Sabtu, 18 Februari 2017

KHITAN Untuk Wanita, Dianjurkan, Jangan Dipaksa!



KHITAN Untuk Wanita, Dianjurkan, Jangan Dipaksa!

Di sebuah dinding Facebook, milik Stop Khitan (Sunat) bagi perempuan[1], sebuah komunitas media sosial yang nampaknya tidak setuju dengan khitan bagi perempuan. Mereka berpendapat bahwa khitan tidak berpengaruh bagi perempuan, bahkan hanya menyakitinya, sebagai mana yang dikutipnya sebagai berikut:
“Pada bayi perempuan kelentit / cilitoris yang merupakan bagian sama dengan ujung zakar tidak mengalami perkembangan berarti dan tidak terjadi penutupan rapat pada alat kelaminnnya. Dengan demikian khitan pada kelentit perempuan sama saja dengan memotong sebagian ujung zakar seorang laki-laki bukan lagi sekedar kulit penutup ujung zakar. Tentunya si bayi perempuan akan sangat menderita mengingat kelentit perempuan sebagaimana ujung zakar pria adalah salah satu bagian tubuh dimana banyak sekali syaraf-syaraf perasa berada. Inilah yang membuat orang-orang barat yang mengetahui masalah ini memprotes sangat keras praktek khitan pada bayi perempuan.”
Lebih jauh, menurut mereka khitan merupakan budaya Fir’aun masa kuno, lihat http://akusuka.wordpress.com/2014/09/13/sunat-adalah-budaya-firaun-mesir-kuno/. Masih banyak pendapat-pendapat yang mereka uatarakan mengenai ketidak setujuan mereka tentang khitan bagi perempuan, hal ini akan ditemukan di dinding facebook Stop Khitan (Sunat) bagi perempuan.
Penulis belum mendapati ayat yang membicarakan tentang khitan, namun terlepas dari itu, dalam hadits Nabi ada beberapa hadits yang berbicara tentang khitan, diantaranya:
“Apabilah dia duduk dalam posisi di antara empat anggota tubuh perempuan, lalu khitan (kemaluan laki-laki) menyentuh khitan (kemaluan perempuan), maka wajiblah mandi.” (HR. Muslim no. 349, Abu Dawud no. 216)
“Jangan potong berlebihan, karena itu akan lebih baik bagi perempuan dan lebih disukai suami.” (HR. Abu Dawud nomor 5273 )
Dari kedua hadits yang dikemukakan diatas, tidak ada satupun yang mewajibkan untuk berkhitan bagi perempuan, Khitan hanya termasuk ke dalam lima fitrah perempuan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari yang diantaranya disebutkan khitan. Sehingga wajar saja jika terjadi perbedaan pendapat mengenai hukum berkhitan, misalnya saja Imam Syafi’I mewajibkan khitan  bagi laki-laki dan perempuan, sedangkan imam Malik mengatakan khitan sunnah bagi perempuan[2].
Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim mengatakan bahwa bagi perempuan, khitan dilakukan dengan untuk menstabilkan syahwatnya[3]. Kalau demikian, syahwat bisa disebutkan sebagai salah satu yang menyebabkan hukum munculnya berkhitan. Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul Perempuan menyebutkan bahwa lelaki menghasilkan sperma yang tetap subur sejak masa pubertas hingga akhir hayatnya, berbeda dengan perempuan. Sel telur perempuan habis setelah mencapai usia sekitar 51 tahun. Siklus menstruasinya ketika itu berhenti dan ia tidak dapat lagi melahirkan[4]. Tentu ini terjadi hubungan timbal-balik antara syahwat, siklus menstruasi dan dapat tidaknya melahirkannya perempuan, dimana ketika sel telur perempuan habis maka syahwatnya akan menurun atau bahkan tidak ada.
Di saat yang sama, lelaki menghasilkan sperma yang tetap subur hingga akhir hayatnya, jika lelaki dan perempuan (suami-Istri) masih bersama di usia 52an ke atas, maka kemungkinan menghasilkan keturunan lagi akan sangat sulit, kalau bisa saya katakan “tidak mungkin”. Lelaki yang masih menginginkan keturunan di usia 52an ke atas namun tidak bisa terpenuhi karena istrinya, inilah yang kemudian membutuhkan istri lagi, dengan kata lain dia (suami) akan melakukan poligami.
“Berkhitan itu sunnah bagi laki-laki dan kemuliaan bagi perempuan” (HR. Ahmad 21262), inilah mungkin yang dapat dipegang sebagai pengontrol hak perempuan, bahwa khitan di sisi perempuan adalah nilai plus, bukan tekanan, yang harus dilakukan. Jangan sampai ada anggapan untuk mengkhitan perempuan agar syahwatnya berkurang, yang akhirnya berujung pada poligami bagi laki-laki.



[1] Selengkapnya, silahkan lihat di dinding facebooknya.
[2] Ibrahim Muhammad Al-Jamal Fiqih Muslimah Ibadat-Mu’amalat (Jakarta: Pustaka Amani Jakarta, 1995), hlm 58.
[3] Abu Malik Kamal Bin Sayyid Salim, Fiqih Sunah Untuk Wanita. (Jakarta: Al-Itisham Cahaya Umat. 2011), hlm 16.
[4] M. Quraish Shihab, Perempuan (Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2014), hlm 11.

Related Posts

KHITAN Untuk Wanita, Dianjurkan, Jangan Dipaksa!
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.