KHITAN Untuk Wanita, Dianjurkan, Jangan Dipaksa!
Di
sebuah dinding Facebook, milik Stop Khitan (Sunat) bagi perempuan[1],
sebuah komunitas media sosial yang nampaknya tidak setuju dengan khitan
bagi perempuan. Mereka berpendapat bahwa khitan tidak berpengaruh bagi perempuan,
bahkan hanya menyakitinya, sebagai mana yang dikutipnya sebagai berikut:
“Pada
bayi perempuan kelentit / cilitoris yang merupakan bagian sama dengan ujung
zakar tidak mengalami perkembangan berarti dan tidak terjadi penutupan rapat
pada alat kelaminnnya. Dengan demikian khitan pada kelentit perempuan sama saja
dengan memotong sebagian ujung zakar seorang laki-laki bukan lagi sekedar kulit
penutup ujung zakar. Tentunya si bayi perempuan akan sangat menderita mengingat
kelentit perempuan sebagaimana ujung zakar pria adalah salah satu bagian tubuh
dimana banyak sekali syaraf-syaraf perasa berada. Inilah yang membuat
orang-orang barat yang mengetahui masalah ini memprotes sangat keras praktek
khitan pada bayi perempuan.”
Lebih jauh, menurut mereka khitan
merupakan budaya Fir’aun masa kuno, lihat http://akusuka.wordpress.com/2014/09/13/sunat-adalah-budaya-firaun-mesir-kuno/. Masih banyak pendapat-pendapat yang mereka uatarakan mengenai
ketidak setujuan mereka tentang khitan bagi perempuan, hal ini akan ditemukan
di dinding facebook Stop Khitan (Sunat) bagi perempuan.
Penulis belum mendapati ayat yang
membicarakan tentang khitan, namun terlepas dari itu, dalam hadits Nabi ada
beberapa hadits yang berbicara tentang khitan, diantaranya:
“Apabilah dia duduk dalam posisi di antara empat anggota tubuh perempuan,
lalu khitan (kemaluan laki-laki) menyentuh khitan (kemaluan perempuan), maka
wajiblah mandi.” (HR. Muslim no. 349, Abu Dawud no. 216)
“Jangan potong berlebihan, karena itu akan lebih baik bagi perempuan
dan lebih disukai suami.” (HR. Abu Dawud nomor 5273 )
Dari kedua hadits yang dikemukakan
diatas, tidak ada satupun yang mewajibkan untuk berkhitan bagi perempuan, Khitan
hanya termasuk ke dalam lima fitrah perempuan sebagaimana yang diriwayatkan oleh
Bukhari yang diantaranya disebutkan khitan. Sehingga wajar saja jika terjadi
perbedaan pendapat mengenai hukum berkhitan, misalnya saja Imam Syafi’I
mewajibkan khitan bagi laki-laki dan
perempuan, sedangkan imam Malik mengatakan khitan sunnah bagi perempuan[2].
Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim
mengatakan bahwa bagi perempuan, khitan dilakukan dengan untuk menstabilkan
syahwatnya[3].
Kalau demikian, syahwat bisa disebutkan sebagai salah satu yang menyebabkan
hukum munculnya berkhitan. Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul Perempuan
menyebutkan bahwa lelaki menghasilkan sperma yang tetap subur sejak masa
pubertas hingga akhir hayatnya, berbeda dengan perempuan. Sel telur perempuan
habis setelah mencapai usia sekitar 51 tahun. Siklus menstruasinya ketika itu
berhenti dan ia tidak dapat lagi melahirkan[4].
Tentu ini terjadi hubungan timbal-balik antara syahwat, siklus menstruasi dan
dapat tidaknya melahirkannya perempuan, dimana ketika sel telur perempuan habis
maka syahwatnya akan menurun atau bahkan tidak ada.
Di saat yang sama, lelaki
menghasilkan sperma yang tetap subur hingga akhir hayatnya, jika lelaki dan
perempuan (suami-Istri) masih bersama di usia 52an ke atas, maka kemungkinan
menghasilkan keturunan lagi akan sangat sulit, kalau bisa saya katakan “tidak
mungkin”. Lelaki yang masih menginginkan keturunan di usia 52an ke atas namun
tidak bisa terpenuhi karena istrinya, inilah yang kemudian membutuhkan istri
lagi, dengan kata lain dia (suami) akan melakukan poligami.
“Berkhitan itu sunnah bagi laki-laki
dan kemuliaan bagi perempuan” (HR. Ahmad 21262), inilah mungkin yang dapat
dipegang sebagai pengontrol hak perempuan, bahwa khitan di sisi perempuan
adalah nilai plus, bukan tekanan, yang harus dilakukan. Jangan sampai ada
anggapan untuk mengkhitan perempuan agar syahwatnya berkurang, yang akhirnya
berujung pada poligami bagi laki-laki.
[1] Selengkapnya, silahkan lihat di dinding facebooknya.
[2] Ibrahim Muhammad Al-Jamal Fiqih Muslimah Ibadat-Mu’amalat (Jakarta:
Pustaka Amani Jakarta, 1995), hlm 58.
[3] Abu Malik Kamal Bin Sayyid Salim, Fiqih Sunah Untuk Wanita. (Jakarta:
Al-Itisham Cahaya Umat. 2011), hlm 16.
[4] M. Quraish Shihab, Perempuan (Tangerang: Penerbit Lentera
Hati, 2014), hlm 11.
KHITAN Untuk Wanita, Dianjurkan, Jangan Dipaksa!
4/
5
Oleh
Unknown