JERITAN MERAH JAMBU ALYA
“Alya, setahun
lamanya telah kau tinggalkanku sendirian, membiarkanku meratapi kehampaan hidup
tanpamu, dan menjalani nasib yang penuh dengan kebohonganmu. Wanita yang
sepenuhnya telah kusandarkan cinta ini, cinta yang membuat seorang lelaki
terpenjara dalam luka yang kau sisipkan bersama perpisahan.
Alya, wanita
yang pernah datang membawa setangkai cerita indah, namun berbuah luka. Masih
teringat saat kau datang dengan senyum kasihmu yang kau tuangkan di senja itu,
namun dengan teganya kau runtuhkan senyumanmu dan kau berikan kepada orang lain
dengan alasan yang langitpun takkan menerimanya.
Tahukah kau,
sampai detik ini luka itu masih membekas di ruang rinduku, membara sampai tak
tahu arti kehidupan ini, hanya kebencian menusuk dan tertancap dalam benakku.
Tahukah kau,
bagaimana besarnya luka yang kau tanamkan pada diri ini, luka itu mengubah diri
yang tak pernah mengenal dosa namun sekarang diri ini menjadi pelaku atas
gelapnya hidup ini”.
Bersama rindu
aku membencimu.
. .
. . .
TEPAT di hari ulang tahunku, hari ini sudah dua tahun Alya telah
meninggalkanku, dia wanita yang pernah mengisikan warna dalam hidupku, sangat
lama kami menjalani kehidupan ini dengan bergandengan tangan. Dia wanita yang
pernah mengantarku dalam dunia percintaan, membuatku mengerti tentang cinta
tanpa harus dia jelaskan, membuatku tertunduk dengan rayuannya tanpa harus
banyak bertanya.
Dia wanita yang
begitu mesrah dalam mendampingiku, saat itu yang kurasakan perjalanan kasihku
telah sampai di titik bersama Alya. Namun, ternyata perjalananku bersamanya
harus terpisahkan lantaran ibunya menjodohkannya dengan lelaki lain. Sampai
saat ini aku belum mengerti dan mungkin tak akan mengerti tentang perpisahanku
dengan wanita pujaanku.
Pertemuanku
dengannya berawal dari nasib sedihnya,
lantaran harus melepas tokoh penting dalam keluarganya, sang ayah. Tepat di
hari ulang tahunnya yang ke delapan, saat ayahnya sedang menuju ke pesta ulang
tahunnya, tiba-tiba mengalami kecalakan yang harus melepaskan nyawanya. Saat
itu aku bersama ibuku sedang dalam perjalanan lalu kami terhentikan oleh
suasana tragedis itu, sebuah mobil menabrak pohon besar, saat dia berusaha
menghindari wanita kecil yang ingin menyebrang menghampiri orang tuanya.
Aku dan ibuku
turun dari mobil kemudian melihat mobil yang tengah menempel pada sebuah pohon
besar, keadaan lelaki itu sedang berlumuran darah. Tak bisa lagi terselamatkan,
yang bisa dilakukan hanya menghubungi pihak yang bersangkutan dari lelaki itu.
Tidak lama
setelah kami menghubungi keluarganya, seorang wanita kecil yang berumuran sama
dengan wanita yang membuat lelaki tak bernafas
datang menghampiri dengan mata yang berkaca-kaca lantaran air matanya
yang tak mampu dia bendung. Bersama ibunya, wanita kecil itu terus menangisi
jasad ayahnya.
Kejadian
mengerikan telah terjadi di depan mataku, di saat kusaksikan wanita yang
membuat lelaki kehilangan nyawa, namun wanita lainnya menangis pilu atas
hilangnya nyawa dari lelaki itu, telah hilang satu lelaki karena wanita.
Entah sampai di
mana aku harus berpikir tentang kedua wanita kecil itu, usiaku yang
masih terbilang kecil langsung saja
kuputuskan bahwa wanita yang tengah menangisi lelaki ini adalah wanita yang
memiliki perasaan yang erat tentangnya, dan kini dia harus kehilangan lelaki
bagian hidupnya.
“Maaf, ini saya
temukan di dekat ayahmu tadi, dia sedang memeluk ini, karena berlumuran darah
jadi saya ambil untuk diamankan,” Terangku memberikannya bungkusan yang agak
besar, sebuah kado yang mungkin spesial untuk wanita ini.
“Iye, terima
kasih” wanita itu masih menangis seraya memeluk kado dari ayahnya yang sudah tak berdaya lagi.
“Kau tidak usah
bersedih, karena ayahmu tidak akan tinggalkan kau,
dia selalu ada, dia ada di hatimu, dan kaupun
ada di hatinya, sekarang dia sedang melihat kita, dia sangat bahagia karena
punya anak sepertimu, kau adalah bidadari kecilnya.” kata-kata
dari ibuku kuucapkan untuk menenangkan wanita kecil itu.
Aku teringat
saat ayahku meninggal, kejadiannya mirip seperti yang dialami wanita kecil ini,
saat aku masih berumur enam tahun, di saat hari perayaan ulang tahunku, ayah saya
saat itu baru pulang dari kantornya, sebagai seorang pegawai bawahan, sering
kali beliau terlambat pulang, bukan saja karena sering disuruh tinggal lama di kantor,
namun ayah memang seorang yang pekerja keras, berbeda dengan pegawai lainnya,
ayah selalu melakukan hal lebih dibanding pegawai lainnya. Mungkin kewajiban
ayah sebagai pemimpin sekaligus panutan keluargalah yang membuatnya tidak
peduli dengan kerasnnya bekerja. Begitu banyak kasih sayang beliau yang kadang
aku abaikan, bahkan tidak jarang kasih sayang kubalas dengan egoku.
Sebagai anak
tunggal, wajar saja kalau kehidupan manja menjadi ciri khasku, Di hari ulang
tahunku, aku memaksa ayah untuk cepat pulang ke rumah, kutelpon berkali-kali agar
ayah tidak lupa dengan ulang tahunku. Ketika ayah sedang dalam perjalanan ke
rumah, beliau dikageti oleh seorang wanita yang tiba-tiba menyebrang, karena
wanita itu, ayahku mencoba menghindari wanita itu, tapi karena ayah tidak bisa
mengimbangi kecepatan motornya, ayah pun menabrak sebuah pohon dan terjatuh
berlumuran darah. Tidak sempat bangkit, ayah perlahan-lahan menutup mata.
Sungguh
kejadian yang menimpah wanita kecil itu mengingatkanku pada sosok ayahku.
Ayahnya yang tak berdaya lagi membuat si wanita kecil itu tak kuat menahan
tangis pilu. Aku yang melihat seorang wanita kecil menangisi ayahnya, seakan
menggugah hati untuk menenangkannya. Namun, perkataan-perkataanku tidak
membantu untuk membendung tangis wanita itu. Saat itu aku berpikir, bahwa ada
makhluk yang begitu lemah saat ditinggalkan, wanita terlalu lemah ketika
kehilangan lelaki.
Saat itu hanya
kami berlima, ibuku, wanita kecil, ibu wanita itu, dan aku lelaki yang sedang
melihat seorang lagi lelaki yang tengah kehilangan nyawanya. Ibuku sedang
berusaha menenangkan ibu wanita kecil itu, sesama wanita mungkin terasa mudah
untuk menenangkan perasaannya, namun mungkin berbeda ketika lelaki yang tak
tahu tentang wanita, kalau harus memasuki ruang kesedihan yang tengah dialami
wanita kecil itu.
Keadaan
sepenuhnya berpihak pada wanita-wanita ini, memaksaku untuk menyentuh dunia
mereka, selanjutnya kudekati wanita kecil itu.
“saya juga
telah kehilangan ayahku, kejadiannya sama dengan ini, saat itu saya juga
berulang tahun, namun ayahku tidak sempat datang karena kecalakaan menimpahnya
dan harus kehilangan nyawanya. Tapi kata ibuku, ayah pernah berkata akan selalu
adaji untuk anaknya, saya yakin ayah kau juga begitu.” kucurahkan
nasibku, nasib yang seakan terulang ketika menyaksikan kesedihan wanita kecil
itu.
Kuceritakan
semuanya tentang ayahku, dan ternyata membuatnya mulai tenang, mungkin karena
dia tak lagi sendirian menghadapi jalan hidup tanpa seorang ayah, dan saat
itulah kumulai ceritaku bersamanya.
Alya, wanita
kecil yang diranda luka seperti nasibku, kepedihannya menjadi awal pertemuan
kami, namun pertemuan itu hanya berlaku sesaat saja. Dan sejak kejadian itu,
aku mulai memikirkannya, memikirkan nasib seorang yang sama dengan nasibku, mungkin itu dianggap sebagai kebodohan. Namum harus aku akui bahwa aku
selalu memikirkannya.
Masih kuingat
setelah beberapa tahun aku tak bertemu dengan Alya, akhirnya di sebuah momen
pentingku,
aku bertemu dengannya. saat itu tengah menjalani masa studi seni lukis bersama
teman-teman sekolahku, saat itu aku menginjak kelas tiga Madrasah Aliyah (setingkat SMA), seperti
biasanya setelah selesai ujian nasional, aku dan teman-teman melakukan kursus
seni di luar sekolah.
Saat itu, Di
senja yang begitu cerah bersama sejuknya cahaya sore menerangi para pengejar
impian.
Sepulang dari kursus melukis dengan tugas yang diberikan oleh guru, aku dan
teman-teman langsung menuju ke tempat
foto copy yang lumayan jauh dari tempat kursusku.
Aku bersama teman-temanku tengah sibuk
mempersiapkan buku pedoman lukis yang akan dipelajari nanti siang, alasannya,
jika buku itu belum selesai kami copy, maka kami tidak dibimbing lagi oleh guru karena
yang demikian itu menjadi syarat dalam proses pembelajaran lukisan. Saat itu
aku dan Randi berada di sebuah tempat foto copy yang letaknya tak jauh dari kos
kami.
Dari
kesibukanku menimbal balik lembaran-lembaran yang akan dicopy, tiba-tiba aku
dihentikan sejenak oleh seseorang yang berdiri di hadapanku, perlahan-lahan aku
menghentikan pekerjaanku kemudian memperhatikan orang itu, terlihat seorang
wanita yang sedang memperhatikan lukisan bunga nan indah yang terpampan di
ruang tamu tempat foto copy. Wanita itu sedang mengenakan pakain sekolah yang
tak asing bagiku, ternyata dia mengenakan seragam
yang sama dengan seragam sekolahku, tak
salah lagi wanita itu adalah santriwati madrasah Aliyah
dari pesantren yang sama denganku tapi berbeda tempat, di sekolahku pelajar
laki-laki dipisahkan dengan wanita.
Lebih jelas lagi dia
adalah wanita yang ditinggalkan ayahnya, wanita yang bernasib sama denganku,
dan wanita yang selama ini aku fikirkan, dia adalah Alya.
Saat itu
berani, gugup, tegang dan rasa senang bersemi dalam pertemuanku dengan wanita,
aku terus memperhatikan wanita itu, namun belum rasanya terpenuhi hasrat diriku
sebelum berbicara dengan wanita itu. Akhirnya dengan bermodal keberanian, aku
mencoba menyapa wanita itu, wanita itu berbalik kemudian membalas sapaanku
dengan ramah, perlahan-lahan akupun memulai mengawali percakapan, kata demi
kata, kalimat demi kalimat, hingga canda tawa menghiasi pertemuan kami di
senja itu.
Tak lama
kemudian Alya berkehendak mengakhiri pertemuan kami. Namun, ketika Alya
beranjak meninggalkan pertemuan itu, aku merasa belum puas dengan pertemuan
itu, aku ingin lebih dari itu, akhirnya dengan beribu-ribu keberanian yang
tumbuh untuk dekat dengannya, aku berlari menghampiri dan meminta nomor
ponselnya, bersama senyumnya, Alya menuliskan beberapa angka di atas
kertas berukuran kecil yang kemudian diberikannya kepadaku, dengan senangnya
aku melihat terus angka-angka yang mengisi kertas putih itu kemudian kusimpan
di dalam dompetku nomor penting yang menjadi si penghubung aku dengan wanita
yang kucap sebagai pembawa senyum.
Saat itu awal
dari pertemuanku selama beberapa tahun tak berjumpa dengan wanita yang bernasib
denganku, dan aku berharap itu adalah pertemuan pertama sekaligus awal dari
keakrabanku dengannya, yang kelak akan menghiasi perjalanan kisahku.
Aku berjalan
pulang membawa seribu kesenangan yang telah kurasakan dalam pertemuanku dengan
wanita yang sudah lama kunanti. Melihatku yang tersenyum-senyum sendiri, Randi
menerobos senyum itu.
“cika, kenapa
senyum-senyum begitu ? bahagia
sekali kulihat”. Tanya Randi padaku yang menikmati kesenanganku.
“Tidakji
cika, bagaimanalah rasanya ketemu sama orang yang sudah lama di
nantikan, pasti sangat bahagia” terangku yang masih tersenyum membayangkan
wajah Alya.
“ouh, wanita
yang tadi kau temani bicara itu yang kau ceritakan selama ini? Si Alya?”
Aku mengangguk
mengakuinya.
“bukanji kenapa-kenapa
cika nah, hati-hatiki dengan wanita, jangan sampai pacaranki sehingga lupa diriki ”ungkapan Randi
terdengar ekstrim di telingaku.
“saya tulus
mencintai Alya, jadi tidak mungkin saya lupa diri”.
“sekarang
mungkin tidak, tapi nanti iya. Hati-hati cika,
dulu ada lelaki yang jatuh cinta pada wanita, lelaki itu sangat mencintainya,
sampai suatu ketika, di dalam sebuah rumah keduanya bertemu, untuk mendapatkan
cintanya, si wanita memberikan syarat pada lelaki, tiba-tiba wanita itu membuka
pakaiannya dan menyuruh si lelaki untuk menyetubuhinya, karena iman lelaki itu
sangat kuat, sehingga dia mampu menolak ajakan wanita yang sangat dia cintai
itu. karena ajakannya ditolak, lalu
wanita cantik itu berkata “kalau kamu mau
aku juga mencintai kamu, maka kamu harus mengambil satu pilihan dari tiga
pilihan yang saya tawarkan, pertama, kamu menyetubuhi saya, kedua kamu membunuh
anak, atau ketiga kamu minum khamar”. Randi berhenti sejenak dengan ceritanya. “kira-kira
mana yang akan di pilih si lelaki itu?” Tanya Randi kepadaku.
“saya tidak
tahu, ketiga pilihan itu haram semua”. jawabku bingung.
“iya, ketiganya
haram, tapi lelaki itu memilih untuk meminum khamar, karena dianggapnya khamar
dosanya ringan dibandingkan berzina dan membunuh anak. Namun, setelah meminum
khamar, si lelaki itu mabuk, keadaannya tidak mampu dia kendalikan, saat itu
lelaki itu melihat wanita cantik yang sedang membuka pakaian di hadapannya,
maka si lelaki yang tadinya ini menolak ajakan untuk berzina, malah dia
langsung terlena dengan kecantikan tubuh wanita itu dan menyetubuhinya. Setelah
berzina dengan wanita itu, tiba-tiba seorang anak masuk ke rumah itu dan
menyaksikan kejadian yang dilakuka si
lelaki terhadap seorang wanita, karena takut jika anak itu mengadu dan menjadi
saksi atas perbuatan perzinahan yang dilakukan oleh lelaki itu, maka lelaki itupun
langsung membunuh si anak kecil itu. Dalam waktu yang bersamaan, si lelaki itu
melakukan tiga kejahatan. Kau tahu karena apa dia melakukan tiga kejahatan
itu?” Tanya Randi setelah bercerita panjang.
“karena meminum
khamar toh” kataku berusaha menjawab.
“bukan, tapi
karena mengikuti permintaan seorang wanita yang dicintainya. Karena wanita si
lelaki yang dikenal taat agama itu, akhirnya menjadi pelaku dosa besar.” Jelas Randi. “bagaimana, kau sudah tahu toh tentang wanita?” ungkap Randi)
“tidakji
itu cika, insya Allah saya akan sanggup untuk tidak lupa diri, dan tidak
jatuh dalam maksiat seperti yang dilakukan oleh lelaki yang kau ceritakan”.
“kalau kau
bilang sanggup, terserah dari kau cika, saya sudah ingatkan, jangan
sampai kau menyesal karena terlalu mencintai wanita, ingat cika budaya kita,
junjung tinggi Siri na Pacce, harga diri lebih berharga dari segalanya.
Sudah dulu cika, saya mau pergi dulu ” ungkap Randi yang kemudian pergi.
“oke cika”
balasku singkat sambil memikirkan sejenak tentang cerita sahabatku itu.
Senja perlahan
menipis, digantikan oleh gelapnya malam yang mulai menyingsing dari berbagai
sudut bumi. Kulihat bebintangan yang tertata rapi nan menyejukkan malam ini,
kurasakan sentuhan malam yang perlahan-lahan mengajakku untuk bernaung padanya, bersandar rindu
dalam kegugupanku melihati terus angka-angka yang berbaris di lembaran kecil,
kanan kiriku memagang mesra kertas itu, sedangkan tangan kananku bergetar saat
mulai memencet angka-angka milik wanita pembawa senyum. Telah tersusun angka-angka
itu di layar ponselku, sesuai yang di tuliskan Alya padaku, kemudian kucoba
mene-nangkan diriku dari kegugupan, kutarik nafas perlahan-lahan, kupencet
tombol memanggil, begitu lama rasanya tak ada suara yang menyambut panggilanku,
setelah beberapa kali gagal, akhirnya suara Alya terdengar merdu, perasaanku
yang tadinya sudah kutenangkan, namun kini memuncat tak terkendalikan bersama
kesenangan yang belimpah saat men-dengar suara Alya, kami pun mengawali
percakapan begitu dalam, hingga kami saling berbagi cerita satu sama lain, tak
tersadarkan malam semakin larut tapi kami seakan baru berada di depan pintu
malam, belum sempat masuk keruang mahligai, apalagi menghiasi malam percakapan
itu, namun semakin gelapnya malam seakan telah mengisyaratkan bahwa aku harus
mengakhiri percakapan kebahagiaan dengan Alya, dengan nada penuh harap agar
bisa bicara selanjutnya aku pun mengucapkan “selamat malam dan mimpi indah.”
Hari-hari aku
jalani bersama alya, setapak demi setapak kurangkai cerita bersamanya dengan penuh
keakraban dan rasa perhatian, entah kenapa rasa kerinduan semakin membara
tatkala tak bersama Alya, kuingin selalu memanjakan dia, bercakap manja dalam
buaian syair-syair cinta, kuyakin kini benih-benih cinta itu mulai tumbuh dari
perasaanku. Per-asaan itu ternyata tidak hanya tumbuh dari pihakku, Alya pun
merasakan kenyamanan bersammaku. Tanpa mencari alasan, tanpa menunggu ketentuan
takdir, bahkan tanpa terucap sekata pun, Akhirnya kubangunlah mahligai cinta
bersama kemesraanku dengan Alya.
Hari-hari
terasa lengkap saat men-jalani hidup bersama Alya, bisa dikatakan aku untuk
Alya, Alya untuk aku, dan kami hanya untuk bersama. Tidak hanya lewat telpon,
bahkan batas pertemuan pun telah kami lewati. Bagiku, Tak ada lagi kata aku,
kamu, dia, mereka, yang ada hanya kami berdua.
Seiring
berjalannya waktu, datik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari
hingga tiba saatnya aku dan teman-teman mempersiapkan diri karena beberapa hari
lagi akan meninggalkan tempat kursus melukis, kurang lebih dua bulan menjadi
waktu yang berkesan bagiku, selain karena telah menambah kemampuan dalam
melukis, juga karena pada dua bulan itu pula menjadi waktu pertemuan bahkan
kubangun mahligai cinta bersama Alya. Sangat perih kurasa saat harus mengakui
akan adanya perpisahan. Dengan selesainya waktu kursusku, juga berarti aku akan
meninggalkan teman hatiku selama ini, Alya.
“Saya tidak mampu menolak takdir yang kini menyeretku berpisah dengannya,
mungkin keadaanku dan keadaannya berbeda, namun apakah tidak bisa nasib yang
berbeda itu disatukan kemudian saya menjadikannya sebagai jembatan untuk
mencapai cinta sejatiku? Ungkap dalam benakku memikirkan pujaanku. saya terdiam,
perlahan-lahan menatap langit dan mengambil keputusan bahwa “saya pasti
bisa, bisa menghadapi hambatan itu, saya yakin bisa mencapai cinta sejatiku,
Alya.”
Namun, ternyata
semua tak seperti apa yang kupikirkan, mungkin inilah yang dimaksud “setiap
ada pertemuan harus ada perpisahan.” aku tidak pernah berpikir perpisahan
itu datang lebih cepat dari yang kurencanakan, entah mengapa aku tak sanggup
menyusun kata-kata tatkalah Alya mengatakan bahwa besok akan pindah jauh,
meninggalkanku sendirian dan melepaskan sandaran-sandaran yang berbudaya di
setiap senja itu dengan jarak yang semuanya untuk bakti dari permintaan orang
tuanya. Rasa ketidak percayaanku akan perginya seorang yang telah menjadi
bagian hidupku, membuat pertemuan senja itu sangat susah untuk kujalani.
“Andi, sungguh
berjuta kali lipat aku merasakan ketakutan dari balik benak ini, aku takut jika
nanti kita berpisah aku tak mampu membendung tangisan kerinduanku padamu”
Ungkap Alya dengan rasa tak ingin berpisah.
“Aku juga takut
dengan itu, aku takut berpisah denganmu, akupun tahu kalau kamu akan tidak
mampu menahan rindu itu karena yakinlah aku juga merasakan hal yang sama
denganmu. Tapi, bukankah kita lebih tidak sanggup melawan bahkan kita tidak
bisa menghindari takdir akan sebuah perpisahan. Dinda, jangan khawatir karena
tidak akan ada kata perpisahan untuk kita, akan aku hapus kata itu bersama
sejuta cinta yang telah kita bina selama ini, aku pastikan akan selalu menjaga
cinta ini, meski kita berjauhan tapi aku akan selalu menjaganya untukmu dinda.
Dinda, saat kamu rindu ingatlah aku karena pada saat itu aku juga merindukanmu,
dan saat kamu sedih ingatlah aku karena pada saat itu aku siap ada untukmu,
siap jadi penghapus kesedihanmu yang setia hingga akhir.” Kataku memberikan
keyakinan pada wanita pujaanku.
“Dinda, jangan
pernah berpikir bahwa cinta kita akan pupus oleh perpisahan, tidak dinda,
karena kekuatan cinta jauh lebih kuat daripada perpisahan, dan cintaku hanya
untukmu.” tambahku memegang erat tangan Alya.
“aku percaya
padamu, maafkanlah diriku ini yang tak sanggup menahan takdir kepergianku,
takdir telah membawamu ke lubuk hati ini yang paling dalam, maka sangatlah
berdosa bagiku dengan kepergianku ini, sungguh maafkanlah diriku yang lemah
ini.” ungkap Alya menangis pilu lantaran merasa akan melukai hubungan ini.
“tidak Alya,
sungguhpun jarak akan memisahkan kita, tapi jarak tak punya hak untuk
memisahkan cinta kita, tidak akan ada yang boleh memisahkan kisah yang telah
kita rangkai selama ini. Janganlah engkau terlalu merendahkan dirimu lantaran
perkataan jarak tentang perpisahan, karena cinta kita jauh lebih perkasa
dibandingkan dengan kuasa jarak, jarak sangatlah lemah jika melawan mahligai
cinta yang telah kita bangun bersama.” kupeluk erat Alya dengan keyakinan yang
kubangun untuk bertahan di atas jarak perpisahan.
“Senja akan
menjadi saksi kelak atas kesedihan yang sangat aku rasakan kini, langit yang
menjadi atap janjiku untuk selalu berteduh dalam cinta kita, meskipun langit
akan runtuh, namun cintaku tak akan pupus, aku berjanji sampai nanti kita
bertemu, entah itu lima tahun lagi, sepuluh tahun, atau bahkan di mana nanti
usia kita akan usai, akan kujunjung tinggi kisah kita, jika kita tak
ditakdirkan untuk bersatu di dunia, diakhiratpun aku menunggumu.” ungkap Alya
seraya menengedahkan tangannya padaku.
“sungguh berat
janjimu, kalau demikian yang engkau inginkan, sungguh akupun telah memantapkan
jiwa ini untuk bersandar pada cinta kita, janganlah engkau tutup kisah kita,
jangan pula kau biarkan ada luka di antara kita, karena itu akan membuat diri
ini tak akan mendapatkan pencerahan lagi, hanya kamulah yang kelak menjadi
pencerah hati ini, dengan cinta yang kita miliki aku akan hidup untukmu, bukan
untuk lima tahun, bukan untuk sepuluh tahun, tiga puluh tahun, tapi aku akan
hidup sampai kita akan menutup mata bersama.” ungkapku mencium tangan Alya.
Seiring
tenggelamnya senja, tangan Alya perlahan-lahan terlepas dari genggamanku,
badannya mulai tak mengarah padaku, suaranya mulai tak kudengar lagi, wajah
cantiknya perlahan-lahan hanya menjadi bayangan, dia berjalan seakan sangat
cepat meninggalkanku, meninggalkan diriku yang tiba-tiba tak yakin akan mampu
bertahan tanpanya. Aku tidak percaya akan kepergiannya, kupikir ini hanya
sebuah angan kesedihanku saja, ilusi dari ketakutanku akan kehilangan wanita
pujaanku, kuharap begitu. Namun, lagi-lagi senja menjadi saksi atas Kenyataan
yang harus aku jalani, oh sungguh hatiku terluka, kupaksakan untuk tidak
mempercayai kenyataan yang diciptakan senja, namun mata, telinga, dan seluruh
tubuh ini seakan berpihak pada kesaksian senja. Aku kalah, kalah akan kesakitan
di senja itu, kalah dalam mempertahankan raga seorang Alya dari pelukku, wanita
pembawa senyuman senjaku.
Tidak, aku
tidak akan dengan mudah terkalahkan oleh kenyataan sekarang, aku tidak akan
terpedaya oleh ilusi perpisahan, tidak akan! Karena aku memiliki cinta yang
selalu membimbingku setiap keti-daktahuanku, yang selalu memberikanku
pencerahan setiap kegelapanku, yang selalu meyakinkanku di setiap
keragua-raguanku. Aku sangat
yakin cinta sangat mampu membalikkan keresahan menjadi ketenangan,
menghilangkan luka kemudian menciptakan suka. Cinta akan menghidupkanku bersama
Alya, hari ini, esok, lusa dan selamanya.
. . . . . .
Beberapa hari
kemudian setelah kepergian sang pujaan hati, aku dan para sahabatku pun pulang
ke kampung masing-masing dan meninggalkan tempat belajar serta tempat
berseminya cerita cintaku dengan Alya.
Kini aku hanya
bisa mengetahui kabar Alya melalui ponsel, Tak heran jika nomor Alya banyak
yang tercantum di kontak ponselku. Semakin lama, kehangatan kebersamaan dengan
Alya perlahan tak terasa, Alya pun hanya sesekali menghubungiku, seringkali
jika aku menelponnya namun tak terjawabnya. Sungguh semakin lama jarak itu
tidak hanya memisahkan ragaku dengan Alya, namun keyakinanku pada Alya pun
perlahan pudar lantaran ketidak peduliannya
lagi pada cinta yang selama ini kami bangun. Sungguh begitu sulit rasanya
menjalani hubungan dengan orang yang kini tak lagi disisiku.
“Wahai
Jiwa-jiwa para pencinta, pernahkah engkau mencintai seseorang yang jauh darimu?
bagaimana mungkin engkau bisa mempertahankan rasa cinta itu, sedangkan yang kau
cintai tak bersamamu ?”
Cinta telah
membuatku tenggelam dalam jurang kesedihan, terbelenggu dalam kesepian, jauh
dari kepercayaan diri dan terlupa dengan sahabat-sahabatku
yang selalu ada untukku, sungguh cinta telah mengubah karakter seorang pelukis
ini, mengubahnya menjadi orang yang penuh kegelapan dalam hidup. Kini kusadari bahwa cinta bukanlah sesuatu yang dapat dilihat, bukan sesuatu yang
dapat dirabah, melainkan cinta hanya bisa dirasakan oleh penguasa diri, hati.
Dan biarkan cinta itu berlabu dengan sendirinya menapaki cerita yang dia
inginkan.
Setelah
beberapa kali aku menghubunginya namun tak pernah lagi ada momen yang indah
bersama Alya. Aku yang kini sering menatap ponselku, menunggu ponsel itu
berbunyi, lalu kuangkatnya, kemudian kudengar suara Alya yang manja, bersama Alya aku merayu
satu sama lain, meluapkan segala cinta untuk menghiasi mahligai kami, sampai
akhirnya kami tinggal bersama di dalamnya, dengan keturunan-keturunan yang
tercipta dalam cinta kami. Sungguh angan-anganku telah melampau batas
kewarasanku.
Tiba-tiba suara
dering ponselku membuyarkan angan-anganku, dengan sejuta rasa kaget, kulihat
segera siapa gerangan yang menelpon. Oh aku masih ternaung di dalam
angan-anganku, bahwa yang terterah di layar ponselku adalah nama Alya, aku
berusaha mengabaikan suara dering itu, “tidak mungkin Alya menelponku,
jangankan untuk menelpon, menerima telponku pun semakin jarang”, kataku
dalam hati dengan mengabaikan nama wanita yang tertulis di layar ponsel itu.
Namun, semakin aku mengabaikan suara
dering itu semakin keras, aku menengok kembali ke layar ponselku,
kulihat lagi-lagi nama Alya yang tertera. Oh, aku tidak sedang berada dalam
angan-anganku, suara dering itu nyata, begitu nyata. Alya sedang memanggilku,
sungguh sebuah kesenangan yang mendalam melihat nama wanita pujaanku tengah
memanggilku. Aku tidak sedang berangan, tidak. Kupegang ponselku yang
geterannya ikut dalam sukmaku, kupencet tombol terima yang berwarna hijau
seraya kuletakkan dengan gugup ponselku ke telinga kiriku.
“Assalamu
Alaikum…” ucapku
menyambit panggilannya.
“Waalaikumussalam…”
Suaranya terasa
asing, tak biasanya suara Alya terasa hambar di telingaku, biasanya saat kudengar
suara wanita pujaanku itu, begitu mesra kudengar, bahkan dengan cepatnya
membaur dalam sukmaku. Tapi, kali ini, suara yang kudengar itu tidak mampu
menjawab kerinduanku yang selama ini terusik dalam benakku.
“Maaf nak, saya
ibunya Alya. Saya minta supaya kamu tidak lagi mengganggu anak saya, karena
anak saya telah saya jodohkan oleh lelaki lain.” ungkap Ibu Alya dengan suara lembut namun menusuk sakit dalam
jiwaku.
Kata-kata Ibu
Alya membuat ragaku meleleh selemah-lemahnya, kenangan seketika menjadi seribu
kesedihan dalam ketidak percayaan akan terlepaskan dari kisah yang telah lama
kususun bersama wanita pujaanku. Tak mampu kuimbangkan diri ini, aku terjatuh,
sakit! jiwaku telah rapuh, hancur berkeping-keping saat harus menerima
kenyataan ini. Tanpa sepata-kata, kuselesaikan
saja percakapan itu bersama sakit yang kuterima. Kini kenikmatan rindu itu berubah
menjadi rasa sakit. Tidak hanya dalam jiwaku, tapi ragaku pun
kini tersakiti, karena seorang wanita.
. . . . .
Begitulah
kisahku bersama Alya, dalam cinta ada jeritan luka yang tak tak mampu
kuhentikan. Benarlah perkataan sahabatku Randi, bahwa semestinya aku harus
berhati-hati saat bersama seorang wanita karena dia akan menjatuhkan derajat
lelaki, sungguh derajatku telah runtuh, harga diriku telah musnah.
Alya, wanita yang telah meruntuhkan
keyakinanku tentang kekuatan cinta. ternyata kepergiannya menjadi pintu baru
kehidupannya dengan lelaki yang dipilihkan oleh keluarganya, namun menutup
pintu kehidupanku.
Telah
runtuh keyakinanku tentang kekuatan cinta, telah tertutup pintu kehidupanku,
tak dapat lagi kulihat sisi baik dari makhluk yang bernama wanita, yang ada
hanya kemunafikan, kehinaan, kebusukan rayuan yang dibuatnya. Alya, sungguh
telah menjadi wanita yang menghancurkan nama wanita-wanita dalam pandanganku.
. . . . . .
Lanjut ke Warna Wanita berikutnya . . .
(Terima Kasih telah membaca, untuk lebih lengkap, cerita ini termuat dalam novel sebuah novel berjudul Warna Wanita)
Warna Wanita: Jerita Merah Jambu Alya
4/
5
Oleh
Unknown