Rabu, 11 Januari 2017

Perempuan Dalam Kukungan Tafsir Patriarkhis (Studi Pemikiran Amina Wadud)



Perempuan Dalam Kukungan Tafsir Patriarkhis
(Studi Pemikiran Amina Wadud)

Oleh:
Muhammad Misbahul Munir
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Di era modern ini, umat Islam dihadapi dengan pola pemikiran-pemikiran yang beragam. Arus pemikiran Barat sedikit demi sedikit menggantikan pemikiran-pemikiran klasik yang usang dan lapuk diterjang zaman. Umat Islam tidak bisa lagi hidup eksklusif, monolitis, dan diskriminatif. Ajaran-ajaran yang dibangun atas dasar epistemologi era klasik ditantang untuk menyelesaikan persoalan zaman yang terus berubah, oleh pemikiran-pemikiran yang dibentuk atas dasar epistemologi modern. Demi menyelesaikan persoalan ini dibutuhkan sikap terbuka terhadap realita-realita yang ada demi memberikan solusi yang “logis-rasional” namun tetap “orisinil”, sehingga Islam tidak dianggap sebagai agama yang mengajarkan kekerasan, teror, dan diskriminatif.[1]
Hegemoni penafsiran patriarkhi sungguh berdampak besar terhadap ruang gerak perempuan dalam realitas sosialnya. Rantai penafsiaran patriarkhi hendaknya diputus, karena tidak lagi relevan dengan konteks zaman sekarang ini. Memang benar teks itu bersifat statis, tetapi tidak dengan zaman yang bersifat dinamis. Dalam menyelaraskan al-Qur’an yang sa>lih li kulli zaman wa al-makan, maka perlu adanya pengkajian ulang terhadap ayat-ayat yang tidak lagi sesuai dengan zaman untuk kemudian dikontekstualisasikan.
Menurut Abdul Mustaqim, problematika tersebut menimbulkan “pergeseran paradigma tafsir” ke dalam suatu paradigma yang ketat dengan isu-isu gender (feminis). Paradigma ini menurutnya, berangkat dari anggapan bahwa prinsip awal dasar al-Qur’an mengenai relasi laki-laki dan perempuan adalah keadilan (al-‘ada>lah), keseteraan (al-musa>wah), kepantasan (al-ma’ruf), musyawarah (syu>ra>). Dengan demikian, hasil penafsiran-penafsiran klasik yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut akan dinilai “tidak tepat”, ketika dikaitkan dengan konteks kekinian yang berbeda dengan konteks saat ayat-ayat itu diturunkan.[2]
Terjadinya penafsiran yang bias patriakhi, menurut Abdul Mustaqim, disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: Pertama, faktor internal teks al-Qur’an. Al-Qur’an diturunkan dan terikat dengan atau pada suatu budaya tertentu, yaitu budaya patriakhi, budaya yang memposisikan laki-laki di atas perempuan. Kedua, faktor metodologi penafsiran. Hasil penafsiran sangat tergantung dengan metodologi penafsiran. Metode yang digunakan penafsir era klasik bersifat atomistik, yaitu penafsiran yang tidak menyeluruh, terpotong-potong, sehingga tidak dapat mencapai world view al-Qur’an yang merupakan esensi al-Qur’an itu sendiri. Ketiga, faktor eksternal. Yaitu kebanyakan penafsir era klasik diisi oleh mereka para lelaki yang dianggap kurang dapat mengakomodir hak-hak perempuan.[3]
Menghadapi problematika tersebut, Amina Wadud menawarkan metode tafsir holistik, yaitu tafsir yang menggunakan seluruh metode penafsiran dan mengaitkan dengan berbagai persoalan sosial, moral, ekonomi, politik, termasuk isu-isu perempuan yang muncul di era modernitas.[4] Metode tafsir ini bukan hal yang baru –Amina Wadud sendiri mengakui hal itu– tetapi merupakan metode tafsir yang pernah ditawarkan oleh Fazlur Rahman. Dalam metode ini, Amina Wadud menekanan pemahaman terhadap suatu objek kajian agar memahaminya secara menyeluruh, tidak sepotong-potong (parsial) dan mengambil makna umumnya sebagai batasan untuk digunakan dalam mengkontekstualisasikan ke suatu kondisi dan situasi tertentu.
Menurut Amina Wadud, tidak ada metode penafsiran al-Qur’an yang benar-benar objektif. Masing-masing interpretasi merupakan hasil pilihan-pilihan yang subjektif. Maka wajar kiranya teks yang tunggal dipahami dengan berbagai penafsiran[5]. Dengan demikian, tidak pantas seseorang mengklaim suatu kebenaran dan menganggap pendapat yang tidak sesuai dengannya salah.
Metode tafsir tematik-holistik Amina Wadud merupakan salah satu model pendekatan hermeneutika. Disebut demikian, karena metode ini selalu melihat secara kritis hubungan antara tiga aspek, yaitu: 1) Dalam konteks apa teks itu ditulis. Jika kaitannya dengan al-Qur’an, maka dalam konteks apakah ayat itu diturunkan, 2) Bagaimana komposisi tata bahasa teks (ayat) tersebut, bagaimana pengungkapannya, apa yang dikatakannya, 3) Bagaiamana pula keseluruhan teks (ayat) itu berbicara tentang tema tertentu, bagaimana pula weltanchauung-nya atau padangan hidupnya. Dari sinilah –tiga aspek tersebut, perbedaan dan bias penafsiran dapat diketahui.[6]
Dengan metode tafsir holistik ini, maka ayat-ayat yang secara tekstual bias gender, sepeti ayat pembagian hukum waris, persaksian, poligami, dan sebagainya, dapat dijelaskan secara lebih kontekstual. Misalnya dalam kesaksian wanita, ide dasarnya adalah kualitas persaksian, bukan kuantitas persaksian. Pembagian satu banding dua dalam persaksian pada waktu itu dirasa sangat adil, jika memepertimbangkan keadaannya yang kental dengan budaya patriakhi, di mana wanita belum memiliki kepiawaian di ruang publik dalam arti luas, mereka pada saat itu hanya berkutat dalam wilayah yang kecil yaitu keluarga. Oleh karena itu, jika ternyata nilai keadilan itu berubah, seiring dengan perubahan sistem nilai yang berlaku di masyarakat, maka penafsiran itu juga bisa berubah mengikuti kondisi kontekstualnya.[7]
Lebih lanjut tentang metode Amina Wadud dalam pengaplikasiannya, dalam Q.S. al-Nisa’ (4): 1 dijelaskan asal-usul penciptaan manusia:
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qà)®?$# ãNä3­/u Ï%©!$# /ä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur t,n=yzur $pk÷]ÏB $ygy_÷ry £]t/ur $uKåk÷]ÏB Zw%y`Í #ZŽÏWx. [ä!$|¡ÎSur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# Ï%©!$# tbqä9uä!$|¡s? ¾ÏmÎ/ tP%tnöF{$#ur 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3øn=tæ $Y6ŠÏ%u ÇÊÈ
Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya, Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.
 Demikian juga Q.S. al-Rum (30): 21 yang berbunyi:
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨Šuq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbr㍩3xÿtGtƒ ÇËÊÈ
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Dalam paradigma tafsir feminis, kedua ayat di atas menjelaskan tentang unsur-unsur pokok asal-usul penciptaan manusia (laki-laki dan perempuan), yakni unsur yang serupa, yaitu tanah seperti Adam a.s. juga diciptakan. Menurut mayoritas muffasir susunan kata nafsin wa>hidah adalah bagian tubuh (tulang rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim, mereka memahami susunan kata min nafs wa>hidah sebagai Adam dan zawj (pasangannya) adalah Hawa. Padahal sebenarnya tidak ada kejelasan pengertian dalam al-Qur’an mengenai susunan kata nafs wa>hidah adalah Adam dan Hawa. Sebab secara semantik, kata nafs adalah mua’annats (feminin), namun mengapa oleh para mufassir klasik ditafsirkan dengan Adam yang berjenis kelamin laki-laki.
Kata nafs dalam al-Qur’an menunjukkan bahwa seluruh umat manusia berasal dari asal-usul yang sama. Dalam al-Qur’an tidak pernah dijelaskan bahwa Allah menciptakan manusia bermula dengan nafs dalam arti Adam, seorang pria. Istilah nafs itu sendiri, sebenarnya, berkaitan dengan esensi manusia, pria dan perempuan dan bukan istilah untuk mesuporiorkan suatu jenis kelamin.[8]
Nampak jelas dari paparan dan contoh pengaplikasian metode di atas, bahwa hasil yang diproduksi sangat kentara perbedaannya dengan hasil penafsiran yang selama ini banyak dikonsumsi oleh masyarakat, sehingga terlihat dampak nyata yang signifikan dalam realitas sosialnya. Model penafsiran seperti ini perlu untuk dilakukan mengingat konteks zaman yang selalu berubah-ubah. Agar tidak ada lagi ketimpangan di antara peran perempuan di ruang publiknya, baik yang berkaitan dengan wilayah sempit dalam lingkup keluarga, maupun yang bersifat luas dalam lingkup pemerintahan.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Zahabi, Muhammad Husain. al-Tafsir wa al-Mufassirun. Beirut Da>r al-Fikr, tth.
Khozainul. 2009. “Konsep Poligami Dalam Pandangan Muhammad Syahrur Dan Amina Wadud Muhsin”. Yogyakarta: Fakultas Syari’ah UIN SUKA.
Kusuma, Subhani. 2005. “Feminisme Dalam Islam (Kajian Atas Pemikiran Amina Wadud Tentang Relasi Fungsional Antara Laki-Laki Dan Perempuan). Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin UIN SUKA.
Mustaqim, Abdul. Paradigma Tafsir Feminis: “Membaca al-Qur’an Dengan Optik Perempuan”. Yogyakarta: Logung Pustaka.
Wadud, Amina. 1999. Qur’an and Women. New York: Oxford University.
Zailani, dkk. 2016. “Reinterpretasi Terhadap Pemahaman Hadits-Hadits Tentang Gender Dalam Perspektif Fiqh Hadits”. Jurnal Ushuluddin, Vol. 24, No. 1.
  


[1] Zailani, dkk., “Reinterpretasi Terhadap Pemahaman Hadits-Hadits Tentang Gender Dalam Perspektif Fiqh Hadits”, Jurnal Ushuluddin, Vol. 24, No. 1, hlm. 39.
[2] Drs. H. Abdul Mustaqim, M.A., Paradigma Tafsir Feminis: “Membaca al-Qur’an Dengan Optik Perempuan” (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2008) hlm. 16.
[3] Drs. H. Abdul Mustaqim, M.A., Paradigma Tafsir Feminis, hlm. 24-28.
[4] Drs. H. Abdul Mustaqim, M.A., Paradigma Tafsir Feminis, hlm. 28.
[5] Amina Wadud, Qur’an and Women (New York: Oxford University: 1999), hlm. 1.
[6] Drs. H. Abdul Mustaqim, M.A., Paradigma Tafsir Feminis, hlm. 29.
[7] Drs. H. Abdul Mustaqim, M.A., Paradigma Tafsir Feminis, hlm. 30.
[8] Amina Wadud, “Qur’an and Woman” dalam Drs. H. Abdul Mustaqim, Paradigma Tafsir Feminisme, hlm. 45.

Related Posts

Perempuan Dalam Kukungan Tafsir Patriarkhis (Studi Pemikiran Amina Wadud)
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.