Kamis, 12 Januari 2017

HUBUNGAN QIRAAT DENGAN TAFSIR



HUBUNGAN QIRAAT DENGAN TAFSIR


Oleh :
Muh Alwi HS
14530083
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

A.    Pendahuluan
Menurut ‘Abd Al-Wahhab Khallaf yang dikutip oleh Prof. Dr. Nashruddin Baidan dalam buku Wawasan Baru Ilmu Tafsir merumuskan pengertian al-Qur’an bahwa:
Al-Qur’an ialah firman Allah yang dibawa turun oleh al-Ruh al-Amin (jibril) ke dalam hati sanubari Rasul Allah Muhammad bin ‘Abd Allah sekaligus bersama lafal Arab dan maknanya, benar-benar sebagai bukti bagi Rasul bahwa ia adalah utusan Allah dan menjadi pegangan bagi manusia agar mereka terbimbing dengan petunjuk-Nya ke jalan yang benar, serta membacanya bernilai ibadah. Semua firman itu terhimpun di dalam mushhaf yang diawali dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat al-Nas, diriwayatkan secara mutawatir dari satu generasi ke generasi yang lain melalui tulisan dan lisan, serta senantiasa terpelihara keorisinilannya dari segala bentuk perubahan dan penukaran atau penggantian.[1]

Pengertian di atas memberikan gambaran bahwa penyampaian al-Qur’an melalui beberapa proses, yakni bermula dari Allah, ke Malaikat Jibril, terus Nabi Muhammad, yang kemudian disampaikan kepada umatnya, sampai pada tahap penulisan mushhaf. Dia (al-Qur’an) senantiasa terpelihara keorisinilannya dari segala bentuk perubahan dan penukaran atau penggantian, karena itu al-Qur’an disebut bacaan yang sempurna, walaupun penerima dan masyarakat pertama yang ditemuinya tidak mengenal baca-tulis.[2]
Sebagai pesan Tuhan, wahyu memiliki objek sasaran dan sasaran itu adalah masyarakat Arab sebagai masyarakat pertama yang ditemuinya[3]. Selanjutnya, untuk masa penyebaran dan pengabadian[4], Nabi Muhammad memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk menulis al-Qur’an[5], yang kemudian dilakukan penulisan ulang[6] pada masa Abu Bakar serta pembukuan al-Qur’an (secara resmi) pada masa ‘Utsman.[7] Pada proses penulisan al-Qur’an, masyarakat Arab dalam hal ini adalah para Sahabat menulis Al-Qur’an sesuai Qira’atnya masing-masing, sehingga pada saat penulisan mushhaf ‘Utsmani, yang hendak menyeragamkan –kalau enggang mengatakan membatasi- Qira’at untuk masuk dalam mushhaf pada masanya, mengakibatkan munculnya berbagai kontraversi dari sahabat, seperti yang terjadi pada Abdullah bin Mas’ud.
Terlepas dari masalah pembukuan al-Qur’an ke dalam bentuk mushhaf ‘Utsmani, yang terpenting bahwa sebagian sahabat telah menganut qira’at yang berbeda dari mushaf ‘Utsman, Hal tersebut tentu memicu munculnya perbedaan pandangan (baca: pemahaman) umat terhadap al-Qur’an, yang pemahaman tersebut dalam hal ini disebut penafsiran atas teks al-Qur’an. Kalau demikian adanya, maka pertanyaan yang muncul, bagaimana peran qira’at dalam sebuah penafsiran? Serta bagaimana hubungan qira’at dan tafsir? Dari pertanyaan ini, akan dilakukan beberapa langkah untuk menjawabnya, pertama melihat aspek-aspek munculnya perbedaan qira’at sebagai pengantar penafsiran, serta kedua melihat timbal-balik (Hubungan) qira’at dengan penafsiran itu.

B.     Memahami pembolehan Nabi atas membaca Al-Qur’an dengan qira’at berbeda
Membaca al-Qur’an dengan qira’at yang berbeda dari orang lain dinilai sebagai problem atas pemahaman al-Qur’an sebagai kitab yang utuh, bahkan sampai pada keraguan atas keorisinal al-Qur’an, hal ini sebagaimana yang terjadi pada kasus sahabat Ubay bin Ka’b dan Ubadah bin shamit:
Ubadah bin Shamit bahwa Ubay bin Ka'b berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah membacakan ayat kepadaku, dan aku (Ubadah) membacakannya kepada orang lain dengan selain bacaaan Ubay. Maka aku bertanya padanya, "Siapa yang membacakannya padamu?" Ubay menjawab, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang membacakannya padaku." Aku berkata lagi, "Demi Allah, beliau telah membacakannya kepadaku begini dan begitu." Ubay lantas menyaut, "Aku tidak pernah merasakan keraguan idalam Islam semisal saat hari itu, maka aku pun datang menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, aku katakan, "Wahai Rasulullah, bukankah engkau telah membacakan ayat ini kepadaku begini dan begitu?" Beliau menjawab: "Ya." Ubay berkata, "Orang ini mengatakan bahwa engkau juga telah membacakannya begini dan begitu!" Beliau lalu memukulkan tangannya ke dadaku, hingga aku tidak lagi mendapati karaguan dalam hatiku setelah itu." Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kemudian bersabda: "Jibril dan Mikail Alaihimassalam mendatangiku. Jibril berkata, 'Bacalah al Qur`an dengan satu huruf! ' lalu Mika`il berkata, 'Mintalah tambahan, ' lalu Jibril berkata lagi, 'Bacalah dengan dua huruf! ' Mika`il berkata lagi, 'Mintalah tambahan, ' hingga menjadi tujuh huruf. Maka setiap bacaan adalah sempurna dan mencukupi."[8]

Selain itu, perbedaan qira’at juga dapat menyebabkan seseorang dengan orang lain terjadi kesalahpahaman yang menyebabkan pada tindakan kekerasan satu terhadap yang lain, ini dapat dilihat pada kasus ‘Umar bin  Khaththab yang hendak mencekik sahabat Ubay bin Ka’b ketika mendengar Ubay membaca surah Al-Furqan dengan bacaan yang berbeda dengannya. Sebagaimana hadits riwayat Bukhari, sebagai berikut:
‘Umar bin Al Khaththab berkata, "Aku pernah mendengar Hisyam bin Hakim bin Hizam sedang membaca surat Al Furqan di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, aku pun mendengarkan bacaannya dengan seksama. Maka, ternyata ia membacakan dengan huruf yang banyak yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam belum pernah membacakannya seperti itu padaku. Maka aku hampir saja mencekiknya saat shalat, namun aku pun bersabar menunggu sampai ia selesai salam. Setelah itu, aku langsung meninting lengan bajunya seraya bertanya, "Siapa yang membacakan surat ini yang telah aku dengan ini kepadamu?" Ia menjawab, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang telah membacakannya padaku." Aku katakan, "Kamu telah berdusta. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah membacakannya padaku, namun tidak sebagaimana apa yang engkau baca." Maka aku pun segera menuntunnya untuk menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Selanjutnya, kukatakan kepada beliau, "Sesungguhnya aku mendengar orang ini membaca surat Al Furqan dengan huruf (dialek bacaan) yang belum pernah Anda bacakan kepadaku." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda: "Bacalah wahai Hisyam." Lalu ia pun membaca dengan bacaan yang telah aku dengar sebelumnya. Kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Begitulah ia diturunkan." Kemudian beliau bersabda: "Bacalah wahai Umar." Maka aku pun membaca dengan bacaan sebagaimana yang dibacakan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepadaku. Setelah itu, beliau bersabda: "Seperti itulah surat itu diturunkan. Sesungguhnya Al Qur`an ini diturunkan dengan tujuh huruf (tujuh dialek bacaan). Maka bacalah ia, sesuai dengan dialek bacaan yang kalian bisa."[9]
Hadits yang seperti ini (kasus ‘Umar dan Ubay), banyak diriwayatkan oleh ulama hadits seperti hadits yang diriwayatkan Bukhari nomor 2241, Muslim nomor 1354, At-Tirmidzi nomor 2867, An-Nasai nomor 927, 928, 929, dan 930, Ahmad bin Hanbal nomor 153, 180, 266.[10]
Perbedaan qira’at (bacaan) yang terjadi pada para sahabat selalu ditanggapi terbuka oleh Nabi, dengan kata lain bahwa Nabi membolehkan atau mengiyakan qira’at (bacaan) al-Qur’an yang dibaca oleh sahabat-sahabatnya. Pembolehan Nabi atas bacaan para sahabat yang berbeda-beda itu, menurut penulis, disebabkan karena Nabi Sendiri yang menimbulkan perbedaan itu ketika dihendak diberikan wahyu kepada malaikat Jibril. Nabi meminta agar al-Qur’an tidak hanya bisa dibaca dengan satu qira’at, tetapi beliau meminta agar al-Qur’an dapat dibaca lebih dari satu bacaan. Perhatikan hadits Nabi sebagai berikut:
"Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan al-Qur`an kepada umatmu dengan satu huruf (lahjah bacaan)." Beliau pun bersabda: "Saya memohon kasih sayang dan ampunan-Nya, sesungguhnya umatku tidak akan mampu akan hal itu." kemudian Jibril datang untuk kedua kalinya dan berkata, "Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan al-Qur`an kepada umatmu dengan dua huruf." Beliau pun bersabda: "Saya memohon kasih sayang dan ampunan-Nya, sesungguhnya umatku tidak akan mampu akan hal itu." Lalu Jibril mendatanginya untuk ketiga kalinya seraya berkata, "Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan al-Qur`an kepada umatmu dengan tiga huruf." Beliau bersabda "Saya memohon kasih sayang dan ampunan-Nya, sesungguhnya umatku tidak akan mampu akan hal itu." Kemudian Jibril datang untuk yang keempat kalinya dan berkata, "Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk membacakan al-Qur`an kepada umatmu dengan tujuh huruf. Dengan huruf yang manapun yang mereka gunakan untuk membaca, maka bacaan mereka benar." [11]

C.    Implikasi atas  perbedaan Qira’at
Dispensasi yang diberikan Rasulullah SAW dalam membaca al-Qur’an lebih dari satu huruf (bacaan) dimaksudkan untuk memberikan kemudahan kepada umat dalam membaca kitab suci (baca al-Qur’an), sehingga mereka tidak merasa dibebani oleh bacaan-bacaan yang sukar mereka lafalkan. Dengan kemudahn atau kelonggaran yang diberikan Rasulullah itu dalam membaca al-Qur’an tersebut, maka mereka makin tertarik kepada Islam, sehingga mereka merasakan Islam itu benar-benar dturunkan untuk mereka demi membimbing kehidupan mereka di muka bumi ini agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat[12].
Di saat yang sama, perbedaan qira’at juga menyebabkan adanya keragaman dalam cara membaca Al-Qur’an. Keragaman tersebut bisa terjadi karena –misalnya-perbedaan bentuk kata benda ( الأسماءإختلاف), perbedaan tashrif (perubahan) kata kerja, perbedaan kedudukan kata ( وجوه الإعرابإختلاف), dan sebagainya[13].
Lebih jauh, bahwa perbedaan cara membaca al-Qur’an tidak menutup kemungkinan memicu munculnya perbedaan dalam memahami isi kandungan al-Qur’an. Misalnya pada kata وأرجلَكم (dengan harakat fatha pada huruf lam), ada juga yang membacanya dengan وأرجلِكم (dengan harakat kasrah pada huruf lam). Pada kata pertama dipahami bahwa kaki harus dibasuh, hal ini karena kedudukan (i’rab) kata وأرجلكم mengikut pada kalimat وُجُوهَكُم.
Tetapi, jika di baca kasrah, sebagaimana disebutkan di atas, maka kaki tidak harus dibasuh, melainkan cukup mengusapnya. Hal ini karena kedudukan (i’rab) kata وأرجلكم mengikut pada kalimat بِرُءُوسِكُمۡ [14].
Hemat penulis, perbedaan qira’at yang terjadi menyebabkan terjadinya perbedaan dalam memahami sebuah ayat. Untuk melengkapi penjelasan mengenai pembahasan qira’at dan tafsir, penulis memuatnya ke dalam bahasan selanjutnya.

D.    Hubungan Qiraat dengan Tafsir
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa perbedaan cara membaca (qira’at) mempengaruhi pemahaman terhadap teks bacaan. Selain itu, pemahaman yang masih kabur (syubhat) terhadap teks al-Qur’an juga memicu munculnya tambahan bacaan (baca: tafsiran) atasnya. Seperti yang dilakukan oleh Abdullah bin Mas’ud dalam surat Al ‘Imran ayat 50, dinyatakan:
وَجِئۡتُكُم بِ‍َٔايَاتٍ مِّن رَّبِّكُمۡ فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ [+ من أجل ما جئتكم به] وَأَطِيعُونِ [+ فيما دعوتكم إليه]
Dalam qira’at masyhurah dibaca dengan بِ‍َٔايَةٖ . Tambahan-tambahan yang disisipkan diantara potongan-potongan ayat di atas diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud adalah manifestasi dari penyempurnaan-penyempurnaan penafsiran di sisi teks yang lebih dekat untuk penjelasan yang lebih[15].  
Demikian juga yang terjadi pada pemahaman atas surat al-Baqarah ayat 238:
حَٰفِظُواْ عَلَى ٱلصَّلَوَٰتِ وَٱلصَّلَوٰةِ ٱلۡوُسۡطَىٰ
Ayat ini secara tekstual masih terlihat samar-samar/kabur (syubha), karena belum bisa diketahui maksud dari shalat wushtha. Sebagian mufassir berusaha memahaminya sebagai shalat subuh, sedangkan sebagian yang lain menafsirkannya sebagai shalat zhuhur. Mayoritas mufassir klasik memahaminya sebagai shalat ashar. Di sini, kita perlu melihat riwayat –misalnya- dari budak perempuan Aisya yang bernama Hamidah binti Yunus, dia berkata : Aisyah mewasiatkan barang perhiasannya kepadaku, aku menemukan dalam mushaf Aisyah:
 حَٰفِظُواْ عَلَى ٱلصَّلَوَٰتِ وَٱلصَّلَوٰةِ ٱلۡوُسۡطَىٰ [+ وهي العصر][16]
Penambahan bacaan dari dua contoh di atas, penulis mengistilahkannya sebagai bentuk penafsiran yang kemudian dikenal dengan tafsir bil ma’tsur.
Selanjutnya, dapat diajukan pula contoh perbedaan qira’at yang lebih sederhana dari apa yang telah diuraikan diatas. Yaitu perbedaan dalam teks-teks, dimana masing-masing teks memiliki kata sinonim lain tetapi dengan konsekuensi makna yang tetap sama. Sebagaimana yang tunjukkan oleh Abu Sarrar al-Ghaznawi misalnya, yang membaca surat al-Baqarah ayat 48 sebagai ganti dari lafazh:  عن نفس نفس  dengan kata sinonimnya yaitu lafazh نسمة عن نسمة. Perbedaan pada dataran teks seperti ini di masa klasik direspon dengan semangat penuh kebebasan.
Ayat 38 surat al-Maidah memuat batasan yang diwajibkan sebagai hukuman atas pencuri
وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقۡطَعُوٓاْأَيۡدِيَهُمَا
Namun tangan mana yang harus dipotong? Jawabannya ada dalam qira’at yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud: وَٱلسَّارِقُ وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقۡطَعُوٓاْأيْمَانَهُمَا  (dengan bentuk plural sebagai ganti dari bentuk non-plural yang disebutkan dalam qiraat yang masyhur)[17].
Dan masih banyak lagi contoh yang penulis belum kemukakan pada tulisan ini. Paling tidak, dari penjelasan sebelumnya dan juga beberapa contoh di atas, penulis mencoba menemukan beberapa hubungan yang terjadi oleh perbedaan qira’at dengan pemahaman terhadap teks (ataupun sebaliknya), diantaranya:
1.      Cara bacaan (qira’at) dan penafsiran merupakan dua hal yang muncul dan berkembang dalam teks al-Qur’an.
2.      Dalam konteks menjadi mufassir, ilmu qira’at sangat dibutuhkan untuk menafsirkan al-Qur’an.[18]
3.      Pada kebebasan cara membaca (qira’at) berjalan sesuai tempat dan waktu pengguna, hal ini juga berlaku bagi para penafsiran al-Qur’an, dengan kata lain, bahwa penafsiran al-Qur’an termasuk dipengaruhi oleh waktu dan tempat penafsir. Hal ini dapat senada dengan yang dikatakan oleh Abdullah Saeed, bahwa kebebasan dalam membaca al-Qur’an seharusnya juga ada dalam memahami dan menafsirkan al-Qur’an sejalan dengan kebutuhan umat Islam di masa sekarang[19].
4.      Dibebaskannya cara membaca (qira’at) bukan berarti dapat membaca semaunya, hal ini harus berdasarkan sanad bacaan dari Nabi. Hal ini juga berlaku dalam menafsirkan al-Qur’an, bahwa kebebasan memahami dan menafsirkan harusulah tetap berada pada rambu-rambu yang telah ditentukan, misalnya terlebih dahulu harus menguasai bahasa Arab, dan sebagainya.
5.      Jika merujuk pada pemetaan tafsir oleh Dr. Abdul Mustaqim, bahwa tafsir dapat dipetakan menjadi dua, yakni tafsir sebagai produk dan tafsir sebagai proses[20]. Hemat penulis, tafsir sebagai produk muncul karena –termasuk-hasil dialektika mufassir, qira’at dan teks. Qira’at di sini berfungsi sebagai jembatan dari mufassir menuju teks yang kemudian menghasilkan tafsiran.
6.      Tafsir sebagai proses muncul karena dialektika mufassir, teks, dan qira’at. Di sini, kesamaran teks menjadi jembatan dari pemahaman menuju penafsiran.

Perhatikan bagan berikut:
Al-Qur’an
(Proses Hubungan Qira’at Dan Tafsir)
Pemahaman/penafsiran berdasarkan qira’at masing-masing

Tambahan / perubahan bacaan sebagai tafsiran

Terjadi perbedaan qira’at antar sahabat
Proses penyampaian dari malaikat Jibril ke Nabi. Tujuh huruf (bacaan)
Nabi menyampaikan ke Sahabat (umat) berdasarkan cara bacaan (qira’at) yang mudah bagi umatnya.
            Lauhul mahfudz

Daftar Pustaka

Baidan, Nashruddin. 2011. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar).
Djuned, Daniel. 2010. Antropologi Al-Qur’an, (Jakarta: Penerbit Erlangga).
Goldziher, Ignaz. 2010. Mazhab Tafzir Dari Klasik Hingga Modern (terj). (Yogyakarta: Penerbit eLSAQ Press).
Lidwa Mausua i-Software-kitab sembilan imam hadits.
Mustaqim, Abdul. 2011. Epistemologi Tafsir Kontemporer. (Yogyakarta: PT LKiS Printing Cemerlang).
Romdhoni, Ali. Tradisi Hafalan Qur’an Di Masyarakat Muslim Indonesia. 2015. Dalam Journal of Qur’an and Hadits Studies. (Jakarta: Qur’an and Haditsh Academic Sociaty).
Saaed, Abdullah. 2016. Paradigma, Prinsip, dan Metode Penafsiran Kontekstualis Atas al-Qur’an (Terj). (Yogyakarta: Lembaga Ladang Kata).
Shihab, M. Quraish. 2104. Lentera Al-Qur’an Kisah Dan Hikmah Kehidupan. (Bandung: Penerbit Mizan).
Sodiqin, Ali. 2010. Antropologi Al-Quran Model Dialektika Wahyu Dan Budaya. (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media).
Suma, Muhammad Amin. 2013. Ulumul Qu’ran. (Jakarta: Rajawali Pers).


[1] Prof. Dr. Nashruddin Baidan. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011). hlm. 16.
[2] M. Quraish Shihab. Lentera Al-Qur’an Kisah Dan Hikmah Kehidupan. (Bandung: Penerbit Mizan. 2014). hlm. 23.
[3] Dr. Ali Sodiqin. Antropologi Al-Quran Model Dialektika Wahyu Dan Budaya. (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2012). hlm. 12.
[4] Meski pada dasarnya Al-Qur’an akan terus dijaga selamanya oleh Allah (lihat QS. Al-Hijr: 9), tetapi usaha Nabi disini menjadi perantara pengabadian teks Al-Qur’an tersebut.
[5] Ali Romdhoni, Tradisi Hafalan Qur’an Di Masyarakat Muslim Indonesia. dalam Journal of Qur’an and Hadits Studies. (Jakarta: Qur’an and Haditsh Academic Sociaty. 2012). hlm. 12.
[6] Penulisan di sini sudah masuk pada pembukuan dalam bentuk mushhaf, namun belum seperti mushhaf ‘Utsmani.
[7] Prof. Dr. Daniel Djuned. Antropologi Al-Qur’an. (Jakarta: Penerbit Erlangga. 2010). hlm. 3.
[8]  HR. Ahmad nomor 20179, hadits bermakna seperti ini juga diriwayatkan oleh An-Nasai nomor 932. (rujuk ke Lidwa Mausua i-Software-kitab sembilan imam hadits.).
[9] HR. Bukhari nomor 4608. (rujuk ke Lidwa Mausua i-Software-kitab sembilan imam hadits.).
[10] Hadits-hadits ini sesuai yang tercantum pada Lidwa Mausua i-Software-kitab sembilan imam hadits.
[11] HR. Muslim nomor 1355, hadits yang bermakna seperti ini juga dapat dilihat pada hadits riwayat Ahmad nomor 2582, 2713, 19529, 19609.
[12] Prof. Dr. Nashruddin Baidan. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011). hlm. 94-95.
[13] Lihat Wawasan Baru Ilu Tafsir. hlm. 100-101. Di sana dijelaskan secara rinci mengenai pembahasan ini. Nashruddin Baidan dalam hal al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf, cenderung kepada pendapat Ibnu al-Jaziri yang juga didukung oleh al-Zarqani. Selanjutnya, ia berpendapat bahwa bacaan ayat-ayat al-Qur’an tidak dibaca sesuka hati si pembacanya, melainkan ada aturan sesuai dengan apa yang diajarkan Rasulullah.
[14] Lihat penjelasan Ignaz Goldziher. Mazhab Tafzir Dari Klasik Hingga Modern (terj). (Yogyakarta: Penerbit eLSAQ Press. 2010). hlm. 15-16.
[15] Ibid. hlm. 22.
[16] Ibid. hlm. 25.
[17] Ibid. hlm. 28.
[18] Lihat komponen ilmu-ilmu yang dibutuhkan untuk menafsirkan al-Qur’an dalam buku Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M. Ulumul Qu’ran. (Jakarta: Rajawali Pers, 2013). hlm. 407.
[19] Abdullah Saeed. Paradigma, Prinsip, dan Metode Penafsiran Kontekstualis Atas al-Qur’an (Terj). (Yogyakarta: Lembaga Ladang Kata. 2016). hlm. 148.
[20] Dr. Abdul Mustaqim. Epistemologi Tafsir Kontemporer. (Yogyakarta: PT LKiS Printing Cemerlang. 2011). hlm. 32.

Related Posts

HUBUNGAN QIRAAT DENGAN TAFSIR
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.