Jumat, 13 Januari 2017

ANALISIS HADITS TENTANG SANKSI ATAS PELAKU TINDAKAN PUNGUTAN LIAR SERTA KETERKAITANNYA DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI



ANALISIS HADITS TENTANG SANKSI ATAS PELAKU TINDAKAN PUNGUTAN LIAR SERTA KETERKAITANNYA DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI


Muh Alwi HS
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
muhalwihs@ymail.com/ muhalwihs2gmail.com



Abstrak

Presiden Joko widodo dalam menanggulangi tindak pungutan liar, akhirnya mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 87 Tahun 2016 Tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar. Di sisi lain, dalam wacana keislaman, sebenarnya tindakan pungutan liar sudah dikenal pada awal perkembangan islam, hal ini kemudian dilarang oleh Nabi saw. Dengan menggunakan teori takhrij, penulis mengkaji hadits-hadits yang berkaitan dengan pungutan liar (al-Maks), dengan menggunakan deskriptif-analitik sebagai pisau analisisnya. Dari berbagai hadits yang dikemukakan, dapat dikatakan bahwa tindakan pungutan liar termasuk perbuatan dosa besar, sehingga pelakunya tidak akan masuk surga, dan ia akan masuk neraka. Kerasnya hukuman tersebut disebabkan karena perbuatan pungutan liar didalamnya terdapat unsur kezalimanan.
Adapun mengenai keterkaitan antara pungutan liar dengan tindakan korupsi, bahwa tindakan pungutan liar termasuk bagian dari tindakan korupsi yang di dalamnya terdapat unsur kezaliman. Baik pelaku pungutan liar maupun korupsi, keduanya digolongkan sebagai orang tidak akan masuk surga.

Kata kunci: Hadits, Sanksi, Pungutan Liar, dan Korupsi.
Pendahuluan
Permasalahan mengenai pungutan liar (Pungli) kini menjadi perhatian khusus bagi Joko Widodo dalam pemerintahannya. Sebagai bentuk keseriusannya dalam memberantas tindakan pungutan liar, Presiden Joko Widodo akhirnya menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) bernomor 87 Tahun 2016 Tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar, hal ini kemudian dibentuk sebuah tim khusus dalam menangani kasus tersebut yang dikenal dengan Tim Sapu Bersi Pungutan Liar (Saber Pungli). Peraturan tersebut merupakan salah satu tahap reformasi hukum yang dilakukan oleh pemerintah khususnya dalam upaya-upaya kebijakan yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.[1]
Kasus tindak pidana pungutan liar pada dasarnya dapat disamakan dengan kajahatan pejabat yang telah diatur dalam KHUP pada pasal 415 tentang penggelapan yang dilakukan oleh pejabat atau instansi terkait, selain itu terdapat juga pada pasal 418[2] dan 419 ayat (1)[3] tentang pejabat yang menerima hadiah.[4]
Lebih jauh, tindak pidana pungutan liar ini memiliki unsur-unsur yang sangat erat kaitannya dengan tindak pidana korupsi, sebagaimana yang tercantum pada pasal 8 dalam UU No. 31 tahun 1999 yang kemudian diperbaiki oleh UU No. 20 tahun 2001Tentang Pemberantasan Tindakan Korupsi.[5]
Dalam wacana pungutan liar di Indonesia, kajian yang menggunakan hadits sebagai pisau analisis masih sangat minim. Dalam pelacakan penulis, Nurul Zaman merupakan peneliti yang pernah mengkaji tentang pungutan liar dengan memakai tinjauan hukum Islam, sebagaimana dalam penelitian skripsinya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2011, dengan judul  Sanksi Pidana Pungli Oleh Pihak Sekolah (Suatu Tinjauan Hukum Positif Dan Hukum Pidana Islam). Meskipun bukan secara spesifik membahas tentang hadits-hadits mengenai tema pungutan liar, akan tetapi Nurul menerangkan kedudukan pungutan liar dari berbagai sudut pandang, di antaranya menggunakan al-Qur’an, Hadits, dan pandangan ulama.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Nurul Zaman, di sini penulis akan melakukan hal yang serupa, hanya saja penulis akan mengambil kajian hadits sebagai fokus kajiannya, adapun al-Qur’an dan pandangan ulama akan dijadikan sebagai bahan pendukung atas tema yang dibahas. Pertanyaan kemudian yang hendak dijawab ialah bagaimana kandungan yang termuat dalam hadits-hadits tentang pungutan liar?
Adapun tentang hadits, ia merupakan sumber pedoman kedua (setelah al-Qur’an) dalam menjalani kehidupan ini, sehingga kehadirannya guna mengajak manusia kepada jalan yang benar.[6]
Metode dan Kerangka Teori
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan, yakni penelitian yang dilakukan dengan fokus pada penelusuran sumber-sumber yang berkaitan dengan tema yang diambil langsung dari kitab-kitab hadits induk yang berjumlah (kutub al-Tis’ah), kitab-kitab syarah hadits, maupun data-data lain yang terkait, seperti buku, jurnal, dan lain sebagainya.
Adapun teori yang digunakan dalam kajian ini, yaitu teori takhrij hadits sebagai teori yang digunakan untuk menampilkan berbagai bentuk redaksi hadits yang terkait dengan pungutan liar. Selanjutnya, mengenai makna yang dikandung dalam matan hadits-hadits tersebut akan dianalisis dengan deskriptif-analitik yang juga dipakai dalam menganalisis data-data lainnya yang berkaitan dengan tema penelitian secara sistematik sehingga memperoleh kesimpulan yang jelas.

Hasil dan Pembahasan
Dari segi bahasa, pungutan liar dapat dibagi menjadi dua kata, yakni ‘pungutan’ dan ‘liar’. Dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, pungutan berarti barang yang dipungut[7], dan liar berarti sembarangan, tidak sesuai dengan aturan, tidak diakui oleh yang berwenang[8]. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pungutan liar berarti sesuatu (barang) yang dipungut atau diambil dengan cara yang tidak sesuai dengan aturan yang ada.
Jika ditarik ke dalam bahasa Arab sebagaimana dalam kamus al-Munawwir, pungutan liar dikenal dengan kata al-Maksu (atau maksu) yang umumnya diartikan dengan memungut cukai.[9] Lebih jauh, dalam lisan al-arab bahwa kata al-maks merupakan uang (dirham) yang diambil dari pedagang di pasar waktu zaman jahiliah. Dikatakan bahwa pungutan liar yang diambil oleh pelaku pada mulanya, pungutan liar tersebut adalah cukai.[10] Menurut Muhammad bin Salim bin Sa’id Babashil sebagaimana yang dikutip oleh H. M. Nurul Irfan dalam bukunya, bahwa al-Maks adalah suatu aturan  yang dibuat oleh para penguasa dengan unsur kezaliman, berkaitan  dengan harta manusia, dan menganggap diatur dengan undang-undang yang sengaja ataupun dibuat-buat.[11]
Dalam wacana keislaman, kasus pungutan liar ini sebenarnya sudah dikenal pada masa awal perkembangan Islam. Hal ini dapat diketahui dalam kasus-kasus pemerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu kepada para pedagang di pasar-pasar. Bahkan tidak jarang perbuatan liar tersebut dilakukan dengan mengatasnamakan aturan untuk melakukan pungutan liar berasal dari pejabat setempat, padahal hal tersebut dilakukan dengan unsur kezaliman terhadap para pedagang.[12] Perbuatan pungutan liar tersebut direspons oleh Nabi SAW, dengan pelarangan untuk melakukannya, bahkan dikatakan dalam sebuah hadits bahwa orang yang melakukannya tidak akan masuk surga. Sebagaimana dalam hadits sebagai berikut:
عُقْبَةَ بْنَ عَامِرٍ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ :« لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ[13]
Artinya:
“Dari Uqbah bin Amir, Rasulullah SAW bersabda: tidak akan masuk surga orang yang memungut pajak (cukai)”. (HR. Abu Dawud).

Hadits Tentang Pungutan Liar
Sebenarnya ada banyak hadits yang membahas tentang pungutan liar, atau dalam hal ini dikenal dengan al-maksu (atau maksun). Masing-masing berdiri sendiri dan saling melengkapi satu sama lain. misalnya[14] dalam kitab Sunan Ad-Darimi yang diriwayatkan oleh Uqbah bin Amir, hadits nomor 1719[15]. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dalam Sunan Abu Dawud, hadits nomor 2940[16],  riwayat oleh Uqbah bin Amir, hadits nomor 2939[17]. Dalam kitab Ahmad bin Hanbal yang diriwayatkan oleh Yazid bin Abi Habib, hadits nomor 17464[18]. Dalam kitab Ibnu Khuzaimana, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Uqbah bin Amir, hadits nomor 2144[19]. Dan lain sebagainya.
Dalam melakukan analisa takhrij, di sini penulis hanya akan mengambil sampel satu saja hadits yang berkaitan dengan tema, yakni riwayat Uqbah bin Amir. Hal ini penulis lakukan karena sepanjang pelacakan penulis, hadits tersebut paling banyak terdapat dalam berbagai kitab hadits. Adapun redaksi selengkapnya adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ النُّفَيْلِيُّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاق، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِمَاسَةَ، عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: " لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ ".[20]
“Abdullah bin Muhammad menceritakan kepada kami, Muhammad bin salamah menceritakan kepada kami, Muhammad bin Ishaq menceritakan kepada kami, dari Yazid bin Abi Habib, dari Abdurrahman bin Syimasah, dari Uqbah bin Amir, Rasulullah SAW bersabda: tidak akan masuk surga orang yang memungut pajak (cukai)”. (HR. Abu Dawud).

Adapun takhrij atau penelusuran mengenai hadis yang diriwayatkan oleh Uqbah bin Amir. Dalam software al-Maktabah al-Syamilah ditemukan hasil sebagai berikut:
1.      Dikeluarkan oleh Abu Dawud dalam Sunan Abu Dawud, Bab Umpatan atas shadaqah, hadits nomor 2939.
2.      Dikeluakan oleh Ad-Darimi dalam Sunan Ad-Darimi, Hadits nomor 1719 dan 1666.
3.      Dikeluarkan oleh Ahmad bin Hanbal. Bab hadits Uqbah bin Amir, hadits nomor 17757, dan Jilid 4, hadits nomor 17426.
Berikut ini adalah I’tibar sanad atau diagram alur periwayatan hadits Uqbah bin Amir tersebur di atas secara lengkap:
Nabi Muhammad SAW
 
Uqbah bin Amir
سَمِعْتُ


Abdurrahman bin Syimamah
عَنْ


Yazid bin Abi Habib
عَنْ
عَنْ
Muhammad Ibn Ishaq
عَنْ


عَنْ                                                                                           عَنْ
Muhammad bin Salamah
Abu Dawud
Ahmad bin Khalid
Ad-Darimi
Ahmad bin Hanbal
ثنا
ثنا

ثنا

ثنا


Abdullah

رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ :« لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ
 



 

Dengan memperhatikan setiap rangkaian masing-masing sanad hadits tersebut, baik melalui Abu Dawud, Ad-Darimi, maupun dari Ahmad bin Hanbal, dilihat dari masa hidup, ataupun penjelasan dari masing-masing sanad bahwa mereka saling memberi dan menerima riwayat, begitupun dengan komentar yang diberikan oleh ulama (kritikus) hadits terhadap mereka. Maka dapat disimpulkan bahwa hadits tersebut sanadnya muttashil, dan semua sanadnya ‘adil. Sehingga dari segi sanad, hadits tersebut dapat dijadikan hujjah.

Analisis Atas Sanksi Pelaku PUNGLI
Dalam software al-Maktabah al-Syamilah Abu Muhammad memberikan penjelasan tentang hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud tersebut, ia mengatakan bahwa al-maks bermakna sebagai pungutan liar yang diambil atas penyelewangan dari hukum (aturan) yang ditentukan.[21] Sementara maksud dari shahib al-maks yaitu orang yang melakukan tindakan pungutan-pungutan terhadap para pedagang yang telah membayar dengan pungutan 1/10.[22]
Dalam hadits tersebut, dikatakan bahwa pelaku tindakan pungutan liar berakibat bahwa ia tidak akan masuk surga. Hal ini senada dengan hadits lain yang mengemukakan masuknya ke dalam neraka bagi pelaku pungutan liar, sebagaimana dalam hadits berikut:
رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « إِنَّ صَاحِبَ الْمَكْسِ فِى النَّارِ »[23]
“Rasulullah SAW bersabad: Sesungguhnya pelaku pungutan liar ada dalam neraka.” (HR. Ahmad).

Kerasnya sanksi yang didapat oleh pelaku pungutan liar ini dikarenakan perbuatan tersebut mengandung unsur kezaliman, hal ini dapat diketahui baik cara yang dilakukannya, maupun hasil yang diperolehnya. Perbuatan tersebut dilakukan dengan cara merampas harta orang lain dan dengan cara yang sewenang-wenang dan bukan dengan jalan yang benar.[24] Sementara itu, sesuatu yang dihasilkan dengan cara yang tidak benar, sebagaimana tindakan pungutan liar, juga dikategorikan tidak benar.
Lebih jauh, bahwa perbuatan yang mengandung unsur kezaliman, dalam al-Qur’an dikatakan bahwa pelaku dari perbuatan zalim itu akan mendapatkan adzab yang pedih, sebagaimana firman Allah:
إِنَّمَا ٱلسَّبِيلُ عَلَى ٱلَّذِينَ يَظۡلِمُونَ ٱلنَّاسَ وَيَبۡغُونَ فِي ٱلۡأَرۡضِ بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّۚ أُوْلَٰٓئِكَ لَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٞ
“Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat adzab yang pedih.” (QS. al-Syura: 42).

Kezaliman yang timbul dari perbuatan pungutan liar tersebut dapat dilihat dari beberapa unsur di dalamnya, diantaranya:
1.      Tidak resmi, yakni ketidakresmian terhadap pungutan yang dilakukan menyebabkan perbuatan tersebut dilandasi dengan ketidaksesuaian, dan tidak melalui kesepakatan bersama.
2.      Pemaksaan, yakni adanya unsur paksaan yang dilakukan oleh pelaku pungutan liar.
3.      Mengurangi hak pihak lain, yakni pengambilan harta yang dilakukan pelaku pungutan liar tentu akan berdampak pada berkurangnya harta orang yang dikenakan pungutan tersebut.
4.      Tekanan yang dirasakan oleh pihak yang dikenakan pungutan, ia merasa tidak tenang jika perbuatan pungutan liar tersebut terus menimpanya.
5.      Tidak ridha. Hal ini tentu dirasakan oleh pihak yang dikenakan pungutan liar, di mana ia memberikan uangnya dengan rasa terpaksa sehingga menimbulkan ketidakridhaannya atas harta yang diberikannya kepada pihak pemungut tersebut.

Kaitan Antara Pelaku Pungutan Liar Dengan Korupsi
Perlu diketahui bahwa perbuatan korupsi memiliki berbagai kualifikasi menurut fiqh jinayah, misalnya tindak penggelapan (Ghulul), Penyuapan (Risywah), Perampokan (Hirabah), Pungutan liar (al-Mask), dan lain sebagainya.[25] Namun, di sini penulis hanya akan mengemukakan kaitan antara pelaku pungutan liar dengan korupsi.
Untuk menarik kaitan antara pungutan liar dengan korupsi, di sini akan dibagi ke dalam dua aspek, yakni melalui unsur kezalimannya, dan sanksi yang diterimanya.
a.       Unsur Kezalimannya
Kita dapat mengambil satu definisi sebagaimana yang dikutip oleh Robert Klitgaard dalam bukunya “Membasmi Korupsi” bahwa:
Korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan Negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri); atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi.[26]

Dari definisi di atas menunjukkan bahwa tindakan korupsi didasarkan atas pelanggarannya kepada aturan resmi yang telah ditentukan, hal ini sebagaimana yang juga terjadi pada tindakan pungutan liar. Orang yang melakukan tindakan korupsi senantiasa mengabaikan kewajibannya, hal ini karena ia hanya mementingkan untuk mendapatkan keinginannya, yakni berkorupsi. Lebih jauh, bahwa pelaku perbuatan korupsi tidak peka perasaannya, sehingga menimbulkan kejahatan kepada rakyat (pihak lain)[27]. Sama halnya dengan tindakan korupsi, pada tindakan pungutan liar juga membuat pelakunya mengabaikan aturan yang ada, dan juga tidak memperdulikan perasaan orang yang dimintainya.
Perbuatan korupsi pada dasarnya bersifat memaksa sehingga tidak menutup kemungkinan hal tersebut dilakukan dengan kekerasan.[28] Sifat ini juga yang terjadi pada perbuatan pungutan liar yang menyebabkan tertekannya pihak yang dikenakan pungutan liar tersebut.
Selain itu, perbuatan korupsi yang berkaitan dengan pungutan liar dapat kita temukan dalam beberapa hadits, terutama korupsi dalam bentuk non-Ghanimah[29], sebagaimana yang dikemukakan oleh Syakhuddin dalam penelitian skripsinya[30], sebagai berikut:
No
Korupsi Non-Ghanimah
Kitab (Mukharrij)
No. Hadits
1.
Mengambil kekayaan Publik
·         At-Tirmidzi
No. 1255
2.
Mengambil Uang di luar Gaji Resmi
·         Abu Dawud
No. 2554
3.
Menggelapkan (hasil) Pekerjaan
·         Muslim
·         Abu Dawud
·         Ahmad
No. 3415
No. 3110
No. 17056

Dari beberapa hadits tentang korupsi yang tercantum dalam tabel di atas, kesemuanya menunjukkan perbuatan yang senada dengan pungutan liar. Pada hadits yang menerangkan tentang korupsi dengan mengambil kekayaan publik, mengambil uang diluar gaji resmi, serta menggelapkan (hasil) pekerjaan, merupakan unsur-unsur yang terdapat pada tindakan pungutan liar.
Dengan demikian, perbuatan pungutan liar dapat dijadikan sebagai bagian dari perbuatan yang didalamnya terdapat unsur-unsur kezaliman perbuatan korupsi, terutama dalam hal korupsi non-Ghanimah.

b.      Sanksi yang diterima
Adapun sanksi atau hukuman yang diterima bagi pelaku perbuatan korupsi, dapat dilihat dalam table berikut:[31]
No.
Sanksi
Kitab (Mukharrij)
No. Hadits
1.
Korupsi Menghalangi Masuk Surga
·         At-Tirmidzi
·         Ibn Majah
·         Ahmad
·         Ad-Darimi
·         No. 1497, 1498
·         No. 2403
·         No. 213335, 21356, 21391, 21398
·         No. 2479

Dari sanksi yang dikemukakan dalam table diatas, dikeluarkan dalam beberapa kitab yang terdapat dalam berbagai hadits. Sanksi tersebut juga dikenakan bagi pelaku perbuatan pungutan liar, misalnya hadits yang mengatakann bahwa pelaku pungutan liar tidak akan masuk surga –sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1.      Tindakan (perbuatan) pungutan liar (al-maks) sudah dikenal sejak awal perkembangan Islam, yang dilakukan kepada para pedagang-pedagang di pasar.
2.      Hadits yang diriwayatkan oleh Uqbah bin Amir tentang tidak akan masuk ke surga bagi pelaku pungutan liar, dapat ditemukan dalam kitab Abu Dawud, Ad-Darimi, dan Ahmad bin Hanbal.
3.      Kerasnya sanksi yang didapat oleh pelaku pungutan liar ini dikarenakan perbuatan tersebut mengandung unsur kezaliman, hal ini dapat diketahui baik cara yang dilakukannya, maupun hasil yang diperolehnya. Perbuatan tersebut dilakukan dengan cara merampas harta orang lain dan dengan cara yang sewenang-wenang dan bukan dengan jalan yang benar. Sementara itu, sesuatu yang dihasilkan dengan cara yang tidak benar, sebagaimana tindakan pungutan liar, juga dikategorikan tidak benar.
4.      Perbuatan pungutan liar memiliki keterkaitan dengan tindakan korupsi yang dapat diketahui melalui cara yang dilakukannya dengan keluar dari aturan yang ada serta biasanya dilakukan dengan merampas hak orang lain. Selain itu, kedua perbuatan ini dalam hadits dikatakan bahwa pelakunya tidak akan masuk surga.



Daftar Pustaka

Agama, Departemen. 2005. Al-Qur’an dan Terjemahnya. (Jakarta: Sya’mil).

Alatas, Syed Hussain. 1987. Korupsi, Sifat, Sebab, dan Fungsi. Terj. (Jakarta: LP3ES).

Djaja, Ermansjah. 2008. Memberantas Korupsi bersama KPK (Komisi Pemberantas Korupsi). (Jakarta: Sinar Grafika.).

Indonesia, Kementrian Sekretariat Negara Republik. 2016. Dalam www.setneg.go.id. Diakses pada 23 Oktober 2016.

Irfan, H. M. Nurul. 2014. Korupsi dalam Hukum Pidana Islam. (Jakarta: Amzah).

‘Itr, Nuruddin. 2014. Ulumul Hadits. Terj. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya).

Klitgaard, Robert. 2001. Membasmi Korupsi. Terj. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia).

Software Hadits CD ROM al-Maktabah al-Syamilah.

Syaikhuddin. 2010. Korupsi Dan Pemberantasannya Pada Masa Nabi SAW. (Studi al-Hadits Tentang Hadits-hadits Ghulul). Skripsi UIN Sunan Kalijaga. Tidak diterbitkan.

Zaman, Nuruz. 2011. Sanksi Pidana Pungli Oleh Pihak Sekolah (Suatu Tinjauan Hukum Positif Dan Hukum Pidana Islam). Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tidak diterbitkan.


[1] Kementrian Sekretariat Negara Republik Indonesia. Dalam www.setneg.go.id. Diakses pada 23 Oktober 2016.
[2] Redaksinya:
Seorang pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau sepatutnya harus diduganya, bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaannya atau kewenangannya yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang member hadiah atau janji itu ada hubungan dengan jabatannya, diancam dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
[3] Redaksinya:
Diancam dengan pidana paling lama lima tahun, seorang pegawai negeri:
(1)     Yang menerima hadiah atau janji padahal diketahuinya bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk menggerakkannya supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kawajibannya.
[4] Nuruz Zaman. Sanksi Pidana Pungli Oleh Pihak Sekolah (Suatu Tinjauan Hukum Positif Dan Hukum Pidana Islam). Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tidak diterbitkan. 2011. hlm. 40.
[5]  Lihat Dr. Ermansjah Djaja. S.H, M.Si. Memberantas Korupsi bersama KPK (Komisi Pemberantas Korupsi). (Jakarta: Sinar Grafika. 2008). hlm. 79.  Adapun redaksi Undang-undangnya sebagai berikut:
“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.”
[6] Dr. Nuruddin ‘Itr. Ulumul Hadits. Terj. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2014). hlm. 7.
[7] Peter Salim dan Yenny Salim. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. (Jakarta; Modern English Press. 1991). hlm. 1206.
[8] Peter Salim dan Yenny Salim. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. hlm. 869.
[9] Ahmad Warson Munawwir. Kamus Al-Munawwir Bahasa Arab-Indonesia Terlengkap. (Surabaya Pustaka Progresif. 1997). hlm. 1354.
[10] Al-Imam al-Allamah Jamaluddin Abi al-Fadhli Muhammad bin Makrum bin Manzhur. Lisan Al-Arab. jilid 17. (Lebanon: Daru Al-Kutub Al-Ilmiyah. 2009). hlm. 265.
[11] Dr. H. M. Nurul Irfan, M. Ag. Korupsi dalam Hukum Pidana Islam. (Jakarta: Amzah. 2014). 129.
[12] Dr. H. M. Nurul Irfan, M. Ag. Korupsi dalam Hukum Pidana Islam. hlm. 131.
[13] Abu Dawud, Sunan Abu Dawud. Bab Fi Al-Si’ayah ‘ala Shadaqah. Juz 9. hlm. 50. Nomor hadits 2939. Dalam Software hadits CD ROM al-Maktabah al-Syamilah.
[14] Hadits-hadits yang dikutip berdasarkan Software hadits CD ROM al-Maktabah al-Syamilah. Global Islamic Software.

[15] Redaksinya:
عُقْبَةَ بْنَ عَامِرٍ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ :« لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ ». قَالَ أَبُو مُحَمَّدٍ : يَعْنِى عَشَّاراً

[16] Redaksinya:
عَنِ ابْنِ إِسْحَاقَ قَالَ الَّذِى يَعْشُرُ النَّاسَ يَعْنِى صَاحِبَ الْمَكْسِ.

[17] Redaksinya:
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ

[18] Redaksinya:
عَنْ أَبِى الْخَيْرِ قَالَ عَرَضَ مَسْلَمَةُ بْنُ مُخَلَّدٍ وَكَانَ أَمِيراً عَلَى مِصْرَ عَلَى رُوَيْفِعِ بْنِ ثَابِتٍ أَنْ يُوَلِّيَهُ الْعُشُورَ فَقَالَ إِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « إِنَّ صَاحِبَ الْمَكْسِ فِى النَّارِ »

[19] Redaksinya:
عن عقبة بن عامر الجهني قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : « لا يدخل صاحب مكس (1) الجنة » . قال يزيد : « يعني العشار »
[20]  Abu Dawud, Sunan Abu Dawud. Bab Fi Al-Si’ayah ‘ala Shadaqah. Juz 9. hlm. 50. Nomor hadits 2939. Dalam Software hadits CD ROM al-Maktabah al-Syamilah.
[21] Abu Dawud, Sunan Abu Dawud. Bab Pemungutan terhadap shadaqah. Juz 9. hlm. 50. Nomor hadits 2939. Dalam Software hadits CD ROM al-Maktabah al-Syamilah.
[22] Dr. H. M. Nurul Irfan, M. Ag. Korupsi dalam Hukum Pidana Islam. hlm. 130. Maksud dari 1/10 kayaknya merupakan aturan tentang batas bayaran pajak.
[23]  Ahmad bin Hanbal yang diriwayatkan oleh Yazid bin Abi Habib, hadits nomor 17464. Dalalm Software CD ROM al-Maktabah al-Syamilah.
[24]  Dr. H. M. Nurul Irfan, M. Ag. Korupsi dalam Hukum Pidana Islam. hlm. 133.
[25]  Lihat Dr. H. M. Nurul Irfan, M. Ag. Korupsi dalam Hukum Pidana Islam. hlm. 78.
[26] Robert Klitgaard. Membasmi Korupsi. Terj. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2001). hlm. 31.
[27] Syed Hussain Alatas. Korupsi, Sifat, Sebab, dan Fungsi. Terj. (Jakarta: LP3ES. 1987). hlm. 178-189.
[28] Syed Hussain Alatas. Korupsi, Sifat, Sebab, dan Fungsi. Terj. hlm. 225.
[29]  Non-Ghanimah: harta yang bukan dari rampasan peran, misalnya mengambil kekayaan publik, dan mengambil uang di luar gaji resmi. Sementara itu, terdapat juga korupsi yang bentuknya berupa ghanima, misalnya dalam kitab (mukharrij) Al-Bukhari tentang korupsi mantel/rampasan perang,  hadits nomor 2845. Dalam kitab Ibn Majah tentang korupsi manic-manik di khaibar, nomor hadits 2845.
[30]  Syaikhuddin. Korupsi Dan Pemberantasannya Pada Masa Nabi SAW. (Studi al-Hadits Tentang Hadits-hadits Ghulul). Skripsi UIN Sunan Kalijaga. Tidak diterbitkan. 2010. hlm. 46.
[31] Syaikhuddin. Korupsi Dan Pemberantasannya Pada Masa Nabi SAW. (Studi al-Hadits Tentang Hadits-hadits Ghulul). hlm. 94.

Related Posts

ANALISIS HADITS TENTANG SANKSI ATAS PELAKU TINDAKAN PUNGUTAN LIAR SERTA KETERKAITANNYA DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.