MEMBUMIKAN MANFAAT SILATURRAHIM
Muh Alwi HS
14530083
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Pendahuluan
Tulisan ini memaparkan tentang manfaat bersilaturrahim yang akan
diterangkan secara rasional. Munculnya ketimpangan sosial yang masih terjadi
sampai sekarang, salah satunya disebabkan karena kekurang pahaman terhadap
manfaat hubungan silaturrahim. Anggapan yang sering muncul bahwa manfaat
bersilaturrahim hanya dapat dicapai dengan keyakinan semata, sehingga
manfaatnya belum terealisasi secara nyata.
sehingga perlu dijabarkan eksistensi silaturrahim agar bisa
dipahami secara rasional dan membumi. Karena
itu, akan ditinjau berbagai aspek-aspek mengenai makna silaturrahim itu
sendiri, serta membicarakannya kepada kehidupan sosial.
A.
Tinjauan
Umum
Shilah
dengan
mengkasrahkan huruf shad, berasal dari washalahu, seperti kata wa’adahu
‘udatan. Ini merupakan kata yang mengungkapkan perbuatan baik dan lemah
lembut terhadap kerapat yang ada hubungan darah, mertua dan memberika perhatian
kepada mereka. Walaupun kerabat jauh dan telah berbuat buruk kepada dirinya[1].
Sedangkan rahim pada asalnya bermakna tempat anak dalam
perut ibunya. Kemudian rahim itu diberikan kepada mereka yang benar dari suatu
rahim[2].
Lebih jauh, dikatakan bahwa rahim adalah hubungan kekerabatan manusia
dari ayah dan ibunya. Dan kerabat adalah keterkaitan dua manusia secara
bersama-sama melalui kelahiran.[3] Pemaknaan
tersebut dipahami rahim dalam konteks silaturrahim “keluarga”. Sementara
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata silaturraim diartikan sebagai
tali persahabatan[4].
Silaturrahim menuntut adanya komunikasi, jalinan hubungan, bahkan network.
Ia mengisyratkan keharmonisan hubungan bahkan kekuatannya, di samping pencairan
yang beku dan penghangatan yang dingin[5].
Orang tua merupakan orang yang paling dekat dari segi keturunan,
yang paling terasa kasih sayangnya, paling berhak untuk diperlakukan dengan
baik dan dijaga hubungannya. Setelah kedua orang tua, yang paling berhak
mendapat perlakuan baik adalah anak-anak, kemudian yang paling dekat dari satu
rahim dan seterusnya[6]. Dalam
bersilaturrahim pada dasarnya ditujukan untuk berbuat ihsan kepada kerabat dan
mengadakan hubungan yang baik, serta menyelesaikan segala haja mereka dan
menolak segala kejahatan yang menimpa mereka menurut kadar yang sanggup
dipikul, sesuai kemampuan[7].
Adapun manfaat bersilaturrahim yang jika dipahami dalam pengertian
sempit, yakni menjaling hubungan harmonisasi antar keluarga, maka ini saja
telah membawa dampak yang sangat besar bagi seluruh masyarakat. Masyarakat
terdiri dari kumpulan keluarga kecil. Keluarga kecil berkaitan dengan keluarga
besar, demikian seterusnya. Tentu saja pengertian yang seluas mungkin dari
silaturrahim -sebagaimana diartikan sebagai persahabatan- akan membawa dampak
yang lebih positif lagi karena ia menuntut terjalinnya kasih sayang antara
semua makhluk Tuhan[8].
Mengenai manfaat silaturrahim, terdapat hadits yang sangat popular
yang secara khusus menjadi motivasi dalam bersilaturrahim, yakni "Barangsiapa
ingin dibentangkan pintu rizki untuknya dan dipanjangkan ajalnya hendaknya ia
menyambung tali silaturrahmi.”(HR. Bukhari).
Selanjutnya, penjelasan hadits ini akan dibahas pada bahasan selanjutnya.
B.
Analisis
Pemahaman Hadits Tentang Keutamaan Silaturrahim
حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ
بْنُ الْمُنْذِرِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مَعْنٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ سَعِيدِ
بْنِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ
فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ[9]
Telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin Al Mundzir telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin Ma'an dia berkata; telah menceritakan kepadaku Ayahku
dari Sa'id bin Abu Sa'id dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dia berkata; saya
mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa
ingin dibentangkan pintu rizki untuknya dan dipanjangkan ajalnya hendaknya ia
menyambung tali silaturrahmi."
Hadits
yang semakna ini, juga diriwayatkan oleh[10]
Bukhari nomor hadits 5527, Muslim nomor hadits 4638, dan 4639, Abu Dawud nomor
hadits 1443, Ahmad nomor hadits 1150, 12128, 13309. Dengan demikian, hadits
diatas cukup meyakinkan bahwa amalan silaturrahim dapat memperluas
(mempermudah) rezki dan memanjangkan umur seseorang.
Sepintas
lalu, hadits yang diangkat oleh penulis seakan bertentangan dengan hadits nabi
yang lain, yakni –misalnya- hadits yang mengatakan bahwa rezki dan ajal
seseorang telah ditetapkan sejak dia masih dalam kandungan. Lihat hadits yang diriwayatkan
oleh Bukhari, dari Abdullah berkata, Rasulullah bersabda “Sesungguhnya setiap
kalian dikumpulkan (penciptaannya) di dalam perut ibunya selama empat pulu
hari, kemudian menjadi segumpal darah perut ibunya selama empat puluh hari,
kemudian menjadi segumpal darah selama itu pula, lalu menjadi segumpal daging
selama itu pula lantas Allah mengutus seorang malaikat lalu diperintahkan
(untuk mencatatkan) empat hal, yaitu: rezekinya, ajalnya, dan sengsara
atau bahagianya, kemudian ditiupkanlah ruh kepadanya…”[11].
Selain
itu, ada pula ayat al-Qur’an yang jelas menetapkan ajal manusia sebagai
ketetapan yang tak bisa di ubah sedikit pun. “Apabila telah tiba ajal
seseorang maka tidak bisa ditunda dan tidak bisa pula dimajukan” (QS. Al-Hijr:
5)[12].
Dalam kitab Fathul Bari’ Penjelasan Kitab Shahih
Al-Bukhari (terj), dikatakan bahwa yang dimaksud keluasan dalam rezki adalah
diberinya keberkahan. Sedangkan keluasaan pada umur
adalah diberinya kekuatan fisik. Karena mempererat hubungan kekeluargaan adalah
sedekah, sedangkan sedekah dapat mengembangkan harta dan menambahnya, maka ia pun
tumbuh dan suci karenanya[13]. Adapun mengenai ketentuan (takdir) rezeki dan ajal seseorang tergantung
dari usaha (amal), banyak ataupun sedikitnya rezki seseorang berdasarkan usaha
(amal) yang dilakukannya. Demikian juga tentang ajal (umur), keberkahan umurnya
berdasarkan usaha kebaikannya, dengan kata lain yang dimaksud panjang umurnya
disini yakni berberkahnya umur karena amal shalehnya[14].
Keberkahan
pada umur yakni dengan ia diberi taufik untuk melaksanakan amal ketaatan dan
dapat mengisi waktu dengan hal-hal yang berguna untuk akhiratnya sehingga
dirinya terjaga dari perkara yang tidak bermanfaat. Walaupun ia
meninggal, namun kebaikannya tetap dikenang orang, seolah-olah ia belum
meninggal. Contoh taufiq yang telah diberikan kepadanya seperti ilmu bermanfaat
yang pernah ia berikan generasi setelahnya, berupa tulisan atau yang lainnya,
sedekah jariyah atau ia meninggalkan anak-anak yang shaleh.[15]
Sementara itu, Quraish Shihab menjelaskan tentang
keberkahan umur dan rezki, bahwa
perpanjangan usia itu dapat dipahami bukan saja
dalam arti kelanjutan nama baik setelah kematian, atau keberkatan hari-hari
keberadaan di pentas bumi ini melalui keberhasilan memanfaatkan waktu sebaik
mungkin tetapi juga menambahan bilangan hari-hari keberadaan di bumi ini.
demikian juga perolehan tambahan rezeki bukan sekedar keberkahannya tetapi juga
perolehan dan penambahannya secara material.
Silaturrahmi yang menghasilkan hubungan yang harmonis itu
mencega timbulnya stress –yang merupakan salah satu penyebab kematian- ia
melahirkan ketenangan, dan ketenangan merupakan syarat pencerahan pikiran untuk
lebih berkonsentrasi dalam pekerjaan dan ini dapat melipat gandakan hasil
produksi. Di sisi lain
dengan terjadinya hubungan harmonis, maka akan semakin banyak peluang kerja
sama dalam berbagai bidang dan ini pada gilirannya mengundang rezki material
dan spiritual. Semakin kuat pengenalan satu pihak kepada selainnya, semakin
terbuka peluang untuk saling memberi manfaat[16].
Melihat di era modern-kontemporer, kini telah banyak cara yang dapat ditempuh
untuk menjaling hubungan silaturrahim, misalnya media sosial (Facebook, BBM,
Line, dan sebagainya). Dengan demikian, semakin luas jalinan silaturrahim maka
semakin banyak pula peluang yang mendapatkan rezki.
Karena itu, ketika al-Qur’an menegaskan tujuan penciptaan manusia
yang berbangsa-bangsa dan bersuku-suku ditegaskan bahwa agar kamu saling
kenal-mengenal (QS. Al-Hujurat [49] : 13). Perkenalan itu dibutuhkan untuk
saling menarik pelajaran dan pengalaman pihak lain, guna meningkatkan ketaqwaan
kepada Allah. Yang dampaknya tercermin pada kedamaian dan kesejahteraan hidup
duniawi dan kebahagiaan ukhrawi.
Lebih jauh, dilihat
dari pengenalan terhadap alam raya maka akan ditemui bahwa semakin banyak
pengenalan terhadapnya, semakin banyak pula rahasia-rahasianya yang terungkap
dan ini pada gilirannya melahirkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta menciptakan kesejahteraan lahir dan bathin, dunia dan akhirat.[17]
Dihubungkan dengan
pemikiran Ibn Khaldun mengenai fungsi dan peran agama, bahwa ia (baca
agama) yang mengajarkan untuk percaya dan meyakini kepada yang ghaib, percaya
kepada Tuhan dan meyakini adanya sesuatu yang melampaui indrawi manusia.
Sehingga manusia yang memiliki keyakinan terhadap agamanya, akan meletakkan
agama sebagaia suatu realitas yang mekonstruksi tindakan-tindakan sadar
manusia.[18]
Dengan demikian, -hemat penulis- dari penjelasan di atas telah dapat ditangkap
kesimpulan bahwa manfaat silaturrahim sebagai bagian dari ajaran agama serta
sebagai naluri kemanusiaan (makhluk sosial) tentu akan memegaruhi berbagai sisi
kehidupannya, seperti rezki dan panjang umur (ajal).
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asqalani, Ibnu
Hajar, 2010, Fathul Bari’ Syarah Shahi Bukhari, (Jilid 12), (Terj),
(Jakarta: Pustaka Azzam).
Al-Fauzan,
Abdul Aziz, 2007, Fikih Sosial: Tuntunan dan Etika Hidup Bermasyarakat, (Terj),
(Jakarta: Qisthi Press).
Ash-Shan’ani, Muhammad
Bin Ismail Al-Amir, 2014, Subulus Salam – Syarah Bulughul Maram, Jilid 3,
(Terj), (Jakarta: Darus Sunnah Press).
Ash-Shiddiqy, Teungku
Muhammad Hasbi, 1998, Al-Islam:
Amalan Anggita lahir Kewajiban Terhadap Keluarga, Masyarakat dan Negara, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra).
Jurdi, Syarifuddin, 2008, Sosiologi Islam: Elaborasi pemikiran Sosial
Ibnu Khaldun, (Yogyakarta: Bidang Akademik).
Poerwadarminta,
W.J.S., 1976, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka).
Shihab, M.
Quraish, 2006, Menabur Pesan Ilahi, Al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan
Masyarakat, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati).
[1]
Muhammad Bin Ismail Al-Amir Ash-Shan’ani, Subulus Salam – Syarah Bulughul
Maram, Jilid 3, (Terj), (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2014). hlm. 786.
[2]
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddiqy, Al-Islam: Amalan Anggita lahir Kewajiban
Terhadap Keluarga, Masyarakat dan Negara, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,
1998). hlm. 299.
[3] Dr. Abdul Aziz al-Fauzan, Fikih Sosial,
Tuntunan dan Etika Hidup Bermasyarakat, (Terj), (Jakarta: Qisthi Press,
2007). hlm. 262.
[4]
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai
Pustaka, 1976). hlm. 946.
[5] M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi,
Al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat, (Jakarta: Penerbit Lentera
Hati, 2006). hlm. 70.
[9] HR.
Bukhari, Kitab Adab, Bab Siapa Yang Diluarkan Rejekinya Karena Silaturahim,
nomor 5526.
[12] Ayat yang semakna ini juga
dapat ditemukan di QS. Al-A’raf: 34, QS. Yunus: 49, QS. An-Nahl: 61, QS.
Al-Mu’minun: 43, QS. Al-Munafiqun: 11.
[13] Al-Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Aqalani, Fathul
Bari’ Syarah Shahi Bukhari, (Jilid 12), (Terj), (Jakarta: Pustaka Azzam,
2010). hlm. 49.
[14] Lihat penjelasan tentang takdir,
dalam kitab Fathul Bari’ Syarah Shahih Al-Bukhari , jilid 32. hlm. 34-35.
[18] Syarifuddin Jurdi, Sosiologi Islam: Elaborasi pemikiran Sosial Ibnu
Khaldun, (Yogyakarta: Bidang Akademik, 2008). hlm. 190.
MEMBUMIKAN MANFAAT SILATURRAHIM
4/
5
Oleh
Unknown