Sabtu, 14 Januari 2017

Warna Wanita: Jerita Merah Jambu Alya

JERITAN MERAH JAMBU ALYA

“Alya, setahun lamanya telah kau tinggalkanku sendirian, membiarkanku meratapi kehampaan hidup tanpamu, dan menjalani nasib yang penuh dengan kebohonganmu. Wanita yang sepenuhnya telah kusandarkan cinta ini, cinta yang membuat seorang lelaki terpenjara dalam luka yang kau sisipkan bersama perpisahan.
Alya, wanita yang pernah datang membawa setangkai cerita indah, namun berbuah luka. Masih teringat saat kau datang dengan senyum kasihmu yang kau tuangkan di senja itu, namun dengan teganya kau runtuhkan senyumanmu dan kau berikan kepada orang lain dengan alasan yang langitpun takkan menerimanya.
Tahukah kau, sampai detik ini luka itu masih membekas di ruang rinduku, membara sampai tak tahu arti kehidupan ini, hanya kebencian menusuk dan tertancap dalam benakku.
Tahukah kau, bagaimana besarnya luka yang kau tanamkan pada diri ini, luka itu mengubah diri yang tak pernah mengenal dosa namun sekarang diri ini menjadi pelaku atas gelapnya hidup ini”.
Bersama rindu aku membencimu.

. . . . .


TEPAT di hari ulang tahunku, hari ini sudah dua tahun Alya telah meninggalkanku, dia wanita yang pernah mengisikan warna dalam hidupku, sangat lama kami menjalani kehidupan ini dengan bergandengan tangan. Dia wanita yang pernah mengantarku dalam dunia percintaan, membuatku mengerti tentang cinta tanpa harus dia jelaskan, membuatku tertunduk dengan rayuannya tanpa harus banyak bertanya.
Dia wanita yang begitu mesrah dalam mendampingiku, saat itu yang kurasakan perjalanan kasihku telah sampai di titik bersama Alya. Namun, ternyata perjalananku bersamanya harus terpisahkan lantaran ibunya menjodohkannya dengan lelaki lain. Sampai saat ini aku belum mengerti dan mungkin tak akan mengerti tentang perpisahanku dengan wanita pujaanku.
Pertemuanku dengannya berawal dari nasib sedihnya, lantaran harus melepas tokoh penting dalam keluarganya, sang ayah. Tepat di hari ulang tahunnya yang ke delapan, saat ayahnya sedang menuju ke pesta ulang tahunnya, tiba-tiba mengalami kecalakan yang harus melepaskan nyawanya. Saat itu aku bersama ibuku sedang dalam perjalanan lalu kami terhentikan oleh suasana tragedis itu, sebuah mobil menabrak pohon besar, saat dia berusaha menghindari wanita kecil yang ingin menyebrang menghampiri orang tuanya.
Aku dan ibuku turun dari mobil kemudian melihat mobil yang tengah menempel pada sebuah pohon besar, keadaan lelaki itu sedang berlumuran darah. Tak bisa lagi terselamatkan, yang bisa dilakukan hanya menghubungi pihak yang bersangkutan dari lelaki itu.
Tidak lama setelah kami menghubungi keluarganya, seorang wanita kecil yang berumuran sama dengan wanita yang membuat lelaki tak bernafas  datang menghampiri dengan mata yang berkaca-kaca lantaran air matanya yang tak mampu dia bendung. Bersama ibunya, wanita kecil itu terus menangisi jasad ayahnya.
Kejadian mengerikan telah terjadi di depan mataku, di saat kusaksikan wanita yang membuat lelaki kehilangan nyawa, namun wanita lainnya menangis pilu atas hilangnya nyawa dari lelaki itu, telah hilang satu lelaki karena wanita.
Entah sampai di mana aku harus berpikir tentang kedua wanita kecil itu, usiaku yang masih terbilang kecil langsung saja kuputuskan bahwa wanita yang tengah menangisi lelaki ini adalah wanita yang memiliki perasaan yang erat tentangnya, dan kini dia harus kehilangan lelaki bagian hidupnya.
“Maaf, ini saya temukan di dekat ayahmu tadi, dia sedang memeluk ini, karena berlumuran darah jadi saya ambil untuk diamankan,” Terangku memberikannya bungkusan yang agak besar, sebuah kado yang mungkin spesial untuk wanita ini.
“Iye, terima kasih” wanita itu masih menangis seraya memeluk kado dari ayahnya yang sudah tak berdaya lagi.
“Kau tidak usah bersedih, karena ayahmu tidak akan tinggalkan kau, dia selalu ada, dia ada di hatimu, dan kaupun ada di hatinya, sekarang dia sedang melihat kita, dia sangat bahagia karena punya anak sepertimu, kau adalah bidadari kecilnya.” kata-kata dari ibuku kuucapkan untuk menenangkan wanita kecil itu.
Aku teringat saat ayahku meninggal, kejadiannya mirip seperti yang dialami wanita kecil ini, saat aku masih berumur enam tahun, di saat hari perayaan ulang tahunku, ayah saya saat itu baru pulang dari kantornya, sebagai seorang pegawai bawahan, sering kali beliau terlambat pulang, bukan saja karena sering disuruh tinggal lama di kantor, namun ayah memang seorang yang pekerja keras, berbeda dengan pegawai lainnya, ayah selalu melakukan hal lebih dibanding pegawai lainnya. Mungkin kewajiban ayah sebagai pemimpin sekaligus panutan keluargalah yang membuatnya tidak peduli dengan kerasnnya bekerja. Begitu banyak kasih sayang beliau yang kadang aku abaikan, bahkan tidak jarang kasih sayang kubalas dengan egoku.
Sebagai anak tunggal, wajar saja kalau kehidupan manja menjadi ciri khasku, Di hari ulang tahunku, aku memaksa ayah untuk cepat pulang ke rumah, kutelpon berkali-kali agar ayah tidak lupa dengan ulang tahunku. Ketika ayah sedang dalam perjalanan ke rumah, beliau dikageti oleh seorang wanita yang tiba-tiba menyebrang, karena wanita itu, ayahku mencoba menghindari wanita itu, tapi karena ayah tidak bisa mengimbangi kecepatan motornya, ayah pun menabrak sebuah pohon dan terjatuh berlumuran darah. Tidak sempat bangkit, ayah perlahan-lahan menutup mata.
Sungguh kejadian yang menimpah wanita kecil itu mengingatkanku pada sosok ayahku. Ayahnya yang tak berdaya lagi membuat si wanita kecil itu tak kuat menahan tangis pilu. Aku yang melihat seorang wanita kecil menangisi ayahnya, seakan menggugah hati untuk menenangkannya. Namun, perkataan-perkataanku tidak membantu untuk membendung tangis wanita itu. Saat itu aku berpikir, bahwa ada makhluk yang begitu lemah saat ditinggalkan, wanita terlalu lemah ketika kehilangan lelaki.
Saat itu hanya kami berlima, ibuku, wanita kecil, ibu wanita itu, dan aku lelaki yang sedang melihat seorang lagi lelaki yang tengah kehilangan nyawanya. Ibuku sedang berusaha menenangkan ibu wanita kecil itu, sesama wanita mungkin terasa mudah untuk menenangkan perasaannya, namun mungkin berbeda ketika lelaki yang tak tahu tentang wanita, kalau harus memasuki ruang kesedihan yang tengah dialami wanita kecil itu.
Keadaan sepenuhnya berpihak pada wanita-wanita ini, memaksaku untuk menyentuh dunia mereka, selanjutnya kudekati wanita kecil itu.
“saya juga telah kehilangan ayahku, kejadiannya sama dengan ini, saat itu saya juga berulang tahun, namun ayahku tidak sempat datang karena kecalakaan menimpahnya dan harus kehilangan nyawanya. Tapi kata ibuku, ayah pernah berkata akan selalu adaji untuk anaknya, saya yakin ayah kau juga begitu.” kucurahkan nasibku, nasib yang seakan terulang ketika menyaksikan kesedihan wanita kecil itu.
Kuceritakan semuanya tentang ayahku, dan ternyata membuatnya mulai tenang, mungkin karena dia tak lagi sendirian menghadapi jalan hidup tanpa seorang ayah, dan saat itulah kumulai ceritaku bersamanya.
Alya, wanita kecil yang diranda luka seperti nasibku, kepedihannya menjadi awal pertemuan kami, namun pertemuan itu hanya berlaku sesaat saja. Dan sejak kejadian itu, aku mulai memikirkannya, memikirkan nasib seorang yang sama dengan nasibku, mungkin itu dianggap sebagai kebodohan. Namum harus aku akui bahwa aku selalu memikirkannya.
Masih kuingat setelah beberapa tahun aku tak bertemu dengan Alya, akhirnya di sebuah momen pentingku, aku bertemu dengannya. saat itu tengah menjalani masa studi seni lukis bersama teman-teman sekolahku, saat itu aku menginjak kelas tiga Madrasah Aliyah (setingkat SMA), seperti biasanya setelah selesai ujian nasional, aku dan teman-teman melakukan kursus seni di luar sekolah.
Saat itu, Di senja yang begitu cerah bersama sejuknya cahaya sore menerangi para pengejar impian. Sepulang dari kursus melukis dengan tugas yang diberikan oleh guru, aku dan teman-teman langsung menuju ke tempat foto copy yang lumayan jauh dari tempat kursusku.
Aku  bersama teman-temanku tengah sibuk mempersiapkan buku pedoman lukis yang akan dipelajari nanti siang, alasannya, jika buku itu belum selesai kami copy, maka kami tidak dibimbing lagi oleh guru karena yang demikian itu menjadi syarat dalam proses pembelajaran lukisan. Saat itu aku dan Randi berada di sebuah tempat foto copy yang letaknya tak jauh dari kos kami.
Dari kesibukanku menimbal balik lembaran-lembaran yang akan dicopy, tiba-tiba aku dihentikan sejenak oleh seseorang yang berdiri di hadapanku, perlahan-lahan aku menghentikan pekerjaanku kemudian memperhatikan orang itu, terlihat seorang wanita yang sedang memperhatikan lukisan bunga nan indah yang terpampan di ruang tamu tempat foto copy. Wanita itu sedang mengenakan pakain sekolah yang tak asing bagiku, ternyata dia mengenakan seragam yang sama dengan seragam sekolahku, tak salah lagi wanita itu adalah santriwati madrasah Aliyah dari pesantren yang sama denganku tapi berbeda tempat, di sekolahku pelajar laki-laki dipisahkan dengan wanita. Lebih jelas lagi dia adalah wanita yang ditinggalkan ayahnya, wanita yang bernasib sama denganku, dan wanita yang selama ini aku fikirkan, dia adalah Alya.
Saat itu berani, gugup, tegang dan rasa senang bersemi dalam pertemuanku dengan wanita, aku terus memperhatikan wanita itu, namun belum rasanya terpenuhi hasrat diriku sebelum berbicara dengan wanita itu. Akhirnya dengan bermodal keberanian, aku mencoba menyapa wanita itu, wanita itu berbalik kemudian membalas sapaanku dengan ramah, perlahan-lahan akupun memulai mengawali percakapan, kata demi kata, kalimat demi kalimat, hingga canda tawa menghiasi pertemuan kami di senja  itu.
Tak lama kemudian Alya berkehendak mengakhiri pertemuan kami. Namun, ketika Alya beranjak meninggalkan pertemuan itu, aku merasa belum puas dengan pertemuan itu, aku ingin lebih dari itu, akhirnya dengan beribu-ribu keberanian yang tumbuh untuk dekat dengannya, aku berlari menghampiri dan meminta nomor ponselnya, bersama senyumnya, Alya menuliskan beberapa angka di atas kertas berukuran kecil yang kemudian diberikannya kepadaku, dengan senangnya aku melihat terus angka-angka yang mengisi kertas putih itu kemudian kusimpan di dalam dompetku nomor penting yang menjadi si penghubung aku dengan wanita yang kucap sebagai pembawa senyum.
Saat itu awal dari pertemuanku selama beberapa tahun tak berjumpa dengan wanita yang bernasib denganku, dan aku berharap itu adalah pertemuan pertama sekaligus awal dari keakrabanku dengannya, yang kelak akan menghiasi perjalanan kisahku.
Aku berjalan pulang membawa seribu kesenangan yang telah kurasakan dalam pertemuanku dengan wanita yang sudah lama kunanti. Melihatku yang tersenyum-senyum sendiri, Randi menerobos senyum itu.
cika, kenapa senyum-senyum begitu ? bahagia sekali kulihat”. Tanya Randi padaku yang menikmati kesenanganku.
“Tidakji cika, bagaimanalah rasanya ketemu sama orang yang sudah lama di nantikan, pasti sangat bahagia” terangku yang masih tersenyum membayangkan wajah Alya.
“ouh, wanita yang tadi kau temani bicara itu yang kau ceritakan selama ini? Si Alya?”
Aku mengangguk mengakuinya.
“bukanji kenapa-kenapa cika nah, hati-hatiki dengan wanita, jangan sampai pacaranki  sehingga lupa diriki ”ungkapan Randi terdengar ekstrim di telingaku.
“saya tulus mencintai Alya, jadi tidak mungkin saya lupa diri”.
“sekarang mungkin tidak, tapi nanti iya. Hati-hati cika, dulu ada lelaki yang jatuh cinta pada wanita, lelaki itu sangat mencintainya, sampai suatu ketika, di dalam sebuah rumah keduanya bertemu, untuk mendapatkan cintanya, si wanita memberikan syarat pada lelaki, tiba-tiba wanita itu membuka pakaiannya dan menyuruh si lelaki untuk menyetubuhinya, karena iman lelaki itu sangat kuat, sehingga dia mampu menolak ajakan wanita yang sangat dia cintai itu. karena ajakannya ditolak,  lalu wanita cantik itu berkata “kalau kamu mau aku juga mencintai kamu, maka kamu harus mengambil satu pilihan dari tiga pilihan yang saya tawarkan, pertama, kamu menyetubuhi saya, kedua kamu membunuh anak, atau ketiga kamu minum khamar”. Randi berhenti sejenak dengan ceritanya. “kira-kira mana yang akan di pilih si lelaki itu?” Tanya Randi kepadaku.
“saya tidak tahu, ketiga pilihan itu haram semua”. jawabku bingung.
“iya, ketiganya haram, tapi lelaki itu memilih untuk meminum khamar, karena dianggapnya khamar dosanya ringan dibandingkan berzina dan membunuh anak. Namun, setelah meminum khamar, si lelaki itu mabuk, keadaannya tidak mampu dia kendalikan, saat itu lelaki itu melihat wanita cantik yang sedang membuka pakaian di hadapannya, maka si lelaki yang tadinya ini menolak ajakan untuk berzina, malah dia langsung terlena dengan kecantikan tubuh wanita itu dan menyetubuhinya. Setelah berzina dengan wanita itu, tiba-tiba seorang anak masuk ke rumah itu dan menyaksikan kejadian yang dilakuka  si lelaki terhadap seorang wanita, karena takut jika anak itu mengadu dan menjadi saksi atas perbuatan perzinahan yang dilakukan oleh lelaki itu, maka lelaki itupun langsung membunuh si anak kecil itu. Dalam waktu yang bersamaan, si lelaki itu melakukan tiga kejahatan. Kau tahu karena apa dia melakukan tiga kejahatan itu?” Tanya Randi setelah bercerita panjang.
“karena meminum khamar toh” kataku berusaha menjawab.
“bukan, tapi karena mengikuti permintaan seorang wanita yang dicintainya. Karena wanita si lelaki yang dikenal taat agama itu, akhirnya menjadi pelaku dosa besar.” Jelas Randi. “bagaimana, kau sudah tahu toh tentang wanita?” ungkap Randi)
“tidakji itu cika, insya Allah saya akan sanggup untuk tidak lupa diri, dan tidak jatuh dalam maksiat seperti yang dilakukan oleh lelaki yang kau ceritakan”.
“kalau kau bilang sanggup, terserah dari kau cika, saya sudah ingatkan, jangan sampai kau menyesal karena terlalu mencintai wanita, ingat cika budaya kita, junjung tinggi Siri na Pacce, harga diri lebih berharga dari segalanya. Sudah dulu cika, saya mau pergi dulu ” ungkap Randi yang kemudian pergi.
“oke cika” balasku singkat sambil memikirkan sejenak tentang cerita sahabatku itu.
Senja perlahan menipis, digantikan oleh gelapnya malam yang mulai menyingsing dari berbagai sudut bumi. Kulihat bebintangan yang tertata rapi nan menyejukkan malam ini, kurasakan sentuhan malam yang perlahan-lahan mengajakku untuk bernaung padanya, bersandar rindu dalam kegugupanku melihati terus angka-angka yang berbaris di lembaran kecil, kanan kiriku memagang mesra kertas itu, sedangkan tangan kananku bergetar saat mulai memencet angka-angka milik wanita pembawa senyum. Telah tersusun angka-angka itu di layar ponselku, sesuai yang di tuliskan Alya padaku, kemudian kucoba mene-nangkan diriku dari kegugupan, kutarik nafas perlahan-lahan, kupencet tombol memanggil, begitu lama rasanya tak ada suara yang menyambut panggilanku, setelah beberapa kali gagal, akhirnya suara Alya terdengar merdu, perasaanku yang tadinya sudah kutenangkan, namun kini memuncat tak terkendalikan bersama kesenangan yang belimpah saat men-dengar suara Alya, kami pun mengawali percakapan begitu dalam, hingga kami saling berbagi cerita satu sama lain, tak tersadarkan malam semakin larut tapi kami seakan baru berada di depan pintu malam, belum sempat masuk keruang mahligai, apalagi menghiasi malam percakapan itu, namun semakin gelapnya malam seakan telah mengisyaratkan bahwa aku harus mengakhiri percakapan kebahagiaan dengan Alya, dengan nada penuh harap agar bisa bicara selanjutnya aku pun mengucapkan “selamat malam dan mimpi indah.”
Hari-hari aku jalani bersama alya, setapak demi setapak kurangkai cerita bersamanya dengan penuh keakraban dan rasa perhatian, entah kenapa rasa kerinduan semakin membara tatkala tak bersama Alya, kuingin selalu memanjakan dia, bercakap manja dalam buaian syair-syair cinta, kuyakin kini benih-benih cinta itu mulai tumbuh dari perasaanku. Per-asaan itu ternyata tidak hanya tumbuh dari pihakku, Alya pun merasakan kenyamanan bersammaku. Tanpa mencari alasan, tanpa menunggu ketentuan takdir, bahkan tanpa terucap sekata pun, Akhirnya kubangunlah mahligai cinta bersama kemesraanku dengan Alya.
Hari-hari terasa lengkap saat men-jalani hidup bersama Alya, bisa dikatakan aku untuk Alya, Alya untuk aku, dan kami hanya untuk bersama. Tidak hanya lewat telpon, bahkan batas pertemuan pun telah kami lewati. Bagiku, Tak ada lagi kata aku, kamu, dia, mereka, yang ada hanya kami berdua.
Seiring berjalannya waktu, datik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari hingga tiba saatnya aku dan teman-teman mempersiapkan diri karena beberapa hari lagi akan meninggalkan tempat kursus melukis, kurang lebih dua bulan menjadi waktu yang berkesan bagiku, selain karena telah menambah kemampuan dalam melukis, juga karena pada dua bulan itu pula menjadi waktu pertemuan bahkan kubangun mahligai cinta bersama Alya. Sangat perih kurasa saat harus mengakui akan adanya perpisahan. Dengan selesainya waktu kursusku, juga berarti aku akan meninggalkan teman hatiku selama ini, Alya.
“Saya tidak mampu menolak takdir yang kini menyeretku berpisah dengannya, mungkin keadaanku dan keadaannya berbeda, namun apakah tidak bisa nasib yang berbeda itu disatukan kemudian saya menjadikannya sebagai jembatan untuk mencapai cinta sejatiku? Ungkap dalam benakku memikirkan pujaanku. saya terdiam, perlahan-lahan menatap langit dan mengambil keputusan bahwa “saya pasti bisa, bisa menghadapi hambatan itu, saya yakin bisa mencapai cinta sejatiku, Alya.”
Namun, ternyata semua tak seperti apa yang kupikirkan, mungkin inilah yang dimaksud “setiap ada pertemuan harus ada perpisahan.” aku tidak pernah berpikir perpisahan itu datang lebih cepat dari yang kurencanakan, entah mengapa aku tak sanggup menyusun kata-kata tatkalah Alya mengatakan bahwa besok akan pindah jauh, meninggalkanku sendirian dan melepaskan sandaran-sandaran yang berbudaya di setiap senja itu dengan jarak yang semuanya untuk bakti dari permintaan orang tuanya. Rasa ketidak percayaanku akan perginya seorang yang telah menjadi bagian hidupku, membuat pertemuan senja itu sangat susah untuk kujalani.
“Andi, sungguh berjuta kali lipat aku merasakan ketakutan dari balik benak ini, aku takut jika nanti kita berpisah aku tak mampu membendung tangisan kerinduanku padamu” Ungkap Alya dengan rasa tak ingin berpisah.
“Aku juga takut dengan itu, aku takut berpisah denganmu, akupun tahu kalau kamu akan tidak mampu menahan rindu itu karena yakinlah aku juga merasakan hal yang sama denganmu. Tapi, bukankah kita lebih tidak sanggup melawan bahkan kita tidak bisa menghindari takdir akan sebuah perpisahan. Dinda, jangan khawatir karena tidak akan ada kata perpisahan untuk kita, akan aku hapus kata itu bersama sejuta cinta yang telah kita bina selama ini, aku pastikan akan selalu menjaga cinta ini, meski kita berjauhan tapi aku akan selalu menjaganya untukmu dinda. Dinda, saat kamu rindu ingatlah aku karena pada saat itu aku juga merindukanmu, dan saat kamu sedih ingatlah aku karena pada saat itu aku siap ada untukmu, siap jadi penghapus kesedihanmu yang setia hingga akhir.” Kataku memberikan keyakinan pada wanita pujaanku.
“Dinda, jangan pernah berpikir bahwa cinta kita akan pupus oleh perpisahan, tidak dinda, karena kekuatan cinta jauh lebih kuat daripada perpisahan, dan cintaku hanya untukmu.” tambahku memegang erat tangan Alya.
“aku percaya padamu, maafkanlah diriku ini yang tak sanggup menahan takdir kepergianku, takdir telah membawamu ke lubuk hati ini yang paling dalam, maka sangatlah berdosa bagiku dengan kepergianku ini, sungguh maafkanlah diriku yang lemah ini.” ungkap Alya menangis pilu lantaran merasa akan melukai hubungan ini.
“tidak Alya, sungguhpun jarak akan memisahkan kita, tapi jarak tak punya hak untuk memisahkan cinta kita, tidak akan ada yang boleh memisahkan kisah yang telah kita rangkai selama ini. Janganlah engkau terlalu merendahkan dirimu lantaran perkataan jarak tentang perpisahan, karena cinta kita jauh lebih perkasa dibandingkan dengan kuasa jarak, jarak sangatlah lemah jika melawan mahligai cinta yang telah kita bangun bersama.” kupeluk erat Alya dengan keyakinan yang kubangun untuk bertahan di atas jarak perpisahan.
“Senja akan menjadi saksi kelak atas kesedihan yang sangat aku rasakan kini, langit yang menjadi atap janjiku untuk selalu berteduh dalam cinta kita, meskipun langit akan runtuh, namun cintaku tak akan pupus, aku berjanji sampai nanti kita bertemu, entah itu lima tahun lagi, sepuluh tahun, atau bahkan di mana nanti usia kita akan usai, akan kujunjung tinggi kisah kita, jika kita tak ditakdirkan untuk bersatu di dunia, diakhiratpun aku menunggumu.” ungkap Alya seraya menengedahkan tangannya padaku.
“sungguh berat janjimu, kalau demikian yang engkau inginkan, sungguh akupun telah memantapkan jiwa ini untuk bersandar pada cinta kita, janganlah engkau tutup kisah kita, jangan pula kau biarkan ada luka di antara kita, karena itu akan membuat diri ini tak akan mendapatkan pencerahan lagi, hanya kamulah yang kelak menjadi pencerah hati ini, dengan cinta yang kita miliki aku akan hidup untukmu, bukan untuk lima tahun, bukan untuk sepuluh tahun, tiga puluh tahun, tapi aku akan hidup sampai kita akan menutup mata bersama.” ungkapku mencium tangan Alya.
Seiring tenggelamnya senja, tangan Alya perlahan-lahan terlepas dari genggamanku, badannya mulai tak mengarah padaku, suaranya mulai tak kudengar lagi, wajah cantiknya perlahan-lahan hanya menjadi bayangan, dia berjalan seakan sangat cepat meninggalkanku, meninggalkan diriku yang tiba-tiba tak yakin akan mampu bertahan tanpanya. Aku tidak percaya akan kepergiannya, kupikir ini hanya sebuah angan kesedihanku saja, ilusi dari ketakutanku akan kehilangan wanita pujaanku, kuharap begitu. Namun, lagi-lagi senja menjadi saksi atas Kenyataan yang harus aku jalani, oh sungguh hatiku terluka, kupaksakan untuk tidak mempercayai kenyataan yang diciptakan senja, namun mata, telinga, dan seluruh tubuh ini seakan berpihak pada kesaksian senja. Aku kalah, kalah akan kesakitan di senja itu, kalah dalam mempertahankan raga seorang Alya dari pelukku, wanita pembawa senyuman senjaku.
Tidak, aku tidak akan dengan mudah terkalahkan oleh kenyataan sekarang, aku tidak akan terpedaya oleh ilusi perpisahan, tidak akan! Karena aku memiliki cinta yang selalu membimbingku setiap keti-daktahuanku, yang selalu memberikanku pencerahan setiap kegelapanku, yang selalu meyakinkanku di setiap keragua-raguanku. Aku sangat yakin cinta sangat mampu membalikkan keresahan menjadi ketenangan, menghilangkan luka kemudian menciptakan suka. Cinta akan menghidupkanku bersama Alya, hari ini, esok, lusa dan selamanya.
. . . . . .
Beberapa hari kemudian setelah kepergian sang pujaan hati, aku dan para sahabatku pun pulang ke kampung masing-masing dan meninggalkan tempat belajar serta tempat berseminya cerita cintaku dengan Alya.
Kini aku hanya bisa mengetahui kabar Alya melalui ponsel, Tak heran jika nomor Alya banyak yang tercantum di kontak ponselku. Semakin lama, kehangatan kebersamaan dengan Alya perlahan tak terasa, Alya pun hanya sesekali menghubungiku, seringkali jika aku menelponnya namun tak terjawabnya. Sungguh semakin lama jarak itu tidak hanya memisahkan ragaku dengan Alya, namun keyakinanku pada Alya pun perlahan pudar lantaran ketidak peduliannya lagi pada cinta yang selama ini kami bangun. Sungguh begitu sulit rasanya menjalani hubungan dengan orang yang kini tak lagi disisiku.
“Wahai Jiwa-jiwa para pencinta, pernahkah engkau mencintai seseorang yang jauh darimu? bagaimana mungkin engkau bisa mempertahankan rasa cinta itu, sedangkan yang kau cintai tak bersamamu ?”
Cinta telah membuatku tenggelam dalam jurang kesedihan, terbelenggu dalam kesepian, jauh dari kepercayaan diri dan terlupa dengan sahabat-sahabatku yang selalu ada untukku, sungguh cinta telah mengubah karakter seorang pelukis ini, mengubahnya menjadi orang yang penuh kegelapan dalam hidup. Kini kusadari bahwa cinta bukanlah sesuatu yang dapat dilihat, bukan sesuatu yang dapat dirabah, melainkan cinta hanya bisa dirasakan oleh penguasa diri, hati. Dan biarkan cinta itu berlabu dengan sendirinya menapaki cerita yang dia inginkan.
Setelah beberapa kali aku menghubunginya namun tak pernah lagi ada momen yang indah bersama Alya. Aku yang kini sering menatap ponselku, menunggu ponsel itu berbunyi, lalu kuangkatnya, kemudian kudengar suara Alya yang manja, bersama Alya aku merayu satu sama lain, meluapkan segala cinta untuk menghiasi mahligai kami, sampai akhirnya kami tinggal bersama di dalamnya, dengan keturunan-keturunan yang tercipta dalam cinta kami. Sungguh angan-anganku telah melampau batas kewarasanku.
Tiba-tiba suara dering ponselku membuyarkan angan-anganku, dengan sejuta rasa kaget, kulihat segera siapa gerangan yang menelpon. Oh aku masih ternaung di dalam angan-anganku, bahwa yang terterah di layar ponselku adalah nama Alya, aku berusaha mengabaikan suara dering itu, “tidak mungkin Alya menelponku, jangankan untuk menelpon, menerima telponku pun semakin jarang”, kataku dalam hati dengan mengabaikan nama wanita yang tertulis di layar ponsel itu. Namun, semakin aku mengabaikan suara  dering itu semakin keras, aku menengok kembali ke layar ponselku, kulihat lagi-lagi nama Alya yang tertera. Oh, aku tidak sedang berada dalam angan-anganku, suara dering itu nyata, begitu nyata. Alya sedang memanggilku, sungguh sebuah kesenangan yang mendalam melihat nama wanita pujaanku tengah memanggilku. Aku tidak sedang berangan, tidak. Kupegang ponselku yang geterannya ikut dalam sukmaku, kupencet tombol terima yang berwarna hijau seraya kuletakkan dengan gugup ponselku ke telinga kiriku.
“Assalamu Alaikum…” ucapku menyambit panggilannya.
“Waalaikumussalam…”
Suaranya terasa asing, tak biasanya suara Alya terasa hambar di telingaku, biasanya saat kudengar suara wanita pujaanku itu, begitu mesra kudengar, bahkan dengan cepatnya membaur dalam sukmaku. Tapi, kali ini, suara yang kudengar itu tidak mampu menjawab kerinduanku yang selama ini terusik dalam benakku.
“Maaf nak, saya ibunya Alya. Saya minta supaya kamu tidak lagi mengganggu anak saya, karena anak saya telah saya jodohkan oleh lelaki lain.” ungkap Ibu Alya dengan suara lembut namun menusuk sakit dalam jiwaku.
Kata-kata Ibu Alya membuat ragaku meleleh selemah-lemahnya, kenangan seketika menjadi seribu kesedihan dalam ketidak percayaan akan terlepaskan dari kisah yang telah lama kususun bersama wanita pujaanku. Tak mampu kuimbangkan diri ini, aku terjatuh, sakit! jiwaku telah rapuh, hancur berkeping-keping saat harus menerima kenyataan ini. Tanpa sepata-kata, kuselesaikan saja percakapan itu bersama sakit yang kuterima. Kini kenikmatan rindu itu berubah menjadi rasa sakit. Tidak hanya dalam jiwaku, tapi ragaku pun kini tersakiti, karena seorang wanita.
. . . . .


Begitulah kisahku bersama Alya, dalam cinta ada jeritan luka yang tak tak mampu kuhentikan. Benarlah perkataan sahabatku Randi, bahwa semestinya aku harus berhati-hati saat bersama seorang wanita karena dia akan menjatuhkan derajat lelaki, sungguh derajatku telah runtuh, harga diriku telah musnah.
 Alya, wanita yang telah meruntuhkan keyakinanku tentang kekuatan cinta. ternyata kepergiannya menjadi pintu baru kehidupannya dengan lelaki yang dipilihkan oleh keluarganya, namun menutup pintu kehidupanku.
 Telah runtuh keyakinanku tentang kekuatan cinta, telah tertutup pintu kehidupanku, tak dapat lagi kulihat sisi baik dari makhluk yang bernama wanita, yang ada hanya kemunafikan, kehinaan, kebusukan rayuan yang dibuatnya. Alya, sungguh telah menjadi wanita yang menghancurkan nama wanita-wanita dalam pandanganku.

. . . . . .

Lanjut ke Warna Wanita berikutnya . . . 


(Terima Kasih telah membaca, untuk lebih lengkap, cerita ini termuat dalam novel sebuah novel berjudul Warna Wanita)

Related Posts

Warna Wanita: Jerita Merah Jambu Alya
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.