Sabtu, 18 Februari 2017

PEMIKIRAN HADITS DALAM ORMAS ISLAM (AHMADIYAH)



PEMIKIRAN HADITS DALAM ORMAS ISLAM
(AHMADIYAH)


A.    Awal Beridirinya Ahmadiyah
Pada masa itu Islam di India mendapat perlawanan yang hebat, terutama dari dua kekuatan raksasa yaitu Kristen dan Hindu. Kristen didukung oleh kekuatan dari pihak penguasa penjajah (Inggris) dan pihak lain kaum Hindu Arya Samaj yang didukung oleh kekuatan massa yang dahsyat. Kedua golongan itu memburuk-burukkan Islam dan diri pribadi Nabi Muhammad SAW. Ummat Islam dijadikan bulan-bulanan, tak ubahnya perahu yang dipermainkan oleh gelombang samudera.
Dalam keadaan yang demikian itu, Mirza Ghulam Ahmad bangkit untuk membela kebenaran Islam. Dengan kegigihan dan keberaniannya, beliau berusaha menangkis semua serangan lawan dalam bentuk lisan maupun tulisan. Salah satu upayanya dalam bentuk tulisan itu beliau menulis sebuah buku dengan judul “Barahini Ahmadiyyah”. Dalam karyanya ini beliau menguraikan keindahan dan kebenaran Islam dengan dalil-dalil yang kuat dan tak dapat dibantah. Setelah itu beliau mendeklarasikan dalam bukunya tersebut bahwa beliay adalah Mujaddid abad ke-14 Hijriyah. Deklarasinya sebagai mujaddid ini disambut dengan lega oleh ummat Islam di India.
Dengan semakin termasyhurnya kitab Barahini Ahmadiyah, banyak kaum muslimin yang berminat untuk bai’at kepada beliau, tetapi beliau selalu mengelak, sebab Allah tidak memerintahkan demikian. Baru pada tahun desember 1888 beliau menerima wahyu dari Allah swt. sebagai berikut:
“Taufan kesesatan telah meliputi dunia, sebab itu sediakanlah bahtera, dan barang siapa yang suka naik bahtera itu akan selamatlah dia dari mati tenggelam; adapun orang yang menolak, kematian akan menimpanya”
Berdasarkan wahyu tersebut di atas beliau mendirikan suatu gerakan dan menerima bai’at. Baiat pertama dari kaum muslimin di kota Ludhiana pada tanggal 23 Maret 1889. Dalam waktu yang singkat pengikut beliau bertambah banyak sekalipun mendapat perlawanan dari golongan-golongan lain. pada tahun 1900, beliau member nama gerakannya dengan “AHMADIYAH”, nama Ahmadiyah ini diambil dari kata Ahmad, yaitu salah satu dari nama-nama Nabi Muhammad saw.[1]

B.     Pokok dan Doktrin Ajaran Ahmadiyah
Meski mereka meyakini kenabian nabi-nabi dalam Islam, golongan Ahmadiyah meyakini bahwa ‘Nabi’ Ghulam Ahmad adalah al-Masih yang dijanjikan kedatangannya, dan dia lebih baik daripada para nabi Ulul Azmi. Ghulam Ahmad datang dengan wahyunya sendiri. Para pengikut Ahmadiyah harus meyakini bahwa ucapan Ghulam Ahmad berasal dari wahyu Allah. [2]

Adapun doktrin ajaran Ahmadiyah[3]
1.      Masalah al-Mahdi dan al-Masih
Menurut Ahmadiyah, doktrin al-Mahdi tidak dapat dipisahkan dari masalah kedatangan al-Masih di akhir Zaman. Hal itu karena al-Mahdi dan al-Masih adalah satu tokoh yang kedatangannya dijanjikan Tuhan.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari, Dari Abu Hurairah disebutkan bahwa Nabi bersabda: Bagaimana kamu jika ibnu Maryam turun di dalam, di antara, kamu, dan menjadi imam kamu, dari antara kamu”.
Ahmadiyah memahami bahwa kata-kata “… dan menjadi imam kamu, dari antara kamu” menunjukkan seseorang di antara umat Islam sendiri. Artinya, bukan seorang imam yang datang dari luar umat Islam, misalnya dari Bani Israil. Dengan demikian, al-Masih yang akan datang di akhir zaman bukanlah Nabi Isa dan dalam pandangan Ahmadiyah, al-Masih tersebut adalah Mirza Ghulam Ahmad.

2.      Masalah Mujaddid (Pembaru)
Menurut Ahmadiyah (Lahore) Istilah pembaruan atau tajdid mempunyai pengertian mengembalikan umat Islam kepada pangkal kebenaran Islam. Caranya adalah dengan melenyapkan kesesatan-kesesatan yang menyerbu umat Islam, menghidupkan iman umat Islam yang sedang surut dan memancarkan penerangan baru tentang kebenaran Islam yang sesuai dengan tuntunan Zaman.

3.      Masalah kematian Nabi Isa
Menurut Mirza Ghulam Ahmad, Nabi Isa adalah manusia biasa yang meninggal secara wajar dan dikubur di Srinaga, Kashmir. Artinya, Nabi Isa tidak mati di tiang salib sebagaimana yang menjadi kepercayaan umat Kristiani.

4.      Masalah Wahyu
Keberadaan wahyu tidak hanya terbatas sampai pada Nabi Muhammad Saw. setelah Nabi wafat wahyu Tuhan masih akan tetap turun, dan bahkan sampai hari akhir. Wahyu tidak hanya diperuntukkan bagi para Nabi dan Rasul, tetapi juga untuk manusia, binatang, dan bahkan benda mati.

5.      Masalah kenabian
Terhadapat doktrin ini, kedua aliran Ahmadiyah berbeda pandangan. Bagi Ahmadiyah Qodian, Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang Nabi, dan barangsiapa tidak berbaiat berbarti kafir. Nabi yang dimaksud adalah nabi buruzi. Artinya nabi yang tidak membawa syari’at. Sedangkan Ahmadiyah Lahore menyatakan bahwa Mirza ghulam ahmad adalah seorang Mujaddid bukan Nabi. Karena itu bagi kaum muslim yang tidak berbai’at padanya bukanlah kafir.

6.      Masalah Khilafat
Sebagaimana pandangan terhadap kenabian, terhadap masalah kekhilafahan, kedua aliran ini juga berbeda pandangan. Menurut Lahore, setelah al-khulafa ar-Rasyidin sudah tidak ada lagi khalifah, yang ada adalah mujaddid. Sementara menurut Qodian, semua nabi adalah khalifah Allah, termasuk Mirza Ghulam ahmad. Menurut Qodian, setelah al-Khulafa ar-Rasyidun masih akan tetap muncul khalifah, yakni khalifah (rohani), khalifah yang muncul setelah meninggalnya Mirza Ghulam Ahmad dengan sebutan khalifah Masih.

7.      Masalah Jihad
Jihad dalam hal ini bukan perang, melainkan diartikan menyebarkan ajaran Islam dengan pena dan lisan dan memerangi hawa nafsu. Dalam kaitannya dengan pemerintah, Ahmadiyah berpandangan bahwa umat Islam harus setia dan taat meski terhadap pemerintah penjajah.

C.    Hadits dan Sunnah dalam pandangan Ahmadiyah
Dalam bahasan ini akan dikemukakan pandangan salah satuh tokoh aliran Ahmadiyah yakni Maulana Muhammad Ali mengenai Hadits dan Sunnah. Menurut Maulana Muhammad Ali, sunnah secara bahasa adalah jalan, aturan, cara bertindak, atau tingkah laku. Sdangkan hadits makna aslinya adalah ucapan yang disampaikan kepada manusia baik melalui perantara pendengaran maupun melalui wahyu.
Berdasarkan pada makna bahasa ini, Maulana Muhammad Ali mendefinisikan sunnah sebagai perbuatan Nabi Muhammad saw, sedangkan hadits adalah sabda Nabi. Akan tetapi, pada hakikatnya keduanya memiliki wilayah yang sama dan dapat diterapkan baik pada perbuatan, tingkah laku, dan ucapan Nabi Muhammad saw, karena hadits itu meriwayatkan dan mencatat sunnah Nabi saw. selain mengandung tiga bagian tersebut, Maulana Muhammad Ali menambah dua unsure yang terdapat dalam hadits yaitu ramalan-ramalan dan sejarah.
Maulana Muhammad Ali membagi sunnah dalam tiga macam. Pertama, Sunnah yang berbentuk qaul, yaitu sebuah ucapan atau kata dari Nabi Muhammad saw, dan ini menurut Maulana Muhammad memiliki ketegasan dalam masalah agama. Kedua. Berbentuk sebuah fi’il yaitu berupa perbuatan atau praktik Nabi saw. dan terakhir berbentuk taqrir, yaitu berupa diamnya nabi sebagai tanda persetujuan terhadap perbuatan atau praktik dari orang lain.
Posisi Hadits Sebagai Sumber Syari’at Islam
Maulana Muhammad Ali tidak berbeda dengan pendapat mayoritas ulama yang menyatakan bahwa hadits menempati posisi kedua setelah al-Qur’an. Dalam masalah ushul dan furu’ syari’at. Maulana Muhammad Ali mengatakan bahwa semua hal ushul telah dijelaskan secara lengkap oleh al-Qur’an, sedangkan masalah furu’ sangat terbatas. Oleh karena itu, hadits mempunyai peran dalam menjabarkan al-Qur’an terutama dalam masalah furu’. Sebagai konsekuensi dari posisi hadits sebagai sumber kedua ajaran Islam, maka seancainya terdapat hadits yang kelihatannya bertentangan dengan ajaran al-Qur’an dan hal tersebut merupakan furu’ maka hadits tersebut harus tunduk kepada yang ushul (prinsip) yaitu al-Qur’an. Dan jika secara jelas bertentangan dengan al-Qur’an maka harus ditolah hadits tersebut.[4]
Adapun dalam menilai kualitas sebuah hadits Maulana Muhammad Ali menerima dan menganggap hasil penelitian dua ulama besar dalam bidang hadits yaitu Imam al-Bukhari dan Imam Muslim tidak perlu dipertanyakan lagi keshahihannya.[5]



DAFTAR PUSTAKA

Ismail, Qusyairi, dkk, Trilogi Ahlussunah, Akidah, Syari’ah dan Tasawuf. (Pasuruan: Pustaka Sidogiri Pondok Pesantren sidogiri, 2012).
Mangunsong , Nurainun,  Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan di Indonesia. (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2012).
Nasution , Moh. Zen Ridwan, 2012, Hadits Nuzul Isa Al-Masih Dalam Pandangan Ahmadiyah Lahore (Studi Atas Pemikiran Maulana Muhammad Ali), Skripsi, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Shodiq, Ja’far, 2004, Model Pendekatan Dakwah Gerakan Ahmadiyah Indonesia di Yogyakarta, Skripsi, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.




[1] Ja’far Shodiq, Model Pendekatan Dakwah Gerakan Ahmadiyah Indonesia di Yogyakarta, Skripsi, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, hlm. 36-38.
[2] A. Qusyairi Ismail, dkk, Trilogi Ahlussunah, Akidah, Syari’ah dan Tasawuf. (Pasuruan: Pustaka Sidogiri Pondok Pesantren sidogiri, 2012), hlm. 176-177.
[3] Nurainun Mangunsong, Sh., M.Hum, Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan di Indonesia. (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2012), hlm. Ix-xi.
[4] Moh. Zen Ridwan Nasution, Hadits Nuzul Isa Al-Masih Dalam Pandangan Ahmadiyah Lahore (Studi Atas Pemikiran Maulana Muhammad Ali), Skripsi, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2012, hlm. 41-42.
[5] Moh. Zen Ridwan Nasution, Hadits Nuzul Isa Al-Masih Dalam Pandangan Ahmadiyah Lahore,… hlm 57.

Related Posts

PEMIKIRAN HADITS DALAM ORMAS ISLAM (AHMADIYAH)
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.