Kamis, 12 Januari 2017

MUSYAWARAH DALAM AL-QUR’AN (Kajian Tematik)



MUSYAWARAH DALAM AL-QUR’AN
(Kajian Tematik)

Oleh:
Muh Alwi HS
(14530083)
UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta


A.    Pendahuluan
Musyawarah merupakan wadah yang digunakan untuk mencari solusi sebuah permasalahan. Dengan musyawarah, berbagai pandangan dan pendapat akan berbenturan satu sama lain, sampai akhirnya muncul kesapakatan yang (semestinya) diterima bersama. Berbagai sengketa telah berhasil didamaikan melalui musyawarah, misalnya sengketa mengenai agama, politik, sampai ke hal-hal yang kecil sekalipun.
Ada banyak manfaat dengan adanya musyawarah, misalnya adanya kesadaran tentang perbedaan dan keragaman satu pihak dengan pihak yang lain, munculnya kesadaran tentang pentingnya kebersamaan, serta dengan musyawarah dapat melahirkan komitmen bersama. Akan tetapi, di sisi lain ketika musyawarah tidak dilakukan sebagaimana mestinya, dalam artian terjadinya pemaksaan, ancaman, ataupun hal lain yang mengutamakan kepentingan ‘pribadi’ dan mengatasnamakan kesepakatan bersama, maka konsep musyawarah bisa dikatakan telah ‘dinodai’. Karena itu, perlu selalu ada pembenahan tentang konsep musyawarah itu sendiri.
Dalam wacana keislamanan, musyawarah merupakan bagian dalam menyusun ikatan persaudaraan dan solidaritas.[1] Sehingga tidak heran jika permasalahan tentang musyawarah banyak disinggung di berbagai surah. Misalnya, dalam QS. al-Baqarah: 233[2], QS. Ali Imran: 159[3], QS. An-Nisa: 59[4], QS. Asy-Syura: 38[5], dan lain sebagainya.
Dari penjelasan tersebut, lantas bagaimana kandungan al-Qur’an mengenai tema musyawarah? Dalam tulisan ini ditujukan untuk mengungkap kandungan beberapa ayat yang membahas tentang musyawarah, yang kemudian (dapat) dijadikan sebagai bahan pandangan dalam bersosial, hal ini karena al-Qur’an sebagai pedoman untuk seluruh manusia (QS. al-Baqarah: 185).

B.     Hasil dan Pembahasan
Kata musyawarah dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer berarti membahas sebuah masalah secara bersama-sama untuk menghasilkan suatu kesapakatan yang berupa penyelesaian.[6] Sementara jika ditarik dalam bahasa Arab, masyawarah berasal dari kata sya-w-ra yang berarti mengambil madu dari sarang lebah[7]. Orang yang melakukan musyawarah bagaikan meminum madu. Hal ini karena pendapat yang disampaikan senantiasa berada pada lingkaran yang bernuansa kebaikan. Seperti lebah, orang yang melakukan musyawarah senantias mengunggulkan untuk bekerja sama, solid, disiplin, serta menyimpulkan kepada kebaikan.[8]
Selain manis, madu juga menjadi obat berbagai penyakit, sehingga ia menjadi dijadikan sebagai sumber kesehatan dan kekuatan. Oleh karena itulah, madu senantiasa dicari di mana dan oleh siapa pun.[9] Jika demikian, maka musyawarah menjadi sumber kebaikan, dan digunakan untuk kebaikan pula.
Selanjutnya, berikut ini adalah beberapa ayat yang berkaitan dengan musyawarah, beserta penafsirannya.

1.      QS. Ali Imran: 159
فَبِمَا رَحۡمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَۖ فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِۖ فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”

Tafsir Mufradat[10]
لِنتَ               : Berlaku lemah lembut, akhlak yang sangat luhur.
غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ     : Berhati keras yang tidak ada wujudnya (sisi dalam manusia).
وَشَاوِرۡهُمۡ       : Bermusyawarah dengan mereka dalam urusan peperangan dan urusan dunia.

Asbab an-Nuzul
Tidak ditemukan.

Penafsiran
Dalam ayat tersebut Allah swt. menegaskan bahwa sikap berlemah lembut, belas-kasihan, cinta-kasih dalam memimpin umatnya adalah bagian dari rahmat Allah sehingga dengan cara tersebut akan mendatangkan kemaslahatan.[11] Sementara itu, sikap kasar dan keras hati hanya akan menimbulkan keburukan. Sehingga untuk mencegah keburukan itu, maka perlu adanya musyawarah ketika menghadapi sebuah masalah.
Nabi Muhammad selain menjadi Rasul, Nabi juga menjadi kepala dan pemimpin Negara. Sehingga konsekuensinya beliau harus mampu membedakan mana yang urusan Agama dan urusan Dunia. Ketika sebuah urusan itu menyangkut urusan agama seperti Ibadah, Syariah, dan Hukum dasar. Maka Nabi merujuk langsung kepada Allah, dan tidak dapat diganggu gugat. Sementara, ketika sebuah urusan menyangkut dunia, misalnya perang atau damai, menjalankan ekonomi, ternak, bertani, dan berbagai hubungan-hubungan biasa antar manusia, maka disinilah letak musyawarah sangat diperlukan. Menentukan apa yang baik dan menghindari apa yang mendatangkan keburukan, serta dilakukan dengan cara yang lemah lembut dan bukan dengan sikap kasar dan keras hati.[12] 

2.      QS. An-Nisa: 59
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Tafsir Mufradat[13]
أَطِيعُواْ : Ketaatan yang bersumber dari si pemberi perintah, dalam hal ini wajib taat kepada Rasul meskipun tidak ada dasarnya dari al-Qur’an.
تَنَٰزَعۡتُمۡ : Berbeda pendapat lantaran tidak menemukan secara tegas petunjuk Allah dalam al-Qur’an dan juga dari Rasul dalam sunnah yang shahih.
فَرُدُّوهُ : Merujuk dengan menemukan nilai-nilai firman Allah dan tuntunan Rasul.

Asbab al-Nuzul
Ayat ini turun ketika Abdullah bin Hudzafah bin Qaisb beserta satu pasukan diutus oleh Nabi saw. pada saat itu terjadi kesalahan yang merupakan sebuah kebohongan yang dinisbatkan oleh Ibnu Abbas. Ad-Dawudi yang mengetahui masalah tersebut kemudian sangat marah bahkan hendak memulai peperangan. Namun, sebagian pasukan ad-Dawudi ada yang tidak ingin melakukannya, dan sebagian yang lain ada juga yang tidak ingin melakukannya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar menjelaskan ayat “Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu…” yakni ketika terjadi perselisihan ketika hendak melaksanakan perintah atau tidak melaksanakannya lantaran tidak ingin adanya peperangan, maka apa yang mereka perselisihkan hendaknya mengembalikannya kepada Allah dan Rasulullah saw.[14]

Penafsiran
Ayat tersebut menjelaskan tentang kewajiban orang-orang beriman untuk taat kepada aturan dari Allah, Rasulullah, dan ulil amri. Peraturan yang datang dari Allah itulah yang pertama kali wajib ditaati, kemudian menaati apa yang datang dari Rasulullah sebagai lanjutan dari Allah. Dan yang terakhir adalah kewajiban menaati Ulil Amri minkum, yakni orang-orang yang memiliki kuasa. kata minkum dapat dimaknakan sebagai di antara kalian, dan bisa juga dari kalian. Maksudnya, orang-orang yang berkuasa tersebut merupakan bagian dari kalian juga.[15]
Sebagaimana pada ayat sebelumnya (QS. Ali Imran: 159), ayat ini menjelaskan tentang kedudukan Nabi sebaga kepala Negara atau pemimpin, yang dalam menjalankan urusannya melalui jalan musyawarah, di mana anjuran untuk musyawarah itu kadang-kadang datang dari seorang penguasa. Lebih jauh, bahwa aturan ataupun kesapakatan dari hasil musyawarah tersebut menjadi sebuah kewajiban untuk ditaati, hal ini tentu berada di bawah pantauan penguasa (Ulil Amri).
 Berkenang dengan musyawarah, Nabi saw. bersabada: “Apa yang berhubungan dengan agama kamu, maka serahkanlah kepadaku. Dan apa yang berhubungan dengan urusan dunia kamu, maka kamu lebih mengetahuinya”[16]. Dengan hadits ini, dapat dipahami bahwa urusan dunia –termasuk di dalamnya melalui musyawarah- diberikan kepada ahlinya. Bahkan sekalipun itu perintah dari Allah jika untuk kelancaran melaksanakan perintah tersebut berada dalam ranah duniawi, maka hendaklah dimusyawarahkan[17], misalnya musyawarah tentang transportasi yang akan digunakan untuk berangkat haji.
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya)” sambungan ayat ini menunjukkan bahwa jika dengan melalui musyawarah tetapi belum juga menemukan kemaslahatan bersama, sehingga terjadi perelisihan di antara orang yang diajak bermusyawarah, perbandingkanlah perselisihan itu kepada ketentuan Allah dan Rasul-Nya, baik yang tertera dalam al-Qur’an dan Hadits, maupun pendapat ulama-ulama terdahulu, atau memakai qiyas perbandingan.
Selama seluruh peserta musyawarah itu ingat bahwa ketaatan kepada Allah dan  Rasul adalah pokok pertama beserta mengimaninya. Tentu segala pertikaian itu, akan dapat diselesaikan. Dan kalau masih terdapat perselisihan dikarenakan hawa nafsu, maka dalam hal ini pemimpin dapat mengambil keputusan berdasarkan ijtihadnya, demikianlah yang dekat kepada kehendak Allah dan Rasul, sebagaimana di ujung ayat ini, yakni “jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”[18]

3.      QS. Asy-Syura: 38
وَٱلَّذِينَ ٱسۡتَجَابُواْ لِرَبِّهِمۡ وَأَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَمۡرُهُمۡ شُورَىٰ بَيۡنَهُمۡ وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.”

Tafsir al-Mufradat[19]
ٱسۡتَجَابُواْ : Penerimaan yang sangat tulus, tidak disertai oleh sedikit keraguan atau kebencian.
شُورَىٰ   : Mengambil dan mengeluarkan pendapat yang terbaik dengan memperhadapkan satu pendapat dengan pendapat yang lain.
رَزَقۡنَٰهُمۡ  : Rezki baik yang berupa harta maupun selainnya.

Asbab an-Nuzul
Ayat ini turun sebagai pujian atas perbuatan kelompok Muslim Madinah (Anshar) yang senantiasa membela Nabi saw. dan pembelaan tersebut dilakukan berdasarkan musyawarah yang mereka laksanakan di rumah Abu Ayyub Al-Anshari.[20]

Penafsiran
Pada ayat ini telah dibedakan dengan jelas urusan agama dengan urusan dunia, hal ini digambarkan dengan kepatuhan melaksanakn shalat satu sisi, dan melakukan musyawarah dalam setiap urusan mereka (orang-orang beriman) di sisi lain.
Allah mengatakan bahwa “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya” yakni orang-orang yang menaati Rasul-Nya, menjalankan segala perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Kemudian “melaksanakan shalat” sebagai salah satu kewajiban dan ibadah pokok kepada Allah. Di sisi lain “urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka” sehingga tidak melaksakan sebuah urusan sebelum mereka bermusyawarah terlebih dahulu terkait urusan tersebut, dan mereka senantiasa saling menolong satu sama lain dalam segala urusan. “dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka” yaitu dengan melakukan kebaikan kepada sesama hamba Allah.[21] 

4.      QS. al-Baqarah: 233
وَٱلۡوَٰلِدَٰتُ يُرۡضِعۡنَ أَوۡلَٰدَهُنَّ حَوۡلَيۡنِ كَامِلَيۡنِۖ لِمَنۡ أَرَادَ أَن يُتِمَّ ٱلرَّضَاعَةَۚ وَعَلَى ٱلۡمَوۡلُودِ لَهُۥ رِزۡقُهُنَّ وَكِسۡوَتُهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ لَا تُكَلَّفُ نَفۡسٌ إِلَّا وُسۡعَهَاۚ لَا تُضَآرَّ وَٰلِدَةُۢ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوۡلُودٞ لَّهُۥ بِوَلَدِهِۦۚ وَعَلَى ٱلۡوَارِثِ مِثۡلُ ذَٰلِكَۗ فَإِنۡ أَرَادَا فِصَالًا عَن تَرَاضٖ مِّنۡهُمَا وَتَشَاوُرٖ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَاۗ وَإِنۡ أَرَدتُّمۡ أَن تَسۡتَرۡضِعُوٓاْ أَوۡلَٰدَكُمۡ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ إِذَا سَلَّمۡتُم مَّآ ءَاتَيۡتُم بِٱلۡمَعۡرُوفِۗ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرٞ
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”

Tafsir Mufradat[22]
فِصَالًا : Menyapih sebelum dua tahun.
تَشَاوُر : Mendiskusikan serta mengambil keputusan yang terbaik.
جُنَاحَ   : Beban atau dosa.

Asbab an-Nuzul
Tidak ditemukan.

Penafsiran
Ayat ini menjelaskan tentang perempuan (baca: istri) yang diceraikan oleh suaminya.[23] Jika telah melakukan pertimbangan dengan baik dari kedua pihak (suami-istri) untuk pemisahan anak dari ibunya, tegasnya bercerai susu, sementara penyusuan tersebut belum sampai dua tahun. Maka dalam hal ini dicari “kerelaan keduanya dan permusyawaratan”, yakni kerelaan yang dilakukan melalui musyawarah dari suami-istri itu, sehingga muncullah kesepakatan dari keduanya, serta “tidak ada dosa atas keduanya”. Musyawarah dan kerelaan dalam hal pendidikan, pengasuhan dan pembelaah anak sangat penting dilakukan, hal ini karena semua itu adalah tanggung jawab penuh dari ayah dan ibunya.
Dalam ayat ini ditunjukkan cara yang ditempuh dalam melaksanakan hak dan kewajiban, yaitu dalam keadaan (suasana) cinta dan musyawarah. Jika kedua hati sama-sama rela, maka tentu tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan dalam musyawarah itu. Hasil keputusannya itupun diakui dan diridhai oleh Allah swt.[24]

C.    Kontekstualisasi
Keempat ayat ini secara umum mengemukakan tentang pentingnya musyawarah, baik dalam lingkup yang terkecil seperti keluarga (QS. Al-Baqarah: 233), maupun lingkup yang lebih umum (QS. Asy-Syura: 38).
Akan tetapi pada kenyataannya, musyawarah tidak jarang berjalan bukan pada jalurnya. Sehingga tidak heran jika pertikaian tetap terjadi meski telah dilakukan musyawarah. Hal ini dikarenakan adanya musyawarah yang tidak dilakukan oleh ‘ahlinya’, yakni sebuah persoalan tidak dimusyawarahkan oleh orang-orang yang memahami persoalan itu, sehingga menyebabkan tidak sampainya pada kesimpulan yang diinginkan bersama. Al-Qur’an dalam hal ini, menunjuk ulil Amri (Lihat QS. An-Nisa: 59) untuk ditaati setelah melakukan musyawarah. Karena itu, Ulil Amri harus mampu memahami persoalan dan memberikan kebebasan berpendapat oleh pihak-pihak (peserta musyawarah) yang memahami persoalan tersebut.
Selain itu, tata cara yang dilakukan dalam pelaksanaan musyawarah juga tidak bisa diabaikan, hal ini jika peserta musyawarah bertindak semaunya, maka bukan hanya tidak sampai pada titik kesepakatan bersama, bahkan hal tersebut hanya akan menimbulkan masalah yang lebih besar. Dalam hal ini, al-Qur’an menginstruksikan agar cara yang dilakukan mestilah dengan cara yang lemah lembut, terbuka, dan saling menghargai dengan saling mengendorkan pendapat, bukan dengan berlaku kasar, dan dilandasi dengan berhati keras (Lihat QS. Ali Imran: 159).
Mengenai tata cara bagaimana musyawarah itu dilakukan al qur’an sendiri tidak secara spesifik menyebutkan hal itu, namun telah diberikan prinsip prinsip dan batasan agar musyawarah berjalan tidak alot dan mencapai kesepakatan bersama. mengenai tata cara sepertinya setiap masalah berbeda dalam hal ini.

D.    Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Ada banyak ayat dalam al-Qur’an yang membahas tentang tema musyawarah. Baik dalam lingkup keluarga maupun selainnya.
2.       Ajaran Islam yang berkaitan dengan urusan duniawi, maka hendaknya dimusyawarahkan. Bahkan sekalipun itu urusan yang berkaitan dengan agama (Ibadah, syariat) yang dalam mencapainya menggunakan perantara dunia, maka hal itu perlu juga dimusyawarahkan.
3.      Musyawarah hendaknya dilakukan dengan cara lemah lembut, saling menghargai, dan saling terbuka. Bukan dengan berlaku kasar, dan dilandasi dengan berhati keras. Sehingga pada akhirnya musyawarah dapat menghasilkan komitmen bersama.


Daftar Pustaka
Ar-Rifa’I, Muhammad Nasib. 1999. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Terj. (Jakarta: Gema Insani Press).
As-Syuyuti, Jalaluddin. 2013. Asbabun Nuzul: Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an. Terj. (Jakarta: Gema Insani).
Gafur, Waryono Abdul. 2005. Tafsir Sosial, Mendialogkan Teks dengan Konteks. (Yogyakarta: Penerbit elSAQ Press).
Hamka. 1983. Tafsir Al-Azhar. (Jakarta: Pustaka Panjimas).
Hamka. 2007. Tafsir Al-Azhar. (Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd. Cet-7).
Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. (Surabaya: Pustaka Progressif).
Salim, Peter dan Yenni Salim. 1991. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. (Jakarta: Modern English Press).
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an. (Jakarta: Lentera Hati).
______. 2007 Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat. (Jakarta: Penerbit Mizan).




[1] DR. Taufiq Muhammad Asy-Syawi. Syura Bukan Demokrasi. Terj. (Jakarta: Gema Insani Press. 1997). hlm. 65.  
[2] Redaksinya:
فَإِنۡ أَرَادَا فِصَالًا عَن تَرَاضٖ مِّنۡهُمَا وَتَشَاوُرٖ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَاۗ
[3] Redaksinya:
فَبِمَا رَحۡمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَۖ فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِۖ فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ
[4] Redaksinya:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا
[5] Redaksinya:
وَٱلَّذِينَ ٱسۡتَجَابُواْ لِرَبِّهِمۡ وَأَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَمۡرُهُمۡ شُورَىٰ بَيۡنَهُمۡ وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ
[6] Drs. Peter Salim dan Yenni Salim. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. (Jakarta: Modern English Press. 1991). hlm. 1015.
[7] Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. (Surabaya: Pustaka Progressif. 1997).
[8] Waryono Abdul Gafur, M.Ag. Tafsir Sosial, Mendialogkan Teks dengan Konteks. (Yogyakarta: Penerbit elSAQ Press. 2005). hlm. 153-154.
[9] M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat. (Jakarta: Penerbit Mizan. 2007). hlm. 617.
[10] M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an. Vol 2. (Jakarta: Lentera Hati. 2002). hlm. 256-257.
[11] Prof. Dr. Hamka. Tafsir Al-Azhar. Juz 4. (Jakarta: Pustaka Panjimas. 1983). hlm. 128.
[12] Prof. Dr. Hamka. Tafsir Al-Azhar. Juz 4. (Jakarta: Pustaka Panjimas. 1983). hlm. 130.
[13]  M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an. Vol 2. (Jakarta: Lentera Hati. 2002). hlm. 483.
[14] Jalaluddin as-Syuyuti. Asbabun Nuzul: Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an. Terj. (Jakarta: Gema Insani. 2013). hlm. 173-174.
[15]  Prof. Dr. Hamka. Tafsir Al-Azhar. Juz 5. (Jakarta: Pustaka Panjimas. 1983). hlm. 129.
[16]  HR. Ahmad.
[17]  Prof. Dr. Hamka. Tafsir Al-Azhar. Juz 4. (Jakarta: Pustaka Panjimas. 1983). hlm. 129-130.
[18]  Prof. Dr. Hamka. Tafsir Al-Azhar. Juz 4. (Jakarta: Pustaka Panjimas. 1983). hlm. 133-134.
[19]  M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an. Vol 12. (Jakarta: Lentera Hati. 2002). hlm. 177-178.
[20]  M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat. hlm. 619.
[21]  Muhammad Nasib Ar-Rifa’i. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Terj. (Jakarta: Gema Insani Press. 1999). hlm. 182-183.
[22] M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an. Vol 1. (Jakarta: Lentera Hati. 2002). hlm. 611.
[23] Salah satu persoalan di sini adala tentang menyusui anak. Lebih jauh dijelaskan bahwa baik saat diceraikan atau pun tidak, ahli tafsir tetap sepakat untuk menyusui anak selama dua tahun. Hal ini menunjukkan mengenai penyusuan merupakan kewajiban dan tanggung jawab seorang ibu. Lihat selengkapnya dalam Tafsir al-Azhar. Jilid 1 (cet ke-7. 2007). hlm. 559. 
[24]  Prof. Dr. Hamka. Tafsir Al-Azhar. Jilid 1. (Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd. Cet-7. 2007). hlm. 5622-563.

Related Posts

MUSYAWARAH DALAM AL-QUR’AN (Kajian Tematik)
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.