Senin, 16 Januari 2017

Perempuan, Cinta Kasih dan Wacana Otoritas Teks

Perempuan, Cinta Kasih dan Wacana Otoritas Teks




Perempuan, Cinta Kasih dan Wacana Otoritas Teks

 
Sebuah Wacana dari Khaled M. Abou El Fadl

Oleh:
Muh Alwi HS
UIN Sunan Kalijaga

Sujud Kepada Suami
Kita akan berangkat dari kebingungan dalam pernikahan, satu sisi ia (pernikahan) bersuara cinta kasih, tetapi sisi lain ia menjadi pintu ketidakberdaan perempuan (baca: Istri) kepada lelaki (baca: Suami). Tentang pernikahan, ada banyak ayat al-Qur’an yang menggambarkan perintah menikah, hal ini dapat dilihat misalnya dalam QS An-Nisa: 3, QS. An-Nur: 32, dan QS. Ar-Rum: 21. Dari beberapa ayat tersebut, tentu kita meyakini bahwa segala perintah dari Allah senantiasa mendatangkan kemaslahatan hamba-Nya baik secara individual maupun kolektif, sehingga pernikahan harus dimaknai sebagai keberkahan yang bersifat perintah dari Allah SWT.  
Namun, keberkahan itu akan ‘ternodai’ ketika pada kenyataannya kedua pihak (suami-istri) dalam perjalanan pernikahannya mengalami ketidakharmonisasian lantaran ada ego yang bermain di dalamnya. Hal ini tentu tidak terjadi begitu saja, akan tetapi ada pra-perilaku yang lahir dari problem tersebut, di antaranya yaitu pemahaman atas teks. Penulis berasumsi bahwa perilaku (tindakan) manusia sangat dipengaruhi oleh pemahaman yang dia miliki. Dikaitkan dengan teks, apa yang dipahami dari teks maka itulah yang lahir sebagai sebuah tindakan. Kalau demikian, maka penodaan terhadap keberkahan atas pernikahan itu bisa jadi berangkat dari teks atau/dan pemahaman atas teks yang ada.
Selanjutnya, salah satu wacana hadits yang menampakkan penodaan atas pernikahan itu –misalnya- dapat diketahui dari hadits tentang wajibnya istri bersujud kepada suaminya:
“Seseorang tidak dibenarkan untuk bersujud kepada siapa pun. Tapi sekiranya saya harus menyuruh seseorang untuk bersujud kepada seseorang lainnya, saya akan menyuruh seorang isri bersujud kepada suaminya karena begitu besarnya hak suami terhadap istrinya.”[1]

Dari hadits di atas dapat ditangkap pemahaman bahwa kehormatan perempuan (istri) di bawah kehormatan laki-laki. Abou El Fadl kemudian menyebutkan perkataan Ibn al-Jawzi (w. 521 H) seorang ahli hukum, bahwa:
“Seorang perempuan wajib mengetahui bahwa ia seolah-olah menjadi milik suaminya (ka al-mamlukah), sehingga ia tidak boleh berinisiatif melakukan sesuatu atau menggunakan uang tanpa izin suaminya. Ia harus mendahulukan hak-hak suaminya daripada hak dirinya atau keluarganya, dan ia siap sedia memberikan kepuasan kepada suaminya dengan berbagai cara. Seorang istri jangan membanggakan kecantikannya di depan suami, dan menyebut-nyebut kekurangan suaminya… seorang istri wajib sabar atas perlakuan buruk suaminya, layaknya sikap yang mesti ditunjukkan oleh seorang budak.”[2]

Apa yang tertuang dalam perkataan di atas merupakan konsekuensi yang lahir dari pemahaman atas hadits-hadits wajibnya istri bersujud kepada suami. Karena itu, hadits-hadits semacam ini memerlukan jeda-ketelitian. Abou El Fadl mengatakan bahwa jika kita mengacu pada standar zaman dan tempat, ataupun standar perkembangan moral kemanusiaan, maka hadits-hadits tersebut akan mengganggu kesadaran. Sehingga perlu berhenti sejenak untuk merenungkan kedudukan dan dampak yang ditimbulkan hadits-hadits tersebut. Lebih jauh bahwa perilaku (Abou El Fadl menyebutnya gerak hati) manusia dibatasi oleh kondisi sosial dan historis, sehingga mengalami perubahan dan perkembangan. Maka apa yang dapat mengganggu kesadaran dalam satu konteks, belum tentu mengganggu kesadaran pada konteks lain.[3]
Abou El Fadl dalam kajian ini memberikan sinyal keganjalan pada hadits tentang istri bersujud kepada suami, yakni terdapat pada strukturalnya. Sering kali ketika Nabi ditanya tentang apakah boleh bersujud kepada beliau, dijawabnya “Tidak! Tapi jika manusia harus bersujud kepada sesamanya, maka seorang istri harus bersujud kepada suaminya.” Pada dasarnya, penambahan Nabi atas jawaban yang tidak ditanyakan oleh sahabatnya merupakan tambahan yang sambil lalu, hal ini dikarenakan yang bertanya adalah laki-laki dan jawaban yang diberikan untuk laki-laki. Lebih jauh bahwa pertanyaan sahabat bernada penghargaan kepada Nabi.[4] Selain itu, bagi pihak tertentu hadits-hadits tersebut sangat bertentangan dengan teologi atas kedaulatan Tuhan dan kehendak-Tuhan yang bersifat mutlak. Serta bertentangan dengan spirit al-Qur’an sebagaimana yang terkandung dalam surah al-Rum ayat 21:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.”

Juga surah al-Baqarah: 187, tentang keharmonisasian sebuah pernikahan.
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.”

Selain tidak sejalan dengan al-Qur’an, hadits tentang istri sujud kepada suami juga tidak sejalan dengan riwayat (hadits) yang menggambarkan perilaku Nabi kepada istri-istrinya.
“Kamu memarahi saya karena beradu argumentasi dengan kamu! Demi Allah, Istri-istri Nabi juga beradu argument dengan beliau, bahkan salah seorang di antaranya meninggalkan beliau dari pagi hingga malam.” (HR. Bukhari).[5]

Selain banyaknya pertentangan dari segi matan, Abou El Fadl juga mengkritisi Abu Hurairah, sebagai perawi yang banyak meriwayatkan hadits semacam ini. Pada awal perkembangan Islam, Abu Hurairah termasuk orang yang dipandang kontroversial.[6] Hal ini dikarenakan Abu Hurairah merupakan sahabat yang memeluk Islam belakangan –yakni pada akhir-akhir Nabi wafat, namun banyak meriwayatkan hadits. Dengan pertentangan tersebut, maka tidak heran jika kemudian riwayat-riwayat Abu Hurairah oleh beberapa ahli hukum klasik menolak periwayatannya untuk dijadikan fatwa.[7]
Selanjutnya, Abou El Fadl menegaskan kembali pentingnya melakukan jeda-ketelitian. Perilaku jeda-ketelitian merupakan bukti rasa kritis yang nyata terhadap hadits, khususnya hadits-hadits yang mengganggu kesadaran. Hal ini dilakukan untuk menguak persoalan yang terkait dengan substansi hadits, baik dari segi matan, sanad, kondisi historis, dan konsekuensi moral serta sosialnya.[8]
Kembali ke persoalan istri bersujud kepada suami, hadits tersebut bukan untuk dinyatakan tidak autentik. Namun, berbagai keganjalan atas hadits tersebut kemudian menyebabkan ia tidak bisa dijadikan sandaran dalam persoalan hukum atau teologi.[9]


Membuat Suami dan Tuhan Tetap Gembira
dan Membawa Kita Masuk Surga
“Seorang istri yang meninggal dan suaminya rida kepadanya, maka ia akan masuk surga.”[10]

“Tuhan tidak akan memedulikan seorang perempuan yang tidak bersyukur kepada suaminya, padahal pada kenyataannya ia bergantung pada suaminya.”[11]

Hadits-hadits di atas sejajar dengan hadits tentang istri bersujud kepada suami yang manggambarkan bahwa seorang istri untuk masuk surga sepenuhnya tergantung dari suaminya, baik ia saleh maupun tidak.[12] Hal ini kemudian memunculkan problem besar tentang adanya kaitan keridaan Tuhan tergantung keridaan suami. Lantas bagaimana jika pada kenyataannya seorang istri lebih shaleh dibandingkan suaminya? Ini merupakan persoalan yang sampai pada jenjang teologis dan sosial yang sangat mendalam. Sehingga perlu dilakukan jeda-ketelitian karena hadits semacam itu mengusik kesadaran, tidak sesuai dengan gambaran sifat Nabi, dan bertentangan dengan spirit al-Qur’an, di mana al-Qur’an mengandung spirit cinta kasih, persahabatan, dan perempuan shaleh yang senantiasa taat kepada Tuhan (bukan kepada suami).[13]
Tentang persoalan ini, Abou El Fadl menekankan perlunya mengedepankan logika proporsionalitas, yang dalam hal ini diperlukan hadits-hadits dengan derajat autentisitas tertinggi yang kemudian dijadikan sebagai landasan pada permasalahan yang penting atau yang berpengaruh pada sosial.[14] Jika dibandingkan derajat autentisitas antara sebuah hadits yang berstatus ahad dengan hadits yang berstatus mutawatir, maka yang lebih besar kemungkinan untuk diterima adalah hadits yang mutawatir. Pada rana proporsionalitas, yang menjadi titik tekan adalah pengetahuan mengenai sumber teks (baca: hadits) dan dampak yang ditimbulkannya. Jika besar dampak yang ditimbulkan teks tersebut, maka semakin besar pula pembuktian tentang autentisitasnya.[15]
Meski demikian, persoalan mengenai perlunya pembuktian autentisitas sebuah hadits tidak mesti dibatasi pada ahad atau mutawatir-nya hadits tersebut. Terutama pada persoalan-persoalan yang membutuhkan jeda-ketelitian, adapun tentang mutawatir atau ahad hanya menjadi awal persoalan. Hal ini karena persoalan banyak sedikitnya perawi sebuah hadits tidaklah menjadi penting ketika hadits itu sudah menjadi miliki sosial, dan berdampak kepada kehidupan sosial, teologis, ataupun politis.[16]


[1]  Hadits yang seperti ini banyak disebutkan dalam kitab-kitab hadits, misalnya Abu Dawud, a-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad bin Hanbal, al-Nasai’ dan Ibn Hibban. Lihat lebih jauh dalam Khaled M. Abou El Fadl. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Terj. (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. 2004). hlm. 304-306.
[2] Khaled M. Abou El Fadl. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Terj.. 307-308.
[3] Khaled M. Abou El Fadl. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Terj. hlm. 308.
[4] Khaled M. Abou El Fadl. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Terj. hlm. 310.
[5] Khaled M. Abou El Fadl. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Terj. hlm.  311.
[6]  Ada banyak riwayat yang menampilkan kekontroversial sahabat Abu Hurairah, misalnya ketika Aisyah memanggil Abu Hurairah dan berkata “Abu Hurairah! Apa maksud semua riawayat yang selalu kami dengar dari mulutmu! Katakana padaku, apakah kamu mendengar hal-hal (dari Nabi) yang tidak kami dengar, apakah kamu melihat sesuatu (yang dilakukan Nabi) yang tidak kami perhatikan?” Abu Hurairah menjawab, “Wahai ibu orang-orang beriman (umm al-mu’minin), engkau sibuk dengan alis matamu dan mempercantik diri untuk Nabi”. Juga riwayat yang mengisahkan Umar memarahi Abu Hurairah; “Jika kamu tidak berhenti meriwayatkan hadits, saya akan mengasingkan kamu”. dan berbagai riwayat lainnya yang serupa dengan ini. lihat selengkapnya Khaled M. Abou El Fadl. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Terj. hlm. 312-314.
[7]  Khaled M. Abou El Fadl. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Terj. hlm. 314.
[8]  Khaled M. Abou El Fadl. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Terj. hlm. 316.
[9]  Lihat Khaled M. Abou El Fadl. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Terj. hlm. 316.
[10]  Hadits seperti ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibn Majah
[11]  Diriwayatkan oleh Abdullah ibn Umar.
[12]  M. Abou El Fadl. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Terj. hlm. 318-319.
[13]  Lihat Khaled M. Abou El Fadl. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Terj. hlm. 320-321.
[14]  Khaled M. Abou El Fadl. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Terj. hlm. 322.
[15]  Khaled M. Abou El Fadl. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Terj. hlm. 323-324.
[16]  Khaled M. Abou El Fadl. Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif. Terj. hlm. 324.

Sabtu, 14 Januari 2017

Warna Wanita: Bertasbihlah Si Orange

Warna Wanita: Bertasbihlah Si Orange


BERTASBIHLAH SI ORANGE

PERSIAPAN untuk pameran selesai tepat pada waktunya, tentu persiapannya tidak sebagus pameran pada umumnya, aku lebih memikirkan pameran ini cepat selesai tanpa memikirkan bagus atau tidak hasilnya, hanya beberapa lukisan yang terpajang menghiasi ruangan rumah Inayah. sehari penuh hanya menata persiapan pameran, akhirnya malam ini tinggal pemantapan atas persiapan-persiapan yang kiranya besok dibutuhkan. Setelah semua selesai, tanpa berbicara banyak dengan Inayah, aku pun langsung beranjak pulang.
Sesampai di rumah, aku istirahat sejenak sambil melihati terus foto-foto kebersamaanku dengan Inayah, satu persatu kubuka seraya mengingat kembali kebersamaan itu. kadang kekonyolan yang kita lakukan saat bersama-bersama maelah itu yang menjadi cerita terbaik ketika mengenangnya. Tak peduli Inayah menyukai atau tidak atas tingkah kekonyolanku, meski harus menjadi orang lain, tidak kenal malu, dan tak mengenal batas hu-bungan lelaki dan wanita, yang jelas kebersamaan yang pernah terjaling antara aku dan Inayah kini membuatku tidak berhenti tersenyum saat mengingatnya.
Bersama malam, aku menulis sepucuk surat untuk Inayah, surat ini yang akan  berbicara kepada Inayah tentang perasaanku. Meskipun, surat ini tak akan berpengaruh bagi Inayah, namun surat ini kutulis hanya untuk memenuhi keinginan hati yang selama ini tak mampu terucapkan. Jika suatu ketika aku akan menyesal dengan surat ini, maka aku menyesali tentang sebuah cinta. Dan jika aku terus di bahagiakan lantaran surat ini, maka telah kutemukan jodohku. Jika suatu ketika surat ini tak mampu menyuarakan dirinya, maka itu berarti isi yang ada di dalamnya telah aku suarakan dengan caraku tersendiri.
Malam semakin larut, rasa capek yang kurasakan setelah hari ini penuh dengan kesibukan, akhirnya kulelapkan saja tidurku bersama kenyataan yang akan kutinggalkan dalam ruang mimpiku.
Pagi ini, adalah awal hari yang sangat penting bagiku, karena itu sebelum matahari jauh meninggalkan ufuknya, kukerahkan segera langkahku menuju ke rumah Inayah, tidak boleh ada waktu yang terbuang sia-sia, jika ingin mencapai kesuksesan acara pameran, maka aku harus memaksakan diri untuk melakukannya semaksimal mungkin.
Jam sudah menunjukkan pukul 10: 20, namun tak satupun pengunjung yang datang, aku mulai ragu akan datangnya pengunjung. Namun, sesuai rencanaku bahwa aku tak terlalu memperdulikan banyak sedikitnya pengunjung yang terpenting selesainya acara hari ini. Tetapi, aku juga tidak boleh hanya diam lantaran tidak ada pengunjung. Karena itu sambil menunggu pengunjung datang, aku menyibukkan diri untuk menata satu persatu lukisan, dan memperhatikan dengan seksama segala sesuatu yang mungkin akan berpengaruh oleh pengunjung.
Di tengah kesibukanku, kulihat Inayah juga sedang sibuk dalam mengatur kursi-kursi ruangan. Entah mengapa timbul rasa bersalah dalam benakku karena telah melibatkan wanita itu dalam acaraku ini. Dia semestinya tidak melakukan pekerjaan seperti ini, dia sekarang harusnya berada di masjid, memberikan pengajian kepada masyarakat, menyiarkan ajaran Islam. Tetapi kali ini, karena aku, seorang wanita rela meninggalkan tugasnya sebagai seorang ustadzah, dan memilih untuk membantuku.
Entah apa yang dipikirkan oleh Inayah, meski pekerjaan ini sebelumnya dia tidak menyukainya, namun kali ini dia terlihat bersemangat menatap satu persatu lukisan yang terpampan. Anehnya, seakan tidak terasa rasa capek bagi wanita itu. Melihat tingkah Inayah, aku mencoba mnghampirinya.
“Ina, kamu istirahatlah, dari tadi aku lihat kamu sibuk”
“nanti aku istirahat, kita harus siap-siap untuk menyambut tamu” kata Inayah sambil terus membersihkan meja-meja ruang tamu.
Melihat tingkah Inayah, membuatku semakin kebingungan, di satu sisi aku tidak tega melihatnya, mungkin karena baru kali ini aku melihatnya bekerja keras membantuku. Tetapi di sisi lain aku juga senang, lantaran menjalani hari terakhir bersamanya. Tak peduli dalam keadaan terluka atau bahagia, Inayah menjadi milikku atau tidak, cukup bersamanya maka sungguh itu telah membuatku lengkap sebagai sosok orang yang mencintainya.
“Ina, aku ingin mengatakan sesuatu” kataku dengan nada pelan, nampaknya isi surat yang tertuang dalam kertas akan terungkap langsung tanpa melalui surat.
Inayah menghentikan pekerjaannya, “sesuatu, apaan?” tanya Inayah.
“beberapa hari yang lalu, aku sering memperhatikan kamu bersama lelaki yang datang saat sepeninggal ayahmu” ungkapku.
“Bang Dedi ?” kata Inayah.
“iya, mungkin itu” sahutku membayangkan lelaki yang bernama Dedi. “kamu punya hubungan khusus yah dengan lelaki itu, Dedi?” tanyaku sedikit berani.
“iya, tapi dulu”
“maksudnya” kataku memotong perkataan Inayah.
“dulu kami sempat menjaling hubungan, saling menyayangi, saling melengkapi, saat itu dia berbicara dengan ibu dan mengungkapkan keinginannya untuk melamarku, mungkin saat itu belum saatnya aku menikah karena aku baru lulus SMA, sehingga ibuku menolak lamarannya, ibu menyuruh untuk menyimpan niat untuk menikah itu, dan fokus pada belajar dulu. Dedi, dianggap sudah menjadi bagian kelaurga kami, setiap kali dia datang ke rumah, selalu bersama-sama keluarga. Tetapi, beberapa bulan kemudian, ibu saya meninggal dunia dengan pernyataan atas belum merestui kami untuk menikah, karena itu sekalipun aku sangat ingin menikah dengan Dedi, tetapi ibu belum pernah mengatakan akan merestui keinginan kami untuk menikah. Sehingga aku dan Dedi menjalani hubungan sebatas saling mencintai, namun karena Dedi sering kali dipaksa oleh keluarganya untuk menikah, sehingga kami memilih untuk berpisah dengan baik-baik, dan Dedi pun menikah dengan wanita pilihan keluarganya” jelas Inayah menceritakan kisah-nya dengan lelaki yang pernah mengisi hidup.
“bagus yah kamu, meski berpisah namun berpisah dengan baik-baik, bahkan sampai sekarang Dedi masih datang ke keluarga kamu, berbeda denganku” kataku sedikit mengingat tentang perpisahanku dengan Alya.
“tapi, hanya beberapa bulan bersama istrinya, Dedi lalu bercerai dengannya” kata Inayah, meneruskan cerita tentang mantan pacarnya.
“kenapa bisa?”
“tentang alasannya, aku juga tidak tahu, yang aku tahu rahasia yang selama ini kamu sembunyikan padaku tentang Dedi” jelas Inayah melihat dalam ke arahku.
“maksudnya?” tanyaku heran.
“kamu tidak perlu lagi menyembunyikan semuanya kepadaku, aku sudah tahu kalau kamu yang menyuruh Dedi untuk datang saat ayahku di rumah sakit”
Perkataan Inayah membuatku mulai gugup mengakuinya “saat di rumah sakit, kulihat seorang wanita tengah menangisi ayahnya, saat itu kuingat masa kecilku tentang seorang yang kejadiannya persis denganmu, duluh wanita itu juga itu menangisi ayahnya yang juga tak berdaya, karena aku tidak tega melihatnya terus menangis, akhirnya berbagai cara untuk berbicara padanya, sampai wanita itu tenang dan setelah itu aku dan dia menjadi akrab, bahkan menjaling hubungan lebih dari teman. Tapi seiring berubahnya waktu, kisah kami juga berubah. Saat kulihat dirimu menangisi ayahmu, aku tidak ingin mendekatimu lalu menenangkanmu, karena aku taku kalau kamu nantinya akan sama dengan wanita masa laluku. Karena itu aku menghubungi orang-orang yang dekat dengan keluargamu, aku tidak pernah menyangkah bahwa yang datag adalah orang yang pernah menjadi masa lalumu” terangku mengakui keberadaan Dedi.
“tidak hanya itu, setelah melihatku akrab bersama Dedi, kamu sengaja tidak mendekatiku lagi, kamu berusaha menghindariku, bahkan ketika aku butuh sesuatu, sebenarnya yang lebih tahu tentang apa yang aku butuhkan adalah kamu dan kamu bisa saja melakukannya, tetapi kamu malah memberikan semuanya kepada Dedi, sehingga terasa Dedi yang selalu melangkapi hidupku setelah kepergian ayahku, padahal semua itu bukan murni dari Dedi, melainkan bayangan perasaanmu yang tergambar melalui perhatian Dedi padaku, kenapa ndi? Kenapa kamu sembunyikan semuanya?” jelas Inayah menangis seraya menundukkan kepalanya.
Setelah mendengar cerita Inayah, aku hanya terdiam, cukup lama keadaan saling terdiam satu sama lain, pikirku bahwa semua rahasia tentang perasaanku telah dia ketahui, keadaan kami sungguh tak ada lagi hijab yang menghalanginya. Mungkin ini adalah kesempatan untuk mengungkapkan perasaanku, apa-pun jawabannya, aku siap menerimanya.
“Ina..” kataku melihatnya dalam, seraya memikirkan kata-kata yang tepat untuk aku ungkapkan.
“iya?” jawabnya yang juga menatapku.
“aku cinta kamu, maukah kamu jadi pacarku?” bibirku berucap secara spontan, karena perkataan itu kurasakan rasa malu yang seakan menampar jiwaku, aku bergetar setelah mengucapkan kata itu, aku menundukkan kepalaku lantaran malu. Keadaan seketika menjadi sunyi, pera-saanku mulai memberontak ingin mengatakan pernyataan cinta yang selama ini tersimpan untuk Inayah, namun aku menahannya, aku tidak ingin karena keegoisan perasaanku ini sehingga memutuskan pertemananku dengan Inayah, kupaksa agar bibirku tidak berucap lagi, kutundukkan kepalaku sekuat mungkin.
“cinta tidak cukup untuk hubungan pacaran. Datanglah nanti kalau kamu sudah siap jadi imamku” jelas Inayah dengan senyumannya.
Seketika saja kata-kata Inayah membuyar angan-anganku menjadi sebuah impian, seakan membisikkan kerinduan untuk menjaling mahligai  cinta sejati.
“Insya Allah” kataku dengan senang mengiyakan permintaan Inayah, seraya menggenggam tanganku dengan yakin seyakin-yakinnya, bahwa Inayahlah yang akan menjadi jodohku.
Cukup lama kami saling terdiam dan hanya tersenyum satu sama lain, tiba-tiba seseorang memasuki ruang pameran kami, orang itu membubarkan romantisme yang kubangun bersama Inayah.
Namun, apa yang kulihat di hadapanku, hampir saja aku terjatuh tak berdaya melihatnya, seorang wanita yang telah lama meninggalkanku, tiba-tiba kedatangannya menyisipkan luka di saat ku akan memulai kisah baru bersama Inayah.
“Assalamu alaikum” ucap Alya di sela-sela percakapanku dengan Inayah.
“Alya” kataku sangat kaget melihatnya.
“kamu kenal dia ?” kata Inayah melihat Alya.
“iya” kataku pada Inayah, “aku permisi dulu ina, aku ingin bicara dengan Alya” kataku dengan perasaan malu atas kedatangan Alya.
“iya, silahkan” Inayah mengiyakan permintaanku.
Aku menarik Alya keluar dari ruangan pamerann, dan menuju kular beberapa langkah dari rumah.
“kenapa kamu datang?” kataku dengan suara yang keras, bahkan sedikitpun tak sudi melihat ke arah Alya.
“kamu ingat dengan orang yang suka lukisan wanita kamu, yang kemudian kamu suruh untuk datang saat pameran ?” kata Alya, mengingatkanku dengan pelanggangku yang sangat menginginkan lukisanku, namun aku menolaknya.
“kau orangnya yang ingin membeli lukisan itu ?” kataku heran dan penuh rasa tidak percaya.
Alya mengangguk mengiyakan pertanyaanku, “aku datang dari Makassar langsung ke sini, hanya untuk bertemu denganmu” suara Alya terdengar bercampur tangisan, namun itu tidak membuatku menoleh ke arahnya.
“kamu dari Makassar ke sini hanya untuk bertemu denganku, apakah kamu tidak merasa itu adalah tindakan bodoh?”
“entah yang kulakukan ini kebodohan atau tidak, aku hanya menuruti kerinduan cintaku yang selama ini masih tersimpan untukmu”
“kerinduan cinta katamu? Bohong!” kataku menatap marah pada wanita itu.
“aku tidak berbohong” kata Alya dengan suara tangisannya.
“aku tidak percaya lagi dengan ucapan cintamu, itu semua kebohongan semata yang kau lontarkan, agar aku terpedaya, kemudian kau tinggalkan aku dalam keadaan lemah”
“saya minta maaf, kalau dulu aku meninggalkanmu tanpa alasan yang jelas, dan tak memberimu kabar, maafkan aku”
“maaf ?, tidakkah kau sadari betapa besar dosa yang kau perbuat lantaran meninggalkanku, tidakkah kau sedikit menoleh dan menanyakan kabarku dahulu, sungguh dulu aku terjerumus jauh dari kehinaan hidup, karena dirimu! Karena dirimu, aku dulu tidak percaya dengan keyakinan cinta, bahkan karena kau aku diusir oleh masyarakat di kampungku, hampir saja aku mati tanpa tempat tinggal, bertahun-tahun kau siksa diriku dengan perpisahan yang kau, kemudian kini kau datang dengan permintaan maafmu, tidakkah kau malu sebagai orang Makassar yang telah membuat seorang lelaki terhina di kam-pungnya, membuatku meninggalkan mahligai keluargaku, bagaimana mungkin kamu bisa dengan tenang mengatakan maaf ?”
“aku tidak tahu, apa yang harus aku lakukan, agar kamu memahami apa yang sebenarnya terjadi semenjak kita berpisah, mungkin kata maaf pun tak cukup mewakilinya. Tidakkah kau memperta-nyakan bagaimana keadaanku saat dulu kita berpisah ? saat itu aku tinggalkan per-nyataan ridhoku kepada ibuku, karena menolak perjodohanku dengan lelak jadi lain, beberapa kali aku kabur dari rumah, agar ibuku mengerti bahwa hanya kamu yang ingin aku jadikan imamku, aku men-inggalkan rumah, dan menuju ke rumah pamanku, namun di sana aku malah mendapatkan cemohan karena dianggap sebagai anak yang membangkah permin-taan orang tua. Sudah berbagai cara aku yang kulakukan untuk mengubah kehendak ibuku. Namun, tekad ibuku untuk menikahkanku dengan lelaki lain tak pudar sedikitpun. Sehingga dengan  terpaksa aku dinikahkan dengan lelaki pilihan ibuku. Hanya berselang beberapa bulan kami bersama, bahkan belum sempat membang-un mahligai keluarga, sebagaimana yang diimpikan oleh keluarga, tetapi aku memu-tuskan untuk bercerai, karena meski harus tetap bertahan bersamanya, namun pernikahan itu akan percuma saja jika tidak ada cinta yang menghiasinya. Sungguh cintaku telah tersimpan dalam untukmu.” Jelas Alya, mencoba mengambil rasa simpatiku.
“tidak!!, aku tidak mungkin lagi bersamamu, lebih baik kau buang jauh-jauh cintamu itu, jika tidak, maka cintamu padaku kupastikan akan sia-sia. Pulanglah, mengenai lukisan wanita itu, aku tidak akan memberikan siapapun, karena dalam lukisan itu ada diriku, dan aku tidak akan memberikannya ke sembarangan orang, apalagi kepadamu” ungkapku berusaha tegas pada wanita itu.
“kalau itu keinginanmu, maka aku akan pergi, tapi ada sesuatu yang ingin saya sampaikan” kata Alya menatapku.
“ibumu sangat merindukanmu, sekarang dia sedang sakit lantaran rindu ingin bertemu denganmu”.
“apa!! Ibu sedang sakit??” Perkataan Alya tentang ibu membuatku tiba-tiba tersuntuk kesakitan “Astagfirullah” semua ini adalah kesalahanku sehingga ibu jatuh sakit.
“karena itu, ibu menyuruhku untuk menjemputmu”
Tanpa berpikir panjang, aku langsung berlari memasuki rumah Inayah.
“Ina..!!” teriakku mencari Inayah.
“iya, ada apa?”
“kita selesaikan saja acara ini sekarang, karena aku akan langsung pulang ke Makassar” kataku mendesak.
“iya, tapi kenapa?” Inayah sangat heran melihat tingkahku.
“ibu sedang sakit” kataku sambil melangkah cepat keluar dari rumah Inayah.
Saat aku hendak menuju ke Alya, kulihat dia sedang bersama lelaki lain, seketika pertemuan Alya dengan lelaki itu membuatku heran, lelaki itu adalah lelaki yang sering bersama Inayah, Dedi.
“Andiii..!!” teriak Inayah memanggilku.
Aku menghentikan langkahku lalu menoleh kepadanya, Inayah menghampiriku.
“kamu yang hati-hati, aku menunggu kedatanganmu di sini” kata Inayah mengingatkanku dengan janjiku.
Aku melihatnya sangat dalam “iya, pasti aku akan kembali sesegera mungkin”. Kataku meyakinkan Inayah.
Belum selesai percakapanku, tiba-tiba Inayah melihat ke arah Alya dan Dedi.
“Dedi,” kata Inayah dengan suara sedikit heran melihat Dedi akrab berbicara dengan Alya. Percakapan mereka mem-buat aku dan Inayah semakin penasaran, akhirnya kami menghampiri mereka.
“Dedi” kata Inayah heran memasuki percakapan Dedi dan Alya.
“Alya” kataku yang juga heran deng-an pertemuan Alya dengan Dedi.
Pertemuan mereka seolah sudah terbiasa, bahkan lebih dari pertemuan seorang teman, sampai-sampai saat aku dan Inayah datang, mereka seketika terlihat sangat gugup, seakan tengah terjadi sik-saan di antara mereka.
“Inayah, ini wanita yang pernah kuceritakan padamu” kata Dedi memperkenalkan Alya kepada Inayah.
Mendengar perkataan Dedi, ragaku terbakar mendengarnya, rasa kejut seketika mengugupkan pertemuan itu “Alya, itukah lelaki yang  barusan kau ceritakan?” tanyaku heran pada Alya tentang lelaki yang di sampingnya.
Alya menundukkan kepalanya, tidak ada jawaban, tidak ada suara, pertemuan seketika menjadi sunyi, hanya kekakuan yang menyelimut pertemuan ini, Alya nampaknya sangat malu mengakui lelaki itu di hadapanku, berbeda dengan Dedi, meski terlihat takut, tetapi dia tetap memperkenalkan Alya kepada Inayah, di saat yang sama Inayah mencoba berusaha mengerti tentang Dedi dan Alya, dia berusaha menyambut baik kehadiran Alya dalam pertemuan ini, sementara aku hanya terus terdiam, aku merasa akan tersudutkan dalam pertemuan orang-orang ini, Alya yang telah kutetapkan untuk melepaskannya, ternyata adalah mantan istri Dedi, sementara keakraban Dedi dan Inayah tidak pudar meski mereka terpisahkan oleh Alya, bahkan Inayah menyambut baik kedatangan Inayah.
Keadaan ini membuatku hanya terdiam menyaksikan kenyataan yang tiba-tiba mengasingkan diriku. Aku tidak mungkin memperkenalkan Alya kepada Inayah, tidak mungkin aku perkenalkan wanita yang sudah menjadi masa laluku, kepada wanita yang baru saja kutetapkan sebagai masa depanku, tidak mungkin.
“aku Inayah” tiba-tiba Inayah mendekati Alya dan memperkenalkan dirinya. Tingkah Inayah membuatku tercengang, aku semakin bingung harus berbuat apa melihat kedua wanita itu saling menyapa satu sama lain.
“saya Alya” kata Alya, juga mem-perkenalkan dirinya.
Alya, Inayah, maupun Dedi, ketiganya saling menyapa dengan ramahnya, sementara aku terpaksa harus berpura-pura tersenyum melihat mereka saling menyambut satu sama lain. Tidak ada cara lain untuk menyembunyikan kisahku dengan Alya kepada Inayah, kecuali berbohong. Inilah ketakutanku yang mendalam, mungkin karena diantara semua tentang diriku, aku belum pernah menceritakan tentang kisah percintaanku dengan Alya kepada Inayah.
Setelah lama melihat mereka saling berbagi cerita satu sama lain, tiba-tiba ponsel Alya berbunyi, Alya mengangkat ponselnya, hanya berselang beberapa detik Alya mendekatkan ponselnya di telinganya, tiba-tiba dia menjatuhkan ponselnya. Kejadian itu membuat aku, Inayah dan Dedi kebingungan.
“Andi, ibu kamu...” kata Alya mendekatiku. Aku sedikit canggung saat di dekatinya karena kehadiran Inayah. Tetapi ketika mendengar Alya menyebut ibuku, aku tiba-tiba tidak memperdulikan Inayah lagi.
“ibu kenapa?” kataku mendesak Alya untuk memberitahukanku tentang apa yang terjadi pada ibuku.
“ibu kamu,” Alya sejenak terdiam, air matanya mulai membasahi pipinya “meninggal” kata Alya menangis keras.
Mendengar perkataan Alya, ragaku terasa mati, tanganku kaku, kakiku melemah, jiwaku meleleh tak sanggup menahan sakitnya ditinggal mati oleh wanita surgaku, air mata mengalir sederas-derasnya, nafasku sesak tak terkendali, tak sanggup kutahan rasa sakit itu, bibirku tak berhenti berucap “ibu, ibu, ibu” tak kurasa badanku telah jatuh ke tanah, hanya memanggil terus wanita surgaku, sampai pandanganku mulai gelap, sedikitpun tak kelihatan, hanya kegelapan, gelap, dan kehampaan menyekikku.
Tiga sampai empat jam aku terbaring tak sadarkan diri, kukira aku sedang ber-tarung melawan kegelapan, dan kalah karena dia terlalu kuat sehingga aku harus melepaskan nyawaku. Anehnya, bibirku tidak berhenti memanggil wanita Tuhanku, “ibu, ibu, ibu” terucap terus dalam ketidak sadarku. Kugunakan keadaanku ini mencari sosok ibuku, kulihat ibuku berpakaian putihnya sedang memanggilku terus menerus, kucoba menghampirinya, namun semakin kudekati, ibu semakin menjauhiku, aku berteriak memanggilnya “ibuuu..!!” namun beliau tak mendengarkanku, ibu terus menjauhiku, seolah akan pergi jauh, jauh ke atas langit, kulihat ada cahaya sedang menarik tangan ibuku, cahaya itu sangat kuat dan cepat. Segera kukerahkan kekuatanku untuk berlari mengejar ibu yang tengah tertarik oleh cahaya yang berasal dari langit itu, namun semakin aku mengejarnya, cahaya itu semakin cepat membawa lari ibuku, hingga ibu dan cahaya itu menghilang tiba-tiba, aku berteriak sekencang-kencangnya, “ibuuuu” mereka menghilang, ibuku menghilang, pergi, ibuku meninggalkanku sendirian, “ibu aku takut bu” kataku seraya melihat sekelilingku yang penuh kegelapan, “aku takut bu”, badanku dingin menggigil, mat-aku seakan buta tak melihat secerca cahaya pun, aku hanya bisa duduk merangkul kakiku, sambil terus menangis, mencari ibuku, terus mencarinya. Tapi tak kutemui, semua gelap, gelap dan gelap membawa sakit.
“Andi?” terdengar suara sedang memanggilku, namun aku tak memperdulikannya, aku masih merasa ketakutan, jangan sampai suara itu adalah cahaya tadi yang membunuh dan membawa ibuku.
“Andi?” suara itu masih memanggilku, kututup keras kedua telingaku, berusaha sekuat tenagaku agar suara itu tak terdengar lagi. Sampai tidak ada suara apapun terdengar, aku mulai melepaskan tangan yang menutup telingaku, kulihat ke sekelilingku, sudah aman, tak ada lagi suara-suara yang terus memanggilku.
“Andi?” tiba-tiba suara itu lagi-lagi memanggilku, dengan keadaan tertekan, kubungkam tubuhku untuk melawan suara itu, aku bangkit ingin mencari suara itu, jika kudapat aku ingin bertanya banyak hal tentangnya, dan jika tak memenuhi permintaanku, maka akan kubunuh dia. Dengan marah aku berteriak “siapa kau?” teriakku, lalu aku tersadar.
“kamu kenapa ndi?” tanya Inayah, memegang tanganku, seraya di sampingnya kuliat Alya dan Dedi. Badanku terasa sakit, air mataku masih belum berhenti, pikiranku berhenti, dan jiwaku melayan.
“ibu, ibu, ibu” bibirku berucap lemah memanggil wanita Tuhanku, nafasku sesak tak kuat menahan rasa sakit. “aku ingin pulang, pulaaang, pulaaaaang…!!!” suaraku dengan sendirinya memberontak.
“aku mau pulang” kataku bangun dari tempat tidur.
“tapi kamu sedang sakit” kata Inayah
“istirahatlah dulu, kalau keadaanmu sudah membaik barulah pergi, perjalanan dari Jogja ke Makassar sangat jauh” Dedi menambahkan.
“aku tidak apa-apa, aku baik-baik saja” kataku memaksakan diri untuk bangun. “saya permisi dulu, aku minta maaf karena telah merepotkan kalian, ayo Alya” setelah mengucapkan kata perpisahan, aku pun mengajak Alya untuk berangkat menuju Bandara dan langsung ke Makassar.
. . . . .


Kulihat dari kejauhan, bendera putih telah terpampan di depan rumahku, orang-orang tidak henti-hentinya meramaikan rumahku, aku masih tidak percaya bahwa aku harus kehilangan seorang ibu, aku melangkah mendekati rumah yang telah lama kutinggalkan, semakin kudekati rumah itu semakin kurasakan kesepian di tengah keramaian ini. dalam langkahku memasuki kediamanku, tiba-tiba seseorang mendatangiku.
“tabe’, kapanki datang?” tanya pak RT menyambut kehadiranku.
Tanpa menjawab pertanyaan pak RT, aku langsung melangkahkan kaki memasuki ruangan yang tengah dikerumuni banyak orang. Lagi-lagi ragaku terasa meleleh, jiwaku menggigil saat melihat jasad ibuku sedang terbaring tak berdaya. Kubuka kain yang menutupi wajah ibuku, kulihat mata ibu tertutup rapat seakan tak akan terbuka untuk selamanya, kulihat mulut ibuku yang juga tertutup rapat, seakan tak akan berbicara lagi untuk selamanya. Sungguh kulihat sosok wanita Tuhanku tengah tak berdaya, dia hanya terdiam di saat kedatanganku.
Inilah ibuku, wanita teristimewah yang diciptakan oleh Tuhan, dia yang telah mempertaruhkan nyawanya demi kehadiranku di dunia ini, dia yang dengan kasih sayangnya memperkenalkaku dengan ciptaan-ciptaan-Nya, bahkan dialah wanita yang dengan tegarnya menjadi ibu sekaligus ayah dalam keluargaku.
Tatkalah ibu sedang dalam keadaan mencuci, memasak, mandi, bahkan ketika ibu sedang tertidur lelap, seketika saja semua itu buyar bersama tangisan bayinya. Kalau aku tidur dan kurasakan dinginnya angin merasuk dalam tubuhku, di saat itu ibuku hadir memberikanku kehangatan kasih sayangnya. Tidak jarang aku yang tengah tidur terlelap di tengah malam, di mana semua orang telah berada di dunia mimpinya masing-masing namun di saat itu ibuku bangun meninggalkan kenikmatan bunga-bunga tidurnya, untuk bermunajat tahajjut pada Tuhan, memohonkan bimbingan kebaikan untuk anaknya, mengungkapkan curahannya pada Tuhan, agar anaknya kelak menjadi anak yang shaleh, membawa kebahagian keluarga, yang setiap perbuatan anaknya berbuah senyum untuk ibu. seorang ibu selalu mendoakan anaknya dalam ketidak tahuan anaknya.
Aku sebagai anaknya, akan bersedia menjadi saksi atas pengorbanan yang dilakukan oleh ibuku selama ini, agar kelak ibu mendapatkan tempat dan kedudukan yang mulia disisi sang pemilik surga. Bila perlu aku yang akan berbicara langsung dengan Tuhan untuk diberikan balasan yang berlimpah atas prestasi-prestasi kebaikan yang diraih oleh ibuku ini.
“Andi, sebentar lagi akan dilakukan pemakaman untuk ibumu” kata pak RT yang duduk di depan orang-orang di sekitar ibuku.
“kau yang kuat ndi, sabar, insya Allah ada hikmahnya” kata paman aku, Dg. Tunrung.
Aku hanya mengangguk seraya melihati terus jasad ibuku, terus melihatnya, sungguh banyak pengorbanan yang di lakukan ibu demi anaknya ini, bagaimana mungkin aku bisa melepaskannya begitu saja. Beliaulah yang menjadi penyinar dalam gelapku, menjadi kehangatan dalam kedinginan, menjadi cinta dalam kebencianku, beliau yang selalu hadir di saat orang-orang meninggalkanku, masih teringat dengan jelas pengorbanannya yang tiada terbatas, di saat ketidaktahuanku atas apa yang ada di dunia ini, dia hadir dengan kasih sayangnya mengajariku, membimbingku dan menuntunku dalam menguasai kehidupan ini.
Beliaulah, yang dengannya aku bisa melepaskan dahaga kesepianku, menghilangkan air mata kesedihanku. Beliaulah yang dengannya aku mempelari merangkak, berjalan sampai aku bisa berlari menggapai impianku. Karena beliaulah aku bisa menatap kehidupan, karena beliaulah aku mampu menapaki kehidupan, dan karena beliaulah aku mampu mengenal Tuhanku.
Setiap yang bernyawa pasti akan mendapati kematian, entah itu secepatnya ataukah dalam waktu yang lama. Bagiku kematian ibuku sangatlah cepat, belum rasanya aku menikmati kebersamaan dengannya, bahkan aku belum pernah membuatnya bangga. Rasanya hanya masa kecilku yang kurasakan saat-saat bersama ibu, adapun saat remaja, sungguh masa itu telah membutakanku untuk berbuat baik kepadanya, dan sejak itu aku terusi dan meninggalkannya, saat itu kusadari tentang kesuksesan yang mungkin akan membahagiakannya, sehingga aku menghabiskan waktu rantauku demi mengejar kesuksesan itu, dan demi baktiku pada ibu, namun di tengah perjalanan kaririku, kudengar rintihan kerinduan ibu yang meng-getarkan jiwaku dan terbersik untuk segera menemuinyam. Namun, bukan senyumannya yang kudapati, bukan pula kebahagiaan yang menyambutku, tapi jasad ibu yang tak berdaya kudapati, dan itu sungguh menyiksa batinku. Sampai nanti Tuhan memanggilku, aku hanya ingin setelah kematianku agar dipertemukan dengannya Ibuku.
Kini, hanya sabar dan keikhlasan yang  dapat aku lakukan, bersama do’a kulepaskan wanita surgaku menemui Tuhannya. Semoga Tuhan mengasihi ibuku, sebagaimana beliau mengasihiku di setiap tahu dan ketidak tahuanku., amin.
Jiwaku membeku tak berdaya, tatkalah menyaksikan orang yang terpuja dalam hidupku di kubur dalam galian tanah. Sungguh beliau telah kembali ke asalnya, meninggalkanku dengan sejuta kerinduan. Jika bisa aku memilih dan diizinkan, aku ingin masuk ke dalam ruangan kuburan itu, aku rela melepaskan kesuksesanku, bahkan kehidupanpun aku rela melepaskannya, asalkan aku bisa bertemu dan bersama ibuku, sungguh yang demikian itu adalah hajatku, namun apa dayalah aku, bahkan mungkin ketika aku meminta izin ibu ataupun Tuhan, tetapi keinginanku yang demikian tidak akan tercapai, bahkan ibu akan sedih mendengar hajatku itu.
Tidak ada yang dapat kulakukan untuk bertemu dengan orang yang menjalani kehidupannya di alam yang berbeda denganku, selain doa’. Mungkin itulah satu-satu cara agar aku dengan ibu tetap saling terhubung. Doa menjadi Penghubung setia, untuk setiap yang merindukan pertemuan satu sama lain. Bahkan doa menjadi obat atas kerinduan yang tak mampu diobati oleh obat apapun, iya, apapun itu.
Istilah perpisahan ataupun terputus tidak akan berlaku dalam konsep do’a, orang bisa berbeda tempat, tetapi orang itu akan tetap terhubung oleh do’a, seperti itulah aku dengan wanita surgaku. Sung-guh kepergiaannya tidaklah menjadi pemutus hubunganku dengannya, karena aku punya do’a untuknya, dan dalam do’a kusisipkan cinta seribu kerinduanku untuk ibuku.
Sudah seminggu sejak kepergian ibuku, mungkin sudah waktunya aku melanjutkan perjalananku ke Jawa, di daerah ini, belum rasanya aku berhak menempati daerah ini kalau belum kudapati impianku.
Akhirnya, kuputuskan untuk melanjutkan perantauanku, dan meninggalkan rumah kediamanku. Di sana, di pulau jawa, seseorang telah menungguku, inilah saatnya untuk aku penuhi janjiku sebagai seorang lelaki yang mencintai wanita, Inayah.
“Assalamu alaikum” ucapku mengetuk pintu rumah Inayah.
“waalaikumussalam” jawab Inayah seraya membuka pintu rumahnya. “Andi?, kapan tiba?” katanya tersenyum menyambutku.
“Alhamdulillah, barusan, sengaja aku langsung ke sini, untuk bertemu denganmu, aku ingin memenuhi janjiku” jelasku setelah menempuh perjalanan pan-jang dari Makassar ke Jogja.
Tanpa menjawabku Inayah tersenyum, aku merasa sangat senang ketika melihatnya tersenyum karena senyum yang satu ini berbeda dari biasanya, seakan senyum itu menjadi pintu pertamaku untuk memasuki ruang mahligaiku dalam kekeluargaan.
“boleh kita berbicara? di taman” tanyaku memberanikan diri.
Inayah hanya mengangguk, nampak-nya dia mulai serius saat bersamaku, akupun demikian. Berbeda dengan biasanya yang cukup saling membahas cerita layaknya seorang teman, atau malah bercerita omong kosong satu dengan yang lainnya. Kali ini aku telah memantapkan hajatku untuk cerita baru bersama Inayah, karena itu baik berbicara maupun bertindak di hadapannya, harus kulakukan dengan sebaik-baiknya.
“sebelum kita menjaling hubungan serius, aku ingn menceritakan tentangku” kataku membuka percakapan yang sangat serius dalam pertemuan kali ini.
“tentang kamu?” tanya Inayah.
“iya tentang aku, cerita tentangku”
“kalau kamu mau bercerita tentang masa lalumu, aku sudah tahu” kata Inayah.
“kamu sudah tahu, maksudnya?” kataku heran.
“iya, aku sudah tahu tentang masa lalumu bersama Alya, waktu kamu pingsang, Alya bercerita banyak tentang hubungan kalian” katanya Inayah terlihat memahami masa laluku.
Aku sejenak terdiam “karena kamu sudah tahu tentangku, maka tidak ada alasan bagiku untuk menyembunyikannya kepadamu, apapun itu, intinya aku mencintaimu, maukah kamu jadi pendamping hidupku” kataku memberikannya sebuah cincin lamaranku.
“Pendamping hidup?” tanya Inayah, seakan kata pendamping hidup masih umum baginya. Mungkin dia mengira sebagai pacar.
“iya, pendamping hidupku, istriku, maukah kau menikah denganku?” kuulang permintaanku seraya tanganku masih me-nyodorkan kotak kecil yang berisikan cincin lamaran.
Inayah terdiam, kemudian perlahan dia menganggukkan kepalanya “iya” kat-anya sembari tersenyum menerima lamaranku.
“Alhamdulillah, terima kasih ina” kataku sangat berbahagia.
Dalam pertemuan akan ada kebersamaan, dari kebersamaan menumbuhkan rasa keakraban, dari keakraban itu muncul ikatan, sebuah ikatan yang mengantarkan seseorang untuk saling melengkapi satu dengan yang lain, cepat atau lambat kita pasti akan mengambil sebuah pilihan, apakah itu memilih untuk melanjutkan ikatan itu, atau melepaskannya. Karena itu, pertemuan hari ini adalah awal menjalani sebuah hubungan yang kelak akan kau pilih.
Dalam kehidupan ini, telah menjadi ketetapan bahwa lelaki dan wanita adalah makhluk yang diciptakan untuk berpasangan, saling melengkapi, dan saling berbagi kasih sayang. Setiap pertemuannya menimbulkan potensi untuk munculnya kesenangan satu dengan lainnya, ketika kesenangan itu telah melekat dalam benak keduanya, maka kesenangan itu akan terus berkembang sampai pada tahap kasih sayang, dan jika kasih sayang itu masih terus menyelimuti benak keduanya, maka di saat itulah timbul anugrah terbesar, yaitu cinta.
Karena cinta menguatkan seseorang bukan melemahkannya, cinta memberikan penerangan bukan menggelapkannya. Cinta memberikan keyakinan, bukan saling mencurigai, dan cinta memberikan kenikamatan yang sebenarnya, bukan kenikmatan yang penuh tipu daya. Cinta bu-kan nafsuh, dan nafsuh berbeda dengan cinta. Keduanya merupakan dua hal yang cara berjalanannya sama, tetapi tempatnya berbeda. Jika cinta berjalan di rel kebenaran, maka nafsuh berjalan di rel kesesatan.
Cinta dan nafsu, keduanya sangat sulit untuk membedakannya, tidak sedikit orang yang mengatasnamakan cinta demi menghalalkan kemaksiatannya. Cinta itu suci, jangan pernah kita mengotorinya dengan perbuatan bodoh. Kadang cinta tidak berdiri sendiri, dia butuh wadah untuk menyuarakannya, dalam hal ini pernikahan adalah rumah utamanya, karena dalam pernikahan, suami-istri sangat mengharapkan keluarga yang sakinah, mawadda, warahma. Dan ketiga do’a ini tumbuh dalam ringkup cinta. Dan cinta itu telah kusempurnakan dengan pernikahanku ber-sama seorang wanita masa depanku, Ina-yah.
. . . . .


Setelah Inayah sah menjadi istriku, aku berencana membawanya ke kampung halamanku untuk memperkenalkannya dengan keluarga di kampung, sekaligus tinggal bersama dalam satu atap di rumah kediamanku. Kelak aku dan Inayah akan membangun keluarga baru di rumah itu. membuka lembaran baru atas kekosongan rumah itu lantaran ditinggalkan pemiliknya, ayah dan ibuku.
Hari ini aku sudah siap untuk melakukan perjalanan menuju ke kampung halamanku, kupersiapkan barang-barang yang kelak akan menjadi kebutuhanku bersama Inayah. Kulihat Inayah, masih belum yakin untuk bisa hidup beradaptasi di kampungku, mungkin karena di jogja dan di Makassar banyak hal yang berbeda, mulai dari bahasa, budaya, serta orang-orang yang dikenalinya.
“Mas, saat di kampung, kamu jangan tinggalkan aku sendirian yah” minta Ina-yah, saat kami duduk bersama di kursi ruang tamu untuk persiapan berangkat.
Aku mendatanginya, dan memegang tangan Inayah “jangankan di kampung, di mana pun, aku tidak akan tinggalkan kamu” kataku memanjakan istriku.
“ayo sayang, kita berangkat” tambahku sambil beranjak mengangkat barang-barang menuju ke sebuah mobil yang sedang menunggu kami untuk menempuh perjalanan ke bandara.
Perjalanan panjang telah kutempuh bersama istriku tercinta, dari rumah naik mobil ke bandara, di bandara Jogja naik pesawat langsung ke bandara Makassar. Di Makassar aku langsung mengarahkan perjalananku ke sebuah kampung yang masih termasuk daerah Makassar, bersama istriku akhirnya kulangkahkan kaki memasuki rumah kedua orang tuaku, yang kini menjadi rumahku bersama istriku, Inayah.
Saat sampai di rumah, berbagai keluargaku telah menyambutku di ruang tamu, segera saja kusalami mereka satu persatu, dan kuperkenalkan istriku.
“ini istri saya, namanya Inayah” kataku memperkenlkan Inayah. Inayah pun langsung member salam kepada keluargaku.
“Alhamdulillah, kami sangat senang melihat ananda Andi mempunyai istri yang sangat cantik dan ramah seperti kamu nak” kata Dg. Tunrung, paman saya.
“dia ini seorang ustadzah di jogja pak, setiap minggu dia mengisi pengajian untuk masyarakat, dan dia juga yang membimbing saya selama di jogja” kataku memperkenalkan kepribadian Inayah.
Inayah, sedikit risih dengan perkataanku, mungkin baginya perkataanku terlalu berlebihan, tapi bagiku itu adalah pujian seorang suami memilih istri yang shalehah bahkan menjadi ustadzah.
“mas berlebihan !” Inayah berbisik dengan suara keberatan. Aku hanya mem-balasnya dengan senyuman.
“kalau begitu, kalian istirahat dulu, pasti capek dari menempuh perjalanan jauh” kata paman aku.
“iya” kataku yang kemudian beranjak ke dalam kamar orang tuaku yang kini menjadi kamarku bersama Inayah.
Ketika sampai di ruang kamar, aku langsung membersihkan ruangan kamarku, kutata ulang sebagian barang-barang di dalamnya, setelah semua beres kubersihkan, Inayah pun kupersilahkan untuk istirahat lebih dulu.
“kamu istirahatlah dahulu” kataku setelah membersihkan kasur ranjang.
“mas mau ngapain?”
“aku masih mau membersihkan kamar kita ini”
“iya, kalau begitu aku tidur duluan yah mas” katanya sembari membaringkan badannya di atas kasur.
Sementara aku terus memperhatikan barang-barang yang kuanggap perlu membereskannya, satu persatu kuangkat barang-barang itu keluar, lalu kusuruh keluargaku untuk menyimpannya ke gudang. Di tengah kesibukanku membereskan barang-barang ruangan kamar, kudapati kertas yang tersimpan dalam kotak kecil penyimpanan barang-barang pribadi ibuku. Aku pun membuka kertas itu, lalu kubacanya.

“Assalamu alaikum…
Nak, bagaimana kabarmu, kudoakan semoga selalu baik dan senantiasa dalam naungan kasih sayang Allah. Aku bahagia karena mempunyai anak yang memiliki semangat kerja keras untuk mendapatkan kesuksesan, bermula dari Alya yang mendapati karyamu di online, aku tidak henti-hentinya melihat karya-karya lukisanmu, karena itu aku pernah menyuruh Alya untuk membeli lukisan kamu yang berjudul wanita, katanya lukisan itu yang paling kamu sukai sehingga tidak ingin menjualnya, dan malah menyuruh Alya untuk datang saat pameran lukisan-lukisanmu, aku sangat bangga punya anak yang sudah sukses.
Aku ingin bercerita tentang kehadiran Alya di rumah kita, waktu itu sehari dari kepergianmu, Alya datang ingin mengucapkan selamat ulang tahun kepadamu, saat itu dia datang sendirian karena ibunya telah meninggal dunia, aku sangat sedih mendengarnya, karena sekarang dia telah kehilangan sandaran hidup, karena itu aku memintanya untuk tinggal bersama ibu, selama Alya tinggal bersama Ibu, dia sangat sopan dan ramah, akhlaknya yang baik itu membuatku senang bersamanya. Kupikir kedepannya Alya bisa menjadi menantuku, sungguh yang demikian adalah do’aku agar kalian bisa meneruskan dalam mahligai keluarga kita.
Jika suatu hari aku tidak sempat berbicara kepadamu tentang pernikahanmu dengan Alya, kuharap dengan surat ini, kamu bisa memahami maksudku nak.
Aku bangga punya anak sepertimu nak, dan kudoakan kamu dan Alya bisa hidup dalam keluarga yang sakinah, mawadda, warahmah, amin.”
Dalam do’aku,
Ibu
. . . . .


Entah harus kurespon bagaimana tentang isi surat yang di tulis oleh ibuku ini, di satu sisi  aku  bahagia sebagaimana bahagianya ibuku yang tergambar dalam suratnya ini, tetapi di sisi lain, seakan-akan surat ibuku ini menekanku, mencekikku tiba-tiba, sampai tanganku bergetar kencang memegang surat ini, jiwa dan ragaku ketakutan dengan maksud yang tertuang dalam tulisan ini.
Kenyataan yang telah terjadi padaku, ternyata berbanding terbalik dengan do’a ibuku, sedikitpun tak pernah terlintas padaku bahwa ternyata yang menginginkan lukisan yang terus aku pertahankan adalah ibuku. Yang paling menusuk kehidupanku tatkalah harus mengetahui bahwa ibu ternyata menginginkan Alya untuk menjadi istriku.
Kini sebuah surat dari seorang wanita Tuhanku telah hadir berkata di hadapanku tentang keadaan ibuku, sebuah surat yang menyatakan terbukanya pintu surga dari do’a ibuku, tetapi di saat yang sama, surat ini mencekikku seakan ingin menya-takan kedudukanku di dalam neraka karena telah menyalahi isi yang terkandung di dalamnya. Di tengah pembacaanku pada isi surat ibu, tanpa kusadari Inayah telah bangun dari tidurnya. Tidak mungkin aku memperlihatkan surat dari ibuku ini padanya, dia akan sangat terkejut melihat mendengar pernyataan ibuku, karena itu segeraja kusembunyikan surat itu dari Inayah.
“ka, ka, Kamu sudah bangun?” kataku gugup lantaran terkejut.
Inayah mengangguk, “iya, emang ada apa mas, kok seperti ada yang disembunyikan” katanya heran melihat tindakanku.
“ouh tidak papa kok, aku hanya kecapean setelah membersihkan” kataku mencoba menghindar dari kenyataanku.
Di tengah percakapanku dengan Alya, tiba-tiba terdengar suara ketuka dari balik pintu kamarku.
“Assalamu alaikum” nampaknya itu suara paman aku.
“waalaikumussalam” jawabku beranjak membuka pintu. Ternyata benar, suara itu milik paman. “ada apa om?”
“ gini, di masjid, setiap setelah shalat ashar, ada pengajian, tapi hari ini ustadzahnya tidak bisa hadir, kebetulan om yang jadi ketua di masjid, karena itu aku minta tolong kepada Inayah untuk mengisi acara sore ini, bagaimana?” jelas paman Tunrung mencoba menawarkan untuk mengisi pengajian kepada Inayah.
“tunggu dulu om, saya tanya orangnya dulu” kataku kemudian berjalan ke Inayah. “sayang, ada acara pengajian di masjid setelah ashar, kamu di suruh mengisi pengajiannya, bagaiman, mau nggak?”
“aku masih capek mas, aku minta maaf mas, aku tidak bisa, kamu aja mas, lain kali baru saya” kata Inayah yang terlihat masih kecapean.
“ouh, iya kalau gitu kamu istirahat saja dulu sayang, biar saya yang ngisi” kataku memanjakannya.
Inayah hanya menganggukkan kepalanya lalu melanjutkan istirahatnya. Aku pun beranjak menemui paman.
“ina, tidak bisa, dia masih capek, biar aku saja yang ngisi” kataku kepada om tunrung.
Paman sejenak terdiam, nampaknya  dia memikirkan sesuatu. “kamu yakin bisa mengisi pengajian?” kata paman meragukanku.
“InsyaAllah saya bisa, daripada pengajiannya kosong karena tidak ada yang mengisi”
“oke, kalau begitu kamu siap-siap, nanti kita sama-sama ke masjid”
“iya om” kataku.
Seusai bersiap-siap, akupun berangkat bersama paman menuju ke sebuah masjid untuk melaksanakan shalat ashar yang kemudian mengadakan pengajian.
Sampai di masjid, kulihat orang-orang melihat ke arahku, sambil saling berbisik satu dengan yang lain. Aku menghentikan langkahku, kulihat ke masjid dan kuingat masa laluku yang sangat kelam, di masjid ini dulunya aku pernah menjadi setan si penghasud para jama’ah wanita, maka tidak heran jika sekarang orang-orang resah dengan kehadiranku, mungkin anggapan mereka tentang diriku masih seperti dulu, itulah resiko yang siap aku tanggung.
Sampai setelah melaksanakan shalat, bukannya zikir, tetapi orang-orang masih saling berbisik dan melihat ke arahku, aku hanya bisa diam menyaksikan cercahan orang-orang. Sesaat kemudian, pamanku beridir kedepan para jama’ah dan menyampaikan pengumuman tentang pengajian.
“jama’ah sekalian, seperti biasanya sore ini akan di adakan pengajian, berhubung karena ustadz yang biasa membawakan pengajian tidak bisa hadir, jadi pada kesempatan ini, yang bertindak untuk membawakan pengajian adalah ustadz Andi, beliau baru saja kembali dari Jogja bersama istrinya, karena itu di harapkan kepada para jama’ah untuk tetap tinggal dan menghadiri pengajian ini” terang dg, Tunrung di hadapan para jama’ah.
Entah apa yang terjadi, setelah mendengar pengumuman dari paman, sebagian besar dari jama’ah tiba-tiba meninggalkan ruangan masjid, bahkan yang tersisa hanya empat orang, dalam keadaan seperti ini aku hanya bisa terdiam dan tawakkal serta menerimanya dengan lapang dada.
Pengajian yang hendak di laksanakan akhirnya lebih tepat dikatakan menjadi kelompok kecil, beberapa orang itu menghampiriku, ternyata sebagian dari mereka adalah orang yang aku kenal, bahkan mereka dekat denganku, mereka itu sahabatku, Randi, dan si wanita cerewet, Dewi.
Randi menghampiriku “Assalamu alaikum, Subhanallah sahabatku sekarang sudah jadi ustadz” kata Randi.
“waalaikumussalam cika, Alhamdulillah ini semua karena istri saya” kataku tanpa mengabaikan jasa Inayah.
“jadi sekarang di mana istrimu ?” tanya Randi.
“dia ada di rumah, sedang istirahat”
“ouiya kenalkan, ini istri saya, Dewi” kata Randi memperkenalkan istri-nya kepadaku.
“subhanallah, ternyata kalian sudah menikah, saya tidak menyangkah kalau lelaki yang pernah diceritakan Dewi adalah sahabatku, selamat yah” kataku tersenyum senang melihat Dewi menjadi istri sahabatku.
Setelah beberapa kali percakapan pribadi diutarakan antara aku dan Randi, kami pun memasuki tujuan berkumpul yang sebenarnya.
“jadi sekarang kita mau bahas apa?” tanyaku kepada empat orang di hadapanku.
“Andi, saya mau bertanya, bagai-mana orang menanggapi perbedaan bu-daya ?, yah kurang lebihnya saat kamu berada di jogja, pastinya budayanya berbeda dengan di sini, Makassar.” Tanya sahabatku, Randi membuka pertanyaan dalam diskusi sore ini.
“bagaimanapun itu berbedanya budaya kita dengan budaya orang lain, kita harus menghormatinya, karena perbedaan budaya mengantarkan kita pada saling mengenal satu sama lain” jelasku mencoba menjawab pertanyaan Randi.
Dewi mengacungkan tangan “bagaimana dengan budaya bercadar ? kita kenal bercadar adalah budaya dari bangsa timur, tepatnya budaya orang Arab, tetapi sekarang banyak orang-orang kita yang meniru budaya tersebut dengan alasan bahwa itu ajaran agama, padahal itu hanya budaya Arab, sementara ajaran agama cukup dengan menutup aurat” tanya Dewi mempertanyakan sekaum yang mengenakan cadar.
“sebelum menghakimi budaya orang lain, alangkah baiknya kita mengetahui lebih luas tentang budaya yang berasal darimana pun itu yang kini berbenturan dengan budaya kita. Banyak orang yang menyalahkan orang yang bercadar karena itu budaya orang Arab, sementara kita sadar telah terjerumus dalam budaya Barat yang memakai pakaian yang menampakkan aurat. Kenapa kita menyalahkan budaya cadar, padahal itu menutup aurat, sementara kita sedikitpun tidak sadar bahwa telah memakai pakai yang terbuka, atau pakaian yang tertutup tetapi bentuk tubuh wanita sama halnya saat tidak memakai busana. Pada dasarnya kita hanya diperintahkan untuk menutup aurat saja, adapun bercadar atau tidak, itu bukanlah masalah, yang jelas orang telah menutup auratnya maka itu sudah di anggap baik”. Jelas sedikit mengemukakan pendapat tentang pakaian wanita.
Mendengar penjelasanku, keempat orang di hadapanku menganggukkan kepalanya, seakan mengerti dengan apa yang aku jelaskan, aku bersyukur, karena itu berarti pendapatku sedikit banyak mereka pahami.
Setelah cukup lama dalam pengajian, atau lebih tepatnya diskusi dalam kelompok kecil, akupun menyelesaikan acara di sore ini, dengan meminta paman untuk menutupnya.
“Alhamdulillah, akhirnya kita telah melaksanakan pengajian sore ini, semoga dari pertemuan kita ini mendapatkan berkah dari Allah subhanahu wata’ala, amin. Demikianlah, kurang lebihnya kami mohon maaf. wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Kata pamanku menutup acara pengajian sore ini.
Akhirnya pengajianpun selesai, aku merasa sangat senang karena dapat berbagi pengetahuan dengan orang lain, meski hanya beberapa orang, namun itu bukan halangan bagiku untuk berbagi ilmu, sebagaimana yang selalu dilakukan Inayah kepadaku, meski satu orang, tetapi dia tetap semangat mengajariku.
Tanpa tinggal berbincang-bincang dengan Randi yang sebenarnya aku sangat ingin berbicara banyak dengannya lantaran rindu dengan sahabatku itu, namun aku merasa ada yang lebih penting untuk aku temui, mungkin Inayah sedang menung-guku, mengingat bahwa dia belum terbiasa tinggal di daerah ini, pasti dia belum mau bergaul dengan keluargaku apalagi bergaul dengan masyarakat, karena itu segerah saja aku dan pamanku menuju pulang ke rumah.
Setelah sampai di rumah, aku pun langsung memasuki kamarku, namun ada yang aneh dengan Inayah, kulihat dia sedang tertunduk dan menangis, aku menghampirinya dengan keheranan.
“ina?” kataku mendekatinya, namun Inayah tidak menjawabku.
Inayah tak menjawabku, “ Ina, kamu kenapa?” kataku mengulang memanggilnya. Namun lagi-lagi dia tak menjawabku, aku mulai takut melihat istriku yang hanya tertunduk dan menangis. Kupegang tangan istriku dan kucoba mengambil perhatiannya.
“sayang, ada apa? Kamu kenapa?” kataku lembut merayunya.
Dia mengangkat kepalanya dan melihat kepadaku tetapi tidak menjawabku, dia memberikanku sebuah kertas. Betapa kagetnya aku ketika mengetahui surat dari ibuku, ternyata telah di baca Inayah, dan kini wanita pendamping hidupku itu hanya terus menangis setelah membaca surat itu.
“aku malu mas” kata Inayah terus menangis. Terlihat dia sangat terpukul lantaran membaca surat ibuku.
Aku tidak tahu harus berbuat apa, ketika berhadapan dua kenyataan yang harus aku pilih salah satunya, tidak mung-kin aku menolak permintaan ibu dalam suratnya , tetapi aku juga tidak mungkin menduakan Inayah, sungguh keadaan seperti ini telah mencekikku sampai aku tak bisa bernafas lega.
“apa yang mas akan lakukan dengan semua ini?” tanya Inayah  mulai meredamkan tangisannya.
“aku tidak bisa memilih, aku sangat takut” kataku bergetar.
“tapi bagaimana dengan surat ibumu, bagaimana dengan saya? Pada akhirnya semua ini pasti terungkap”. Kata Inayah seakan memaksaku memilih.
aku hanya terdiam, suasana membisu, tak ada jawaban yang bisa kuutarakan dalam permasalahan ini “aku mau tahu pendapatmu?” tanyaku meminta pen-dapat Inayah.
“tidak ada yang bisa aku katakan, sebagai seorang istri, aku hanya mampu turut dengan apa yang menjadi keputusan kamu, suamiku”
“bagaimana mungkin aku bisa mengambil keputusan sendirian, aku tidak mau egois, aku ingin mendengar pendapatmu, istriku. Katakanlah bagaimana menurutmu tentang surat ini”
“kamu adalah pemimpinku, dan kamu tahu yang terbaik untuk kita, hanya itu yang bisa aku katakana”
Aku sejenak terdiam, kemudian memegang tangan istriku “tidak ada yang bisa lakukan, karena masalah ini adalah tentang ibuku, tentang keluargaku, hanya satu yang bisa lakukan, membicarakan masalah ini kepada keluargaku, kita harus meminta pendapat mereka, semoga saja ibu meridhoi tindakan kita ini”
  Setelah berdiskusi panjang dengan istriku tentang cara menanggapi surat ibuku, akhirnya kami sepakat untuk meminta pendapat dari pihak keluargaku.
Setelah shalat Isya, aku, dan Inayah mendatangi rumah paman Dg, Tunrung, rumah beliau tidak terlalu jauh sehingga hanya berjalan kaki beberapa menit kami pun sampai di rumahnya.
“Assalamu alaikum” ucapku mengetuk pintu rumah paman.
“waalaikumussalam..” jawab paman, seraya membuka pintu rumahnya. “Andi, Inayah, silahkan masuk” kata paman menyambut kedatangan kami.
“maaf om, karena malam-malam begini mengganggu paman” kataku sebelum membuka percakapan inti.
“wah, malah saya senang kalian datang” paman mempersilahkan kami du-duk di ruang tamu. “ada apa ndi?”
Aku terdiam sejenak, dan perlahan-lahan kusodorkan surat ibu kepada pamanku.
“apa ini?” tanya paman.
“itu surat ibu saya om” kataku sedikit takut.
Paman lalu membuka surat ibuku dan membacanya, seketika saja ekspresi paman menjadi tegang, semakin dia membaca surat ibu, semakin gelisah ekspresi wajah paman.
“ini benar dari ibu kamu ndi?” tanya paman.
“iya” kataku kaku dan hanya menundukkan kepala.
“terus, apa yang akan kalian lakukan dengan surat ini?”
“sampai saat ini, aku dan Inayah tidak tahu harus berbuat apa dengan surat itu, karena itu kami meminta pendapat om, kiranya bisa memberikan solusi dengan surat Ibu”
“maaf ndi, om tidak bisa mengambil keputusan dengan surat ini, satu-satunya cara untuk mengetahui jawaban tentang surat ibumu ini yaitu kita kumpulkan keluarga yang lainnya, dan membahas surat ini secara kekeluargaan, cumin itu satu-satunya jalan” jelas paman aku berusaha membantuku, “bagaimana menurutmu ndi?”
Aku sedikit terdiam, dan melihat keadaaan Inayah yang mulai tertekan dengan keadaan, “iya, kalau itu jalan satu-satunya untuk mendapatkan jawabannya” kataku mengiyakan usulan paman.
Setelah sepakat untuk mengadakan pertemuan keluarga besar, akhirnya aku dan Inayah pun pulang ke rumah, selama perjalanan aku merasa tengah menanggung dosa sehingga kakiku terasa berat untuk melangkah, nafasku mulai sesak lagi, kali ini aku berusaha kuat menghadapinya, aku tidak boleh terlihat lemah di hadapan istriku, Inayah yang kini hanya terdiam seakan tengah tercekik oleh masalah besar, sampai tak ada yang dapat di lakukannya untuk menyuarakan perasaannya, hanya terdiam dan ikut dalam arus kebimbanganku.
Malam berlalu sangat cepat, terkesan tak peduli dengan keadaanku, sehingga pagi ini aku merasa akan memikul beban berat dalam mahligai keluargaku. Bersama keluarga besarku, akhirnya aku dan Inayah menyatukan mereka di ruang rumahku, dalam situasi di mana di hadapanku adalah orang-orang yang tegas dalam menjunjung tinggi harga diri keluarga, sehingga mas-alah ini tidak hanya berdampak pada masalah aku dan Inayah, dan pasti akan berdampak pada keluarga besarku.
Surat itu di berikan kepada kakek aku, sebagai orang yang paling di hormati dalam keluargaku “apakah ini benar, surat dari ibumu andi?” kata kakek aku setelah membaca surat ibuku.
“iya” kataku singkat mulai takut dengan situasi ini.
kakek menganggukkan kepalanya “kamu mengenal Alya?” tanyanya seakan sedang  menginterogasiku.
“iya” kataku lagi singkat.
“kalau begitu, kamu harus menikah dengan wanita yang bernama Alya itu” kata kakek dengan keputusannya, seakan terjadi guncangan dalam keluargaku, perkataan kakek membuat suasana tak terkendalikan.
“tapi kakek, bagaimana mungkin aku bisa menikah lagi, baru saja aku menikah dengan Inayah, tidak mungkin aku menduakannya” kataku berusaha menolak keputusan kakek.
Keadaan semakin kacau, keputusan kaken benar-benar telah membuat keadaanku tercekik keras dalam dunia pernika-han. Berhadapan dengan keputusan kakek, bahkan paman dan keluarga lainku pun tidak mampu menentangnya, bahkan mereka mendukung keputusan kakek.
“Andi, kamu jangan lupa, bahwa dalam tradisi kita, sangat menjunjung tinggi harga diri keluarga, saya tidak ingin ada seorang pun dari keluarga ini yang melanggar budaya itu” jelas kakekku menekanku dengan budaya keluargaku. “meski harus mati sekalipun, kamu harus tetap menjaga harga diri keluarga kita, oleh karena itu, kamu harus memenuhi permintaan terakhir dari ibumu ini, adapun masalah biaya pernikahanmu akan ditanggung oleh keluarga kakek”.
“tapi kek” kataku sedikit mengeraskan suaraku “bagaimana mungkin aku bisa menikah lagi, tidak mungkin itu kek,”
“kamu jangan membantah Andi, kamu harus pikirkan ibumu, pikirkan harga diri keluarga kita” kata kakek mengeraskan suaranya “kalau kamu menolak permintaan ibumu, maka itu berarti kamu siap pergi dari rumah ini, dan kamu bukan lagi termasuk dalam keturunan keluarga ini” ungkap kakek, sangat keras menamparku, seperti di hadapanku ada kilat dan guntur yang siap menghancurkanku.
Perkataan mengejutkan dari kakek, ternyata menjadi keputusan akhir dari pertemuan ini, keputusan yang sungguh membekukan jiwaku, menghancurkan impianku bersama Inayah, ragaku kaku, pikiranku hancur berkeping-keping, tak ada dayaku lagi untuk bertahan, mungkin mati lebih baik bagiku daripada keadaan seperti ini, bagaimana pun itu sungguh aku tak bisa menghadapi kenyataan yang akan terjadi padaku.
Dengan keputusan dari kakek, mem-buat Inayah, tercengang menangis pilu, sungguh aku tak bisa menggambarkan betapa sakitnya luka yang harus ditanggung istriku ini, dia terus menangis, aku dan keluargaku yang lainnya pun tak mampu meredamkan tangisannya.
Inayah memagang erat tanganku “aku tidak bisa mas, tidak, aku tidak bisa di madu” kata istriku itu seraya terus menangis.
Aku hanya terdiam seribu bisu, sungguh kini tak ada yang dapat kujelaskan pada Inayah.
Melihatku hanya terdiam, Inayah menggelengkan kepalanya, seakan tidak percaya lagi kepadaku, tiba-tiba dia beranjak dengan cepatnya dan berlari meninggalkan rumah. Aku yang terkejut dengan sikap Inayah, langsung mengejarnya, Inayah berlari cepat, semakin menjauh dari rumah kediamanku dengannya, semakin menjauhiku, aku terus mengejarnya, tidak henti-hentinya Inayah dan aku saling mengejar.
Jiwaku semakin hancur, nafasku berhenti dan ragaku kaku tatkala menyaksikan wanita pendamping hidupku sekejap mata terlempar lantaran mobil yang menabraknya, tanpa memperdulikan apapun lagi, aku dengan cepat menghampiri istriku itu.
“sayang, sayang, sayang” kataku terus memanggil-manggil istriku yang tengah tak sadarkan diri. Kupanggil segera taksi, dan membawa istriku yang masih pingsang itu ke rumah sakit.
Sejenak musibah yang menimpah ist-riku membuatku terkaku dalam tekanan hidup yang tak henti-hentinya, aku hanya pasrah pada keputusan Ilahi, Tuhan yang Maha menciptakan kebaikan, Tuhan yang mengetahui yang terbaik untukku. Saat ini, dalam sujudku hanya penyembuhan Inayah yang kuinginkan dari Tuhan.
“ya Allah, kumohon selamatkan Inayah, Engkau Maha Pemberi penyembuhan, apapun akan aku lakukan demi Inayah” dalam takbiratul ihram aku lepaskan duniaku, dalam rukuk aku tundukkan kuasaku, dan dalam sujudku aku hinakan diriku, kulakukan semua hanya untuk Tuhanku, kuyakin Dia tidak akan memberikanku cobaan melebihi kemampuanku, karena itu bukannya aku takut menghadapi masalah-masalah yang kini mencekikku, melainkan aku takut kalau Allah telah meninggalkanku dan tak menemaniku dalam menghadapi cobaan ini.
Setelah melaksanakan shalat, aku beranjak untuk mendampingi istriku yang tengah terbaring, tiga empat jam belum ada tanda-tanda untuk sadar, kulihat dan kuingat jasa yang telah dia lakukan selama perjalanan hidupku, sungguh Inayah menjadi sosok wanita yang telah mengangkat derajatku.
Kupejamkan mataku terus berdo’a kepada Tuhan, untuk kesembuhan Inayah, terus dan terus di samping Inayah kucoba menghadirkan Allah dalam kesulitanku ini. Tiba-tiba tanganku tersentuh oleh sesuatu, ada yang memegang tanganku, kubuka mataku perlahan-lahan, dan ternyata tangan itu milik Inayah, betapa bersyukurnya hati ini melihat wanita yang sangat kucintai telah kembali dari ketidak sadarannya.
“mas” kata Inayah  dengan suara lemah memanggilku.
“iya sayang, aku di sini, aku ada untukmu” kataku sembari memegang erat tangannya. “istirahat saja dulu sayang, jangan banyak bergerak”
“mas, aku ingin berkata sesuatu”
“iya sayang, katakanlah, apa yang ingin kamu katakan?”
“penuhilah permintaan ibumu”
“maksudnya sayang ?, itu tidak mungkin, aku tidak ingin menduakanmu”
“aku ikhlas mas, sungguh aku benar-benar ikhlas, mungkin kecelakaanku ini menjadi pelajaran bagiku untuk mengambil keputusan yang bijak, aku tidak ingin kamu mengabaikan permintaan ibumu, aku tidak ingin kamu keluar dari nasab keluargamu, aku tidak ingin kamu tersiksa karena aku, aku sayang kamu, suamiku” jelas Inayah lembut namun terasa me-nyiksaku. Aku tidak tahu, apakah itu jawaban yang harus kusyukuri ataukah jawaban itu adalah musibah bagiku.
“kalau itu yang kamu inginkan, akan aku lakukan, tapi kamu harus tahu bahwa aku tidak mungkin membagi cintaku kepad Alya lagi” kataku mengiyakan per-mintaan Inayah.
Kuambil ponselku, sangat lambat rasanya tanganku mengetik nomor Alya, andai saja bukan karena Inayah, tak akan pernah kuhubungi wanita itu.
“Assalamu alaikum” kata Alya mendahuluiku mengucapkan salam.
Aku terdiam sejenak, seraya melihat ke istriku, Inayah menganggukkan kepa-lanya mengisyaratkan agar aku berbicara dengan Alya, “boleh kita bertemu?” kataku dengan nada lemah.
“boleh, ada apa?”
“nanti aku ceritakan” ucapku dan langsung menutup telpon.
Sangat sulit rasanya ketika harus melakukan apa yang kehendak hati tak ingin meridhoinya, namun apa daya bagiku, ibu dan Inayah, dua wanita kini memintaku untuk merangkul wanita yang dulunya telah menyiksa hati ini, sungguh keadaan ini telah membuatku semakin lemah, dadaku semakin sakit, nafasku tak berhembus normal lagi, aku hanya mengharapkan Allah, sebagai Tuhan pemberi kekuatan.
Di tengah kesakitan istriku, aku pergi meninggalkannya sendirian di ruang rumah sakit, meninggalkan wanita yang sangat aku cintai, dan menuju untuk menemui wanita yang sangat aku benci, Semakin lengkaplah luka bathinku.
Sesampai di rumah, ternyata Alya telah menungguku, aku pun langsung menghampirinya.
“ada apa ndi?” tanya Alya.
Tanpa menjawabnya, kuberikan surat ibu kepada wanita itu, Alya membuka surat itu dan seketika saja surat itu membuatnya sangat terkejut.
“surat itu sudah aku di musyawarakan dalam keluargaku, dan keputusannya bahwa aku harus menikahimu, aku tidak tahu, apakah kamu mau atau tidak”
 “bagaimana dengan Inayah ? pasti dia tidak ingin di madu”
“dia yang menyuruhku untuk ber-temu denganmu, dia bilang kalau dia ikhlas dengan semua ini, karena itu aku meminta jawabanmu”
“aku tidak tahu, apakah aku layak kembali ke dalam hatimu atau tidak, aku sangat malu dan bersalah dengan semua yang telah aku lakukan kepadamu, mungkin karena diriku sehingga kamu dalam kesulitan seperti ini, maafkan aku” kata Alya mulai meneteskan air matanya. Entah kenapa pengakuan Alya, membuat benakku tak tega melihatnya terasa di salahkan dengan keadaan keluargaku.
Meski telah banyak luka yang dia tancapkan ke dalam kehidupanku, tetapi sungguh aku tidak bisa mengabaikan kebahagiaan, kebersamaan dan kasih sayang yang pernah mengisi kehidupanku bersama Alya. Karena itu aku mendekatinya, dan kusandarkan kepalanya pada pundakku, “tidak apa-apa, semua telah terjadi, ini seluruhnya bukan salahmu, aku meminta maaf atas nama ibuku, karena dari suratnya kamu terlibat dalam keluargaku”
Seiring kesediaan Alya untuk menjadi istriku, seakan aku dibayang-bayangi oleh malaikat pencabut nyawa yang siap melaksanakan tugasnya padaku ketika aku melangkah dalam mahligai yang harus menanggung dua wanita sekaligus, sungguh aku tak sanggup menanggungnya.
Berbeda dengan saat pernikahanku dengan Inayah, yang prosesnya sangat kunikmati, mungkin karena saat itu keuanganku masih bisa mencukupi resefsi pernikahanku dengannya, sementara dalam pernikahanku dengan Alya, membuatku berpikir seribu kali, bukan masalah masa laluku dengannya, karena yang demikian telah aku pupuskan lantaran dia terus menyalahkan dirinya atas masalah yang kuhadapi, bagaimanapun Alya pernah menjadi bagian dalam hidupku dan pernah membahagiakan aku, dan akan menjadi bagian hidupku nantinya. Tetapi dalam pernikahanku dengannya, muncul berbagai masalah khususnya dalam keuangan resefsi pernikahan nanti, menjalani pernikahan dengan Alya sebagai bagian dari orang-orang Bugis-Makassar mencengankan benakku ketika harus menyuarakan budaya uang panai’ dalam pernikahanku bersama Alya.
Meski dalam hal uang panai’ ditanggung penuh oleh keluargaku, tetapi sungguh yang demikian membuatku malu, dan terpukul lantaran harus menerima bantuan dari orang lain untuk pernikahanku, sekalipun itu keluargaku sendiri. Pada akhirnya, keputusan kakekku melibatkan semua sanad keluargaku dalam mengsukseskan acara pernikahan ini.
Hari itu telah tiba, busana adat pernikahan daerahku kini menempel menjadi pakaianku di hari pernikahanku dengan Alya, kurasakan sekental-kentalnya budayaku seketika merasut dalam sukmaku. sebuah kebanggan, kekakuan, dan rasa takut menyatu dalam pertemuanku dengan Alya menuju akad nikah.
Dengan izin Inayah, istriku yang sudah sembuh, mendampingiku dalam pernikahanku dengan Alya, aku tidak sang-gup mengungkapkan bagaimana sakitnya luka yang harus ditanggung oleh istriku menyaksikan suaminya menikah lagi tepat di depan matanya, dan aku juga tidak tahu bagaimana malu yang harus ditanggung Alya saat harus menikah dengan lelaki yang telah mempunyai istri bahkan istri dari pasangan pengantinnya itupun kini ikut hadir dalam akad nikahnya.
Cukup aku mengungkapkan ketidak tahuanku dengan beratnya beban yang di tanggung oleh kedua wanita itu, aku hanya bisa mengatakan beban yang mereka tanggung sangat berat, lebih berat dari yang kupikirkan. Tetapi, bukan hanya mereka yang harus aku kasihani keadaannya, sungguh diriku pun kini di landa bencana yang tak henti-hentinya, seakan akan me-masuki ruang yang berapi-api sampai melihat pintunya pun aku tak sanggup. Karena itu, sungguh hanya Allah yang menjadi Sang Maha Penolong dalam keadaanku sekarang, kucoba memunajatkan pikirkan dalam rana ketuhanan, rana penuh ketasawwufan, rana dimana yang ada hanya aku dan Allah di dalamnya. Aku ingin bercakap dengan-Nya, mengadukan masalahku yang kini melanda seperti bencana untuk kehidupanku, aku ingin merintih kesakitan di hadapan-Nya, bahkan aku akan mengeluh manja pada-Nya atas cobaan yang diberikan kepadaku.
Orang-orang telah ramai memadati ruangan rumahku, menyambut kedatanganku untuk melakukan ikrar awal mahligai keluarga baruku. Entah kenapa kebahagiaan orang-orang yang ada dirumah kuanggap sebagai amanah yang sangat berat selama hidupku, membuatku takut untuk melangkah menghampiri ruang akad pernikahanku, kulihat ruang itu berapi-api seakan mengisyaratkan ketidak mampuanku dalam membina keluarga yang akan kujalani dalam dua istri sekaligus, ragaku semakin lemah, jiwaku terus mencari Tuhan tapi tak kutemukan, semakin mendekati ruang akad itu semakin bergejolak rasa ketakutanku, ragaku kaku, jiwaku sangat gelisah lantaran belum mendapati Tuhanku.
Di hadapan telah hadir sosok lelaki, yang sebentar lagi akan mengantarku dalam dunia kekeluargaan, dia telah siap, dan sangat siap. Kulihat lelaki penghulu itu telah mantap untuk menikahkanku dengan wanita yang duduk di sampingku, Alya. Ragaku sedang duduk dalam acara besar ini, namun jiwaku melayang terus mencari Tuhan, jiwaku masih sibuk dengan sendirinya, sedikitpun tak memperdulikan tentang raganya.
Dengan ucapan bismillahirrahmanir rahim, tanganku dan tangan penghulu saling berpegangan menyambut rangkaian kata akad nikah yang dimulai dari penghulu dan dilanjutkan olehku. Di saat yang sama, jiwaku semakin terbang menelusuri langit satu persatu, akhirnya jiwaku sampai di titik arys ketuhanan, di sana jiwaku bermunajat memanggi Tuhan, layaknya Musa, jiwaku meminta agar Tuhan menampakkan dirinya “ya Tuhanku, perlihatkanlah diri-Mu, sungguh aku ingin melihatmu, aku ingin agar kita saling berhadapan dan ku akan mengadukan segala cobaan yang Engkau berikan padaku, sungguh aku ingin bersamamu, Tuhanku.” Kata jiwaku mencari Tuhannya ke segala arah.
Jiwaku melihat cahaya besar, sangat besar, cahaya itu mendekati jiwaku, lalu tiba-tiba cahaya yang sangat besar itu menyatu menyelimuti jiwaku, jiwaku merasakan ketenangan yang belum pernah di rasakaan sebelumnya. Dan di saat yang sama, ragaku terjatuh ketika ingin mengikuti ucapan dari lelaki penghulu pernikahanku, ragaku tak berdaya, jantungku berhenti berdetak, nafasku berhenti berhembus, dan mulutku berhenti berucap, semua milik ragaku seketika berhenti melaksakan tugasnya, tatkalan jiwaku tengah menik-mati kebahagiaan yang berlimpah bersama cahaya yang di temuinya.
Ouh tidak, jiwa dan ragaku tidak lagi menyatu, mereka benar-benar berpisah. Aku telah meninggalkan dunia ini, keluargaku, istri dan calon istriku, sungguh aku tidak lagi berada di alam syahada. Aku meninggalkan Inayah dan Alya, bukan karena aku tidak mencintai mereka atau pun membecinya, tetapi sungguh aku meninggalkan mereka karena aku belum tahu dan tidak akan tahu tentang warna-warni dari diri wanita.
Ada ‘sesuatu’ yang tidak akan diketahui oleh laki-laki tentang wanita, yang membuat lelaki itu sangat sulit mengimbangi ketika harus menjalani keluarga bersama lebih dari satu wanita (istri), bukan tentang harta, keturunan, akhlak, ataupun tentang cinta. ‘Sesuatu’ itu hanya wanita dan Tuhannya sendiri yang dapat mengetahuinya. Itulah sebabnya aku lebih memilih melepaskan kehidupanku daripada harus menjaling hubungan dengan lebih dari satu wanita.
Apapun itu, cerita ini bukan memperkenalkan tentang diriku, tetapi dirikulah yang memperkenalkan tentang sebuah cerita yang terus berlabuh dalam naungan takdir Tuhan.


“Boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui (Q.S Al-Baqarah : 216)”
. . . . . . .

Tamat . ..

 (Terima kasih telah membaca, untuk lebih lengkapnya, tulisan ini termuat dalam
sebuah novel Warna Wanita)