BIRU-NYA WANITA TUHAN
SEIRING berubahnya cintaku menjadi kebencian kepada Alya, yang
mengakibatkan berubahnya pula pa-ndanganku tentang wanita-wanita, membuat
hidupku juga berubah, yang dulunya tak mengenal pergaulan bebas, namun kini
kehidupan bebas itu menyatu denganku, bahkan aku telah berhasil menempati
posisi sebagai bos preman di kampungku.
Malam-malam
berkuasa dengan menutupi kecerahan siang, begitu gelap berada dalam kehampaan
dunia ini, hanya duka dan kebencian menyelimuti malam-malamku, tak jarang
kulampiaskan amarahku pada wanita-wanita hina, makhluk yang dulunya begitu
kudambakan, kini hanya menjadi pelampiasan nafsuhku semata, tidak akan
lebih dari itu.
Aku adalah bos
preman yang terkenal di kampungku, tak kusia-siakan posisiku, kucabut aturan
moral yang membatasi kebebasanku, tak peduli kata orang tentang kehidupanku,
kuhanya menikmati pemberian Tuhan padaku, mungkin inilah taqdirku, bermain
dengan kebebasan bersama wanita-wanita hinaku.
Seperti inilah
diriku, bernasib layak-nya Adam, yang kemuliaannya runtuh lantaran rayuan
seorang wanita, membuatnya terusir dari kemasyhuran surga yang berlimpah. Adam,
sosok lelaki yang termulia, mengalahkan berjuta-juta ciptaan-Nya, dengan
kedudukannya yang begitu tinggi bahkan malaikat pun ridha bersujud padanya.
Namun, kehadiran Hawa, wanita yang hakikatnya hadir dari bagian kecil dari Adam
itu sendiri, telah menghancurkan prestasi yang dicapai sang lelaki mulia itu.
Adam, lelaki yang telah kehilangan surganya karena bujukan wanita untuk
melanggar aturan Tuhannya. Adam, seorang nabi yang terperdaya oleh seorang wanita,
lantas bagaimana denganku? Kubukan seorang Nabi yang dilindungi langsung oleh
Tuhan, bukan pula manusia istimewa yang malaikat pun akan ridho bersujud
mengabdikan dirinya. Aku hanya manusia biasa, yang begitu lemah dari rayuan
wanita, yang dengan mudahnya menjadi budak wanita. Maka salahkah aku jika saat
ini aku menyuarakan kebencianku pada makhluk wanita itu?
Aku bukan
makhluk mulia, yang segala tindakannya di bawah bimbingan Tuhan, aku hanya
lelaki yang bertindak sesuai nafsuhku, bahkan nafsuhku telah menjadi raja di
raja dalam diriku. Kiranya masih berlaku budaya raja kedzaliman, layaknya raja
di masa kejahilian, yang saat itu wanita tidak akan dibiarkan untuk menikmati
sedetikpun kebahagiaan, maka andaikan bisa, akulah yang akan menjadi pewaris
raja itu. Akan aku kubur kembali wanita-wanita bersama kehinannya, akan aku
perlakukan wanita-wanita itu lebih hina daripada daun pisang, akan aku perintahkan
laki-laki untuk menikmati tubuhnya setelah itu aku suruh para lelaki membunuhnya.
Sungguh dahsyat kehidupanku, tak ada lagi wanita yang akan membuatku menangis,
tak ada lagi wanita yang memberikan rayuannya untuk mengasingkanku dari
kemewahan hidup ini. Karena mereka telah berada kehinaan jauh di bawah telapak
kakiku, bahkan jika wanita-wanita ingin mencium kakiku, aku tidak akan goyang
terpengaruh untuk mengampuninya, tidak akan.
Aku ingin
kembali ke kehidupan dahulu, jauh ke dahulu, agar aku bisa menemukan masa di
mana wanita berada di bawah siksaan para lelaki, aku ingin melihat penderitaan
para wanita, sungguh aku akan sangat bahagia melihat Kenyataan itu.
Tidak mengapa,
sungguh aku tidak kebaratan jika takdirku tidak bisa hidup di masa dahulu, itu
bukan masalah lagi bagiku, karena sekarang pun telah kukuasai kehidupan
wanita-wanita. Bedanya, mungkin jika dahulu para wanita berteriak pilu ingin
keluar dari kehinaan itu, namun untuk sekarang, bukan saja wanita tidak lagi
meneriaki kebebasan itu, bahkan mereka sendiri yang selalu menyerahkan dirinya
untuk dihinakan.
Aku bersyukur,
karena mampu menguasai raga makhluk wanita, tanpa ada keberatan dari mereka,
sungguh itu menjadi momen ternikmat sebagai tanda balas dendamku pada wanita
yang telah merendahkanku, meninggalkanku bersama keegoisannya.
. . . . . .
Hari-hari
kulewati seakan tidak mengenal siang, yang ada hanya kegelapan malam bersama
gelapnya hati ini sebagai sang penguasa diri, layaknya matahari yang
perlahan-lahan tenggelam di ufuk barat, siang pun telah digantikan oleh
kegelapan malam ditemani bintang-bintang dan rembulan sebagai penghiasnya.
Adzan maghrib berkumandang di setiap masjid kota Makassar, memanggil para
hamba-Nya untuk bersimpuh bermu-najat serta mengadukan permohonannya kepada
Sang Penerima do’a.
Terdapat masjid
kecil di sebuah kampung yang masih menjadi bagian kota metropolitan ini sedang
melaksakan shalat berjama’ah. Kudekati
masjid itu dan kudengar suara lantunan surah Al-Fatihah terdengar merdu dari
sang imam, setelah itu imam melanjutkan membaca ayat lain, suara yang merdu itu
perlahan berubah menjadi suara yang seakan diiringi ta-ngisan, ternyata benar,
imam meneteskan air mata seraya membaca ayat-ayat-Nya, beliau terhanyut dalam
kenikmatan firman-Nya, membuatnya tak menyadari banyaknya ayat yang dibacanya.
Kulihati dari
luar sebaris wanita sedang mengikuti gerakan lelaki di depannya yang bertindak
sebagai sang imam, para wanita itu terlihat khusyuk dalam shalatnya. aku
berusaha mencoba mengalihkan kekhusyukan mereka, kulangkahkan kaki memasuki
wilayah suci itu dengan pakaian yang tak layak di terima oleh rumah Tuhan.
Tanpa kupedulikan apapun, langsung saja kutatap tajam satu persatu wanita itu
kemudian kudekati mereka. Lihatlah wanita-wanita ini, mereka tidak bisa, dan
tidak akan bisa mencapai derajat yang sama dengan lelaki, aku berada tepat di
hadapan wanita-wanita itu kemudian kuhasut mereka.
“Wanita,
mengapa kalian relah berada di posisi belakang dan membiarkan lelaki di
depanmu, mengapa kamu begitu bodoh mau mengikuti apa yang dilakukan orang yang
ada didepanmu, bukankah mereka tidak melihat apa yang kau lakukan di
belakangnya?
Wanita, dirimu
sangatlah rendah, kamu tidak mungkin melampaui kehendak lelaki, kedudukanmu
yang berada di belakang lelaki menunjukkan kerendahanmu, sungguh jika kau tidak
menyadari kedudukanmu yang rendah ini, dan melawan batas-batas kehendak pada
lelaki, maka kau bisa meruntuhkan derajat para lelaki yang sedang berdiri di
depanmu, sama halnya yang di lakukan Alya, wanita yang telah berhasil
meruntuhkan dera-jatku, karena dia tidak sadar akan kedudukannya terhadapku.
Lantas, kenapa tidak kau lakukan itu, kenapa kamu hanya terdiam mengikuti
lelaki yang di depanmu, lepaskan saja kewibawaanmu untuk tetap menjadi pengikut
lelaki itu kemudian kau berjalan kedepannya dan merampas kuasa mereka.”
Kuhasud mereka
satu persatu, layaknya iblis yang tidak mengenal kata menyerah dalam usahanya
menghasud manusia, berusaha menimbulkan kebencian di antara mereka, layaknya
iblis yang selalu berhasil menimbulkan kebencian diantara manusia. Namun,
sedikitpun wanita-wanita itu tak tergoyahkan olehku, hingga kuberanikan
tanganku memegang satu persatu tangan wanita-wanita itu, alhasil, kekhusyukan
yang susah paya mereka ciptakan, akhirnya aku berhasil merombak kekhusyukan
mereka bahkan berubah menjadi keributan.
Mendengar
keributan wanita-wanita itu, Aku menoleh ke arah para lelaki yang berbaris di
depan wanita-wanita ini, kulihati mereka mulai tidak tenang lantaran mendengar
suara wanita-wanita yang bermula dari kelakuanku. Sesama makhluk lelaki, aku
tidak mungkin membuat para lelaki itu terputus percakapannya dalam kekhusyukan
kepada Tuhannya, namun aku juga tidak mungkin mendekati mereka dan menyuruhnya
untuk tetap khusyuk pada keadaannya. Dengan kata lain, aku harusnya
mengembalikan keributan wanita-wanita ini pada keadaan diam seribu diam, agar
para lelaki bisa menikmati percakapannya dengan Tuhan. Kembali lagi aku
mendekati mereka dan berusaha membuat
wanita-wanita itu diam, namun semakin aku mendekati dan menyuruhnya diam, bukan
ketenangan yang tercipta, tapi malah keributan yang meluas terjadi, satu
persatu wanita membubarkan shalatnya kemudian keluar dari rumah Tuhannya.
Karena kegaduan
yang kuperbuat membuat shalat berjama’ah saat itu terganggu, bahkan sang imam
yang saat itu sedang khusyuk menikmati ayat-ayat al-Qur’an, seketika
terbengkalai dan melupakan lanjutan bacaannya.
Setelah
melaksanakan shalat, aku diseret keluar masjid oleh warga bersama kemarahannya
lantaran perbuatanku. Maksud aku menciptakan penghasutan hanya pada wanita,
karena wanitalah yang menjadi pusat perhatian yang ingin aku hancurkan, namun
perbuatanku itu ternyata tidak hanya berdampak buruk pada wanita, bahkan
jama’ah lelaki pun menjadi korban kegaduan yang kuciptakan. Akhirnya seketika
saja tangan-tangan warga mendarat keras ke bagian-bagian tubuhku, begitu sakit
yang kurasakan membuatku tak sanggup membuka mata.
Setelah
beberapa saat aku tak sadarkan diri, kudengar tangisan dari luar kelopak
mataku, tangisan yang tak biasanya terdengar dari telingaku, suara tangisan itu
seakan melambai-lambai untuk membangunkanku dari ketidaksadaran dalam
kesakitanku. Meski ini pertama kalinya aku mendengar tangisan itu, namun suara
kesedihan terasa dekat dan menyatu dalam benakku, sampai-sampai aku menganggap
bahwa suara itu berasal dari tubuh luarku sendiri. Tapi tidak, suara itu bukan
berasal dari tubuhku, tidak mungkin diri yang hina ini menangisi kehinaannya
sendiri.
Suara itu lagi
dan lagi terus terdengar dari luar, aku merasakan suara itu menggetarkan
ragaku, menusuk jauh kedalam sukmaku, namun pikirku sungguh tak mampu
menjangkau siapa pemilik tangisan itu. oh ternyata suara tangisan itu berasal
dari makhluk Tuhan yang termulia, satu wanita dari berjuta-juta wanita yang
hanya dia seorang yang menjadi wanita surgaku, dialah sang ibu.
Berbeda dengan
wanita lainnya, ibu adalah tempatku membangun surga Tuhan, kalau wanita lain
kulakukan dengan serendah-rendahnya tetapi untuk wanita Tuhan ini kuberikan
martabatku sepenuhnya. Di saat aku menyiksa piluh para wanita, di saat itu juga
kutinggikan derajat sang ibuku, bagiku di dunia ini hanya ada satu wanita yang
pantas aku angkat derajatnya, dia adalah ibuku, beribu pengorbanan tak mampu
menjadi balasan pengabdian atas jasa sang ibu untuk anaknya.
Ibu, kini
sedang menangisi anaknya yang sedang terbaring dengan luka-luka di tubuhku ini.
Aku, anak yang menjadi tombak tunggal anugrah yang di berikan Tuhan kepada ibu,
tidak hanya gagal mengasah diri untuk menjadi pembawa kegembiraan keluarga,
bahkan diriku kini menjadi bencana keluarga, dan hanya mengalirkan air mata
kesedihan ibu.
Perlahan-lahan
kubuka kedua kelo-pak mataku dan kulihat kedua pipi sang ibuku yang sedang
basah tengah air matanya, air mata yang menjadi kunci surgaku, air mata yang
menjanjikan surga jika dia mengalir karena kebahagiaan, namun akan berdampak
neraka jika dia keluar dai mata sang ibu lantaran kesedihan dan kemarahan
lantaran kedurhakaan anaknya. Dan sekarang air mata sosok makhluk Tuhan yang
mulia itu mengalir dari kelopak wanita yang menjadi malaikat Tuhan, sungguh
bergemuruh keresahan itu, bercampur aduk dengan ketakutan atas siksaan yang
kelak aku terima karena dosaku ini.
Keresahan, dan
ketakutanku memunculkan seribu tanya tentang keadaan wanita Tuhan ini, bagaimana mungkin
beliau bisa begitu rapuh dengan air matanya tatkala melihat anaknya dalam
keadaan terluka ini. Dalam benakku bertanya-tanya, apa yang ibuku rasakan
sehingga dia harus meneteskan air matanya untuk anaknya yang sekarang dilanda
kehinaan ini, bagaimana mungkin beliau menangisi anaknya yang bahkan aku
sendiripun tak meneteskan air mata?, bukankah ibuku bisa bertindak kejam padaku
di saat keadaan lemahku ini? Bahkan ibu bisa melepaskan statusku sebagai
anaknya apalagi keadaanku sudah sehina ini.
Aku berusaha
menyadarkan diri, kemudian bangkit dari tempat tidurku, saat itu entah setan
apa yang merasuki jiwaku, sehingga tak sedikitpun terlintas di benak-ku untuk
mengucapkan maaf kepada wanita Tuhanku, kulepaskan genggaman tangan ibu,
kuabaikan tangisannya dan kebalikkan badanku beranjak meninggal-kannya. Tanpa merasakan penyesalan sedikitpun aku langsung beranjak menuju ke tempat nongkrongku, tempat di mana dosa-dosa akan aku jumpai di dalamnya.
“mauki
ke mana nak?, istirahatlah dulu, kamu sedang sakit, nak, nak, nak!” suara
wanita mulai itu tak kupedulikan.
Tak sedikit aku berbalik melihati ibu, sungguh saat itu tak sedikitpun aku
memperhatikan bagaimana perasaan si
wanita mulia itu, perasaanku kini sesat dalam kepekaan cinta kasih ibu,
seketika saja setan begitu berhasil mengalahkanku dari kepedulian pada ibuku,
sungguh aku merasa telah berbuat dosa besar, namun di saat yang sama
keegoisanku tidak terkalahkan untuk tidak menatap kesedihan nan menyakitkan
yang di alami ibuku, aku pergi ke tempat yang penuh dosa, dan meninggalkan
tempat yang penuh kemasyhuran surga.
Aku
meninggalkan rumah dan memilih untuk hidup di jalanan bersama para pelaku dosa
lainnya, aku yang menjadi bos preman atas pelaku dosa itu dengan mudah dapat
berbuat sesuka hatiku serta bisa memerintahkan bawahanku untuk melakukan apapun
yang aku inginkan. Hidup di jalan dan menjadi bos preman, membuat onar adalah
bagian dalam hidupku membuatku menjadi makhluk yang paling dibenci oleh
masyarakat. Tidak heran jika keresahan masyarakat semakin lama sema-kin tak
dapat terkendalikan hingga menjadi sebuah kemarahan.
. . . . .
Pagi ini,
rumahku kedatangan banyak tamu yang tak diundang, satu persatu ketukan pintu
terdengar sangat keras, seraya suara warga terdengar ramai dari balik pintu,
seakan ingin mendobrak pintu lalu merobohkan rumahku. Ibu yang sedang
menyiapkan sarapan, seketika saja menjatuhkan piring kesana-kesini, mendengar
ketukan-ketukan dari pintu dengan kerasnya. wajah ibu menjadi pucat nan penuh
kesedihan, membuatnya segera memanggilku. Aku yang sedang keasyikan tidur,
mencoba tak menghiraukannya panggilan itu, aku masih ingin istirahat, menaungi
mimpi yang lebih nikmat dibandingkan kenyataan hidup ini. Aku tidak mau bangun
dari mimpi panjang ini, sungguh sudah enak hidup dengan bunga tidurku, tak
perlu lagi ada kenyataan, itu hanya membuatku semakin menderita. Inilah
surgaku, surga yang kubangun dalam dunia
tidurku.
Aku mendengar
suara teriakan tak enak, yang membuyarkan keindahan mimpiku, menghancurkan
kisah kenikmatan surga yang tengah kunimati dari berbagai sudut bunga tidurku.
Kudengar suara itu begitu mengacaukan mimpiku, namun teriakan itu sama sekali
tak membuatku marah akan kehilangan mimpiku, aku bahkan menggusur mimpi-mimpi
itu dan mengejar suara teriakan itu, yah itu suara teriakan dari sang ibuku.
Aku dengan cepat membangkitkan tubuh yang masih menginginkan untuk tetap
terbaring, aku beranjak meninggalkan kasurku lalu kupaksakan diri untuk
menengok kebalik pintu kamarku, menyaksikan amarah ma-syarakat yang saat itu
telah berada dalam ruangan ruamhaku.
“Tabe’,
kami terpaksa datang tanpa pemberitahuan sebelumnya” kata Pak RT yang saat itu
memimpin segerombolan orang yang mengikutinya dari belakang.
“kenapaki
tiba-tiba datang pak RT, kenapa banyak sekali orang?” tanya ibu kebingungan
melihat orang-orang berkerumun diruang tamu.
“warga tidak
suka dengan perilaku Andi, anakmu sudah sangat berlebihan, Andi dianggap telah
menghancurkan nama baik kampung ini, ma’pakasiri’ kalau Andi terus ada
di sini, karena itu kami meminta agar Andi mengerti keadaannya, dan sesegera
mungkin untuk meninggalkan kampung ini” kata pak RT pada Ibu.
“betul, Andi
harus tinggalkan kam-pung ini”
“betul, anakta
tak pantas tinggal di kampung ini lagi”
“pokoknya kami
tidak mau lagi me-lihat Andi, kalau sampai nanti siang Andi belum juga pergi
dari kampung ini, maaf saja, terpaksa kami akan mengusirnya dengan paksa”. satu
persatu warga menyuarakan kemarahannya, mereka telah sepakat untuk mengusirku
dari kampung ini.
Setelah
mengungkapkan kegelisahan serta pernyataan ingin mengusirku, satu persatu dari
masyarakat itu pun keluar meninggalkan rumahku. kudengar suara masyarakat
begitu menyatu untuk mengusirku, aku hanya bisa melihat keadaan resah ini dari
dalam kamarku, aku ingin keluar merangkul ibu yang tengah sendirian menghadapai
masalah keluarga yang di sebabkan karenaku, aku ingin memberinya ketenangan
dalam mengha-dapi masalah ini, namun keadaanku sungguh tak mampu melakukannya.
ibuku yang malang sungguh tak mampu lagi mengatasi kemarahan masyarakat, hanya
tangislah yang mewakili kesedihannya, hendak apa yang harus dilakukannya beliaupun
tak tahu.
Berada di
daerah yang masyarakatnya sangat menjunjung tinggi harga diri, menjadi setiap
orang yang hidup dalam budaya ini bangga, tapi penuh kewaspadaan, lantaran
harus selalu memperhatikan tingkah lakunya, karena apa yang dilakukannya tidak
hanya berkaitan dengan dirinya, tetapi juga akan mempengaruhi keluarga, bahkan
masyarakat luas di daerah ini.
Budaya siri
na pacce menjadi diri seorang yang hidup di daerah Bugis-Makassar, sangat
menjunjung tinggi harga diri dan kehormatan itulah makna kultural dari kata siri
na pacce itu, Dengan budaya seperti itu, jika melakukan kesalahan
terhadapnya maka sungguh kata maaf pun tak cukup untuk memperbaikinya, dan
kehormatan masyarakat kini telah dinodai oleh perbuatanku.
Kini, Aku hanya
bisa melihatnya dari dalam kamar, dengan segala kebaikan yang dilakukan oleh
ibu sungguh membuat diriku menjadi makhluk paling pengecut, kudengar suara
kebingungan terucap dari sosok penyambung Tuhanku itu, tak tahu harus berucap
apa agar anaknya ini bisa memahami keadaannya. Menghadapi musibah yang
berlimpah ini, ibu hanya bisa berdo’a pada Sang Pengabul do’a.
Keadaan ibu
kini membaur dalam sukmaku, menggetarkan jiwa dan ragaku untuk membaca keadaannya,
memancarkan cahaya kesadaran akan hakikat mahigai kekeluargaan, entah aku harus
ikut menangisi keadaan ini, atau harus berlari dari keadaan ini, demi Tuhan
Sang Pemberik kasih sayang, sungguh aku hanya ingin melihat bidadari surgaku
itu tersenyum, menikmati hari-harinya dengan rasa bangga pada anaknya ini.
Kulihati foto
besar yang terpampan di atas ranjangku, foto keluargaku yang begitu indah nan
menyejukkan, kulihati senyuman dari sang ayah seakan memberikan secerca cahaya
jalan keluar atas kebimbangan duniaku sekarang. Inilah bisikan Tuhan, yang
kuyakin kelak membawaku pada kehidupan yang bermanfaat untuk keluargaku.
Kutekadkan niatku untuk berbenah akhlak, menyiapkan diri untuk menjalani hidup
baru. Kutahu itu hal yang tidak mudah, namun inilah jalan yang harus aku tempuh
untuk mengem-balikan taman indah dalam keluargaku.
Satu persatu
barang-barangku kusediakan untuk membantu rihlaku, pakaian-pakaian kumasukkan
satu persatu ke dalam koperku yang kelak akan melindungiku dari cakraman cuaca,
lukisan, album foto, dan benda-benda yang berhubungan dengan Alya pun ikut
masuk mengisi ruang koperku, bukan karena Alya, tapi karena aku tidak ingin
kenangan indahku hilang begitu saja, karena cinta bukan tentang aku dan Alya,
tapi tentang cerita indah yang pernah kujalani, dan akan tetap kujaga cerita
itu, sampai nanti Tuhan menyadarkanku bahwa kenangan dengan Alya harus aku
lepaskan.
Setelah
perlengkapan-perlengkapan hijrahku siap menemaniku dalam perjalanan baruku,
akupun membuka pintu perlahan-lahan, dengan pelannya kulangkahkan kakiku
menghampiri wanita Tuhanku yang masih menangisi keadaan keluargaku sambil
memperhatikan foto keluarga kami. Melihat keadaan ibu, lagi-lagi membuatku tak
sanggup untuk mengungkapkan niatku ini, aku takut jikalau niatku hanya membuat
kesedihan ibu semakin bertambah. Dengan keadaan ibu ini membuatku ingin
membatalkan niat hijrahku, aku berbalik membelakangi ibu dan kembali melangkah
ke kamar kediamanku.
“Hendak kemana
kamu nak ?” Tanya Ibuku dengan nada yang lemahnya.
Mendengar suara
ibu, aku meng-hentikan langkahku yang hendak ke kamar, kemudian kubalikkan
seluruh tubuhku bersama panggilan sang wanita Tuhan itu. Bergetar ragaku dalam
kebimbangan yang berlimpah seraya berlajan mendekati wanita muliaku.
“ibu, mauka
berubah,” terungkap niat baruku, tak kusadari air mata telah tertetes membasahi
kelopak. “izinkan buah hatimu ini untuk mencari cahaya kehidupan di tempat
lain, bukan saya tak senang di tempat ini, apalagi dengan ibu, namun
kehadiranku di sini telah banyak menyusahkan ibu, dan masyarakat. Izinkan saya
bu, izinkanlah anakmu yang hina ini untuk berhijrah menuju jalan kehidupan yang
layak.” terangku bertekuk lutut kepadanya.
Tanpa sepata
kata, ibu membangunkanku kemudian memelukku seerat-eratnya, terteteskan air
matanya begitu deras membasahi kedua pipinya yang sedang tersandar pada pundak
kananku. Keadaan ibu membaur tajam ke seluruh tubuhku, membuat gejolak dari
hati seakan memerintahkan pada bawahan-bawahannya untuk cepat membuka pintu
baru itu. Kubiarkan keadaan itu mengalir, aku tak berani melepaskan pelukan
ibuku, kutu-nggu sampai beliau sendiri yang menyelesaikannya.
“Bagaimana
dengan ibu nak ?” Apakah kau akan meninggalkanku sendirian?
“pammo’porangka
bu, sungguh maafkanlah anakmu ini, saya tidak tahu harus berbuat apa dengan
keadaan ini bu, saya juga tidak ingin lepas dari kasih sayangmu, tidak ingin
pergi meninggalkan rumah ini, namun kehadiranku sungguh telah mendatangkan
musibah bagi keluarga kita, masyarakat pun sudah muak dengan keberadaanku di
kampung ini. Maka saya tundukkan penghormatanku memohon padamu ibu agar
meridhoi keputusanku ini, sungguh saya melihat cahaya kehidupan yang lebih baik
di tempat lain. Jika itu telah kugapai, saya akan kembali ke sini, bersemi
dalam pelukanmu lagi.” Setelah kumantapkan niatku, akupun ber-usaha menyeruakan
alasan atas keinginan kepergianku mencari cahaya itu.
“lantas mauki
pergi ke mana nak?”
“ke jawa, bu.
Pulau yang kaya akan budaya kebaikan, di sana aku ingin mencari cahaya akhlak
yang lebih baik bu, aku yakin di sanalah tempatnya yang tepat untuk aku jadikan
perjalanan baruku.”
“itu terlalu
jauh nak”
“semakin jauh
perjalanan kebaikan seseorang, akan semakin besar pula rahmat yang
melimpahinya. Tenanglah bu, insyaAllah, Allah bersamaku, dan bersama ibu pula,
insyaAllah kepergianku ini akan tercatat sebagai jihad fi sabilillah”.
“tapi nak,
bagaimana dengan kerinduanku ini nak, tidakkah kau pikirkan itu nak, akan
panjang perjalananmu, dan akan kau tinggalkan ibumu yang sendiri ini. jika kamu
sudah tidak ada di rumah ini, kepada siapa aku curahkan isi hati ibu ini. wahai
anakku cobalah sekali lagi pikirkan dengan pilihanmu ini”
“sungguh Allah
Maha Penolong bu, aku pergi untuk mencari kebaikan, aku yakin Allah tidak akan
menyia-nyiakan setiap usaha hamba-Nya, Dia akan memberikan ketenangan dalam
kerinduanmu bu, sungguh meski jarak memisahkan kita, tapi Do’a akan selalu
menghubungkan kita, ridhokanlah anakmu ini memilih jalan perantauan.”
“jika niatmu
demekian nak, kuikhlaskan kamu menapaki jalan Tuhan, semoga kelak kamu menjadi
anak yang shaleh.”
Setelah
mendapatkan ridhonya, kutundukkan badanku seraya tanganku menggapai lembut
kedua telapak kaki beliau, kemudian kucium kedua pipi wanita surgaku ini
teriring air mata kasih sayangku. Bersama Do’a oleh wanita Tuhanku ini kulangkahkan kaki perlahan-lahan menjauh dari
dekapan ibu, mendekati pintu utama rumahku, tanganku lagi-lagi ber-getar
tatkalah pintu tempat mahligai ke-luargaku ini, seakan gemuruh kesedihan itu juga dirasakan oleh rumahku.
Tatkala
selangkah telah meninggal-kan ruang rumahku, ternyata segerombolan masyarakat
masih berada di depan rumahku, yang ternyata sedang menantikan kepergianku
meninggalkan kampung mereka. Kulihati mereka satu persatu, nampak harapan
mendalam mereka telah terkabul atas kepergianku, tanpa terucap sepata kata dari
mereka sungguh jelas ketidak senangan mereka selama kehadiranku, terlihat
kebahagian yang melimpah tatkalah melihatku meninggalkan mahligai keluargaku.
Langkah
perlangkah kakiku menjauhkanku dari pandangan ibuku yang tengah tersedih pilu
dengan kepergian anaknya, di saat yang sama wajah riang masyarakat semakin
menampakkan kebenarannya.
Telah
kulepaskan istana kekeluargaanku, telah kutinggalkan wanita penyambung Tuhanku
demi niat mencari cahaya Tuhanku. Kalau saja Tuhan menuliskan Taqdir dalam
benang kesucian maka aku rela atas segalanya dan akan kucari itu meski harus
memulai hidup baru.
Ibu,
kutinggalkan wanita termulia dalam hidupku, wanita yang kehadirannya dipilih
langsung oleh sang Maha Pengasih untukku, setiap kasih sayangnya menggambarkan
kasih sayang Tuhanku. Ibu, dalam sadar selalu menengedahkan do’a untuk anaknya
yang dia cintai ini.
Ibu, wanita
yang pertama kali kudengar suara kasih sayangnya, yang telah mengajariku
membuka mata untuk menikmati ciptaan-ciptaan-Nya, mendengarkan lantunan
ayat-ayat-Nya, memberikan-ku perhatian penuhnya yang kadang tak sadarkan bahwa
dirinya telah terluka karenaku. Dialah yang dengan kasih sayangnya melawan rasa
sakit demi menjaga kesehatanku, dia yang dengan tangannya melambai-lambai
menjemputku, kemudian memelukku dengan kasih sayangnya. Dia yang tidak pernah
mengeluh atas kenakalanku, membuatku mengetahui arti sebuah kehidupan dengan
kasih sayangnya.
Telah
kutinggalkan wanita yang menjadi tangan Tuhan, yang mampu membolak-balikkan
ridho Tuhan. Dia yang dengan mudah bisa menderitakan anaknya, menyiksa, bahkan
mengutuk anaknya jika dia berkehendak. Namun, semua itu tidak pernah terlintas
dalam benak ibuku, kurasakan kasih sayangnya selalu tercurah pada anaknya ini.
Sungguh jika ungkap betapa besar kasih sayang dari sang ibu maka meski
batang-batang pepohonan menjadi tinta, dan air di lautan menjadi tintanya,
sungguh itu tak sanggup mencukupi kebesaran kasih sayang dari sang ibu.
Aku yang telah jauh meninggalkan ibu, hanya
menyandarkan pada Tuhan atas kebaikan
ibuku, semoga Tuhan senantiasa melindunginya, memberinya kenikmatan yang
berlimpah, sebagaimana kenikmatan yang dijanjikan pada wanita-wanita surgawi.
Aku yakin ibuku akan mendapatkan kenikmatan surga, layaknya Khadijah bintu
Khuwailid dengan pres-tasinya sebagai wanita suci yang cahaya keislamanan
bermula dari rumahnya, layaknya Zainab bintu Jahsyn yang kezu-hudannya
menjadikannya wanita surga, layaknya Ruman bintu
Amir dengan prestasi sebagai ibu yang kasih sayangnya dalam mendidik anak,
layaknya Hafshah bintu Umar yang senantiasa senang berpuasa dan shalat malam,
serta layaknya wanita-wanita lainnya yang dijamin masuk surga. Kelak ibu akan
mendapatkan limpahan kenikmatan atas kebaikan yang dia tanamkan padaku, sungguh
yang demikian menjadi do’a yang akan selalu kupanjatkan selama perantauanku.
. . . . . . .
Lanjut ke Warna Wanita berikutnya . . . .
(Terima kasih telah membaca, untuk lebih lengkapnya, tulisan ini termuat
dalam sebuah novel berjudul Warna Wanita)
Warna Wanita: Birunya Wanita Tuhan
4/
5
Oleh
Unknown