Perempuan Dalam
Kukungan Tafsir Patriarkhis
(Studi Pemikiran Amina
Wadud)
Oleh:
Muhammad Misbahul Munir
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Di era modern ini,
umat Islam dihadapi dengan pola pemikiran-pemikiran yang beragam. Arus
pemikiran Barat sedikit demi sedikit menggantikan pemikiran-pemikiran klasik yang
usang dan lapuk diterjang zaman. Umat Islam tidak bisa lagi hidup eksklusif,
monolitis, dan diskriminatif. Ajaran-ajaran yang dibangun atas dasar
epistemologi era klasik ditantang untuk menyelesaikan persoalan zaman yang
terus berubah, oleh pemikiran-pemikiran yang dibentuk atas dasar epistemologi
modern. Demi menyelesaikan persoalan ini dibutuhkan sikap terbuka terhadap
realita-realita yang ada demi memberikan solusi yang “logis-rasional” namun
tetap “orisinil”, sehingga Islam tidak dianggap sebagai agama yang mengajarkan
kekerasan, teror, dan diskriminatif.[1]
Hegemoni penafsiran patriarkhi
sungguh berdampak besar terhadap ruang gerak perempuan dalam realitas
sosialnya. Rantai penafsiaran patriarkhi hendaknya diputus, karena tidak lagi
relevan dengan konteks zaman sekarang ini. Memang benar teks itu bersifat
statis, tetapi tidak dengan zaman yang bersifat dinamis. Dalam menyelaraskan
al-Qur’an yang sa>lih li kulli zaman wa al-makan, maka perlu adanya
pengkajian ulang terhadap ayat-ayat yang tidak lagi sesuai dengan zaman untuk
kemudian dikontekstualisasikan.
Menurut Abdul
Mustaqim, problematika tersebut menimbulkan “pergeseran paradigma tafsir” ke
dalam suatu paradigma yang ketat dengan isu-isu gender (feminis). Paradigma ini
menurutnya, berangkat dari anggapan bahwa prinsip awal dasar al-Qur’an mengenai
relasi laki-laki dan perempuan adalah keadilan (al-‘ada>lah),
keseteraan (al-musa>wah), kepantasan (al-ma’ruf), musyawarah (syu>ra>).
Dengan demikian, hasil penafsiran-penafsiran klasik yang tidak sesuai dengan
prinsip-prinsip tersebut akan dinilai “tidak tepat”, ketika dikaitkan dengan
konteks kekinian yang berbeda dengan konteks saat ayat-ayat itu diturunkan.[2]
Terjadinya penafsiran
yang bias patriakhi, menurut Abdul Mustaqim, disebabkan oleh beberapa faktor,
antara lain: Pertama, faktor internal teks al-Qur’an. Al-Qur’an
diturunkan dan terikat dengan atau pada suatu budaya tertentu, yaitu budaya
patriakhi, budaya yang memposisikan laki-laki di atas perempuan. Kedua,
faktor metodologi penafsiran. Hasil penafsiran sangat tergantung dengan
metodologi penafsiran. Metode yang digunakan penafsir era klasik bersifat
atomistik, yaitu penafsiran yang tidak menyeluruh, terpotong-potong, sehingga
tidak dapat mencapai world view al-Qur’an yang merupakan esensi
al-Qur’an itu sendiri. Ketiga, faktor eksternal. Yaitu kebanyakan
penafsir era klasik diisi oleh mereka para lelaki yang dianggap kurang dapat
mengakomodir hak-hak perempuan.[3]
Menghadapi
problematika tersebut, Amina Wadud menawarkan metode tafsir holistik, yaitu
tafsir yang menggunakan seluruh metode penafsiran dan mengaitkan dengan
berbagai persoalan sosial, moral, ekonomi, politik, termasuk isu-isu perempuan
yang muncul di era modernitas.[4]
Metode tafsir ini bukan hal yang baru –Amina Wadud sendiri mengakui hal itu– tetapi
merupakan metode tafsir yang pernah ditawarkan oleh Fazlur Rahman. Dalam metode
ini, Amina Wadud menekanan pemahaman terhadap suatu objek kajian agar
memahaminya secara menyeluruh, tidak sepotong-potong (parsial) dan mengambil
makna umumnya sebagai batasan untuk digunakan dalam mengkontekstualisasikan ke
suatu kondisi dan situasi tertentu.
Menurut Amina Wadud, tidak
ada metode penafsiran al-Qur’an yang benar-benar objektif. Masing-masing
interpretasi merupakan hasil pilihan-pilihan yang subjektif. Maka wajar kiranya
teks yang tunggal dipahami dengan berbagai penafsiran[5].
Dengan demikian, tidak pantas seseorang mengklaim suatu kebenaran dan
menganggap pendapat yang tidak sesuai dengannya salah.
Metode tafsir
tematik-holistik Amina Wadud merupakan salah satu model pendekatan hermeneutika.
Disebut demikian, karena metode ini selalu melihat secara kritis hubungan
antara tiga aspek, yaitu: 1) Dalam konteks apa teks itu ditulis. Jika kaitannya
dengan al-Qur’an, maka dalam konteks apakah ayat itu diturunkan, 2) Bagaimana
komposisi tata bahasa teks (ayat) tersebut, bagaimana pengungkapannya, apa yang
dikatakannya, 3) Bagaiamana pula keseluruhan teks (ayat) itu berbicara tentang
tema tertentu, bagaimana pula weltanchauung-nya atau padangan hidupnya. Dari
sinilah –tiga aspek tersebut, perbedaan dan bias penafsiran dapat diketahui.[6]
Dengan metode tafsir
holistik ini, maka ayat-ayat yang secara tekstual bias gender, sepeti ayat
pembagian hukum waris, persaksian, poligami, dan sebagainya, dapat dijelaskan
secara lebih kontekstual. Misalnya dalam kesaksian wanita, ide dasarnya adalah
kualitas persaksian, bukan kuantitas persaksian. Pembagian satu banding dua
dalam persaksian pada waktu itu dirasa sangat adil, jika memepertimbangkan
keadaannya yang kental dengan budaya patriakhi, di mana wanita belum memiliki
kepiawaian di ruang publik dalam arti luas, mereka pada saat itu hanya berkutat
dalam wilayah yang kecil yaitu keluarga. Oleh karena itu, jika ternyata nilai
keadilan itu berubah, seiring dengan perubahan sistem nilai yang berlaku di
masyarakat, maka penafsiran itu juga bisa berubah mengikuti kondisi
kontekstualnya.[7]
Lebih
lanjut tentang metode Amina Wadud dalam pengaplikasiannya, dalam Q.S. al-Nisa’
(4): 1 dijelaskan asal-usul penciptaan manusia:
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# (#qà)®?$# ãNä3/u Ï%©!$# /ä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur t,n=yzur $pk÷]ÏB $ygy_÷ry £]t/ur $uKåk÷]ÏB Zw%y`Í #ZÏWx. [ä!$|¡ÎSur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# Ï%©!$# tbqä9uä!$|¡s? ¾ÏmÎ/ tP%tnöF{$#ur 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3øn=tæ $Y6Ï%u ÇÊÈ
Artinya:
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan
kamu dari seorang diri, dan dari padanya, Allah menciptakan isterinya; dan dari
pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.
Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu.
Demikian juga Q.S. al-Rum (30): 21 yang
berbunyi:
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»t#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøs9Î) @yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨uq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºs ;M»tUy 5Qöqs)Ïj9 tbrã©3xÿtGt ÇËÊÈ
Artinya:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir.
Dalam paradigma tafsir feminis, kedua ayat di atas
menjelaskan tentang unsur-unsur pokok asal-usul penciptaan manusia (laki-laki
dan perempuan), yakni unsur yang serupa, yaitu tanah seperti Adam a.s. juga diciptakan.
Menurut mayoritas muffasir susunan kata nafsin wa>hidah adalah bagian
tubuh (tulang rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim,
mereka memahami susunan kata min nafs wa>hidah sebagai Adam dan zawj
(pasangannya) adalah Hawa. Padahal sebenarnya tidak ada kejelasan pengertian
dalam al-Qur’an mengenai susunan kata nafs wa>hidah adalah Adam dan
Hawa. Sebab secara semantik, kata nafs adalah mua’annats (feminin),
namun mengapa oleh para mufassir klasik ditafsirkan dengan Adam yang berjenis
kelamin laki-laki.
Kata nafs dalam
al-Qur’an menunjukkan bahwa seluruh umat manusia berasal dari asal-usul yang
sama. Dalam al-Qur’an tidak pernah dijelaskan bahwa Allah menciptakan manusia
bermula dengan nafs dalam arti Adam, seorang pria. Istilah nafs
itu sendiri, sebenarnya, berkaitan dengan esensi manusia, pria dan
perempuan dan bukan istilah untuk mesuporiorkan suatu jenis kelamin.[8]
Nampak jelas dari paparan
dan contoh pengaplikasian metode di atas, bahwa hasil yang diproduksi sangat
kentara perbedaannya dengan hasil penafsiran yang selama ini banyak dikonsumsi
oleh masyarakat, sehingga terlihat dampak nyata yang signifikan dalam realitas
sosialnya. Model penafsiran seperti ini perlu untuk dilakukan mengingat konteks
zaman yang selalu berubah-ubah. Agar tidak ada lagi ketimpangan di antara peran
perempuan di ruang publiknya, baik yang berkaitan dengan wilayah sempit dalam
lingkup keluarga, maupun yang bersifat luas dalam lingkup pemerintahan.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Zahabi, Muhammad Husain. al-Tafsir
wa al-Mufassirun. Beirut Da>r al-Fikr, tth.
Khozainul. 2009. “Konsep Poligami
Dalam Pandangan Muhammad Syahrur Dan Amina Wadud Muhsin”. Yogyakarta: Fakultas
Syari’ah UIN SUKA.
Kusuma, Subhani. 2005. “Feminisme
Dalam Islam (Kajian Atas Pemikiran Amina Wadud Tentang Relasi Fungsional Antara
Laki-Laki Dan Perempuan). Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin UIN SUKA.
Mustaqim, Abdul. Paradigma
Tafsir Feminis: “Membaca al-Qur’an Dengan Optik Perempuan”. Yogyakarta:
Logung Pustaka.
Wadud, Amina. 1999. Qur’an and
Women. New York: Oxford University.
Zailani, dkk. 2016. “Reinterpretasi
Terhadap Pemahaman Hadits-Hadits Tentang Gender Dalam Perspektif Fiqh Hadits”. Jurnal
Ushuluddin, Vol. 24, No. 1.
[1] Zailani, dkk., “Reinterpretasi
Terhadap Pemahaman Hadits-Hadits Tentang Gender Dalam Perspektif Fiqh Hadits”, Jurnal
Ushuluddin, Vol. 24, No. 1, hlm. 39.
[2] Drs. H. Abdul Mustaqim, M.A., Paradigma
Tafsir Feminis: “Membaca al-Qur’an Dengan Optik Perempuan” (Yogyakarta:
Logung Pustaka, 2008) hlm. 16.
[3] Drs. H. Abdul Mustaqim, M.A., Paradigma
Tafsir Feminis, hlm. 24-28.
[4] Drs. H. Abdul Mustaqim, M.A., Paradigma
Tafsir Feminis, hlm. 28.
[5] Amina Wadud, Qur’an and
Women (New York: Oxford University: 1999), hlm. 1.
[6] Drs. H. Abdul Mustaqim, M.A., Paradigma
Tafsir Feminis, hlm. 29.
[7] Drs. H. Abdul Mustaqim, M.A., Paradigma
Tafsir Feminis, hlm. 30.
[8] Amina Wadud, “Qur’an and Woman”
dalam Drs. H. Abdul Mustaqim, Paradigma Tafsir Feminisme, hlm. 45.
Perempuan Dalam Kukungan Tafsir Patriarkhis (Studi Pemikiran Amina Wadud)
4/
5
Oleh
Unknown