Sabtu, 07 November 2015

Ulumul Hadits



BAB
PEMBAHASAN
ULUMUL HADITS
              A.    PENGERTIAN ILMU HADITS
1.       Pengertian etimologi dan terminologis
Kata ilmu hadits berasal dari bahasa arab ‘ilm al-hadits, yang terdiri atas kata ‘ilm dan al-hadits. Secara etimologis, ‘ilm berarti pengetahuan jamaknya ulum. Menurut para ahli kalam (mutakallim), ilmu berarti keadaan tersingkapnya sesuatu yang diketahui (objek pengetahuan). Tradisi dikalangan sebagian ulama, ilmu diartikan sebagai sesuatu yang menancap dalam-dalam pada diri seseorang yang dengannya ia dapat menemukan atau mengetahui sesuatu.
Adapun kata hadits, berasal dari bahasa arab al-hadits berarti baru, yaitu al-jadidu minal asys yai (sesuatu yang baru), bentuk jamak hadits dengan makna ini hidats, hudatsa dan huduts, dan antonimnya qadim (sesuatu yang lama). Disamping itu berarti baru, al-hadits juga mengandung arti dekat (al-qarib) yaitu sesuatu yang dekat, yang belum lama terjadi dan juga berarti berita (al-khabar) yang sama dengan hadits  yaitu “ma yuhdatsu bihi wa yunqalu” (sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang pada orang lain).
Secara terminologis, hadits oleh para ulama diartikan sebagai segala yang disandarkan pada Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, ataupun sifat-sifatnya.
Dari pengertian diatas ilmu hadits dapat diartikan sebagai ilmu yang mengkaji dan membahas tentang segala yang disandarkan kepada nabi baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, ataupun sifat-sifat, tabiat, dan tingkah lakunya.
Dari segi penyebutan, dalam hubungannya dengan pengetahuan tentang hadits, ada ulama yang menggunakan bentuk jamak, yakni ulumul hadits  seperti ibn al-shalah (ahl hadits, wafat 642 H/ 1246 M) dalam kitabnya muqaddimah ulumul hadits.  Penggunaan istilah ulum (jamak) disini karena ilmu hadits terdii atas berbagai macam yang jumlahnya banyak seperti ‘ilm rijal al-hadits, ‘ilm gharib al-hadits, ‘ilm nasikh wa mansukh al-hadits, ‘ilm mukhtalif al-hadits wa musykilih, dan lain-lain. [1]

B.   Sejarah Dan Periodisasi Ulumul Hadits
Ilmu hadits tumbuh bersamaan dengan pertumbuhan periwayatan dan penukilan hadits. Ilmu ini terutama tampak setelah Rasulullah wafat, katika kaum islam memerhatikan pengumpulan hadits-hadits karena khawatir tersia-siakan. Para sahabat berusaha keras untuk menjaga, menukil, menghafal, dan menulis hadits. Dari sisi penulisan, hadits nabi lebih dahulu ditulis daripada ilmu hadits karena hadits merupakan materi yang dimaksud, dikumpulkan, dan dikaji, sedangkan ilmu hadits merupakan kaidah-kaidah dan metode yang digunakan untuk menyeleksi di terima atau ditolaknya suatu hadits serta untuk mengetahui hadits yang shahih dan dhaif.
Periodisasi sejarah pertumbuhan dan perkembangan ilmu hadits dijelaskan oleh Nur al-Din ‘itr dalam kitabnya manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits, sebagai berikut.
Pertama, masa pertumbuhan sejak masa sahabat sampai akhir abad I Hijriah. Pada periode ini sudah dikenal istilah hadits maqbul dan hadits mardud dan ilmu hadits ditandai dengan usaha-usaha sahabat dalam menjaga dengan langkah :
1.                  Membersihkan jiwa dan menguatkan tekad
2.                  Memperkuat agama
3.                  Memandang hadits sebagai salah satu pilar islam
4.                  Menyampaikan amanat Nabi.
Untuk mengaplikasikan hal-hal tersebut, mereka melakukan :
1.                  Tidak memperbanyak periwayatan hadits
2.                  Berhati-hati dalam menerima dan menyampaikan hadits
3.                  Melakukan kritik terhadap hadits yang diriwayatkan dengan alat ukur nash-nash dan kaidah-kaidah agama.
Kedua, masa penyempurnaan yang dimulai sejak awal abad II sampai awal abada III Hijriah. Penyempurnaan dilakukan berdasar beberapa alasan :
1.                  Semakin melemahnya kemampuan hafalan umat islam
2.                  Semakin panjang dan bercabangnya sanad
3.                  Sudah tumbuh beberapa faksi atau sekte yang menyimpang.
Atas adanya peristiwa tersebut para ulama pelestari dan penjaga keautentikan hadits melakukan langkah-langkah :
1.                  Mengkodifikasikan hadits
2.                  Memperluas cakupan al-jarh wa al-ta’dil
3.                  Menunda menerima hadits dari orang yang tidak atau kurang dikenal
4.                  Meneliti dan membuat kaidah-kaidah yang dapat digunakan untuk    mengetahui suatu hadits.
Ketiga, masa pembukuan ilmu hadits secara independeng, mulai sejak abad III sampai pertengahan abad IV Hijriah. Pada masa ini masing-masing ilmu hadits menjadi ilmu yang spesifik (khas) seperti hadits mursal, hadits shahih, dan lain-lain.
Keempat, masa penyusunan ilmu hadits secara komprehensif dan melimpahnya kegiatan pembukuan ilmu hadits. Masa ini dimulai sejak pertengahan abad IV sampai abad VII Hijriah. Pada masa inilah para ulama giat melakukan penyusunan ilmu hadits sebagaimana pendahuluan mereka, kemudian mengumpulkan sesuatu yang berbeda ke dalam satu bidang dan menyisipkan apa yang belum diungkap atau dibahas.
Kelima, masa kematangan dan kesempurnaan dalam kodifikasi ilmu hadits, dimulai sejak abad VII sampai X Hijriah. Pada masa ini meskipun ilmu hadits relative sudah mapan, tetapi banyak ulama yang melakukan ijtihad dalam menetapkan dan merumuskan kaidah-kaidah ilmiah ilmu hadits, bahkan dari ijtihad mereka tersebut ada yang berbeda dengan ketentuan ilmu hadits yang sudah mapan tadi.
Keenam, masa statis yang dimulai sejak abad X sampai abad XIV. Pada masa ini kreatifitas dan aktivitas ijitihad terhenti, baik dalam penyusunan apalagi dalam masalah-masalah ilmiah ilmu hadits. Kegiatan yang ada terbatas pada peringkasan dan pendiskusian hal-hal yang sifatnya harfiah.
Priodeisasi tersebut secara sederhana selanjutnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu masa pertumbuhan ilmu hadits dan masa pembinaan dan perkembangannya.
1.      Masa pertumbuhn ilmu hadits
Cikal bakal kemunculan ilmu hadits sudah ada semenjak masa nabi Muhammad. Sebelum ilmu hadits berdiri sendiri sebagai disiplin ilmu, pembahasan tentang kualitas hadits sudah tumbuh sejak masa itu. Hal ini dapat ditelusuri dari adanya upaya untk melakukan konfirmasi tentang kebenaran penyampaian hadits oleh para sahabat kepada Rasulullah. Mereka dapat mendeteksi adanya kedustaan kepada Nabi, jika memang terjadi hal yang demikian. Nabi juga telah menetapkan beberapa aturan tentang bagaimana seharusnya suatu hadits diterima untuk kemudian disampaikan kepada sahabat lain, sebagaimana juga Nabi menyampaiakan hadits kepada orang-orang tertentu dengan cara tertentu pula. 
Keberadaan Nabi ditengah-tengah para sahabat mempermudah klarifikasi sekaligus antisipasi kesalahan penukilan hadits. Secara alami, tidak diperlukan teori-teori khusus yang mengatur periwayatan hadits sebagaimana pada masa-masa berikutnya, karena sumber informasi masih hidup dan pengecekan ulang dengan mudah dapat dilakukan. Para sahabat yang hidup  masa nabi tidak semua setiap hari bersama dengannya. Sebagai manusia, mereka mempunyai aktifitas dalam rangkah memenuhi kebutuhan hidup.
Sepeninggal Rasulullah tahun 11 H/632 M, pembahasan tentang diterima atau ditolaknya suatu hadits mulai terasa diperlukan terutama ketika umat islam mulai mengumpulkan hadits dan mengadakan perlawatan untuk mendapatkan hadits. Pada masa generasi sahabat, pembahasan tentang keadaan para perawi sudah dilakukan oleh, misalnya, ‘Ubbada ibn Shamit (w. 34 H), Ibn ‘Abbas (w. 68 H), Anas ibn Malik (w. 93). Pada masa generasi sahabat dan tabi’in, penyebaran hadits sudah mencapai hampir semua wilayah kekuasaan islam, seperti Madinah, Mekka, Kufah, Basrah, Syiria, Mesir, Yaman, Spanyol, dan Khurasan. Karena itu, diperlukan standar khusus untuk mengukur atau menguji kebenaran suatu hadits terutama hadits-hadits yang hanya didengar atau disampaikan oleh seorang saja. Kemudian disusunlah kaidah-kaidah dalam bentuk yang sederhana untuk menyeleksi periwayatan hadits.


2.      Masa Pembinaan Dan Perkembangan Ilmu Hadits
Pada masa tabi’in, cikal bakal ilmu hadits menjadi sebuah disiplin ilmu pengetahuan yang mandiri dengan ditetapkannya dasar-dasar ilmu ini oleh Muhammad ibn Syihab al-Zuhri (51-124 H) dalam kapasitasnya sebagai ahli dan penghimpunan hadits pada masa khalifah ‘umar ibn abd a-Aziz (99-101 H). Pembahasan tentang keadaan para periwayat hadits juga dilakukan oleh Sa’id ibn al-Musayyib (94 H), al-Sya’bi (w. 104 H), dan Muhammad ibn Sirin (w. 110 H).
Setelah generasi tabi’in, terdapat ulama yang memberikan perhatian besar terhadap para periwayat hadits, yatu Yahya ibn Said al-Qaththan (w. 198 H) dan Abd al-Rahman ibn Mahdi (w. 198 H). demikian pula yang diupayakan oleh syu’bah ibn al-Hajjaj (w. 160), Ma’mar (w. 153 H), Hisyam al-Dustuwa’I (w. 154 H), al-Awza’I (w. 156 H), sufyan ibn uyaynah (w. 198 H), dan Waki’ ibn Jarrah (w. 197 H).
pada perkembangan selanjutnya kaidah-kaidah yang sudah terbentuk mulai disempurnakan oleh para ulama yang hidup pada abad III Hijriah.
Tokoh-tokoh yang berhasil menyusun ilmu hadits secara lengkap adalah al-Qadhi Abu Muhammad al-Ramahurmuzi (w. 360) dengan kitabnya al-muhaddits a-Fashil bayna al-Rawi wa al-Wai. Kemudian al-Hakim al-Naysburi (321-405 H) dengan kitabnya Ma’rifah Ulum al-Hadits yang disempurnakan oleh Abu Nu’aim Ahmad ibn Abd Allah al-Asfahani (336-430 H). melalui kitabnya al-Mustakhraj ‘ala Ma’rifah Ulum al-Hadits. Berikutnya adalah al-Khathib al-Baghdadi dengan kitabnya yang popular al-Kifayah fi Qawanin al-Riwayah yang berisi tentang kaidah-kaidah periwayatan.
  Pada abad berikutnya al-Qadhi ivadh ibn Musa al-Yashhabi (w. 544 H) menyusun kitab al-‘lma fi Dhabth al-Riwayah wa Taqsid al-Asma’, Abu Hafsh ‘Umar ibn Abd al-Majid al-Mayanji (w. 580 H) dengan kitabya Ma la Yasi’u al-Muhaddits jahluh, dan Abu ‘Amr Utsman ibn Abd al-Rahman al-Syamazuri (w. 643 H) menyusun kitab ulum al-Hadits yang dikenal dengan Mukaddimah ibn al-Shalah. Para uluma kemudian membuat kita-kitab syarah atas kitab ini membuat 27 mukhtashar-nya sehingga dapat dijadikan pegangan bagi generasi-generasi berikutnya. [2]
                        Secara lengkap perkembangan kajian ilmu hadits dapat dilihat dari uraian dibawah ini :
a.       Tahap pertama adalah tahap kelahiran ‘Ulumul al-Hadits yang terjadi pada masa sahabat sampai penghujung abad pertama hijriah. Tahap ini sudah muncul sejumlah cabang ‘Ulumul al-Hadits seperti hadits marfu’, mawquf, maqtu’ dan sebagainya.
b.      Tahap kedua adalah tahap penyempurnaan. Cabang-cabang keilmuan di dalam ulumul al-hadits telah berdiri sendiri. Tahap ini mulai awal abad ke-2 sampai awal abad ke-3 Hijriah. al-Zuhri disebut sebagai peletak ‘Ulumul al-Hadits.
c.       Tahap ketiga adalah tahap pembukuan ‘Ulumul al-Hadits secara terpisah: berlangsung abad ke-3 sampai pertengahan abad ke-4 Hijriah . masa ini merupakan masa keemasan sebab sunnah dan ilmu-ilmunya sudah dibukukan.
d.      Tahap keempat adalah tahap penyusunan kitab-kitab induk ‘Ulumul al-Hadits dan penyebarannya. Pertengahan abad ke-4 sampai abad ke-7 Hijriah.
e.       Tahap kelima adalah tahap kematangan dan kesempurnaan pembukuan ‘Ulumul al-Hadits abad ke-7 abad ke 10 hijriah. pelopornya adalah ibn salah (w. 643H) . keitimewaan : komprehensif, adanya pemberian definisi, penarikan kesimpulan dan pemberian komentar terhadap berbagai pendapat.
f.       Masa kebekuan dan kejumudan abad ke-10 sampai awal abad ke-14 Hijriah. ijtihad dalam maalah imu hadits dan penyusunan kitabnya nyaris berhenti total. Lahir kitab-kitab ilmu hadits yang ringkas dan praktis baik dalam bentuk syair maupun prosa.
g.      Tahap kebangkitan kedua : permulaan abad ke-14 Hijriah.
1.      Qawaid al-Tahdis karya jamaluddin al-Qasimi
2.      Tarikh al-Funun fi al-Hadits, karya abd al-Aziz al-Khuli
3.      Al-Sunnah wa Makanatuha fi Tasyri’ al-Islami karya Mustafa al-siba’i
4.      Al-Hadits wa al-Muhadditsun karya Muhammad muhammad abu zahwu
5.      Al-Manhaj al-Hadits fi ‘Ulum al-Hadits karya Muhammad Muhammad al-Simahi.[3]

C.     Cabang –Cabang Ulumul Hadits
1.  Ilmu Rijal al-Hadits
Ilmu Rijal al-hadits secara terminologis ialah yang membahas tentang keadaan periwayat hadits baik dari kalangan sahabat, sahih. maupun generasi-generasi berikutnya”.
Ilmu Rijal al-Hadits membahas keadaan para periwayat hadits semenjak masa sahabat, tabi’in, tabi’ al-tabi’in, dan generasi-generasi berikutnya yang terlibat dalam periwayatan hadits. Didalamnya dijelaskan sejarah ringkas tentang riwayat hidup para periwayat, guru-guru dan murid-murid mereka, tahun lahir dan wafat, dan keadaan-keadaan serta sifat-sifat mereka.
Ilmu rijal al-Hadits sangat penting dalam ilmu hadits, karena ilmu hadits berkaitan dengan sanad dan matan sedang orang-orang yang terhubung dalam mata rantai sanad adalah para periwayat hadits dan mereka itu adalah objek dari ilmu Rijal al-Hadits. [4]
Ilmu Rijal al-Hadits terbagi atas dua ilmu yang besar :
1.      Ilmu tarikhir Ruwah : yaitu ilmu sejarah perawi-perawi hadits. [5]
Ilmu ini menjelaskan tentang keberadaan para periwayat hadits dengan menyebutkan sejarah kelahiran, meninggal, para guru mereka dan sejarah berkenaan dengan penerimaan dari mereka, murid-murid yang meriwayatkan hadits dari mereka, Negara dan tanah air mereka, perjalanan dan sejarah kehadiran mereka keberbagai Negara, serta penerimaan hadits dari para guru sebelum mereka bergaul dan setelahnya. Melalui ilmu ini diketahui keadaan para periwayat hadits yang menerima hadits dari Rasulullah dan keadaan para periwayat hadits yang menerima hadits dari sahabat dan seterusnya. [6]
2.      Ilmu jarhi wat Ta’dil : yaitu ilmu yang menerangkan adil tidaknya perawi hadits.[7]
Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil ini muncul bersamaan dengan munculnya periwayatan hadits, karena untuk megetahui hadits shahih harus didahului dengan mengetahui peiwayatnya, mengetahui pendapat kritikus periwayat tentang jujur tidaknya periwayat sehingga memungkinan dapat membedakan hadits yang dapat di terima dan ditolak. Karena itu, para ulama hadits mengkaji tentang para periwayat hadits, mengikuti kehidupan ilmiah mereka, mengetahui para periwayat yang sangat kuat hafalannya, yang dhabith, yang lebih lama berguru pada seorang dan sebagainya.[8]  
2.   Ilmu Gharib al-Hadits
ilmu Gharib al-Hadits adalah ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadits yang sukar diketahui dan jarang dipakai oleh umum.  ilmu ini menjelaskan suatu hadits yang samar maknanya. Para ulama memperhatikan ilmu ini karena ilmu ini mengkaji tingkatan kekuatan lafal hadits dan pemahaman maknanya, karena sukar bagi seseorang untuk meriwayatkan sesuatu yang maknanya tidak dapat dipahami, atau menukil suatu hadits yang tidak baik penyampainnya.
Objek yang dibahas dalam ilmu adalah kata atau lafal yang muskil dan susunan kalimat yang sulit dipahami karena kata-kata atau kalimat tersebut jarang dipakai dalam kehidupan sehari-hari dikalangan sahabat saat itu, dengan maksud untuk menghindari kesalahan pemahaman di kalangan umat islam akibat penafsiran yang menduga-duga. [9]
Sejak dimulainya pembukuan hadits pada akkhir abad kedua dan awal abad ketiga hijriyah, para ulama sudah menyusun buku-buku tentang gharib al-hadits. Orang yang pertama menyusun dalam gharib al-hadits adalah abu ubaidah Mu’ammar bin Al-Mutanna At-Taimi. (w. 210 H).[10]
            3. Ilmu Mukhtalif al-Hadits wa Musykilih (Talfiqul hadits)
Ilmu mukhtalif dan Musykil yaitu yang membahas tentang hadits-hadits yang secara lahiriah bertentangan dengan maksud untuk menghilangkan pertentangan itu atau menyesuaikan dan mengkompromikannya sebagaimana pembahasan hadits-hadits yang sukar dipahami hingga hilang kesukaran itu dan menjadi jelas hakikatnya. [11]
Oleh sebagaian ulama dinamakan dengan “Mukhtalaf al-Hadits” atau “Musykil al-Hadits”, ilmu ini tidak akan muncul kecuali dari orang yang menguasai hadits dan fiqih.[12]
Para ulama telah memerhatikan ilmu Mukhtalif al-Hadits wa Musykil semenjak masa sahabat dan seterusnya. Dengan ilmu ini, mereka berijtihdad dalam menetapkan banyak hukum, mengumpulkan banyak hadits dan menjelaskan maksud dan maknanya, membiarkan hadits-hadits yang secara lahiriyah bertentangan, serta menghilangkan kemusykilan yang terjadi pada hadits-hadits itu. [13]
     4. Ilmu Nasikh wa Mansukh al-Hadits
Ilmu Nasikh dan Mansukh adalah ilmu yang membahas tentang hadits-hadits yang bertentangan yang tidak mungkin dikompromikan, dimana salah satu hadits dihukum sebagai nasikh dan yang lain sebagai mansukh. Hadits yang lebih dulu disebut sebagai mansukh dan yang lain yang datang kemudian sebagai nasikh.
Mengetahui nasikh dan mansukh merupakan keharusan bagi seseorang yang ingin mengkaji hukum-hukum syariah, karena tidak mungkin meng-istinbath-kan dan menyimpulkan suatu hukum tanpa mengetahui dalil-dalil nasikh dan dalil-dalil mansukh. Oleh sebab itu, para ulama sangat memperhatikan ilmu ini dan menganggapnya sebagai salah satu ilmu yang sangat penting dalam bidang ilmu hadits. [14]
            5. Ilmu Tawarikhul Mutun
Ilmu Tawarikhul Mutun adalah ilmu yang dengan dia diketahui sejarah hadits yang mulia. (Nabi menyabdakan haditsnya).
Ilmu ini banyak benar faedahnya dan dia berhubungan rapat dengan Ilmu Nasikh wal Mansukh.
Banyak ulama yang menyusun kitab tentang hadits-hadits yang menerangkan apa yang mula-mula dilakukan Nabi, atau diperintahkan Nabi. [15]
6. Ilmu Asbab Wurud al-Hadits
ilmu asbab wurud al-Hadits yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi menyampaikan sabdanya dan masa –masa nabi menuturkannya.
Ilmu ini mempunyai kaidah-kaidah yang menerangkan tentang latar belakang dan sebab-sebab adanya hadits. Mengetahui peristiwa yang menjadi latar belakang disampaikannya suatu hadits sangat penting untuk membantu mendapatkan pemahaman hadits secara sempurna. Pemahaman hadits dilihat dari segi sebab wurud, dikalangan ulama ada yang mendahulukan sebab atau latar belakang tetapi ada pula yang mendahulukan keumuman redaksi (lafal) hadits. Pendapat pertama menyatakan : al-ibrah bi khusush al-sabab la bi umum al-lafazh, bahwa argumentasi yang dipegang berdasar pada sebab tertentu yang bersifat khusus bukan pernyataan yang terdapat pada redaksi hadits, sebaliknya pendapat yang kedua mendahulukan redaksi umum hadits dari pada latar belakang yang menyebabkannya. [16]
            7. Ilmu Ilal al-Hadits
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib dalam Ushul al-Hadits wa Mushtalahuh, ia menyatakan ilmu ‘ilal al-Hadits adalah ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata yang dapat mencacatkan hadits yang berupa menyambungkan (meng-ittishal-kan) hadits yang mengqathi’, me-marfu’kan hadits yang mawquf, atau memasukkan sanad kedalam matan hadits tertentu dan sebagainya.”
Para ulama sangat memperhatikan ilmu ilal al-Hadits, mereka berusaha menyeleksi sanad hadits, mengadakan pertemuan ulama dan berdialog serta membedakan antara hadits yang shahih dan yang dha’if, yang tidak mengandung illat (cacat), syadz (kejangkalan) dan dari kalangan ulama mutaqaddimun maupun ulama mutaakhirun, mereka menjelaskan illat-illat hadits, menunjukkan cara-cara untuk mengetahui illat hadits. [17]

D.  URGENSI ULUMUL HADITS
Ulum al-Hadits sebagai sebuah ilmu yang sangat penting bagi hadits. Kepentingan tersebut antara lain ditujukan untuk mengetahui apakah suatu hadits tersebut berasal dari Rasulullah SAW. atau tidak. Disamping itu, juga untuk menilai periwayat yang terlibat dalam suatu hadits sehingga dapat diketahui apakah suatu hadits itu shahih atau tidak. Upaya ini adalah untuk memberikan kemntapan dalam beramal karena secara pembukuan hadits memakan waktu yang cukup lama.[18]





DAFTAR PUSTAKA

Al-Qaththan Manna. 2005. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy. 1987. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits. Jakarta : Bulan Bintang.
Idris. Studi Hadits. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Octoberrinsyah,Dkk. 2005. Al-Hadits. Yogyakarta : Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga.
Suryadilaga, Al-Fatih. 2010. Aplikasi Penelitian Hadits. Yogyakarta : Penerbit Teras.


[1] Idris, Studi Hadits, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm 53-55.
[2] Ibid, hlm 79-86.
[3] Octoberrinsyah,dkk, Al-Hadits, Yogyakarta : Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005, hlm74-76.
[4] Idris, Studi Hadits, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm 66-67.
[5] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jakarta : Bulan Bintang, 1987, hlm 136.
[6] Idris, Studi Hadits, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm 68.
[7] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jakarta : Bulan Bintang, 1987, hlm 136.
[8] Idris, Studi Hadits, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm 71
[9] Ibid, 72.
[10] Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2005, hlm 95.
[11] Idris, Studi Hadits, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm 73.
[12] Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2005, hlm 103.
[13] Idris, Studi Hadits, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm 74.
[14] Idris, Studi Hadits, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hlm 75-76.
[15] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jakarta : Bulan Bintang, 1987, hlm 302-303.
[16] Ibid, hlm 76-77.
[17] Ibid, hlm 78-79.
[18] Octoberrinsyah,dkk, Al-Hadits, Yogyakarta : Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005, hlm 83.

Related Posts

Ulumul Hadits
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.