ANALISIS HADITS
TENTANG SANKSI ATAS PELAKU TINDAKAN PUNGUTAN LIAR SERTA KETERKAITANNYA DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Muh Alwi HS
UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta
muhalwihs@ymail.com/
muhalwihs2gmail.com
Abstrak
Presiden
Joko widodo dalam menanggulangi tindak pungutan liar, akhirnya mengeluarkan
Peraturan Presiden (Perpres) nomor 87 Tahun 2016 Tentang Satuan Tugas Sapu
Bersih Pungutan Liar. Di sisi lain, dalam wacana keislaman, sebenarnya tindakan
pungutan liar sudah dikenal pada awal perkembangan islam, hal ini kemudian
dilarang oleh Nabi saw. Dengan menggunakan teori takhrij, penulis mengkaji
hadits-hadits yang berkaitan dengan pungutan liar (al-Maks), dengan
menggunakan deskriptif-analitik sebagai pisau analisisnya. Dari berbagai
hadits yang dikemukakan, dapat dikatakan bahwa tindakan pungutan liar termasuk
perbuatan dosa besar, sehingga pelakunya tidak akan masuk surga, dan ia akan
masuk neraka. Kerasnya hukuman tersebut disebabkan karena perbuatan pungutan
liar didalamnya terdapat unsur kezalimanan.
Adapun
mengenai keterkaitan antara pungutan liar dengan tindakan korupsi, bahwa
tindakan pungutan liar termasuk bagian dari tindakan korupsi yang di dalamnya
terdapat unsur kezaliman. Baik pelaku pungutan liar maupun korupsi, keduanya
digolongkan sebagai orang tidak akan masuk surga.
Kata kunci: Hadits,
Sanksi, Pungutan Liar, dan Korupsi.
Pendahuluan
Permasalahan
mengenai pungutan liar (Pungli) kini menjadi perhatian khusus bagi Joko Widodo
dalam pemerintahannya. Sebagai bentuk keseriusannya dalam memberantas tindakan
pungutan liar, Presiden Joko Widodo akhirnya menandatangani Peraturan Presiden
(Perpres) bernomor 87 Tahun 2016 Tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan
Liar, hal ini kemudian dibentuk sebuah tim khusus dalam menangani kasus
tersebut yang dikenal dengan Tim Sapu Bersi Pungutan Liar (Saber Pungli). Peraturan
tersebut merupakan salah satu tahap reformasi hukum yang dilakukan oleh
pemerintah khususnya dalam upaya-upaya kebijakan yang dapat dirasakan langsung
oleh masyarakat.[1]
Kasus
tindak pidana pungutan liar pada dasarnya dapat disamakan dengan kajahatan
pejabat yang telah diatur dalam KHUP pada pasal 415 tentang penggelapan yang
dilakukan oleh pejabat atau instansi terkait, selain itu terdapat juga pada
pasal 418[2]
dan 419 ayat (1)[3]
tentang pejabat yang menerima hadiah.[4]
Lebih
jauh, tindak pidana pungutan liar ini memiliki unsur-unsur yang sangat erat
kaitannya dengan tindak pidana korupsi, sebagaimana yang tercantum pada pasal 8
dalam UU No. 31 tahun 1999 yang kemudian diperbaiki oleh UU No. 20 tahun
2001Tentang Pemberantasan Tindakan Korupsi.[5]
Dalam
wacana pungutan liar di Indonesia, kajian yang menggunakan hadits sebagai pisau
analisis masih sangat minim. Dalam pelacakan penulis, Nurul Zaman merupakan
peneliti yang pernah mengkaji tentang pungutan liar dengan memakai tinjauan
hukum Islam, sebagaimana dalam penelitian skripsinya di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, tahun 2011, dengan judul Sanksi
Pidana Pungli Oleh Pihak Sekolah (Suatu Tinjauan Hukum Positif Dan Hukum Pidana
Islam). Meskipun bukan secara spesifik membahas tentang hadits-hadits mengenai
tema pungutan liar, akan tetapi Nurul menerangkan kedudukan pungutan liar dari berbagai
sudut pandang, di antaranya menggunakan al-Qur’an, Hadits, dan pandangan ulama.
Dari
penelitian yang dilakukan oleh Nurul Zaman, di sini penulis akan melakukan hal
yang serupa, hanya saja penulis akan mengambil kajian hadits sebagai fokus
kajiannya, adapun al-Qur’an dan pandangan ulama akan dijadikan sebagai bahan
pendukung atas tema yang dibahas. Pertanyaan kemudian yang hendak dijawab ialah
bagaimana kandungan yang termuat dalam hadits-hadits tentang pungutan liar?
Adapun
tentang hadits, ia merupakan sumber pedoman kedua (setelah al-Qur’an) dalam
menjalani kehidupan ini, sehingga kehadirannya guna mengajak manusia kepada
jalan yang benar.[6]
Metode
dan Kerangka Teori
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan, yakni
penelitian yang dilakukan dengan fokus pada penelusuran sumber-sumber yang
berkaitan dengan tema yang diambil langsung dari kitab-kitab hadits induk yang
berjumlah (kutub al-Tis’ah), kitab-kitab syarah hadits, maupun data-data
lain yang terkait, seperti buku, jurnal, dan lain sebagainya.
Adapun teori yang digunakan dalam kajian ini, yaitu teori takhrij
hadits sebagai teori yang digunakan untuk menampilkan berbagai bentuk
redaksi hadits yang terkait dengan pungutan liar. Selanjutnya, mengenai makna
yang dikandung dalam matan hadits-hadits tersebut akan dianalisis dengan
deskriptif-analitik yang juga dipakai dalam menganalisis data-data
lainnya yang berkaitan dengan tema penelitian secara sistematik sehingga
memperoleh kesimpulan yang jelas.
Hasil
dan Pembahasan
Dari
segi bahasa, pungutan liar dapat dibagi menjadi dua kata, yakni ‘pungutan’ dan ‘liar’.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, pungutan berarti barang yang dipungut[7],
dan liar berarti sembarangan, tidak sesuai dengan aturan, tidak diakui oleh
yang berwenang[8].
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pungutan liar berarti sesuatu (barang) yang
dipungut atau diambil dengan cara yang tidak sesuai dengan aturan yang ada.
Jika
ditarik ke dalam bahasa Arab sebagaimana dalam kamus al-Munawwir, pungutan liar
dikenal dengan kata al-Maksu (atau maksu) yang umumnya diartikan
dengan memungut cukai.[9] Lebih
jauh, dalam lisan al-arab bahwa kata al-maks merupakan uang
(dirham) yang diambil dari pedagang di pasar waktu zaman jahiliah. Dikatakan
bahwa pungutan liar yang diambil oleh pelaku pada mulanya, pungutan liar
tersebut adalah cukai.[10] Menurut
Muhammad bin Salim bin Sa’id Babashil sebagaimana yang dikutip oleh H. M. Nurul
Irfan dalam bukunya, bahwa al-Maks adalah suatu aturan yang dibuat oleh para penguasa dengan unsur
kezaliman, berkaitan dengan harta
manusia, dan menganggap diatur dengan undang-undang yang sengaja ataupun
dibuat-buat.[11]
Dalam
wacana keislaman, kasus pungutan liar ini sebenarnya sudah dikenal pada masa
awal perkembangan Islam. Hal ini dapat diketahui dalam kasus-kasus pemerasan
yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu kepada para pedagang di
pasar-pasar. Bahkan tidak jarang perbuatan liar tersebut dilakukan dengan
mengatasnamakan aturan untuk melakukan pungutan liar berasal dari pejabat
setempat, padahal hal tersebut dilakukan dengan unsur kezaliman terhadap para
pedagang.[12]
Perbuatan pungutan liar tersebut direspons oleh Nabi SAW, dengan pelarangan
untuk melakukannya, bahkan dikatakan dalam sebuah hadits bahwa orang yang melakukannya
tidak akan masuk surga. Sebagaimana dalam hadits sebagai berikut:
عُقْبَةَ
بْنَ عَامِرٍ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ :«
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ[13]
Artinya:
“Dari Uqbah bin Amir, Rasulullah SAW bersabda: tidak akan masuk
surga orang yang memungut pajak (cukai)”. (HR. Abu Dawud).
Hadits
Tentang Pungutan Liar
Sebenarnya
ada banyak hadits yang membahas tentang pungutan liar, atau dalam hal ini
dikenal dengan al-maksu (atau maksun). Masing-masing berdiri
sendiri dan saling melengkapi satu sama lain. misalnya[14] dalam kitab Sunan Ad-Darimi yang diriwayatkan
oleh Uqbah bin Amir, hadits nomor 1719[15].
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dalam Sunan Abu Dawud, hadits nomor
2940[16], riwayat
oleh Uqbah bin Amir, hadits nomor 2939[17]. Dalam kitab Ahmad bin Hanbal yang
diriwayatkan oleh Yazid bin Abi Habib, hadits nomor 17464[18]. Dalam
kitab Ibnu Khuzaimana, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Uqbah bin Amir,
hadits nomor 2144[19].
Dan lain sebagainya.
Dalam
melakukan analisa takhrij, di sini penulis hanya akan mengambil sampel
satu saja hadits yang berkaitan dengan tema, yakni riwayat Uqbah bin Amir. Hal
ini penulis lakukan karena sepanjang pelacakan penulis, hadits tersebut paling
banyak terdapat dalam berbagai kitab hadits. Adapun redaksi selengkapnya adalah
sebagai berikut:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ النُّفَيْلِيُّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
سَلَمَةَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاق، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ، عَنْ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ شِمَاسَةَ، عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ، قَالَ: سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: " لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ ".[20]
“Abdullah bin Muhammad menceritakan kepada kami, Muhammad bin
salamah menceritakan kepada kami, Muhammad bin Ishaq menceritakan kepada kami, dari Yazid bin Abi Habib, dari Abdurrahman bin Syimasah, dari Uqbah bin Amir, Rasulullah SAW bersabda: tidak akan
masuk surga orang yang memungut pajak (cukai)”. (HR. Abu Dawud).
Adapun takhrij
atau penelusuran mengenai hadis yang diriwayatkan oleh Uqbah bin Amir. Dalam
software al-Maktabah al-Syamilah ditemukan hasil sebagai berikut:
1.
Dikeluarkan
oleh Abu Dawud dalam Sunan Abu Dawud, Bab Umpatan atas shadaqah, hadits nomor
2939.
2.
Dikeluakan
oleh Ad-Darimi dalam Sunan Ad-Darimi, Hadits nomor 1719 dan 1666.
3.
Dikeluarkan
oleh Ahmad bin Hanbal. Bab hadits Uqbah bin Amir, hadits nomor 17757, dan Jilid
4, hadits nomor 17426.
Berikut
ini adalah I’tibar sanad atau diagram alur periwayatan hadits Uqbah bin
Amir tersebur di atas secara lengkap:
Nabi Muhammad SAW
|
Uqbah bin Amir
|
Abdurrahman bin Syimamah
|
Yazid bin Abi Habib
|
عَنْ
Muhammad Ibn Ishaq
|
عَنْ عَنْ
Muhammad bin Salamah
|
Abu Dawud
|
Ahmad bin Khalid
|
Ad-Darimi
|
Ahmad bin Hanbal
|
ثنا
|
ثنا
|
ثنا
|
ثنا
|
Abdullah
|
رَسُولَ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ :« لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ
|
Dengan
memperhatikan setiap rangkaian masing-masing sanad hadits tersebut, baik melalui
Abu Dawud, Ad-Darimi, maupun dari Ahmad bin Hanbal, dilihat dari masa hidup,
ataupun penjelasan dari masing-masing sanad bahwa mereka saling memberi dan
menerima riwayat, begitupun dengan komentar yang diberikan oleh ulama
(kritikus) hadits terhadap mereka. Maka dapat disimpulkan bahwa hadits tersebut
sanadnya muttashil, dan semua sanadnya ‘adil. Sehingga dari segi sanad, hadits tersebut
dapat dijadikan hujjah.
Analisis Atas Sanksi Pelaku PUNGLI
Dalam software al-Maktabah al-Syamilah Abu
Muhammad memberikan penjelasan tentang hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud
tersebut, ia mengatakan bahwa al-maks bermakna
sebagai pungutan liar yang diambil atas penyelewangan dari hukum (aturan) yang
ditentukan.[21] Sementara maksud dari shahib al-maks yaitu
orang yang melakukan tindakan pungutan-pungutan terhadap para pedagang yang telah
membayar dengan pungutan 1/10.[22]
Dalam hadits tersebut, dikatakan bahwa pelaku
tindakan pungutan liar berakibat bahwa ia tidak akan masuk surga. Hal ini
senada dengan hadits lain yang mengemukakan masuknya ke dalam neraka bagi
pelaku pungutan liar, sebagaimana dalam hadits berikut:
رَسُولَ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « إِنَّ صَاحِبَ الْمَكْسِ فِى النَّارِ »[23]
“Rasulullah SAW bersabad:
Sesungguhnya pelaku pungutan liar ada dalam neraka.” (HR. Ahmad).
Kerasnya sanksi yang didapat oleh pelaku
pungutan liar ini dikarenakan perbuatan tersebut mengandung unsur kezaliman,
hal ini dapat diketahui baik cara yang dilakukannya, maupun hasil yang
diperolehnya. Perbuatan tersebut dilakukan dengan cara merampas harta orang
lain
dan dengan cara yang sewenang-wenang
dan bukan dengan jalan yang benar.[24]
Sementara itu, sesuatu yang dihasilkan dengan cara yang tidak benar,
sebagaimana tindakan pungutan liar, juga dikategorikan tidak benar.
Lebih jauh, bahwa perbuatan yang mengandung
unsur kezaliman, dalam al-Qur’an dikatakan bahwa pelaku dari perbuatan zalim
itu akan mendapatkan adzab yang pedih, sebagaimana firman Allah:
إِنَّمَا ٱلسَّبِيلُ عَلَى ٱلَّذِينَ يَظۡلِمُونَ ٱلنَّاسَ وَيَبۡغُونَ فِي
ٱلۡأَرۡضِ بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّۚ أُوْلَٰٓئِكَ لَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٞ
“Sesungguhnya dosa itu atas
orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampui batas di muka bumi
tanpa hak. Mereka itu mendapat adzab yang pedih.” (QS. al-Syura: 42).
Kezaliman yang timbul dari perbuatan pungutan liar
tersebut dapat dilihat dari beberapa unsur di dalamnya, diantaranya:
1. Tidak resmi, yakni ketidakresmian terhadap pungutan yang dilakukan
menyebabkan perbuatan tersebut dilandasi dengan ketidaksesuaian, dan tidak
melalui kesepakatan bersama.
2. Pemaksaan, yakni adanya unsur paksaan yang
dilakukan oleh pelaku pungutan liar.
3. Mengurangi hak pihak lain, yakni pengambilan harta yang dilakukan
pelaku pungutan liar tentu akan berdampak pada berkurangnya harta orang yang
dikenakan pungutan tersebut.
4. Tekanan yang dirasakan oleh pihak yang dikenakan
pungutan, ia merasa tidak tenang jika perbuatan pungutan liar tersebut terus menimpanya.
5. Tidak ridha. Hal ini tentu dirasakan oleh
pihak yang dikenakan pungutan liar, di mana ia memberikan uangnya dengan rasa
terpaksa sehingga menimbulkan ketidakridhaannya atas harta yang diberikannya
kepada pihak pemungut tersebut.
Kaitan
Antara Pelaku Pungutan Liar Dengan Korupsi
Perlu
diketahui bahwa perbuatan korupsi memiliki berbagai kualifikasi menurut fiqh jinayah,
misalnya tindak penggelapan (Ghulul), Penyuapan (Risywah),
Perampokan (Hirabah), Pungutan liar (al-Mask), dan lain
sebagainya.[25]
Namun, di sini penulis hanya akan mengemukakan kaitan antara pelaku pungutan
liar dengan korupsi.
Untuk
menarik kaitan antara pungutan liar dengan korupsi, di sini akan dibagi ke
dalam dua aspek, yakni melalui unsur kezalimannya, dan sanksi yang diterimanya.
a.
Unsur
Kezalimannya
Kita
dapat mengambil satu definisi sebagaimana yang dikutip oleh Robert Klitgaard
dalam bukunya “Membasmi Korupsi” bahwa:
Korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi
sebuah jabatan Negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut
pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri); atau melanggar
aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi.[26]
Dari
definisi di atas menunjukkan bahwa tindakan korupsi didasarkan atas
pelanggarannya kepada aturan resmi yang telah ditentukan, hal ini sebagaimana
yang juga terjadi pada tindakan pungutan liar. Orang yang melakukan tindakan
korupsi senantiasa mengabaikan kewajibannya, hal ini karena ia hanya
mementingkan untuk mendapatkan keinginannya, yakni berkorupsi. Lebih jauh,
bahwa pelaku perbuatan korupsi tidak peka perasaannya, sehingga menimbulkan
kejahatan kepada rakyat (pihak lain)[27].
Sama halnya dengan tindakan korupsi, pada tindakan pungutan liar juga membuat
pelakunya mengabaikan aturan yang ada, dan juga tidak memperdulikan perasaan
orang yang dimintainya.
Perbuatan
korupsi pada dasarnya bersifat memaksa sehingga tidak menutup kemungkinan hal
tersebut dilakukan dengan kekerasan.[28]
Sifat ini juga yang terjadi pada perbuatan pungutan liar yang menyebabkan
tertekannya pihak yang dikenakan pungutan liar tersebut.
Selain
itu, perbuatan korupsi yang berkaitan dengan pungutan liar dapat kita temukan
dalam beberapa hadits, terutama korupsi dalam bentuk non-Ghanimah[29],
sebagaimana yang dikemukakan oleh Syakhuddin dalam penelitian skripsinya[30],
sebagai berikut:
No
|
Korupsi
Non-Ghanimah
|
Kitab
(Mukharrij)
|
No.
Hadits
|
1.
|
Mengambil kekayaan Publik
|
·
At-Tirmidzi
|
No. 1255
|
2.
|
Mengambil Uang di luar Gaji Resmi
|
·
Abu Dawud
|
No. 2554
|
3.
|
Menggelapkan (hasil) Pekerjaan
|
·
Muslim
·
Abu Dawud
·
Ahmad
|
No. 3415
No. 3110
No. 17056
|
Dari
beberapa hadits tentang korupsi yang tercantum dalam tabel di atas, kesemuanya
menunjukkan perbuatan yang senada dengan pungutan liar. Pada hadits yang
menerangkan tentang korupsi dengan mengambil kekayaan publik, mengambil uang
diluar gaji resmi, serta menggelapkan (hasil) pekerjaan, merupakan unsur-unsur
yang terdapat pada tindakan pungutan liar.
Dengan
demikian, perbuatan pungutan liar dapat dijadikan sebagai bagian dari perbuatan
yang didalamnya terdapat unsur-unsur kezaliman perbuatan korupsi, terutama
dalam hal korupsi non-Ghanimah.
b.
Sanksi
yang diterima
Adapun sanksi atau hukuman yang diterima bagi pelaku perbuatan
korupsi, dapat dilihat dalam table berikut:[31]
No.
|
Sanksi
|
Kitab
(Mukharrij)
|
No.
Hadits
|
1.
|
Korupsi
Menghalangi Masuk Surga
|
·
At-Tirmidzi
·
Ibn Majah
·
Ahmad
·
Ad-Darimi
|
·
No. 1497, 1498
·
No. 2403
·
No. 213335,
21356, 21391, 21398
·
No. 2479
|
Dari sanksi yang dikemukakan dalam table diatas, dikeluarkan dalam
beberapa kitab yang terdapat dalam berbagai hadits. Sanksi tersebut juga
dikenakan bagi pelaku perbuatan pungutan liar, misalnya hadits yang mengatakann
bahwa pelaku pungutan liar tidak akan masuk surga –sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya.
Kesimpulan
Dari
pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1.
Tindakan
(perbuatan) pungutan liar (al-maks) sudah dikenal sejak awal
perkembangan Islam, yang dilakukan kepada para pedagang-pedagang di pasar.
2.
Hadits
yang diriwayatkan oleh Uqbah bin Amir tentang tidak akan masuk ke surga bagi
pelaku pungutan liar, dapat ditemukan dalam kitab Abu Dawud, Ad-Darimi, dan
Ahmad bin Hanbal.
3.
Kerasnya sanksi yang didapat oleh pelaku pungutan liar
ini dikarenakan perbuatan tersebut mengandung unsur kezaliman, hal ini dapat
diketahui baik cara yang dilakukannya, maupun hasil yang diperolehnya.
Perbuatan tersebut dilakukan dengan cara merampas harta orang lain dan dengan cara yang sewenang-wenang dan bukan dengan jalan
yang benar. Sementara itu, sesuatu yang dihasilkan dengan cara yang tidak
benar, sebagaimana tindakan pungutan liar, juga dikategorikan tidak benar.
4.
Perbuatan pungutan liar memiliki keterkaitan dengan tindakan
korupsi yang dapat diketahui melalui cara yang dilakukannya dengan keluar dari
aturan yang ada serta biasanya dilakukan dengan merampas hak orang lain. Selain
itu, kedua perbuatan ini dalam hadits dikatakan bahwa pelakunya tidak akan
masuk surga.
Daftar Pustaka
Agama, Departemen. 2005. Al-Qur’an dan Terjemahnya.
(Jakarta: Sya’mil).
Alatas, Syed Hussain. 1987. Korupsi, Sifat, Sebab, dan Fungsi.
Terj. (Jakarta: LP3ES).
Djaja, Ermansjah. 2008. Memberantas Korupsi bersama KPK (Komisi
Pemberantas Korupsi). (Jakarta: Sinar Grafika.).
Indonesia, Kementrian Sekretariat Negara Republik. 2016. Dalam www.setneg.go.id. Diakses pada 23 Oktober 2016.
Irfan, H. M. Nurul. 2014. Korupsi dalam Hukum Pidana Islam. (Jakarta:
Amzah).
‘Itr, Nuruddin. 2014. Ulumul Hadits. Terj. (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya).
Klitgaard, Robert. 2001. Membasmi Korupsi. Terj. (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia).
Software Hadits CD ROM al-Maktabah al-Syamilah.
Syaikhuddin. 2010. Korupsi Dan Pemberantasannya Pada Masa Nabi
SAW. (Studi al-Hadits Tentang Hadits-hadits Ghulul). Skripsi UIN Sunan
Kalijaga. Tidak diterbitkan.
Zaman, Nuruz. 2011. Sanksi Pidana Pungli Oleh Pihak Sekolah
(Suatu Tinjauan Hukum Positif Dan Hukum Pidana Islam). Skripsi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Tidak diterbitkan.
[1]
Kementrian Sekretariat Negara Republik Indonesia. Dalam www.setneg.go.id.
Diakses pada 23 Oktober 2016.
[2]
Redaksinya:
Seorang
pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau
sepatutnya harus diduganya, bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena
kekuasaannya atau kewenangannya yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang
menurut pikiran orang yang member hadiah atau janji itu ada hubungan dengan
jabatannya, diancam dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
[3]
Redaksinya:
Diancam
dengan pidana paling lama lima tahun, seorang pegawai negeri:
(1)
Yang menerima hadiah atau janji padahal diketahuinya bahwa hadiah
atau janji itu diberikan untuk menggerakkannya supaya melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kawajibannya.
[4]
Nuruz Zaman. Sanksi Pidana Pungli Oleh Pihak Sekolah (Suatu Tinjauan Hukum
Positif Dan Hukum Pidana Islam). Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tidak diterbitkan. 2011. hlm. 40.
[5] Lihat Dr. Ermansjah Djaja. S.H, M.Si. Memberantas
Korupsi bersama KPK (Komisi Pemberantas Korupsi). (Jakarta: Sinar Grafika.
2008). hlm. 79. Adapun redaksi
Undang-undangnya sebagai berikut:
“Dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh
juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu,
dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena
jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil oleh
orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.”
[6] Dr.
Nuruddin ‘Itr. Ulumul Hadits. Terj. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
2014). hlm. 7.
[7]
Peter Salim dan Yenny Salim. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer.
(Jakarta; Modern English Press. 1991). hlm. 1206.
[9]
Ahmad Warson Munawwir. Kamus Al-Munawwir Bahasa Arab-Indonesia Terlengkap. (Surabaya
Pustaka Progresif. 1997). hlm. 1354.
[10]
Al-Imam al-Allamah Jamaluddin Abi al-Fadhli Muhammad bin Makrum bin Manzhur. Lisan
Al-Arab. jilid 17. (Lebanon: Daru Al-Kutub Al-Ilmiyah. 2009). hlm.
265.
[12] Dr.
H. M. Nurul Irfan, M. Ag. Korupsi dalam Hukum Pidana Islam. hlm. 131.
[13] Abu
Dawud, Sunan Abu Dawud. Bab Fi Al-Si’ayah ‘ala Shadaqah. Juz 9. hlm. 50.
Nomor hadits 2939. Dalam Software hadits CD ROM al-Maktabah
al-Syamilah.
[14] Hadits-hadits yang dikutip berdasarkan Software hadits CD ROM al-Maktabah
al-Syamilah. Global Islamic Software.
عُقْبَةَ بْنَ عَامِرٍ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله
عليه وسلم- يَقُولُ :« لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ ». قَالَ أَبُو
مُحَمَّدٍ : يَعْنِى عَشَّاراً
[16]
Redaksinya:
عَنِ ابْنِ إِسْحَاقَ قَالَ الَّذِى يَعْشُرُ النَّاسَ يَعْنِى
صَاحِبَ الْمَكْسِ.
[17]
Redaksinya:
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ
[18]
Redaksinya:
عَنْ أَبِى الْخَيْرِ قَالَ عَرَضَ مَسْلَمَةُ بْنُ مُخَلَّدٍ وَكَانَ
أَمِيراً عَلَى مِصْرَ عَلَى رُوَيْفِعِ بْنِ ثَابِتٍ أَنْ يُوَلِّيَهُ الْعُشُورَ
فَقَالَ إِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « إِنَّ
صَاحِبَ الْمَكْسِ فِى النَّارِ »
[19]
Redaksinya:
عن عقبة بن عامر الجهني قال : سمعت رسول الله صلى الله
عليه وسلم يقول : « لا يدخل صاحب مكس (1) الجنة » . قال يزيد : « يعني العشار »
[20] Abu Dawud, Sunan Abu Dawud.
Bab Fi Al-Si’ayah ‘ala Shadaqah. Juz 9. hlm. 50. Nomor hadits 2939. Dalam Software hadits CD ROM al-Maktabah al-Syamilah.
[21] Abu Dawud, Sunan Abu Dawud. Bab Pemungutan terhadap shadaqah. Juz 9. hlm. 50. Nomor hadits 2939. Dalam Software
hadits CD ROM al-Maktabah al-Syamilah.
[22] Dr.
H. M. Nurul Irfan, M. Ag. Korupsi dalam Hukum Pidana Islam. hlm. 130. Maksud dari 1/10 kayaknya merupakan aturan tentang batas bayaran
pajak.
[23] Ahmad bin Hanbal yang diriwayatkan
oleh Yazid bin Abi Habib, hadits nomor 17464. Dalalm Software CD ROM
al-Maktabah al-Syamilah.
[25] Lihat Dr. H. M. Nurul Irfan, M. Ag. Korupsi
dalam Hukum Pidana Islam. hlm. 78.
[26]
Robert Klitgaard. Membasmi Korupsi. Terj. (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia. 2001). hlm. 31.
[27]
Syed Hussain Alatas. Korupsi, Sifat, Sebab, dan Fungsi. Terj. (Jakarta:
LP3ES. 1987). hlm. 178-189.
[28]
Syed Hussain Alatas. Korupsi, Sifat, Sebab, dan Fungsi. Terj. hlm.
225.
[29] Non-Ghanimah: harta yang bukan dari
rampasan peran, misalnya mengambil kekayaan publik, dan mengambil uang di luar
gaji resmi. Sementara itu, terdapat juga korupsi yang bentuknya berupa ghanima,
misalnya dalam kitab (mukharrij) Al-Bukhari tentang korupsi
mantel/rampasan perang, hadits nomor
2845. Dalam kitab Ibn Majah tentang korupsi manic-manik di khaibar, nomor
hadits 2845.
[30] Syaikhuddin. Korupsi Dan Pemberantasannya
Pada Masa Nabi SAW. (Studi al-Hadits Tentang Hadits-hadits Ghulul). Skripsi
UIN Sunan Kalijaga. Tidak diterbitkan. 2010. hlm. 46.
[31]
Syaikhuddin. Korupsi Dan Pemberantasannya Pada Masa Nabi SAW. (Studi
al-Hadits Tentang Hadits-hadits Ghulul). hlm. 94.
ANALISIS HADITS TENTANG SANKSI ATAS PELAKU TINDAKAN PUNGUTAN LIAR SERTA KETERKAITANNYA DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI
4/
5
Oleh
Unknown