BAB
PEMBAHASAN
ULUMUL
HADITS
A.
PENGERTIAN
ILMU HADITS
1.
Pengertian etimologi dan terminologis
Kata
ilmu hadits berasal dari bahasa arab ‘ilm al-hadits, yang terdiri atas kata
‘ilm dan al-hadits. Secara etimologis, ‘ilm berarti pengetahuan jamaknya ulum.
Menurut para ahli kalam (mutakallim), ilmu berarti keadaan tersingkapnya
sesuatu yang diketahui (objek pengetahuan). Tradisi dikalangan sebagian ulama,
ilmu diartikan sebagai sesuatu yang menancap dalam-dalam pada diri seseorang
yang dengannya ia dapat menemukan atau mengetahui sesuatu.
Adapun
kata hadits, berasal dari bahasa arab al-hadits
berarti baru, yaitu al-jadidu minal asys
yai (sesuatu yang baru), bentuk jamak hadits dengan makna ini hidats, hudatsa dan huduts, dan
antonimnya qadim (sesuatu yang lama).
Disamping itu berarti baru, al-hadits juga
mengandung arti dekat (al-qarib) yaitu
sesuatu yang dekat, yang belum lama terjadi dan juga berarti berita (al-khabar) yang sama dengan hadits yaitu “ma
yuhdatsu bihi wa yunqalu” (sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari
seseorang pada orang lain).
Secara
terminologis, hadits oleh para ulama diartikan sebagai segala yang disandarkan pada
Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, ataupun sifat-sifatnya.
Dari
pengertian diatas ilmu hadits dapat diartikan sebagai ilmu yang mengkaji dan
membahas tentang segala yang disandarkan kepada nabi baik berupa perkataan,
perbuatan, persetujuan, ataupun sifat-sifat, tabiat, dan tingkah lakunya.
Dari
segi penyebutan, dalam hubungannya dengan pengetahuan tentang hadits, ada ulama
yang menggunakan bentuk jamak, yakni ulumul
hadits seperti ibn al-shalah (ahl
hadits, wafat 642 H/ 1246 M) dalam kitabnya muqaddimah
ulumul hadits. Penggunaan istilah
ulum (jamak) disini karena ilmu hadits terdii atas berbagai macam yang
jumlahnya banyak seperti ‘ilm rijal al-hadits, ‘ilm gharib al-hadits, ‘ilm
nasikh wa mansukh al-hadits, ‘ilm mukhtalif al-hadits wa musykilih, dan
lain-lain. [1]
B. Sejarah Dan Periodisasi Ulumul Hadits
Ilmu hadits tumbuh bersamaan dengan
pertumbuhan periwayatan dan penukilan hadits. Ilmu ini terutama tampak setelah
Rasulullah wafat, katika kaum islam memerhatikan pengumpulan hadits-hadits
karena khawatir tersia-siakan. Para sahabat berusaha keras untuk menjaga,
menukil, menghafal, dan menulis hadits. Dari sisi penulisan, hadits nabi lebih
dahulu ditulis daripada ilmu hadits karena hadits merupakan materi yang
dimaksud, dikumpulkan, dan dikaji, sedangkan ilmu hadits merupakan
kaidah-kaidah dan metode yang digunakan untuk menyeleksi di terima atau
ditolaknya suatu hadits serta untuk mengetahui hadits yang shahih dan dhaif.
Periodisasi sejarah pertumbuhan dan
perkembangan ilmu hadits dijelaskan oleh Nur al-Din ‘itr dalam kitabnya manhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadits,
sebagai berikut.
Pertama,
masa pertumbuhan sejak masa sahabat sampai akhir abad I Hijriah. Pada periode
ini sudah dikenal istilah hadits maqbul dan hadits mardud dan ilmu hadits
ditandai dengan usaha-usaha sahabat dalam menjaga dengan langkah :
1.
Membersihkan
jiwa dan menguatkan tekad
2.
Memperkuat agama
3.
Memandang hadits
sebagai salah satu pilar islam
4.
Menyampaikan
amanat Nabi.
Untuk mengaplikasikan hal-hal tersebut, mereka
melakukan :
1.
Tidak
memperbanyak periwayatan hadits
2.
Berhati-hati
dalam menerima dan menyampaikan hadits
3.
Melakukan kritik
terhadap hadits yang diriwayatkan dengan alat ukur nash-nash dan kaidah-kaidah
agama.
Kedua, masa
penyempurnaan yang dimulai sejak awal abad II sampai awal abada III Hijriah.
Penyempurnaan dilakukan berdasar beberapa alasan :
1.
Semakin
melemahnya kemampuan hafalan umat islam
2.
Semakin panjang
dan bercabangnya sanad
3.
Sudah tumbuh
beberapa faksi atau sekte yang menyimpang.
Atas adanya peristiwa tersebut para ulama pelestari
dan penjaga keautentikan hadits melakukan langkah-langkah :
1.
Mengkodifikasikan
hadits
2.
Memperluas
cakupan al-jarh wa al-ta’dil
3.
Menunda menerima
hadits dari orang yang tidak atau kurang dikenal
4.
Meneliti dan
membuat kaidah-kaidah yang dapat digunakan untuk mengetahui suatu hadits.
Ketiga,
masa pembukuan ilmu hadits secara independeng, mulai sejak abad III sampai
pertengahan abad IV Hijriah. Pada masa ini masing-masing ilmu hadits menjadi
ilmu yang spesifik (khas) seperti hadits mursal, hadits shahih, dan lain-lain.
Keempat, masa
penyusunan ilmu hadits secara komprehensif dan melimpahnya kegiatan pembukuan
ilmu hadits. Masa ini dimulai sejak pertengahan abad IV sampai abad VII
Hijriah. Pada masa inilah para ulama giat melakukan penyusunan ilmu hadits
sebagaimana pendahuluan mereka, kemudian mengumpulkan sesuatu yang berbeda ke
dalam satu bidang dan menyisipkan apa yang belum diungkap atau dibahas.
Kelima, masa
kematangan dan kesempurnaan dalam kodifikasi ilmu hadits, dimulai sejak abad
VII sampai X Hijriah. Pada masa ini meskipun ilmu hadits relative sudah mapan,
tetapi banyak ulama yang melakukan ijtihad dalam menetapkan dan merumuskan
kaidah-kaidah ilmiah ilmu hadits, bahkan dari ijtihad mereka tersebut ada yang
berbeda dengan ketentuan ilmu hadits yang sudah mapan tadi.
Keenam, masa
statis yang dimulai sejak abad X sampai abad XIV. Pada masa ini kreatifitas dan
aktivitas ijitihad terhenti, baik dalam penyusunan apalagi dalam
masalah-masalah ilmiah ilmu hadits. Kegiatan yang ada terbatas pada peringkasan
dan pendiskusian hal-hal yang sifatnya harfiah.
Priodeisasi tersebut secara sederhana selanjutnya
dapat dibagi menjadi dua, yaitu masa pertumbuhan ilmu hadits dan masa pembinaan
dan perkembangannya.
1. Masa pertumbuhn
ilmu hadits
Cikal bakal kemunculan ilmu hadits sudah ada
semenjak masa nabi Muhammad. Sebelum ilmu hadits berdiri sendiri sebagai
disiplin ilmu, pembahasan tentang kualitas hadits sudah tumbuh sejak masa itu.
Hal ini dapat ditelusuri dari adanya upaya untk melakukan konfirmasi tentang
kebenaran penyampaian hadits oleh para sahabat kepada Rasulullah. Mereka dapat
mendeteksi adanya kedustaan kepada Nabi, jika memang terjadi hal yang demikian.
Nabi juga telah menetapkan beberapa aturan tentang bagaimana seharusnya suatu
hadits diterima untuk kemudian disampaikan kepada sahabat lain, sebagaimana
juga Nabi menyampaiakan hadits kepada orang-orang tertentu dengan cara tertentu
pula.
Keberadaan Nabi ditengah-tengah para sahabat
mempermudah klarifikasi sekaligus antisipasi kesalahan penukilan hadits. Secara
alami, tidak diperlukan teori-teori khusus yang mengatur periwayatan hadits
sebagaimana pada masa-masa berikutnya, karena sumber informasi masih hidup dan
pengecekan ulang dengan mudah dapat dilakukan. Para sahabat yang hidup masa nabi tidak semua setiap hari bersama
dengannya. Sebagai manusia, mereka mempunyai aktifitas dalam rangkah memenuhi
kebutuhan hidup.
Sepeninggal Rasulullah tahun 11 H/632 M, pembahasan
tentang diterima atau ditolaknya suatu hadits mulai terasa diperlukan terutama
ketika umat islam mulai mengumpulkan hadits dan mengadakan perlawatan untuk
mendapatkan hadits. Pada masa generasi sahabat, pembahasan tentang keadaan para
perawi sudah dilakukan oleh, misalnya, ‘Ubbada ibn Shamit (w. 34 H), Ibn ‘Abbas
(w. 68 H), Anas ibn Malik (w. 93). Pada masa generasi sahabat dan tabi’in,
penyebaran hadits sudah mencapai hampir semua wilayah kekuasaan islam, seperti
Madinah, Mekka, Kufah, Basrah, Syiria, Mesir, Yaman, Spanyol, dan Khurasan.
Karena itu, diperlukan standar khusus untuk mengukur atau menguji kebenaran
suatu hadits terutama hadits-hadits yang hanya didengar atau disampaikan oleh
seorang saja. Kemudian disusunlah kaidah-kaidah dalam bentuk yang sederhana
untuk menyeleksi periwayatan hadits.
2.
Masa
Pembinaan Dan Perkembangan Ilmu Hadits
Pada masa tabi’in, cikal bakal ilmu hadits menjadi
sebuah disiplin ilmu pengetahuan yang mandiri dengan ditetapkannya dasar-dasar
ilmu ini oleh Muhammad ibn Syihab al-Zuhri (51-124 H) dalam kapasitasnya
sebagai ahli dan penghimpunan hadits pada masa khalifah ‘umar ibn abd a-Aziz
(99-101 H). Pembahasan tentang keadaan para periwayat hadits juga dilakukan
oleh Sa’id ibn al-Musayyib (94 H), al-Sya’bi (w. 104 H), dan Muhammad ibn Sirin
(w. 110 H).
Setelah generasi tabi’in, terdapat ulama yang
memberikan perhatian besar terhadap para periwayat hadits, yatu Yahya ibn Said
al-Qaththan (w. 198 H) dan Abd al-Rahman ibn Mahdi (w. 198 H). demikian pula
yang diupayakan oleh syu’bah ibn al-Hajjaj (w. 160), Ma’mar (w. 153 H), Hisyam
al-Dustuwa’I (w. 154 H), al-Awza’I (w. 156 H), sufyan ibn uyaynah (w. 198 H),
dan Waki’ ibn Jarrah (w. 197 H).
pada perkembangan selanjutnya kaidah-kaidah yang
sudah terbentuk mulai disempurnakan oleh para ulama yang hidup pada abad III
Hijriah.
Tokoh-tokoh yang berhasil menyusun ilmu hadits
secara lengkap adalah al-Qadhi Abu Muhammad al-Ramahurmuzi (w. 360) dengan
kitabnya al-muhaddits a-Fashil bayna al-Rawi wa al-Wai. Kemudian al-Hakim
al-Naysburi (321-405 H) dengan kitabnya Ma’rifah Ulum al-Hadits yang
disempurnakan oleh Abu Nu’aim Ahmad ibn Abd Allah al-Asfahani (336-430 H).
melalui kitabnya al-Mustakhraj ‘ala Ma’rifah Ulum al-Hadits. Berikutnya adalah
al-Khathib al-Baghdadi dengan kitabnya yang popular al-Kifayah fi Qawanin
al-Riwayah yang berisi tentang kaidah-kaidah periwayatan.
Pada abad
berikutnya al-Qadhi ivadh ibn Musa al-Yashhabi (w. 544 H) menyusun kitab
al-‘lma fi Dhabth al-Riwayah wa Taqsid al-Asma’, Abu Hafsh ‘Umar ibn Abd
al-Majid al-Mayanji (w. 580 H) dengan kitabya Ma la Yasi’u al-Muhaddits jahluh,
dan Abu ‘Amr Utsman ibn Abd al-Rahman al-Syamazuri (w. 643 H) menyusun kitab
ulum al-Hadits yang dikenal dengan Mukaddimah ibn al-Shalah. Para uluma
kemudian membuat kita-kitab syarah atas kitab ini membuat 27 mukhtashar-nya
sehingga dapat dijadikan pegangan bagi generasi-generasi berikutnya. [2]
Secara
lengkap perkembangan kajian ilmu hadits dapat dilihat dari uraian dibawah ini :
a. Tahap
pertama adalah tahap kelahiran ‘Ulumul al-Hadits yang terjadi pada masa sahabat
sampai penghujung abad pertama hijriah. Tahap ini sudah muncul sejumlah cabang
‘Ulumul al-Hadits seperti hadits marfu’, mawquf, maqtu’ dan sebagainya.
b. Tahap
kedua adalah tahap penyempurnaan. Cabang-cabang keilmuan di dalam ulumul
al-hadits telah berdiri sendiri. Tahap ini mulai awal abad ke-2 sampai awal
abad ke-3 Hijriah. al-Zuhri disebut sebagai peletak ‘Ulumul al-Hadits.
c. Tahap
ketiga adalah tahap pembukuan ‘Ulumul al-Hadits secara terpisah: berlangsung abad
ke-3 sampai pertengahan abad ke-4 Hijriah . masa ini merupakan masa keemasan
sebab sunnah dan ilmu-ilmunya sudah dibukukan.
d. Tahap
keempat adalah tahap penyusunan kitab-kitab induk ‘Ulumul al-Hadits dan
penyebarannya. Pertengahan abad ke-4 sampai abad ke-7 Hijriah.
e. Tahap
kelima adalah tahap kematangan dan kesempurnaan pembukuan ‘Ulumul al-Hadits
abad ke-7 abad ke 10 hijriah. pelopornya adalah ibn salah (w. 643H) .
keitimewaan : komprehensif, adanya pemberian definisi, penarikan kesimpulan dan
pemberian komentar terhadap berbagai pendapat.
f. Masa
kebekuan dan kejumudan abad ke-10 sampai awal abad ke-14 Hijriah. ijtihad dalam
maalah imu hadits dan penyusunan kitabnya nyaris berhenti total. Lahir kitab-kitab
ilmu hadits yang ringkas dan praktis baik dalam bentuk syair maupun prosa.
g. Tahap
kebangkitan kedua : permulaan abad ke-14 Hijriah.
1. Qawaid
al-Tahdis karya jamaluddin al-Qasimi
2. Tarikh
al-Funun fi al-Hadits, karya abd al-Aziz al-Khuli
3. Al-Sunnah
wa Makanatuha fi Tasyri’ al-Islami karya Mustafa al-siba’i
4. Al-Hadits
wa al-Muhadditsun karya Muhammad muhammad abu zahwu
5. Al-Manhaj
al-Hadits fi ‘Ulum al-Hadits karya Muhammad Muhammad al-Simahi.[3]
C.
Cabang
–Cabang Ulumul Hadits
1.
Ilmu
Rijal al-Hadits
Ilmu
Rijal al-hadits secara terminologis ialah yang membahas tentang keadaan
periwayat hadits baik dari kalangan sahabat, sahih. maupun generasi-generasi
berikutnya”.
Ilmu
Rijal al-Hadits membahas keadaan para periwayat hadits semenjak masa sahabat,
tabi’in, tabi’ al-tabi’in, dan generasi-generasi berikutnya yang terlibat dalam
periwayatan hadits. Didalamnya dijelaskan sejarah ringkas tentang riwayat hidup
para periwayat, guru-guru dan murid-murid mereka, tahun lahir dan wafat, dan
keadaan-keadaan serta sifat-sifat mereka.
Ilmu
rijal al-Hadits sangat penting dalam ilmu hadits, karena ilmu hadits berkaitan
dengan sanad dan matan sedang orang-orang yang terhubung dalam mata rantai
sanad adalah para periwayat hadits dan mereka itu adalah objek dari ilmu Rijal al-Hadits.
[4]
Ilmu
Rijal al-Hadits terbagi atas dua ilmu yang besar :
Ilmu ini menjelaskan
tentang keberadaan para periwayat hadits dengan menyebutkan sejarah kelahiran,
meninggal, para guru mereka dan sejarah berkenaan dengan penerimaan dari
mereka, murid-murid yang meriwayatkan hadits dari mereka, Negara dan tanah air
mereka, perjalanan dan sejarah kehadiran mereka keberbagai Negara, serta
penerimaan hadits dari para guru sebelum mereka bergaul dan setelahnya. Melalui
ilmu ini diketahui keadaan para periwayat hadits yang menerima hadits dari
Rasulullah dan keadaan para periwayat hadits yang menerima hadits dari sahabat
dan seterusnya. [6]
Ilmu al-Jarh wa
al-Ta’dil ini muncul bersamaan dengan munculnya periwayatan hadits, karena
untuk megetahui hadits shahih harus didahului dengan mengetahui peiwayatnya,
mengetahui pendapat kritikus periwayat tentang jujur tidaknya periwayat
sehingga memungkinan dapat membedakan hadits yang dapat di terima dan ditolak.
Karena itu, para ulama hadits mengkaji tentang para periwayat hadits, mengikuti
kehidupan ilmiah mereka, mengetahui para periwayat yang sangat kuat hafalannya,
yang dhabith, yang lebih lama berguru pada seorang dan sebagainya.[8]
2.
Ilmu Gharib al-Hadits
ilmu
Gharib al-Hadits adalah ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam
matan hadits yang sukar diketahui dan jarang dipakai oleh umum. ilmu ini
menjelaskan suatu hadits yang samar maknanya. Para ulama memperhatikan ilmu ini
karena ilmu ini mengkaji tingkatan kekuatan lafal hadits dan pemahaman
maknanya, karena sukar bagi seseorang untuk meriwayatkan sesuatu yang maknanya
tidak dapat dipahami, atau menukil suatu hadits yang tidak baik penyampainnya.
Objek
yang dibahas dalam ilmu adalah kata atau lafal yang muskil dan susunan kalimat
yang sulit dipahami karena kata-kata atau kalimat tersebut jarang dipakai dalam
kehidupan sehari-hari dikalangan sahabat saat itu, dengan maksud untuk
menghindari kesalahan pemahaman di kalangan umat islam akibat penafsiran yang
menduga-duga. [9]
Sejak dimulainya
pembukuan hadits pada akkhir abad kedua dan awal abad ketiga hijriyah, para
ulama sudah menyusun buku-buku tentang gharib al-hadits. Orang yang pertama
menyusun dalam gharib al-hadits adalah abu ubaidah Mu’ammar bin Al-Mutanna
At-Taimi. (w. 210 H).[10]
3.
Ilmu Mukhtalif al-Hadits wa Musykilih (Talfiqul hadits)
Ilmu mukhtalif dan
Musykil yaitu yang membahas tentang hadits-hadits yang secara lahiriah
bertentangan dengan maksud untuk menghilangkan pertentangan itu atau
menyesuaikan dan mengkompromikannya sebagaimana pembahasan hadits-hadits yang
sukar dipahami hingga hilang kesukaran itu dan menjadi jelas hakikatnya. [11]
Oleh sebagaian ulama
dinamakan dengan “Mukhtalaf al-Hadits” atau “Musykil al-Hadits”, ilmu ini tidak
akan muncul kecuali dari orang yang menguasai hadits dan fiqih.[12]
Para ulama telah
memerhatikan ilmu Mukhtalif al-Hadits wa Musykil semenjak masa sahabat dan
seterusnya. Dengan ilmu ini, mereka berijtihdad dalam menetapkan banyak hukum,
mengumpulkan banyak hadits dan menjelaskan maksud dan maknanya, membiarkan
hadits-hadits yang secara lahiriyah bertentangan, serta menghilangkan
kemusykilan yang terjadi pada hadits-hadits itu. [13]
4.
Ilmu Nasikh wa Mansukh al-Hadits
Ilmu Nasikh dan Mansukh adalah ilmu yang
membahas tentang hadits-hadits yang bertentangan yang tidak mungkin
dikompromikan, dimana salah satu hadits dihukum sebagai nasikh dan yang lain
sebagai mansukh. Hadits yang lebih dulu disebut sebagai mansukh dan yang lain
yang datang kemudian sebagai nasikh.
Mengetahui nasikh dan mansukh merupakan
keharusan bagi seseorang yang ingin mengkaji hukum-hukum syariah, karena tidak mungkin
meng-istinbath-kan dan menyimpulkan suatu hukum tanpa mengetahui dalil-dalil
nasikh dan dalil-dalil mansukh. Oleh sebab itu, para ulama sangat memperhatikan
ilmu ini dan menganggapnya sebagai salah satu ilmu yang sangat penting dalam
bidang ilmu hadits. [14]
5.
Ilmu Tawarikhul Mutun
Ilmu Tawarikhul Mutun adalah ilmu yang
dengan dia diketahui sejarah hadits yang mulia. (Nabi menyabdakan haditsnya).
Ilmu ini banyak benar faedahnya dan dia
berhubungan rapat dengan Ilmu Nasikh wal Mansukh.
Banyak ulama yang menyusun kitab tentang
hadits-hadits yang menerangkan apa yang mula-mula dilakukan Nabi, atau
diperintahkan Nabi. [15]
6. Ilmu Asbab Wurud al-Hadits
ilmu
asbab wurud al-Hadits yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi menyampaikan
sabdanya dan masa –masa nabi menuturkannya.
Ilmu ini
mempunyai kaidah-kaidah yang menerangkan tentang latar belakang dan sebab-sebab
adanya hadits. Mengetahui peristiwa yang menjadi latar belakang disampaikannya
suatu hadits sangat penting untuk membantu mendapatkan pemahaman hadits secara
sempurna. Pemahaman hadits dilihat dari segi sebab wurud, dikalangan ulama ada
yang mendahulukan sebab atau latar belakang tetapi ada pula yang mendahulukan
keumuman redaksi (lafal) hadits. Pendapat pertama menyatakan : al-ibrah bi
khusush al-sabab la bi umum al-lafazh, bahwa argumentasi yang dipegang berdasar
pada sebab tertentu yang bersifat khusus bukan pernyataan yang terdapat pada
redaksi hadits, sebaliknya pendapat yang kedua mendahulukan redaksi umum hadits
dari pada latar belakang yang menyebabkannya. [16]
7. Ilmu Ilal al-Hadits
Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib dalam Ushul
al-Hadits wa Mushtalahuh, ia menyatakan ilmu ‘ilal al-Hadits adalah ilmu yang
menerangkan sebab-sebab yang tersembunyi, tidak nyata yang dapat mencacatkan hadits
yang berupa menyambungkan (meng-ittishal-kan) hadits yang mengqathi’,
me-marfu’kan hadits yang mawquf, atau memasukkan sanad kedalam matan hadits
tertentu dan sebagainya.”
Para ulama sangat memperhatikan ilmu
ilal al-Hadits, mereka berusaha menyeleksi sanad hadits, mengadakan pertemuan
ulama dan berdialog serta membedakan antara hadits yang shahih dan yang dha’if,
yang tidak mengandung illat (cacat), syadz (kejangkalan) dan dari kalangan
ulama mutaqaddimun maupun ulama mutaakhirun, mereka menjelaskan illat-illat
hadits, menunjukkan cara-cara untuk mengetahui illat hadits. [17]
D.
URGENSI ULUMUL HADITS
Ulum al-Hadits sebagai sebuah ilmu yang
sangat penting bagi hadits. Kepentingan tersebut antara lain ditujukan untuk
mengetahui apakah suatu hadits tersebut berasal dari Rasulullah SAW. atau
tidak. Disamping itu, juga untuk menilai periwayat yang terlibat dalam suatu
hadits sehingga dapat diketahui apakah suatu hadits itu shahih atau tidak.
Upaya ini adalah untuk memberikan kemntapan dalam beramal karena secara
pembukuan hadits memakan waktu yang cukup lama.[18]
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qaththan Manna. 2005. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Jakarta :
Pustaka Al-Kautsar.
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi
Ash-Shiddieqy. 1987. Pokok-Pokok Ilmu
Dirayah Hadits. Jakarta : Bulan Bintang.
Idris. Studi Hadits. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Octoberrinsyah,Dkk.
2005. Al-Hadits. Yogyakarta : Pokja
Akademik UIN Sunan Kalijaga.
Suryadilaga, Al-Fatih. 2010. Aplikasi Penelitian Hadits. Yogyakarta : Penerbit Teras.
[1] Idris,
Studi Hadits, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, hlm 53-55.
[2]
Ibid, hlm 79-86.
[3]
Octoberrinsyah,dkk, Al-Hadits,
Yogyakarta : Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005, hlm74-76.
[4] Idris,
Studi Hadits, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, hlm 66-67.
[5] T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jakarta
: Bulan Bintang, 1987, hlm 136.
[6]
Idris, Studi Hadits, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, hlm 68.
[7] T.M.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu
Dirayah Hadits, Jakarta : Bulan Bintang, 1987, hlm 136.
[8]
Idris, Studi Hadits, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, hlm 71
[9]
Ibid, 72.
[10] Manna
Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits,
Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2005, hlm 95.
[11]
Idris, Studi Hadits, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, hlm 73.
[12]
Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu
Hadits, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2005, hlm 103.
[13]
Idris, Studi Hadits, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, hlm 74.
[14]
Idris, Studi Hadits, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, hlm 75-76.
[15] T.M.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu
Dirayah Hadits, Jakarta : Bulan Bintang, 1987, hlm 302-303.
[16]
Ibid, hlm 76-77.
[17]
Ibid, hlm 78-79.
[18]
Octoberrinsyah,dkk, Al-Hadits,
Yogyakarta : Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005, hlm 83.
Ulumul Hadits
4/
5
Oleh
Unknown