MENJALANI HUBUNGAN DENGAN PACARAN ALA SANTRI
Pacaran! nampaknya kata itu tidak asing lagi bagi kita. Dia telah berbaur bersama zaman yang kian meraja lela dalam kehidupan para remaja, nampaknya kata pacaran telah menempati kedudukan yang keakrabannya menghampiri atau bahkan sejajar dengan pernikahan, aneh tapi nyata !. sehingga kini pacaran itu adalah hal yang lumrah terjadi, bahkan kebanyakan orang akan minder jika tidak memiliki pacar.
Jika dilihat dari pengertiannya, kata pacaran diartikan sebagai dua orang (lelaki dan perempuan) yang saling mencintai. Tetapi seiring perkembangan zaman, nampaknya orang-orang kurang memerhatikan definisi dari kata pacara tersebut. Dampaknya, banyak kejadian atas nama pacaran (cinta) sehingga muncul perbuatan tak pantas.
Pacaran, kini tidak lagi berhenti pada saling mencintai, perkembangan zaman telah mendorong pelaku pacaran ini pada dunia saling bertemu, berpegangan, dan bahkan saling mendekap satu dengan yang lain. Kita menyaksikan bagaimana teknologi dengan cepat mempertemukan satu insan dengan insan yang lainnya, yang jauh sekalipun dengan sekejap dapat terasa sangat dekat.
Pengaruh pacaran pun sangat besar, dia mampu menggoyahkan seseorang dari prinsip hidupnya, mampu membalikkan dari rasa ketidak bisaan menjadi ahli. Kita lihat misalnya, tatkala hujan lebat, namun karena pacarnya yang menyuruh untuk bertemu, sehingga hujanpun dengan senangnya dia tempuh. Contoh lain, ketika seseorang yang pada dasarnya sangat malas mengerjakan tugasnya, namun ketika sang pacar meminta untuk dikerjakan tugasnya, tiba-tiba orang itu sangat semangat mengerjakan tugas pacarnya.
Demikian dunia pacaran yang terjadi dikalangan remaja pada umumnya. Namun pacaran akan sangat berbeda jika disandarkan pada penganut pesantren, dalam hal ini adalah santriwan dan santriwati. Santri (ataupun santriwati) di sini di artikan sebagai orang yang sedang menuntut ilmu dan tinggal menetap di pondok pesantren.
Kehidupan santri dalam lingkungan pesantren bisa dikatakan berbanding terbalik dari kehidupan umumnya. Entah itu dirasakan suka ataupun kehidupan seperti itu menjadi penderitaan santri, tapi seperti itulah adanya hidup di pondok pesantren. Di dalamnya, pergaulan santri penuh dengan keterbatasan, santri (baca laki-laki) hanya ditempatkan pada lingkungan dengan sesama santri, begitupun sebaliknya, santriwati (baca perempuan) hanya ditempatkan di lingkungan sesamanya. Sehingga sangat sulit terjadi pertemuan atas keduanya, bahkan dalam aturan pesantren, santri di larang keras bertemu dengan santriwati, dan aturan tersebut menjadi kemutlakan pesantren yang akan mengakibatkan hukuman (sanksi) jika melanggarnya.
Meski dengan kehidupannya yang penuh keterbatasan, bukan berarti santri tidak sama sekali menyentuh dunia ‘pacaran’, ketertarikan dengan lawan jenis tentu juga dirasakan oleh santri, bagaimana pun itu, jika perasaan (baca cinta) telah memikat dua insan pesantren itu (santri dan santriwati) maka gunung akan didaki, lautan akan diselaminya.
MENJALANI HUBUNGAN DENGAN PACARAN ALA SANTRI
4/
5
Oleh
Unknown