MUSYAWARAH
DALAM AL-QUR’AN
(Kajian
Tematik)
Oleh:
Muh Alwi HS
(14530083)
UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta
A.
Pendahuluan
Musyawarah merupakan wadah yang digunakan untuk mencari solusi
sebuah permasalahan. Dengan musyawarah, berbagai pandangan dan pendapat akan
berbenturan satu sama lain, sampai akhirnya muncul kesapakatan yang
(semestinya) diterima bersama. Berbagai sengketa telah berhasil didamaikan
melalui musyawarah, misalnya sengketa mengenai agama, politik, sampai ke
hal-hal yang kecil sekalipun.
Ada banyak manfaat dengan adanya musyawarah, misalnya adanya
kesadaran tentang perbedaan dan keragaman satu pihak dengan pihak yang lain,
munculnya kesadaran tentang pentingnya kebersamaan, serta dengan musyawarah
dapat melahirkan komitmen bersama. Akan tetapi, di sisi lain ketika musyawarah
tidak dilakukan sebagaimana mestinya, dalam artian terjadinya pemaksaan,
ancaman, ataupun hal lain yang mengutamakan kepentingan ‘pribadi’ dan
mengatasnamakan kesepakatan bersama, maka konsep musyawarah bisa dikatakan
telah ‘dinodai’. Karena itu, perlu selalu ada pembenahan tentang konsep
musyawarah itu sendiri.
Dalam wacana keislamanan, musyawarah merupakan bagian dalam
menyusun ikatan persaudaraan dan solidaritas.[1]
Sehingga tidak heran jika permasalahan tentang musyawarah banyak disinggung di
berbagai surah. Misalnya, dalam QS. al-Baqarah: 233[2],
QS. Ali Imran: 159[3],
QS. An-Nisa: 59[4],
QS. Asy-Syura: 38[5],
dan lain sebagainya.
Dari
penjelasan tersebut, lantas bagaimana kandungan al-Qur’an mengenai tema
musyawarah? Dalam tulisan ini ditujukan untuk mengungkap kandungan beberapa
ayat yang membahas tentang musyawarah, yang kemudian (dapat) dijadikan sebagai
bahan pandangan dalam bersosial, hal ini karena al-Qur’an sebagai pedoman untuk
seluruh manusia (QS. al-Baqarah: 185).
B.
Hasil
dan Pembahasan
Kata musyawarah dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer berarti membahas
sebuah masalah secara bersama-sama untuk menghasilkan suatu kesapakatan yang
berupa penyelesaian.[6]
Sementara jika ditarik dalam bahasa Arab, masyawarah berasal dari kata sya-w-ra
yang berarti mengambil madu dari sarang lebah[7].
Orang yang melakukan musyawarah bagaikan meminum madu. Hal ini karena pendapat
yang disampaikan senantiasa berada pada lingkaran yang bernuansa kebaikan.
Seperti lebah, orang yang melakukan musyawarah senantias mengunggulkan untuk
bekerja sama, solid, disiplin, serta menyimpulkan kepada kebaikan.[8]
Selain manis, madu juga menjadi obat berbagai penyakit, sehingga ia
menjadi dijadikan sebagai sumber kesehatan dan kekuatan. Oleh karena itulah,
madu senantiasa dicari di mana dan oleh siapa pun.[9]
Jika demikian, maka musyawarah menjadi sumber kebaikan, dan digunakan untuk
kebaikan pula.
Selanjutnya, berikut ini adalah beberapa ayat yang berkaitan dengan
musyawarah, beserta penafsirannya.
1.
QS.
Ali Imran: 159
فَبِمَا
رَحۡمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ
لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَۖ فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ
فِي ٱلۡأَمۡرِۖ فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ
يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ
“Maka
disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan
diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
Tafsir
Mufradat[10]
لِنتَ : Berlaku lemah lembut, akhlak yang sangat luhur.
غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ : Berhati keras yang tidak ada wujudnya (sisi dalam
manusia).
وَشَاوِرۡهُمۡ : Bermusyawarah dengan mereka dalam urusan peperangan
dan urusan dunia.
Asbab
an-Nuzul
Tidak
ditemukan.
Penafsiran
Dalam
ayat tersebut Allah swt. menegaskan bahwa sikap berlemah lembut, belas-kasihan,
cinta-kasih dalam memimpin umatnya adalah bagian dari rahmat Allah sehingga
dengan cara tersebut akan mendatangkan kemaslahatan.[11] Sementara
itu, sikap kasar dan keras hati hanya akan menimbulkan keburukan. Sehingga
untuk mencegah keburukan itu, maka perlu adanya musyawarah ketika menghadapi
sebuah masalah.
Nabi
Muhammad selain menjadi Rasul, Nabi juga menjadi kepala dan pemimpin Negara.
Sehingga konsekuensinya beliau harus mampu membedakan mana yang urusan Agama
dan urusan Dunia. Ketika sebuah urusan itu menyangkut urusan agama seperti Ibadah,
Syariah, dan Hukum dasar. Maka Nabi merujuk langsung kepada Allah, dan tidak
dapat diganggu gugat. Sementara, ketika sebuah urusan menyangkut dunia,
misalnya perang atau damai, menjalankan ekonomi, ternak, bertani, dan berbagai
hubungan-hubungan biasa antar manusia, maka disinilah letak musyawarah sangat
diperlukan. Menentukan apa yang baik dan menghindari apa yang mendatangkan
keburukan, serta dilakukan dengan cara yang lemah lembut dan bukan dengan sikap
kasar dan keras hati.[12]
2.
QS.
An-Nisa: 59
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي
ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ
وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ
خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Tafsir
Mufradat[13]
أَطِيعُواْ : Ketaatan yang bersumber dari si pemberi perintah, dalam
hal ini wajib taat kepada Rasul meskipun tidak ada dasarnya dari al-Qur’an.
تَنَٰزَعۡتُمۡ : Berbeda pendapat lantaran tidak menemukan secara tegas
petunjuk Allah dalam al-Qur’an dan juga dari Rasul dalam sunnah yang shahih.
فَرُدُّوهُ : Merujuk dengan menemukan nilai-nilai firman Allah dan
tuntunan Rasul.
Asbab
al-Nuzul
Ayat
ini turun ketika Abdullah bin Hudzafah bin Qaisb beserta satu pasukan diutus
oleh Nabi saw. pada saat itu terjadi kesalahan yang merupakan sebuah kebohongan
yang dinisbatkan oleh Ibnu Abbas. Ad-Dawudi yang mengetahui masalah tersebut
kemudian sangat marah bahkan hendak memulai peperangan. Namun, sebagian pasukan
ad-Dawudi ada yang tidak ingin melakukannya, dan sebagian yang lain ada juga
yang tidak ingin melakukannya.
Al-Hafizh
Ibnu Hajar menjelaskan ayat “Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang
sesuatu…” yakni ketika terjadi perselisihan ketika hendak melaksanakan
perintah atau tidak melaksanakannya lantaran tidak ingin adanya peperangan,
maka apa yang mereka perselisihkan hendaknya mengembalikannya kepada Allah dan
Rasulullah saw.[14]
Penafsiran
Ayat
tersebut menjelaskan tentang kewajiban orang-orang beriman untuk taat kepada
aturan dari Allah, Rasulullah, dan ulil amri. Peraturan yang datang dari
Allah itulah yang pertama kali wajib ditaati, kemudian menaati apa yang datang
dari Rasulullah sebagai lanjutan dari Allah. Dan yang terakhir adalah kewajiban
menaati Ulil Amri minkum, yakni orang-orang yang memiliki kuasa. kata minkum
dapat dimaknakan sebagai di antara kalian, dan bisa juga dari kalian.
Maksudnya, orang-orang yang berkuasa tersebut merupakan bagian dari kalian
juga.[15]
Sebagaimana
pada ayat sebelumnya (QS. Ali Imran: 159), ayat ini menjelaskan tentang
kedudukan Nabi sebaga kepala Negara atau pemimpin, yang dalam menjalankan
urusannya melalui jalan musyawarah, di mana anjuran untuk musyawarah itu
kadang-kadang datang dari seorang penguasa. Lebih jauh, bahwa aturan ataupun
kesapakatan dari hasil musyawarah tersebut menjadi sebuah kewajiban untuk
ditaati, hal ini tentu berada di bawah pantauan penguasa (Ulil Amri).
Berkenang dengan musyawarah, Nabi saw.
bersabada: “Apa yang berhubungan dengan agama kamu, maka serahkanlah
kepadaku. Dan apa yang berhubungan dengan urusan dunia kamu, maka kamu lebih
mengetahuinya”[16].
Dengan hadits ini, dapat dipahami bahwa urusan dunia –termasuk di dalamnya melalui
musyawarah- diberikan kepada ahlinya. Bahkan sekalipun itu perintah dari
Allah jika untuk kelancaran melaksanakan perintah tersebut berada dalam ranah
duniawi, maka hendaklah dimusyawarahkan[17],
misalnya musyawarah tentang transportasi yang akan digunakan untuk berangkat
haji.
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (sunnahnya)” sambungan ayat ini menunjukkan bahwa jika dengan melalui musyawarah
tetapi belum juga menemukan kemaslahatan bersama, sehingga terjadi perelisihan
di antara orang yang diajak bermusyawarah, perbandingkanlah perselisihan itu
kepada ketentuan Allah dan Rasul-Nya, baik yang tertera dalam al-Qur’an dan
Hadits, maupun pendapat ulama-ulama terdahulu, atau memakai qiyas
perbandingan.
Selama
seluruh peserta musyawarah itu ingat bahwa ketaatan kepada Allah dan Rasul adalah pokok pertama beserta
mengimaninya. Tentu segala pertikaian itu, akan dapat diselesaikan. Dan kalau
masih terdapat perselisihan dikarenakan hawa nafsu, maka dalam hal ini pemimpin
dapat mengambil keputusan berdasarkan ijtihadnya, demikianlah yang dekat
kepada kehendak Allah dan Rasul, sebagaimana di ujung ayat ini, yakni “jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”[18]
3.
QS.
Asy-Syura: 38
وَٱلَّذِينَ
ٱسۡتَجَابُواْ لِرَبِّهِمۡ وَأَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَمۡرُهُمۡ شُورَىٰ
بَيۡنَهُمۡ وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya
dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat
antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan
kepada mereka.”
Tafsir al-Mufradat[19]
ٱسۡتَجَابُواْ : Penerimaan yang sangat tulus, tidak disertai oleh
sedikit keraguan atau kebencian.
شُورَىٰ : Mengambil dan mengeluarkan pendapat yang terbaik dengan
memperhadapkan satu pendapat dengan pendapat yang lain.
رَزَقۡنَٰهُمۡ : Rezki
baik yang berupa harta maupun selainnya.
Asbab an-Nuzul
Ayat ini turun sebagai pujian atas perbuatan kelompok Muslim
Madinah (Anshar) yang senantiasa membela Nabi saw. dan pembelaan tersebut
dilakukan berdasarkan musyawarah yang mereka laksanakan di rumah Abu Ayyub
Al-Anshari.[20]
Penafsiran
Pada ayat ini telah dibedakan dengan jelas urusan agama dengan
urusan dunia, hal ini digambarkan dengan kepatuhan melaksanakn shalat satu
sisi, dan melakukan musyawarah dalam setiap urusan mereka (orang-orang beriman)
di sisi lain.
Allah mengatakan bahwa “Dan (bagi) orang-orang yang menerima
(mematuhi) seruan Tuhannya” yakni orang-orang yang menaati Rasul-Nya,
menjalankan segala perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Kemudian “melaksanakan
shalat” sebagai salah satu kewajiban dan ibadah pokok kepada Allah. Di sisi
lain “urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka” sehingga
tidak melaksakan sebuah urusan sebelum mereka bermusyawarah terlebih dahulu
terkait urusan tersebut, dan mereka senantiasa saling menolong satu sama lain
dalam segala urusan. “dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami
berikan kepada mereka” yaitu dengan melakukan kebaikan kepada sesama hamba
Allah.[21]
4.
QS.
al-Baqarah: 233
وَٱلۡوَٰلِدَٰتُ
يُرۡضِعۡنَ أَوۡلَٰدَهُنَّ حَوۡلَيۡنِ كَامِلَيۡنِۖ لِمَنۡ أَرَادَ أَن يُتِمَّ ٱلرَّضَاعَةَۚ
وَعَلَى ٱلۡمَوۡلُودِ لَهُۥ رِزۡقُهُنَّ وَكِسۡوَتُهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ لَا
تُكَلَّفُ نَفۡسٌ إِلَّا وُسۡعَهَاۚ لَا تُضَآرَّ وَٰلِدَةُۢ بِوَلَدِهَا وَلَا
مَوۡلُودٞ لَّهُۥ بِوَلَدِهِۦۚ وَعَلَى ٱلۡوَارِثِ مِثۡلُ ذَٰلِكَۗ فَإِنۡ
أَرَادَا فِصَالًا عَن تَرَاضٖ مِّنۡهُمَا وَتَشَاوُرٖ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَاۗ
وَإِنۡ أَرَدتُّمۡ أَن تَسۡتَرۡضِعُوٓاْ أَوۡلَٰدَكُمۡ فَلَا جُنَاحَ
عَلَيۡكُمۡ إِذَا سَلَّمۡتُم مَّآ ءَاتَيۡتُم بِٱلۡمَعۡرُوفِۗ وَٱتَّقُواْ
ٱللَّهَ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعۡمَلُونَ بَصِيرٞ
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,
yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi
makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani
melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun
berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika
kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila
kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah
dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Tafsir
Mufradat[22]
فِصَالًا : Menyapih sebelum dua tahun.
تَشَاوُر : Mendiskusikan serta mengambil keputusan yang terbaik.
جُنَاحَ : Beban atau dosa.
Asbab
an-Nuzul
Tidak
ditemukan.
Penafsiran
Ayat
ini menjelaskan tentang perempuan (baca: istri) yang diceraikan oleh suaminya.[23]
Jika telah melakukan pertimbangan dengan baik dari kedua pihak (suami-istri)
untuk pemisahan anak dari ibunya, tegasnya bercerai susu, sementara penyusuan
tersebut belum sampai dua tahun. Maka dalam hal ini dicari “kerelaan
keduanya dan permusyawaratan”, yakni kerelaan yang dilakukan melalui
musyawarah dari suami-istri itu, sehingga muncullah kesepakatan dari keduanya,
serta “tidak ada dosa atas keduanya”. Musyawarah dan kerelaan dalam hal
pendidikan, pengasuhan dan pembelaah anak sangat penting dilakukan, hal ini
karena semua itu adalah tanggung jawab penuh dari ayah dan ibunya.
Dalam
ayat ini ditunjukkan cara yang ditempuh dalam melaksanakan hak dan kewajiban,
yaitu dalam keadaan (suasana) cinta dan musyawarah. Jika kedua hati sama-sama
rela, maka tentu tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan dalam
musyawarah itu. Hasil keputusannya itupun diakui dan diridhai oleh Allah swt.[24]
C.
Kontekstualisasi
Keempat ayat ini secara umum mengemukakan tentang pentingnya musyawarah,
baik dalam lingkup yang terkecil seperti keluarga (QS. Al-Baqarah: 233), maupun
lingkup yang lebih umum (QS. Asy-Syura: 38).
Akan tetapi pada kenyataannya, musyawarah tidak jarang berjalan
bukan pada jalurnya. Sehingga tidak heran jika pertikaian tetap terjadi meski
telah dilakukan musyawarah. Hal ini dikarenakan adanya musyawarah yang tidak
dilakukan oleh ‘ahlinya’, yakni sebuah persoalan tidak dimusyawarahkan oleh
orang-orang yang memahami persoalan itu, sehingga menyebabkan tidak sampainya
pada kesimpulan yang diinginkan bersama. Al-Qur’an dalam hal ini, menunjuk ulil
Amri (Lihat QS. An-Nisa: 59) untuk ditaati setelah melakukan musyawarah.
Karena itu, Ulil Amri harus mampu memahami persoalan dan memberikan
kebebasan berpendapat oleh pihak-pihak (peserta musyawarah) yang memahami
persoalan tersebut.
Selain itu, tata cara yang dilakukan dalam pelaksanaan musyawarah
juga tidak bisa diabaikan, hal ini jika peserta musyawarah bertindak semaunya,
maka bukan hanya tidak sampai pada titik kesepakatan bersama, bahkan hal
tersebut hanya akan menimbulkan masalah yang lebih besar. Dalam hal ini,
al-Qur’an menginstruksikan agar cara yang dilakukan mestilah dengan cara yang
lemah lembut, terbuka, dan saling menghargai dengan saling mengendorkan
pendapat, bukan dengan berlaku kasar, dan dilandasi dengan berhati keras (Lihat
QS. Ali Imran: 159).
Mengenai tata cara bagaimana musyawarah itu dilakukan al qur’an
sendiri tidak secara spesifik menyebutkan hal itu, namun telah diberikan
prinsip prinsip dan batasan agar musyawarah berjalan tidak alot dan mencapai
kesepakatan bersama. mengenai tata cara sepertinya setiap masalah berbeda dalam
hal ini.
D.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Ada
banyak ayat dalam al-Qur’an yang membahas tentang tema musyawarah. Baik dalam
lingkup keluarga maupun selainnya.
2.
Ajaran Islam yang berkaitan dengan urusan
duniawi, maka hendaknya dimusyawarahkan. Bahkan sekalipun itu urusan yang
berkaitan dengan agama (Ibadah, syariat) yang dalam mencapainya menggunakan
perantara dunia, maka hal itu perlu juga dimusyawarahkan.
3.
Musyawarah
hendaknya dilakukan dengan cara lemah lembut, saling menghargai, dan saling
terbuka. Bukan dengan berlaku kasar, dan dilandasi dengan berhati keras.
Sehingga pada akhirnya musyawarah dapat menghasilkan komitmen bersama.
Daftar
Pustaka
Ar-Rifa’I,
Muhammad Nasib. 1999. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Terj. (Jakarta: Gema
Insani Press).
As-Syuyuti,
Jalaluddin. 2013. Asbabun Nuzul: Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an. Terj.
(Jakarta: Gema Insani).
Gafur,
Waryono Abdul. 2005. Tafsir Sosial, Mendialogkan Teks dengan Konteks. (Yogyakarta:
Penerbit elSAQ Press).
Hamka. 1983. Tafsir
Al-Azhar. (Jakarta: Pustaka Panjimas).
Hamka. 2007. Tafsir
Al-Azhar. (Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd. Cet-7).
Munawwir,
Ahmad Warson. 1997. Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia. (Surabaya: Pustaka Progressif).
Salim,
Peter dan Yenni Salim. 1991. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. (Jakarta:
Modern English Press).
Shihab,
M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an.
(Jakarta: Lentera Hati).
______. 2007 Wawasan
Al-Qur’an, Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat. (Jakarta: Penerbit
Mizan).
[1] DR.
Taufiq Muhammad Asy-Syawi. Syura Bukan Demokrasi. Terj. (Jakarta: Gema
Insani Press. 1997). hlm. 65.
[2]
Redaksinya:
فَإِنۡ أَرَادَا فِصَالًا عَن تَرَاضٖ مِّنۡهُمَا
وَتَشَاوُرٖ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَاۗ
[3]
Redaksinya:
فَبِمَا رَحۡمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ
كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَۖ فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ
وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِۖ فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ
عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ
[4]
Redaksinya:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ
وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي
شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ
وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا
[5]
Redaksinya:
وَٱلَّذِينَ ٱسۡتَجَابُواْ لِرَبِّهِمۡ وَأَقَامُواْ
ٱلصَّلَوٰةَ وَأَمۡرُهُمۡ شُورَىٰ بَيۡنَهُمۡ وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ
[6]
Drs. Peter Salim dan Yenni Salim. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. (Jakarta:
Modern English Press. 1991). hlm. 1015.
[8]
Waryono Abdul Gafur, M.Ag. Tafsir Sosial, Mendialogkan Teks dengan Konteks. (Yogyakarta:
Penerbit elSAQ Press. 2005). hlm. 153-154.
[9] M.
Quraish Shihab. Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan
Umat. (Jakarta: Penerbit Mizan. 2007). hlm. 617.
[10] M.
Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an.
Vol 2. (Jakarta: Lentera Hati. 2002). hlm. 256-257.
[11]
Prof. Dr. Hamka. Tafsir Al-Azhar. Juz 4. (Jakarta: Pustaka
Panjimas. 1983). hlm. 128.
[13] M. Quraish
Shihab. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an. Vol 2.
(Jakarta: Lentera Hati. 2002). hlm. 483.
[14]
Jalaluddin as-Syuyuti. Asbabun Nuzul: Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an. Terj.
(Jakarta: Gema Insani. 2013). hlm. 173-174.
[15] Prof. Dr. Hamka. Tafsir Al-Azhar. Juz
5. (Jakarta: Pustaka Panjimas. 1983). hlm. 129.
[16] HR. Ahmad.
[17] Prof. Dr. Hamka. Tafsir Al-Azhar. Juz
4. (Jakarta: Pustaka Panjimas. 1983). hlm. 129-130.
[19] M. Quraish
Shihab. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an. Vol 12.
(Jakarta: Lentera Hati. 2002). hlm. 177-178.
[21] Muhammad Nasib Ar-Rifa’i. Ringkasan Tafsir
Ibnu Katsir. Terj. (Jakarta: Gema Insani Press. 1999). hlm. 182-183.
[22] M.
Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan Dan Keserasian Al-Qur’an.
Vol 1. (Jakarta: Lentera Hati. 2002). hlm. 611.
[23]
Salah satu persoalan di sini adala tentang menyusui anak. Lebih jauh dijelaskan
bahwa baik saat diceraikan atau pun tidak, ahli tafsir tetap sepakat untuk
menyusui anak selama dua tahun. Hal ini menunjukkan mengenai penyusuan
merupakan kewajiban dan tanggung jawab seorang ibu. Lihat selengkapnya dalam Tafsir
al-Azhar. Jilid 1 (cet ke-7. 2007). hlm. 559.
[24] Prof. Dr. Hamka. Tafsir Al-Azhar. Jilid
1. (Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd. Cet-7. 2007). hlm. 5622-563.
MUSYAWARAH DALAM AL-QUR’AN (Kajian Tematik)
4/
5
Oleh
Unknown