BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Eksistensi Al-Qur’an baik sebgai
sumber hukum maupun sebagai pedoman dasar dalam kehidupan umat manusia,
khususnya umat islam, merupakan sesuatu yang tidak boleh diragukan lagi
keberadaannya, meskipun dalam aplikasinya dikenal masyarakat masih memerlukan
penjabaran yang lebih rinci. Oleh karena itu, umat Islam berkewajiban untuk
mempelajari dan mendalami isi kandungan al-Qur’an serta merenungkan lafal-lafal
dan kandungan maknanya.
Pada masa Rasulullah, umat Islam
dapat memahami isi kandungan al-Qur’an baik yang berkenaan dengan Aqidah maupun
Syari’ah secara tekstual sesuai dengan kondisi bangsa Arab ketika itu. Karena
apabila mereka mendapati hal-hal yang kurang jelas,mereka langsung datang
kepada Rasulullah untuk menanyakan penjelasannya, karena Rasulullah sebagai
referensi dan penafsir pertama terhadap al-Qur’an. Oleh karenanya, pada masa
itu penafsiran al-Qur’an tidak mengalami kesulitan, sebab disamping Rasulullah
masih ada juga problema yang dihadapi para sahabat belum terlalu kompleks.
Namun, setelah Rasulullah berpulang
ke Rahmatullah dan Islam mulai berkembang keluar Jazirah Arab,mulailah
bermunculan banyak kasus dan peristiwa dikalangan umat Islam yang harus dengan
segera menuntut pemecahan hukumnya secara benar dan akurat.[1]
Karena itu, dalam makalah ini, penyusun hendak mengkaji ‘kaidah syarath dan
hadzfu jawab syarath’ sebagai salah satu keilmuan dalam menambah wawasan untuk
memahami kandungan Al-Qur’an.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
konsep syarath dan hadzfu jawab dalam Al-Qur’an?
C.
1.
Untuk mengetahui konsep Syarath dan hadzfu jawab dalam Al-Qur’an?
BAB II
SYARATH DAN HADZFU JAWAB DALAM AL-QUR’AN
A.
Kata-kata
Syarath Dalam Al-Qur’an
Dalam kitab Qawaid Al-Lugha Al-Arabiyyah
(juz 1) yang ditulis oleh Fuad Nikmah, pembahasan tentang kata syarath (Adatu
al-Syarti) terbagi menjadi dua bagian, yaitu:[2]
1.
Kata
syarath (Adatu al-Syarath) yang menjazam dua fi’il
إن
– من – ما – مهما – متى – أيان – أين – أينما – أنى – حيثما – كيفما – أى[3]
2.
Kata
syarath (Adatu al-Syarath) yang tidak menjazam fi’il
لؤ – لولا – لوما – أما – إذا
– لما – كلما
Selanjutnya syarath mempunyai serangkaian bagian, diantaranya : Adat (kata)
syarath, Fiil syarath (jika masuk pada kalimat fiil), dan jawab syarat
(walaupun terkadang syarat dan fiil syarath bisa dibuang tergantung beberapa
faktor)[4]. Kata-kata
syarath banyak terpakai dalam al-Qur’an, misalnya:
a. In (إن)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَءَامَنُوٓاْ إِن تَنصُرُواْ ٱللَّهَ
يَنصُرۡكُمۡ وَيُثَبِّتۡ أَقۡدَامَكُمۡ
b. Idza (إذا)
إِذَا جَآءَ نَصۡرُ ٱللَّهِ وَٱلۡفَتۡحُ
B. Perbedaan Penggunaan In dan Idza dalam Al-Qur’an
Meski dalam pembahasan sebelumnya, banyak dipaparkan huruf-huruf syarath
(baik yang menjazam fiil maupun yang tidak), pada pembahasan ini akan
dipaparkan perbedaan penggunaan In dan Idza saja.
In (إن) digunakan untuk yang
diragukan atau jarang terjadi. Sedangkan Idza (إذا) digunakan untuk sesuatu yang
diyakini, atau diduga keras atau sering kali terjadi. Contoh:
كُتِبَ عَلَيۡكُمۡ إِذَا
حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ إِن تَرَكَ خَيۡرًا ٱلۡوَصِيَّةُ
لِلۡوَٰلِدَيۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِينَ بِٱلۡمَعۡرُوفِۖ حَقًّا عَلَى ٱلۡمُتَّقِينَ.
“Diwajibkan atas kalian apabila (idza) tanda-tanda
kematian hadir kepada salah seorang di antara kamu, jika (in) ia meninggalkan
harta yang banyak, diwajibkan atasnya berwasiat dengan baik kepada kedua orang
tua dan para kerabat, itu adalah sesuatu yang hak (kewajiban) bagi orang-orang
bertaqwa”. (QS. Al-Baqarah: 180).
Ketika ayat di atas menunjuk “kematian/tanda-tandanya”,
ia menggunakan kata idza karena hal tersebut merupakan sesuatu yang
pasti, sedangkan ketika berbicara tentang harta yang banyak yang ditinggal, ayat
di atas menggunakan kata in, karena itu jarang, atau diragukan
terjadinya pada setiap orang.
Sering kali ditemukan dalam al-Qur’an huruf in
digunakan dalam konteks kalam Allah yang ditujukan kepada
orang-orang beriman, sebagai contoh:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَءَامَنُوٓاْ إِن تَنصُرُواْ ٱللَّهَ
يَنصُرۡكُمۡ وَيُثَبِّتۡ أَقۡدَامَكُمۡ
“wahai orang-orang yang beriman, jika kalian
membela (agama) Allah niscaya Allah membela kamu dan memantapkan posisi/pendirian
kamu”. (QS. Muhammad: 7)”[5]
Penggunaan
kata in pada kedua contoh di atas bertujuan mengingatkan mitra bicara
agar tidak yakin tentang kualitas pembelaannya terhadap agama Allah/imannya
agar ia terdorong untuk mengingatkannya, karena siapa yang telah yakin mencapai
targetnya, maka dia sering kali berhenti, tidak berusaha lagi. Hal ini tidak
dikehendaki oleh pesan ayat semacam ayat-ayat di atas.[6]
C. Hadzfu Jawab
Syarath dalam Al-Qur’an
Ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung fi’il
al-syarath (kata kerja bersyarat), tetapi jawab al-syarath (jawaban
dari kata kerja bersyarat)-nya tidak disebutkan menunjukkan pentingnya masalah
yang dibicarakan, atau –jika yang dibacakan adalah masalah siksa—menunjukkan
dahsyatnya keadaan yang disebutkan.
Al-Qur’an Surah Al-Sajadah ayat 12 menunjukkan hal ini:
Dan sekiranya kamu melihat, ketika orang-orang yang
berdosa itu menundukkan kepada mereka di hadapan Tuhan, mereka berkata: “Tuhan
kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia).
Kami akan mengerjakan amal shaleh. Sesungguhnya kami (sekarang) adalah
orang-orang yang yakin.”
Jawab al-syarath kata ‘law tara’ memang tidak disebutkan, dan yang
disebutkan hanya reaksi orang-orang yang melihat siksaan neraka. Peniadaan jawab
al-syarath adalah untuk menggambarkan betapa dahsyatnya siksaan di akhirat
kelak.
Contoh yang lain:
Dan sekiranya kami melihat, ketika mereka terperanjat
ketakutan, maka mereka tidak dapat melepaskan diri… (QS. Saba’: 51).
…. Dan seandainya orang-orang yang zalim itu
mengetahui, ketika mereka menyaksikan siksa (pada hari kiamat); bahwa kekuatan
itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa siksaan Allah amatlah berat (QS
Al-An’am: 27)
Jawab al-Syarath dari ketiga ayat di atas tidak disebutkan—dan itu lebih baik—untuk
menunjukkan betapa hebat keadaan pada hari kiamat kelak. Bahkan karena luar
biasanya keadaan pada hari itu, sehingga tidak mungkin diungkapkan dengan
kata-kata, serta tak pula dapat disebutkan cirri-cirinya.
Demikian pula pada Surah Al-Takatsur ayat 5: pe
Jangan begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuaan
yang yakin (keberadaan neraka itu).
Maksud ayat ini ialah sekiranya kamu melihat dengan
langsung betapa berat dan pedih siksaan di neraka itu, pasti kamu tidak akan
tetap dalam keadaan berlalai-lalai dan lengah terhadap perintah dan larangan
Allah.
Perhatikanlah ayat-ayat Al-Qur’an lain, kemudian pahamilah
maknanya sesuai dengan kaidah ini.[7]
DAFTAR PUSTAKA
Aqil, Bahauddin bin Abdullah ibnu, 2012, terjemahan syarath al-fiyah ibnu Aqil. (Bandung: Sinar Baru Algensindo)
Dahlan, Abd. Rahman, 1997, kaidah-kaidah penafsiran
Al-Qur’an, (Bandung: Penerbit Mizan)
Nikmat, Fuad, Qawaid al-Lugha al-Arabiyyah (Juz 1), (Surabaya : Al-Hidayah)
Shihab, Quraish, 2012, kaida Tafsir, (Bandung: Lentera Hati)
Syarjaya, Syibli, 2008, Tafsir
ayat-ayat ahkam (Jakarta: PT Raja Grafindo
persada)
[1]
Syibli syarjaya. Tafsir ayat-ayat ahkam PT RajaGrafindo persada : Jakarta. 2008. hlm
35-36.
[2]
Fuad Nikmat, Qawaid al-Lugha
al-Arabiyyah (Juz 1), (Surabaya : Al-Hidayah), hlm 176-177.
[4]
Bahauddin bin Abdullah ibnu Aqil, terjemahan
syarath al-fiyah ibnu Aqil. (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012) hlm 190.
[6] Quraish Shihab, kaida Tafsir, (Bandung:
Lentera Hati, 2012), hlm 91-93.
[7] Drs. Abd. Rahman Dahlan, M.A, kaidah-kaidah
penafsiran Al-Qur’an, (Bandung: Penerbit Mizan, 1997), hlm 86-87.
kaidah syarath dan jawab dalam al-Qur'an
4/
5
Oleh
Unknown