Senin, 30 November 2015

kaidah syarath dan jawab dalam al-Qur'an

kaidah syarath dan jawab dalam al-Qur'an



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Eksistensi Al-Qur’an baik sebgai sumber hukum maupun sebagai pedoman dasar dalam kehidupan umat manusia, khususnya umat islam, merupakan sesuatu yang tidak boleh diragukan lagi keberadaannya, meskipun dalam aplikasinya dikenal masyarakat masih memerlukan penjabaran yang lebih rinci. Oleh karena itu, umat Islam berkewajiban untuk mempelajari dan mendalami isi kandungan al-Qur’an serta merenungkan lafal-lafal dan kandungan maknanya.
Pada masa Rasulullah, umat Islam dapat memahami isi kandungan al-Qur’an baik yang berkenaan dengan Aqidah maupun Syari’ah secara tekstual sesuai dengan kondisi bangsa Arab ketika itu. Karena apabila mereka mendapati hal-hal yang kurang jelas,mereka langsung datang kepada Rasulullah untuk menanyakan penjelasannya, karena Rasulullah sebagai referensi dan penafsir pertama terhadap al-Qur’an. Oleh karenanya, pada masa itu penafsiran al-Qur’an tidak mengalami kesulitan, sebab disamping Rasulullah masih ada juga problema yang dihadapi para sahabat belum terlalu kompleks.
Namun, setelah Rasulullah berpulang ke Rahmatullah dan Islam mulai berkembang keluar Jazirah Arab,mulailah bermunculan banyak kasus dan peristiwa dikalangan umat Islam yang harus dengan segera menuntut pemecahan hukumnya secara benar dan akurat.[1] Karena itu, dalam makalah ini, penyusun hendak mengkaji ‘kaidah syarath dan hadzfu jawab syarath’ sebagai salah satu keilmuan dalam menambah wawasan untuk memahami kandungan Al-Qur’an.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana konsep syarath dan hadzfu jawab dalam Al-Qur’an?
C.     1. Untuk mengetahui konsep Syarath dan hadzfu jawab dalam Al-Qur’an?


BAB II
SYARATH DAN HADZFU JAWAB DALAM AL-QUR’AN
A.    Kata-kata Syarath Dalam Al-Qur’an
Dalam kitab Qawaid Al-Lugha Al-Arabiyyah (juz 1) yang ditulis oleh Fuad Nikmah, pembahasan tentang kata syarath (Adatu al-Syarti) terbagi menjadi dua bagian, yaitu:[2]
1.      Kata syarath (Adatu al-Syarath) yang menjazam dua fi’il
إن – من – ما – مهما – متى – أيان – أين – أينما – أنى – حيثما – كيفما – أى[3]

2.      Kata syarath (Adatu al-Syarath) yang tidak menjazam fi’il
لؤ – لولا – لوما – أما – إذا – لما – كلما
Selanjutnya syarath mempunyai serangkaian bagian, diantaranya : Adat (kata) syarath, Fiil syarath (jika masuk pada kalimat fiil), dan jawab syarat (walaupun terkadang syarat dan fiil syarath bisa dibuang tergantung beberapa faktor)[4]. Kata-kata syarath banyak terpakai dalam al-Qur’an, misalnya:
a.      In (إن)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَءَامَنُوٓاْ إِن تَنصُرُواْ ٱللَّهَ يَنصُرۡكُمۡ وَيُثَبِّتۡ أَقۡدَامَكُمۡ
b.      Idza (إذا)
إِذَا جَآءَ نَصۡرُ ٱللَّهِ وَٱلۡفَتۡحُ
B.     Perbedaan Penggunaan In dan Idza dalam Al-Qur’an
Meski dalam pembahasan sebelumnya, banyak dipaparkan huruf-huruf syarath (baik yang menjazam fiil maupun yang tidak), pada pembahasan ini akan dipaparkan perbedaan penggunaan In dan Idza saja.
In (إن) digunakan untuk yang diragukan atau jarang terjadi. Sedangkan Idza (إذا) digunakan untuk sesuatu yang diyakini, atau diduga keras atau sering kali terjadi. Contoh:
كُتِبَ عَلَيۡكُمۡ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ إِن تَرَكَ خَيۡرًا ٱلۡوَصِيَّةُ لِلۡوَٰلِدَيۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِينَ بِٱلۡمَعۡرُوفِۖ حَقًّا عَلَى ٱلۡمُتَّقِينَ.
“Diwajibkan atas kalian apabila (idza) tanda-tanda kematian hadir kepada salah seorang di antara kamu, jika (in) ia meninggalkan harta yang banyak, diwajibkan atasnya berwasiat dengan baik kepada kedua orang tua dan para kerabat, itu adalah sesuatu yang hak (kewajiban) bagi orang-orang bertaqwa”. (QS. Al-Baqarah: 180).
Ketika ayat di atas menunjuk “kematian/tanda-tandanya”, ia menggunakan kata idza karena hal tersebut merupakan sesuatu yang pasti, sedangkan ketika berbicara tentang harta yang banyak yang ditinggal, ayat di atas menggunakan kata in, karena itu jarang, atau diragukan terjadinya pada setiap orang.
Sering kali ditemukan dalam al-Qur’an huruf in digunakan dalam konteks kalam Allah yang ditujukan kepada orang-orang beriman, sebagai contoh:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَءَامَنُوٓاْ إِن تَنصُرُواْ ٱللَّهَ يَنصُرۡكُمۡ وَيُثَبِّتۡ أَقۡدَامَكُمۡ
“wahai orang-orang yang beriman, jika kalian membela (agama) Allah niscaya Allah membela kamu dan memantapkan posisi/pendirian kamu”. (QS. Muhammad: 7)”[5]
            Penggunaan kata in pada kedua contoh di atas bertujuan mengingatkan mitra bicara agar tidak yakin tentang kualitas pembelaannya terhadap agama Allah/imannya agar ia terdorong untuk mengingatkannya, karena siapa yang telah yakin mencapai targetnya, maka dia sering kali berhenti, tidak berusaha lagi. Hal ini tidak dikehendaki oleh pesan ayat semacam ayat-ayat di atas.[6]
                                                                                      
C.    Hadzfu  Jawab Syarath dalam Al-Qur’an
Ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung fi’il al-syarath (kata kerja bersyarat), tetapi jawab al-syarath (jawaban dari kata kerja bersyarat)-nya tidak disebutkan menunjukkan pentingnya masalah yang dibicarakan, atau –jika yang dibacakan adalah masalah siksa—menunjukkan dahsyatnya keadaan yang disebutkan.
Al-Qur’an Surah Al-Sajadah ayat 12 menunjukkan hal ini:
Dan sekiranya kamu melihat, ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepada mereka di hadapan Tuhan, mereka berkata: “Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia). Kami akan mengerjakan amal shaleh. Sesungguhnya kami (sekarang) adalah orang-orang yang yakin.”
Jawab al-syarath kata ‘law tara’ memang tidak disebutkan, dan yang disebutkan hanya reaksi orang-orang yang melihat siksaan neraka. Peniadaan jawab al-syarath adalah untuk menggambarkan betapa dahsyatnya siksaan di akhirat kelak.
Contoh yang lain:
Dan sekiranya kami melihat, ketika mereka terperanjat ketakutan, maka mereka tidak dapat melepaskan diri… (QS. Saba’: 51).
…. Dan seandainya orang-orang yang zalim itu mengetahui, ketika mereka menyaksikan siksa (pada hari kiamat); bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa siksaan Allah amatlah berat (QS Al-An’am: 27)
Jawab al-Syarath dari ketiga ayat di atas tidak disebutkan—dan itu lebih baik—untuk menunjukkan betapa hebat keadaan pada hari kiamat kelak. Bahkan karena luar biasanya keadaan pada hari itu, sehingga tidak mungkin diungkapkan dengan kata-kata, serta tak pula dapat disebutkan cirri-cirinya.
Demikian pula pada Surah Al-Takatsur ayat 5: pe                                 
Jangan begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuaan yang yakin (keberadaan neraka itu).
Maksud ayat ini ialah sekiranya kamu melihat dengan langsung betapa berat dan pedih siksaan di neraka itu, pasti kamu tidak akan tetap dalam keadaan berlalai-lalai dan lengah terhadap perintah dan larangan Allah.
Perhatikanlah ayat-ayat Al-Qur’an lain, kemudian pahamilah maknanya sesuai dengan kaidah ini.[7]       








DAFTAR PUSTAKA

Aqil, Bahauddin bin Abdullah ibnu, 2012, terjemahan syarath al-fiyah ibnu Aqil. (Bandung: Sinar Baru Algensindo)
Dahlan, Abd. Rahman, 1997, kaidah-kaidah penafsiran Al-Qur’an, (Bandung: Penerbit Mizan)
Nikmat, Fuad, Qawaid al-Lugha al-Arabiyyah (Juz 1), (Surabaya : Al-Hidayah)
Shihab, Quraish, 2012,  kaida Tafsir, (Bandung: Lentera Hati)
Syarjaya, Syibli, 2008, Tafsir ayat-ayat ahkam  (Jakarta: PT Raja Grafindo persada)



[1] Syibli syarjaya. Tafsir ayat-ayat ahkam  PT RajaGrafindo persada : Jakarta. 2008. hlm 35-36.
[2] Fuad Nikmat, Qawaid al-Lugha al-Arabiyyah (Juz 1), (Surabaya : Al-Hidayah), hlm 176-177.
[3] Adatu al-Syarth ini merupakan adatul jazm, jika ditinjau dari kajian ilmu nahwu.
[4] Bahauddin bin Abdullah ibnu Aqil, terjemahan syarath al-fiyah ibnu Aqil. (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012) hlm 190.
[5] Atau aneka ayat yang biasa ditutup dengan: إن كنتم مؤمنين (jika kamu beriman).
[6] Quraish Shihab, kaida Tafsir, (Bandung: Lentera Hati, 2012), hlm 91-93.
[7] Drs. Abd. Rahman Dahlan, M.A, kaidah-kaidah penafsiran Al-Qur’an, (Bandung: Penerbit Mizan, 1997), hlm 86-87.
ilmu majaz hadits

ilmu majaz hadits



ILMU MAJAZ AL-HADITS
A.    Pengertian
Ilmu Majaz Al-Hadits dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mengkaji tentang redaksi hadits yang tidak digunakan sebagaimana makna (arti) aslinya, karena adanya alasan yang mengharuskan dimaknai tidak sebagaimana makna aslinya.
B.     Sebeb terjadinya majaz al-Hadits
Terjadinya majaz dalam hadits muncul dari Nabi sendiri sebagai sumber primer, karena Nabi di sinilah yang sengaja mengungkapkan kata dengan menggunakan majaz. juga ada yang menjadi sumber sekunder, dalam arti majaz dalam hadits berasal dari periwayat dalam hadits yang bersangkutan. Hal ini disebabkan oleh riwayat bi al-makna (secara makna) mengingat bahwa tidak seluruh hadits ditulis para sahabat Nabi dan periwayatannya banyak secara lisan dan berdasarkan hafalan.
Adanya perbedaan-perbedaan di antara sahabat juga memperngaruhi cara sahabat dalam meriwayatkan hadits. Sebagian mereka ada yang mampu meriwayatkan persis dan tidak sedikit pula yang hanya mampu menyampaikannya secara makna untuk satu hadits dalam satu peristiwa.
C.    Objek
Objek kajian ilmu ini adalah adalah bisa ‘kata’ dan juga bisa keseluruhan ‘redaksi hadits’.
D.    Pendekatan
Pendekatan yang dilakukan untuk memahami majaz dalam sebuah hadits adalah pendekatan bahasa[1].
E.     Metode
Metode yang ditawarkan dalam kajian ilmu Majaz al-Hadits adalah dengan metode ta’wil yaitu pengalihan makna haqiqi ke makna majazi. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Syarif Rida. Sedangkan langkah yang ditempuh adalah; pertama, mengaitkan dengan tema yang berhubungan dengan petunjuk al-Qur’an. Kedua, mengaitkan dengan hadits-hadits setema. Ketiga, ungkapan yang terdapat dalam syair[2].
F.      Urgensi
Dilihat dari kualitas hadits ilmu majaz al-hadits adalah salah satu aspek yang mengkaji kualitas matan hadits dari segi bahasa, karena fenomena bahasa yang digunakan oleh Nabi banyak yang menggunakan ungkapan majaz, yang sulit dipahami jika tidak dilihat dari aspek bahasa, dengan mengalihkan makna haqiqi ke makna majazi, akibatnya kualitas matan hadits tersebut menjadi diragukan hanya karena sulit dipahami, padahal sebetulnya secara majazi matan hadits tersebut dapat dipahami dan diterima kualitasnya.
Menurut Yusuf al-Qaradawi, bahwa terburu-buru menolak hadits yang sulit dipahami, padahal hadits tersebut shahih adalah suatu kesalahan, karena sebetulnya hadits yang sulit dipahami bisa didekati dengan makna majazi, sehingga kesulitan tersebut menjadi hilang.
G.    Contoh Hadits
Hadits tentang Perbuatan Tuhan :
عَنْ أَنَسٍ - رضى الله عنه - عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - يَرْوِيهِ عَنْ رَبِّهِ قَالَ « إِذَا تَقَرَّبَ الْعَبْدُ إِلَىَّ شِبْرًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا ، وَإِذَا تَقَرَّبَ مِنِّى ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ مِنْهُ بَاعًا ، وَإِذَا أَتَانِى مَشْيًا أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً »[3]
“Dari Anas R.A dari Nabi SAW. Tentang hadits yang diriwayatkan Nabi dari Allah, Allah berfirman: Jika seorang hamba mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekat kepadanya sehasta, dan jika dia mendekat kepadaku sehasta, Aku akan kepadanya sedepa, dan jika dia datang kepada-Ku sambil berjalan, Aku akan datang kepadanya sambil berlari”
            Syarif Rida menyatakan bahwa hadits di atas mengandung majaz, selanjutnya dia menyatakan:
“Yang dimaksud dari hadits diatas adalah perbuatan baik yang sedikit akan dibalas Alah dengan kebaikan yang lebih besar, hanya saja Nabi menggunakan kata “taqarrub” (mendekat) sebagai ungkapan yang berarti “memberikan pahala”, bukan sebagai makna aslinya, sehingga seakan-akan Tuhan “mendekat” orang yang berbuat sesuatu yang berpahala dengan cara menggunakan ungkapan majaz, dan perluasan makna. Berdasarkan hal ini maka setiap kata ‘taqarrub’ yang dinisbatkan kepada Allah tidak diartikan “mendekat” sebagaimana perbuatan fisik akan tetapi diartikan sebagai sifat kemurahan Tuhan terhadap hambanya dalam member pahala. Adapun bunyi hadits selanjutnya “dan barang siapa yang datang kepadaku dengan berjalan maka Aku akan mendatanginya dengan berlari” maksudnya adalah barang siapa yang berbuat taat kepada Allah walaupun dengan cara yang sangat lambat, maka Allah akan membalasnya dengan sangat cepat tanpa ditunda-tunda. Datang dengan berjalan adalah bentuk kiasan dari pekerjaan yang lambat, sedangkan datang dengan berlari adalah bentuk kiasan dari pekerjaan yang cepat, ungkapan majazi seperti ini memang sering digunakan Nabi untuk mengungkapkan Perbuatan Tuhan yang sangat agung terhadap hambanya, walaupun terkadang pahala yang dianugerahkan-Nya tidak harus datang sekali itu juga tapi terkadang ditunda atas kehendaknya”.
H.    Kitab-Kitab yang berkaitan dengan Majaz
1.      Al-Majazat al-Nabawiyyah karya al-Sya rif al-Rida
2.      Kaifa Nata’amal Ma’a al-Sunnah an-Nabawiyyah wa Dawabit karya Yusuf Al-Qardawi.


[1] Pendekatan ini sebagaimana digunakan oleh Ibn Qutaibah dan Syarif Rida.
[2] Dalam syair-syair terdapat majaz.
[3] Shahih Bukhari nomor 7536. (Berdasarkan Maktabah Syamilah).