mulai tidak tenang lantaran mendengar suara wanita-wanita yang bermula dari kelakuanku. Sesama makhluk lelaki, aku tidak mungkin membuat para lelaki itu terputus percakapannya dalam kekhusyukan kepada Tuhannya, namun aku juga tidak mungkin mendekati mereka dan menyuruhnya untuk tetap khusyuk pada keadaannya. Dengan kata lain, aku harusnya mengembalikan keributan wanita-wanita ini pada keadaan diam seribu diam, agar para lelaki bisa menikmati percakapannya dengan Tuhan. Kembali lagi aku mendekati mereka dan   berusaha membuat wanita-wanita itu diam, namun semakin aku mendekati dan menyuruhnya diam, bukan ketenangan yang tercipta, tapi malah keributan yang meluas terjadi, satu persatu wanita membubarkan shalatnya kemudian keluar dari rumah Tuhannya.
Karena kegaduan yang kuperbuat membuat shalat berjama’ah saat itu terganggu, bahkan sang imam yang saat itu sedang khusyuk menikmati ayat-ayat al-Qur’an, seketika terbengkalai dan melupakan lanjutan bacaannya.
Setelah melaksanakan shalat, aku diseret keluar masjid oleh warga bersama kemarahannya lantaran perbuatanku. Maksud aku menciptakan penghasutan hanya pada wanita, karena wanitalah yang menjadi pusat perhatian yang ingin aku hancurkan, namun perbuatanku itu ternyata tidak hanya berdampak buruk pada wanita, bahkan jama’ah lelaki pun menjadi korban kegaduan yang kuciptakan. Akhirnya seketika saja tangan-tangan warga mendarat keras ke bagian-bagian tubuhku, begitu sakit yang kurasakan membuatku tak sanggup membuka mata.
Setelah beberapa saat aku tak sadarkan diri, kudengar tangisan dari luar kelopak mataku, tangisan yang tak biasanya terdengar dari telingaku, suara tangisan itu seakan melambai-lambai untuk membangunkanku dari ketidaksadaran dalam kesakitanku. Meski ini pertama kalinya aku mendengar tangisan itu, namun suara kesedihan terasa dekat dan menyatu dalam benakku, sampai-sampai aku menganggap bahwa suara itu berasal dari tubuh luarku sendiri. Tapi tidak, suara itu bukan berasal dari tubuhku, tidak mungkin diri yang hina ini menangisi kehinaannya sendiri.
Suara itu lagi dan lagi terus terdengar dari luar, aku merasakan suara itu menggetarkan ragaku, menusuk jauh kedalam sukmaku, namun pikirku sungguh tak mampu menjangkau siapa pemilik tangisan itu. oh ternyata suara tangisan itu berasal dari makhluk Tuhan yang termulia, satu wanita dari berjuta-juta wanita yang hanya dia seorang yang menjadi wanita surgaku, dialah sang ibu.
Berbeda dengan wanita lainnya, ibu adalah tempatku membangun surga Tuhan, kalau wanita lain kulakukan dengan serendah-rendahnya tetapi untuk wanita Tuhan ini kuberikan martabatku sepenuhnya. Di saat aku menyiksa piluh para wanita, di saat itu juga kutinggikan derajat sang ibuku, bagiku di dunia ini hanya ada satu wanita yang pantas aku angkat derajatnya, dia adalah ibuku, beribu pengorbanan tak mampu menjadi balasan pengabdian atas jasa sang ibu untuk anaknya.
Ibu, kini sedang menangisi anaknya yang sedang terbaring dengan luka-luka di tubuhku ini. Aku, anak yang menjadi tombak tunggal anugrah yang di berikan Tuhan kepada ibu, tidak hanya gagal mengasah diri untuk menjadi pembawa kegembiraan keluarga, bahkan diriku kini menjadi bencana keluarga, dan hanya mengalirkan air mata kesedihan ibu.
Perlahan-lahan kubuka kedua kelo-pak mataku dan kulihat kedua pipi sang ibuku yang sedang basah tengah air matanya, air mata yang menjadi kunci surgaku, air mata yang menjanjikan surga jika dia mengalir karena kebahagiaan, namun akan berdampak neraka jika dia keluar dai mata sang ibu lantaran kesedihan dan kemarahan lantaran kedurhakaan anaknya. Dan sekarang air mata sosok makhluk Tuhan yang mulia itu mengalir dari kelopak wanita yang menjadi malaikat Tuhan, sungguh bergemuruh keresahan itu, bercampur aduk dengan ketakutan atas siksaan yang kelak aku terima karena dosaku ini.
Keresahan, dan ketakutanku memunculkan seribu tanya tentang keadaan wanita Tuhan ini, bagaimana mungkin beliau bisa begitu rapuh dengan air matanya tatkala melihat anaknya dalam keadaan terluka ini. Dalam benakku bertanya-tanya, apa yang ibuku rasakan sehingga dia harus meneteskan air matanya untuk anaknya yang sekarang dilanda kehinaan ini, bagaimana mungkin beliau menangisi anaknya yang bahkan aku sendiripun tak meneteskan air mata?, bukankah ibuku bisa bertindak kejam padaku di saat keadaan lemahku ini? Bahkan ibu bisa melepaskan statusku sebagai anaknya apalagi keadaanku sudah sehina ini.
Aku berusaha menyadarkan diri, kemudian bangkit dari tempat tidurku, saat itu entah setan apa yang merasuki jiwaku, sehingga tak sedikitpun terlintas di benak-ku untuk mengucapkan maaf kepada wanita Tuhanku, kulepaskan genggaman tangan ibu, kuabaikan tangisannya dan kebalikkan badanku beranjak meninggal-kannya. Tanpa merasakan penyesalan sedikitpun aku langsung beranjak menuju ke tempat nongkrongku, tempat di mana dosa-dosa akan aku jumpai di dalamnya.
“mauki ke mana nak?, istirahatlah dulu, kamu sedang sakit, nak, nak, nak!” suara wanita mulai itu tak kupedulikan.
Tak sedikit aku berbalik melihati ibu, sungguh  saat itu tak sedikitpun aku memperhatikan bagaimana perasaan si wanita mulia itu, perasaanku kini sesat dalam kepekaan cinta kasih ibu, seketika saja setan begitu berhasil mengalahkanku dari kepedulian pada ibuku, sungguh aku merasa telah berbuat dosa besar, namun di saat yang sama keegoisanku tidak terkalahkan untuk tidak menatap kesedihan nan menyakitkan yang di alami ibuku, aku pergi ke tempat yang penuh dosa, dan meninggalkan tempat  yang penuh kemasyhuran surga.
Aku meninggalkan rumah dan memilih untuk hidup di jalanan bersama para pelaku dosa lainnya, aku yang menjadi bos preman atas pelaku dosa itu dengan mudah dapat berbuat sesuka hatiku serta bisa memerintahkan bawahanku untuk melakukan apapun yang aku inginkan. Hidup di jalan dan menjadi bos preman, membuat onar adalah bagian dalam hidupku membuatku menjadi makhluk yang paling dibenci oleh masyarakat. Tidak heran jika keresahan masyarakat semakin lama sema-kin tak dapat terkendalikan hingga menjadi sebuah kemarahan.
. . . . .


Pagi ini, rumahku kedatangan banyak tamu yang tak diundang, satu persatu ketukan pintu terdengar sangat keras, seraya suara warga terdengar ramai dari balik pintu, seakan ingin mendobrak pintu lalu merobohkan rumahku. Ibu yang sedang menyiapkan sarapan, seketika saja menjatuhkan piring kesana-kesini, mendengar ketukan-ketukan dari pintu dengan kerasnya. wajah ibu menjadi pucat nan penuh kesedihan, membuatnya segera memanggilku. Aku yang sedang keasyikan tidur, mencoba tak menghiraukannya panggilan itu, aku masih ingin istirahat, menaungi mimpi yang lebih nikmat dibandingkan kenyataan hidup ini. Aku tidak mau bangun dari mimpi panjang ini, sungguh sudah enak hidup dengan bunga tidurku, tak perlu lagi ada kenyataan, itu hanya membuatku semakin menderita. Inilah surgaku, surga yang kubangun  dalam dunia tidurku.
Aku mendengar suara teriakan tak enak, yang membuyarkan keindahan mimpiku, menghancurkan kisah kenikmatan surga yang tengah kunimati dari berbagai sudut bunga tidurku. Kudengar suara itu begitu mengacaukan mimpiku, namun teriakan itu sama sekali tak membuatku marah akan kehilangan mimpiku, aku bahkan menggusur mimpi-mimpi itu dan mengejar suara teriakan itu, yah itu suara teriakan dari sang ibuku. Aku dengan cepat membangkitkan tubuh yang masih menginginkan untuk tetap terbaring, aku beranjak meninggalkan kasurku lalu kupaksakan diri untuk menengok kebalik pintu kamarku, menyaksikan amarah ma-syarakat yang saat itu telah berada dalam ruangan ruamhaku.
Tabe’, kami terpaksa datang tanpa pemberitahuan sebelumnya” kata Pak RT yang saat itu memimpin segerombolan orang yang mengikutinya dari belakang.
“kenapaki tiba-tiba datang pak RT, kenapa banyak sekali orang?” tanya ibu kebingungan melihat orang-orang berkerumun diruang tamu.
“warga tidak suka dengan perilaku Andi, anakmu sudah sangat berlebihan, Andi dianggap telah menghancurkan nama baik kampung ini, ma’pakasiri’ kalau Andi terus ada di sini, karena itu kami meminta agar Andi mengerti keadaannya, dan sesegera mungkin untuk meninggalkan kampung ini” kata pak RT pada Ibu.
“betul, Andi harus tinggalkan kam-pung ini”
“betul, anakta tak pantas tinggal di kampung ini lagi”
“pokoknya kami tidak mau lagi me-lihat Andi, kalau sampai nanti siang Andi belum juga pergi dari kampung ini, maaf saja, terpaksa kami akan mengusirnya dengan paksa”. satu persatu warga menyuarakan kemarahannya, mereka telah sepakat untuk mengusirku dari kampung ini.
Setelah mengungkapkan kegelisahan serta pernyataan ingin mengusirku, satu persatu dari masyarakat itu pun keluar meninggalkan rumahku. kudengar suara masyarakat begitu menyatu untuk mengusirku, aku hanya bisa melihat keadaan resah ini dari dalam kamarku, aku ingin keluar merangkul ibu yang tengah sendirian menghadapai masalah keluarga yang di sebabkan karenaku, aku ingin memberinya ketenangan dalam mengha-dapi masalah ini, namun keadaanku sungguh tak mampu melakukannya. ibuku yang malang sungguh tak mampu lagi mengatasi kemarahan masyarakat, hanya tangislah yang mewakili kesedihannya, hendak apa yang harus dilakukannya beliaupun tak tahu.
Berada di daerah yang masyarakatnya sangat menjunjung tinggi harga diri, menjadi setiap orang yang hidup dalam budaya ini bangga, tapi penuh kewaspadaan, lantaran harus selalu memperhatikan tingkah lakunya, karena apa yang dilakukannya tidak hanya berkaitan dengan dirinya, tetapi juga akan mempengaruhi keluarga, bahkan masyarakat luas di daerah ini.
Budaya siri na pacce menjadi diri seorang yang hidup di daerah Bugis-Makassar, sangat menjunjung tinggi harga diri dan kehormatan itulah makna kultural dari kata siri na pacce itu, Dengan budaya seperti itu, jika melakukan kesalahan terhadapnya maka sungguh kata maaf pun tak cukup untuk memperbaikinya, dan kehormatan masyarakat kini telah dinodai oleh perbuatanku.
Kini, Aku hanya bisa melihatnya dari dalam kamar, dengan segala kebaikan yang dilakukan oleh ibu sungguh membuat diriku menjadi makhluk paling pengecut, kudengar suara kebingungan terucap dari sosok penyambung Tuhanku itu, tak tahu harus berucap apa agar anaknya ini bisa memahami keadaannya. Menghadapi musibah yang berlimpah ini, ibu hanya bisa berdo’a pada Sang Pengabul do’a.
Keadaan ibu kini membaur dalam sukmaku, menggetarkan jiwa dan ragaku untuk membaca keadaannya, memancarkan cahaya kesadaran akan hakikat mahigai kekeluargaan, entah aku harus ikut menangisi keadaan ini, atau harus berlari dari keadaan ini, demi Tuhan Sang Pemberik kasih sayang, sungguh aku hanya ingin melihat bidadari surgaku itu tersenyum, menikmati hari-harinya dengan rasa bangga pada anaknya ini.
Kulihati foto besar yang terpampan di atas ranjangku, foto keluargaku yang begitu indah nan menyejukkan, kulihati senyuman dari sang ayah seakan memberikan secerca cahaya jalan keluar atas kebimbangan duniaku sekarang. Inilah bisikan Tuhan, yang kuyakin kelak membawaku pada kehidupan yang bermanfaat untuk keluargaku. Kutekadkan niatku untuk berbenah akhlak, menyiapkan diri untuk menjalani hidup baru. Kutahu itu hal yang tidak mudah, namun inilah jalan yang harus aku tempuh untuk mengem-balikan taman indah dalam keluargaku.
Satu persatu barang-barangku kusediakan untuk membantu rihlaku, pakaian-pakaian kumasukkan satu persatu ke dalam koperku yang kelak akan melindungiku dari cakraman cuaca, lukisan, album foto, dan benda-benda yang berhubungan dengan Alya pun ikut masuk mengisi ruang koperku, bukan karena Alya, tapi karena aku tidak ingin kenangan indahku hilang begitu saja, karena cinta bukan tentang aku dan Alya, tapi tentang cerita indah yang pernah kujalani, dan akan tetap kujaga cerita itu, sampai nanti Tuhan menyadarkanku bahwa kenangan dengan Alya harus aku lepaskan.
Setelah perlengkapan-perlengkapan hijrahku siap menemaniku dalam perjalanan baruku, akupun membuka pintu perlahan-lahan, dengan pelannya kulangkahkan kakiku menghampiri wanita Tuhanku yang masih menangisi keadaan keluargaku sambil memperhatikan foto keluarga kami. Melihat keadaan ibu, lagi-lagi membuatku tak sanggup untuk mengungkapkan niatku ini, aku takut jikalau niatku hanya membuat kesedihan ibu semakin bertambah. Dengan keadaan ibu ini membuatku ingin membatalkan niat hijrahku, aku berbalik membelakangi ibu dan kembali melangkah ke kamar kediamanku.
“Hendak kemana kamu nak ?” Tanya Ibuku dengan nada yang lemahnya.
Mendengar suara ibu, aku meng-hentikan langkahku yang hendak ke kamar, kemudian kubalikkan seluruh tubuhku bersama panggilan sang wanita Tuhan itu. Bergetar ragaku dalam kebimbangan yang berlimpah seraya berlajan mendekati wanita muliaku.
“ibu, mauka berubah,” terungkap niat baruku, tak kusadari air mata telah tertetes membasahi kelopak. “izinkan buah hatimu ini untuk mencari cahaya kehidupan di tempat lain, bukan saya tak senang di tempat ini, apalagi dengan ibu, namun kehadiranku di sini telah banyak menyusahkan ibu, dan masyarakat. Izinkan saya bu, izinkanlah anakmu yang hina ini untuk berhijrah menuju jalan kehidupan yang layak.” terangku bertekuk lutut kepadanya.
Tanpa sepata kata, ibu membangunkanku kemudian memelukku seerat-eratnya, terteteskan air matanya begitu deras membasahi kedua pipinya yang sedang tersandar pada pundak kananku. Keadaan ibu membaur tajam ke seluruh tubuhku, membuat gejolak dari hati seakan memerintahkan pada bawahan-bawahannya untuk cepat membuka pintu baru itu. Kubiarkan keadaan itu mengalir, aku tak berani melepaskan pelukan ibuku, kutu-nggu sampai beliau sendiri yang menyelesaikannya.
“Bagaimana dengan ibu nak ?” Apakah kau akan meninggalkanku sendirian?
pammo’porangka bu, sungguh maafkanlah anakmu ini, saya tidak tahu harus berbuat apa dengan keadaan ini bu, saya juga tidak ingin lepas dari kasih sayangmu, tidak ingin pergi meninggalkan rumah ini, namun kehadiranku sungguh telah mendatangkan musibah bagi keluarga kita, masyarakat pun sudah muak dengan keberadaanku di kampung ini. Maka saya tundukkan penghormatanku memohon padamu ibu agar meridhoi keputusanku ini, sungguh saya melihat cahaya kehidupan yang lebih baik di tempat lain. Jika itu telah kugapai, saya akan kembali ke sini, bersemi dalam pelukanmu lagi.” Setelah kumantapkan niatku, akupun ber-usaha menyeruakan alasan atas keinginan kepergianku mencari cahaya itu.
“lantas mauki pergi ke mana nak?”
“ke jawa, bu. Pulau yang kaya akan budaya kebaikan, di sana aku ingin mencari cahaya akhlak yang lebih baik bu, aku yakin di sanalah tempatnya yang tepat untuk aku jadikan perjalanan baruku.”
“itu terlalu jauh nak”
“semakin jauh perjalanan kebaikan seseorang, akan semakin besar pula rahmat yang melimpahinya. Tenanglah bu, insyaAllah, Allah bersamaku, dan bersama ibu pula, insyaAllah kepergianku ini akan tercatat sebagai jihad fi sabilillah”.
“tapi nak, bagaimana dengan kerinduanku ini nak, tidakkah kau pikirkan itu nak, akan panjang perjalananmu, dan akan kau tinggalkan ibumu yang sendiri ini. jika kamu sudah tidak ada di rumah ini, kepada siapa aku curahkan isi hati ibu ini. wahai anakku cobalah sekali lagi pikirkan dengan pilihanmu ini”
“sungguh Allah Maha Penolong bu, aku pergi untuk mencari kebaikan, aku yakin Allah tidak akan menyia-nyiakan setiap usaha hamba-Nya, Dia akan memberikan ketenangan dalam kerinduanmu bu, sungguh meski jarak memisahkan kita, tapi Do’a akan selalu menghubungkan kita, ridhokanlah anakmu ini memilih jalan perantauan.”
“jika niatmu demekian nak, kuikhlaskan kamu menapaki jalan Tuhan, semoga kelak kamu menjadi anak yang shaleh.”
Setelah mendapatkan ridhonya, kutundukkan badanku seraya tanganku menggapai lembut kedua telapak kaki beliau, kemudian kucium kedua pipi wanita surgaku ini teriring air mata kasih sayangku. Bersama Do’a oleh wanita Tuhanku ini  kulangkahkan kaki perlahan-lahan menjauh dari dekapan ibu,  mendekati pintu  utama rumahku, tanganku lagi-lagi ber-getar tatkalah pintu tempat mahligai ke-luargaku ini, seakan gemuruh kesedihan  itu juga dirasakan oleh rumahku.
Tatkala selangkah telah meninggal-kan ruang rumahku, ternyata segerombolan masyarakat masih berada di depan rumahku, yang ternyata sedang menantikan kepergianku meninggalkan kampung mereka. Kulihati mereka satu persatu, nampak harapan mendalam mereka telah terkabul atas kepergianku, tanpa terucap sepata kata dari mereka sungguh jelas ketidak senangan mereka selama kehadiranku, terlihat kebahagian yang melimpah tatkalah melihatku meninggalkan mahligai keluargaku.
Langkah perlangkah kakiku menjauhkanku dari pandangan ibuku yang tengah tersedih pilu dengan kepergian anaknya, di saat yang sama wajah riang masyarakat semakin menampakkan kebenarannya.
Telah kulepaskan istana kekeluargaanku, telah kutinggalkan wanita penyambung Tuhanku demi niat mencari cahaya Tuhanku. Kalau saja Tuhan menuliskan Taqdir dalam benang kesucian maka aku rela atas segalanya dan akan kucari itu meski harus memulai hidup baru.
Ibu, kutinggalkan wanita termulia dalam hidupku, wanita yang kehadirannya dipilih langsung oleh sang Maha Pengasih untukku, setiap kasih sayangnya menggambarkan kasih sayang Tuhanku. Ibu, dalam sadar selalu menengedahkan do’a untuk anaknya yang dia cintai ini.
Ibu, wanita yang pertama kali kudengar suara kasih sayangnya, yang telah mengajariku membuka mata untuk menikmati ciptaan-ciptaan-Nya, mendengarkan lantunan ayat-ayat-Nya, memberikan-ku perhatian penuhnya yang kadang tak sadarkan bahwa dirinya telah terluka karenaku. Dialah yang dengan kasih sayangnya melawan rasa sakit demi menjaga kesehatanku, dia yang dengan tangannya melambai-lambai menjemputku, kemudian memelukku dengan kasih sayangnya. Dia yang tidak pernah mengeluh atas kenakalanku, membuatku mengetahui arti sebuah kehidupan dengan kasih sayangnya.
Telah kutinggalkan wanita yang menjadi tangan Tuhan, yang mampu membolak-balikkan ridho Tuhan. Dia yang dengan mudah bisa menderitakan anaknya, menyiksa, bahkan mengutuk anaknya jika dia berkehendak. Namun, semua itu tidak pernah terlintas dalam benak ibuku, kurasakan kasih sayangnya selalu tercurah pada anaknya ini. Sungguh jika ungkap betapa besar kasih sayang dari sang ibu maka meski batang-batang pepohonan menjadi tinta, dan air di lautan menjadi tintanya, sungguh itu tak sanggup mencukupi kebesaran kasih sayang dari sang ibu.
Aku yang telah jauh meninggalkan ibu, hanya menyandarkan pada  Tuhan atas kebaikan ibuku, semoga Tuhan senantiasa melindunginya, memberinya kenikmatan yang berlimpah, sebagaimana kenikmatan yang dijanjikan pada wanita-wanita surgawi. Aku yakin ibuku akan mendapatkan kenikmatan surga, layaknya Khadijah bintu Khuwailid dengan pres-tasinya sebagai wanita suci yang cahaya keislamanan bermula dari rumahnya, layaknya Zainab bintu Jahsyn yang kezu-hudannya menjadikannya wanita surga, layaknya Ruman bintu Amir dengan prestasi sebagai ibu yang kasih sayangnya dalam mendidik anak, layaknya Hafshah bintu Umar yang senantiasa senang berpuasa dan shalat malam, serta layaknya wanita-wanita lainnya yang dijamin masuk surga. Kelak ibu akan mendapatkan limpahan kenikmatan atas kebaikan yang dia tanamkan padaku, sungguh yang demikian menjadi do’a yang akan selalu kupanjatkan selama perantauanku.

. . . . . . .

Lanjut ke Warna Wanita berikutnya . . . . 


(Terima kasih telah membaca, untuk lebih lengkapnya, tulisan ini termuat 
dalam sebuah novel berjudul Warna Wanita)

Related Posts

Warna Wanita: Birunya Wanita Tuhan
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.