PEMIKIRAN HADITS DALAM ORMAS ISLAM (AHMADIYAH)
Hadits
PEMIKIRAN
HADITS DALAM ORMAS ISLAM
(AHMADIYAH)
A.
Awal
Beridirinya Ahmadiyah
Pada masa itu
Islam di India mendapat perlawanan yang hebat, terutama dari dua kekuatan
raksasa yaitu Kristen dan Hindu. Kristen didukung oleh kekuatan dari pihak
penguasa penjajah (Inggris) dan pihak lain kaum Hindu Arya Samaj yang didukung
oleh kekuatan massa yang dahsyat. Kedua golongan itu memburuk-burukkan Islam
dan diri pribadi Nabi Muhammad SAW. Ummat Islam dijadikan bulan-bulanan, tak
ubahnya perahu yang dipermainkan oleh gelombang samudera.
Dalam
keadaan yang demikian itu, Mirza Ghulam Ahmad bangkit untuk membela kebenaran
Islam. Dengan kegigihan dan keberaniannya, beliau berusaha menangkis semua
serangan lawan dalam bentuk lisan maupun tulisan. Salah satu upayanya dalam
bentuk tulisan itu beliau menulis sebuah buku dengan judul “Barahini
Ahmadiyyah”. Dalam karyanya ini beliau menguraikan keindahan dan kebenaran
Islam dengan dalil-dalil yang kuat dan tak dapat dibantah. Setelah itu beliau
mendeklarasikan dalam bukunya tersebut bahwa beliay adalah Mujaddid abad ke-14
Hijriyah. Deklarasinya sebagai mujaddid ini disambut dengan lega oleh ummat
Islam di India.
Dengan
semakin termasyhurnya kitab Barahini Ahmadiyah, banyak kaum muslimin yang
berminat untuk bai’at kepada beliau, tetapi beliau selalu mengelak, sebab Allah
tidak memerintahkan demikian. Baru pada tahun desember 1888 beliau menerima
wahyu dari Allah swt. sebagai berikut:
“Taufan kesesatan telah meliputi dunia, sebab itu sediakanlah
bahtera, dan barang siapa yang suka naik bahtera itu akan selamatlah dia dari
mati tenggelam; adapun orang yang menolak, kematian akan menimpanya”
Berdasarkan wahyu tersebut di atas
beliau mendirikan suatu gerakan dan menerima bai’at. Baiat pertama dari kaum
muslimin di kota Ludhiana pada tanggal 23 Maret 1889. Dalam waktu yang singkat
pengikut beliau bertambah banyak sekalipun mendapat perlawanan dari
golongan-golongan lain. pada tahun 1900, beliau member nama gerakannya dengan “AHMADIYAH”,
nama Ahmadiyah ini diambil dari kata Ahmad, yaitu salah satu dari nama-nama
Nabi Muhammad saw.[1]
B.
Pokok
dan Doktrin Ajaran Ahmadiyah
Meski mereka
meyakini kenabian nabi-nabi dalam Islam, golongan Ahmadiyah meyakini bahwa
‘Nabi’ Ghulam Ahmad adalah al-Masih yang dijanjikan kedatangannya, dan dia
lebih baik daripada para nabi Ulul Azmi. Ghulam Ahmad datang dengan
wahyunya sendiri. Para pengikut Ahmadiyah harus meyakini bahwa ucapan Ghulam Ahmad
berasal dari wahyu Allah. [2]
Adapun doktrin ajaran Ahmadiyah[3]
1.
Masalah
al-Mahdi dan al-Masih
Menurut
Ahmadiyah, doktrin al-Mahdi tidak dapat dipisahkan dari masalah kedatangan
al-Masih di akhir Zaman. Hal itu karena al-Mahdi dan al-Masih adalah satu tokoh
yang kedatangannya dijanjikan Tuhan.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari, Dari Abu Hurairah
disebutkan bahwa Nabi bersabda: Bagaimana kamu jika ibnu Maryam turun di dalam,
di antara, kamu, dan menjadi imam kamu, dari antara kamu”.
Ahmadiyah memahami bahwa kata-kata “… dan menjadi imam kamu, dari
antara kamu” menunjukkan seseorang di antara umat Islam sendiri. Artinya, bukan
seorang imam yang datang dari luar umat Islam, misalnya dari Bani Israil.
Dengan demikian, al-Masih yang akan datang di akhir zaman bukanlah Nabi Isa dan
dalam pandangan Ahmadiyah, al-Masih tersebut adalah Mirza Ghulam Ahmad.
2.
Masalah
Mujaddid (Pembaru)
Menurut
Ahmadiyah (Lahore) Istilah pembaruan atau tajdid mempunyai pengertian
mengembalikan umat Islam kepada pangkal kebenaran Islam. Caranya adalah dengan
melenyapkan kesesatan-kesesatan yang menyerbu umat Islam, menghidupkan iman
umat Islam yang sedang surut dan memancarkan penerangan baru tentang kebenaran
Islam yang sesuai dengan tuntunan Zaman.
3.
Masalah
kematian Nabi Isa
Menurut
Mirza Ghulam Ahmad, Nabi Isa adalah manusia biasa yang meninggal secara wajar
dan dikubur di Srinaga, Kashmir. Artinya, Nabi Isa tidak mati di tiang salib
sebagaimana yang menjadi kepercayaan umat Kristiani.
4.
Masalah
Wahyu
Keberadaan
wahyu tidak hanya terbatas sampai pada Nabi Muhammad Saw. setelah Nabi wafat
wahyu Tuhan masih akan tetap turun, dan bahkan sampai hari akhir. Wahyu tidak
hanya diperuntukkan bagi para Nabi dan Rasul, tetapi juga untuk manusia,
binatang, dan bahkan benda mati.
5.
Masalah
kenabian
Terhadapat
doktrin ini, kedua aliran Ahmadiyah berbeda pandangan. Bagi Ahmadiyah Qodian,
Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang Nabi, dan barangsiapa tidak berbaiat berbarti
kafir. Nabi yang dimaksud adalah nabi buruzi. Artinya nabi yang tidak
membawa syari’at. Sedangkan Ahmadiyah Lahore menyatakan bahwa Mirza ghulam
ahmad adalah seorang Mujaddid bukan Nabi. Karena itu bagi kaum muslim yang
tidak berbai’at padanya bukanlah kafir.
6.
Masalah
Khilafat
Sebagaimana
pandangan terhadap kenabian, terhadap masalah kekhilafahan, kedua aliran ini
juga berbeda pandangan. Menurut Lahore, setelah al-khulafa ar-Rasyidin sudah
tidak ada lagi khalifah, yang ada adalah mujaddid. Sementara menurut Qodian,
semua nabi adalah khalifah Allah, termasuk Mirza Ghulam ahmad. Menurut Qodian,
setelah al-Khulafa ar-Rasyidun masih akan tetap muncul khalifah, yakni khalifah
(rohani), khalifah yang muncul setelah meninggalnya Mirza Ghulam Ahmad dengan
sebutan khalifah Masih.
7.
Masalah
Jihad
Jihad
dalam hal ini bukan perang, melainkan diartikan menyebarkan ajaran Islam dengan
pena dan lisan dan memerangi hawa nafsu. Dalam kaitannya dengan pemerintah,
Ahmadiyah berpandangan bahwa umat Islam harus setia dan taat meski terhadap
pemerintah penjajah.
C.
Hadits
dan Sunnah dalam pandangan Ahmadiyah
Dalam
bahasan ini akan dikemukakan pandangan salah satuh tokoh aliran Ahmadiyah yakni
Maulana Muhammad Ali mengenai Hadits dan Sunnah. Menurut Maulana Muhammad Ali,
sunnah secara bahasa adalah jalan, aturan, cara bertindak, atau tingkah laku.
Sdangkan hadits makna aslinya adalah ucapan yang disampaikan kepada manusia
baik melalui perantara pendengaran maupun melalui wahyu.
Berdasarkan pada makna bahasa ini, Maulana Muhammad Ali
mendefinisikan sunnah sebagai perbuatan Nabi Muhammad saw, sedangkan hadits
adalah sabda Nabi. Akan tetapi, pada hakikatnya keduanya memiliki wilayah yang
sama dan dapat diterapkan baik pada perbuatan, tingkah laku, dan ucapan Nabi
Muhammad saw, karena hadits itu meriwayatkan dan mencatat sunnah Nabi saw.
selain mengandung tiga bagian tersebut, Maulana Muhammad Ali menambah dua
unsure yang terdapat dalam hadits yaitu ramalan-ramalan dan sejarah.
Maulana Muhammad Ali membagi sunnah dalam tiga macam. Pertama,
Sunnah yang berbentuk qaul, yaitu sebuah ucapan atau kata dari Nabi
Muhammad saw, dan ini menurut Maulana Muhammad memiliki ketegasan dalam masalah
agama. Kedua. Berbentuk sebuah fi’il yaitu berupa perbuatan atau
praktik Nabi saw. dan terakhir berbentuk taqrir, yaitu berupa
diamnya nabi sebagai tanda persetujuan terhadap perbuatan atau praktik dari
orang lain.
Posisi
Hadits Sebagai Sumber Syari’at Islam
Maulana
Muhammad Ali tidak berbeda dengan pendapat mayoritas ulama yang menyatakan
bahwa hadits menempati posisi kedua setelah al-Qur’an. Dalam masalah ushul dan
furu’ syari’at. Maulana Muhammad Ali mengatakan bahwa semua hal ushul
telah dijelaskan secara lengkap oleh al-Qur’an, sedangkan masalah furu’ sangat
terbatas. Oleh karena itu, hadits mempunyai peran dalam menjabarkan al-Qur’an
terutama dalam masalah furu’. Sebagai konsekuensi dari posisi hadits
sebagai sumber kedua ajaran Islam, maka seancainya terdapat hadits yang
kelihatannya bertentangan dengan ajaran al-Qur’an dan hal tersebut merupakan furu’
maka hadits tersebut harus tunduk kepada yang ushul (prinsip) yaitu
al-Qur’an. Dan jika secara jelas bertentangan dengan al-Qur’an maka harus
ditolah hadits tersebut.[4]
Adapun dalam menilai kualitas sebuah
hadits Maulana Muhammad Ali menerima dan menganggap hasil penelitian dua ulama
besar dalam bidang hadits yaitu Imam al-Bukhari dan Imam Muslim tidak perlu dipertanyakan
lagi keshahihannya.[5]
DAFTAR PUSTAKA
Ismail,
Qusyairi, dkk, Trilogi Ahlussunah, Akidah, Syari’ah dan Tasawuf. (Pasuruan:
Pustaka Sidogiri Pondok Pesantren sidogiri, 2012).
Mangunsong , Nurainun, Ahmadiyah
dan Hak Berkeyakinan di Indonesia. (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2012).
Nasution , Moh. Zen Ridwan, 2012, Hadits Nuzul Isa Al-Masih
Dalam Pandangan Ahmadiyah Lahore (Studi Atas Pemikiran Maulana Muhammad Ali), Skripsi, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Shodiq, Ja’far,
2004, Model Pendekatan Dakwah Gerakan Ahmadiyah Indonesia di Yogyakarta, Skripsi,
UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
[1]
Ja’far Shodiq, Model Pendekatan Dakwah Gerakan Ahmadiyah Indonesia di
Yogyakarta, Skripsi, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, hlm. 36-38.
[2] A.
Qusyairi Ismail, dkk, Trilogi Ahlussunah, Akidah, Syari’ah dan Tasawuf. (Pasuruan:
Pustaka Sidogiri Pondok Pesantren sidogiri, 2012), hlm. 176-177.
[3]
Nurainun Mangunsong, Sh., M.Hum, Ahmadiyah dan Hak Berkeyakinan di
Indonesia. (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2012), hlm. Ix-xi.
[4] Moh. Zen Ridwan Nasution, Hadits Nuzul Isa Al-Masih Dalam
Pandangan Ahmadiyah Lahore (Studi Atas Pemikiran Maulana Muhammad Ali),
Skripsi, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2012, hlm. 41-42.
[5]
Moh. Zen Ridwan Nasution, Hadits Nuzul Isa Al-Masih Dalam Pandangan
Ahmadiyah Lahore,… hlm 57.