KETIKA
SURGA
DITENTUKAN
OLEH KOTAK SUARA
-Fenomena Aksi Bela Islam tentang QS. al-Maidah Ayat
51-
Oleh: MUH ALWI HS
Tanggal
4 November 2016 menjadi fenomena luar biasa dalam sejarah Islam di Indonesia, tidak
kurang dari Tiga Juta orang seketika membanjiri Ibu Kota Negara ini, berbagai
kalangan dari anak-anak sampai orang tua, dari sabang sampai marauke, mereka
berbondong-bondong ke Ibu Kota Indonesia, Jakarta, untuk menyuarakan
pembelaannya untuk Agamanya yang telah dinistakan oleh Gubernur Jakarta, Basuki
Tjahaja Purnama, atau akrab dikenal Ahok.
Tidak
berhenti di tanggal 4 November, Aksi Bela Islam itu berlanjut pada tanggal 2
Desember 2016. Kali ini jumlah orang yang ikut dua kali lipat lebih besar dari
jumlah orang pada aksi 4 November yang lalu, yakni Tujuh Juta orang. Ini
merupakan aksi unjuk rasa (Demo) yang kedua terbesar dalam sejarah Indonesa, di
samping pernah terjadi tragedi tahun 89 silam.
Fenomena ini seketika menjadi viral di
seluruh media, tidak hanya media di Indonesia, bahkan media luar Negeri pun
meliput kejadian luar biasa ini.
Maka tidak heran jika berbagai kalangan
etnis tidak henti-hentinya membincangkan persoalan ini. Dari tokoh Agama,
Budayawan, dan tentunya para Politikus.
Dimulai dari diskusi-diskui kecil,
sampai kemudian pembincangan tentang sosok Ahok memasuki tahap menegangkan
seperti gambar di atas. Indonesia Lawyers Club, adalah satu dari banyak program
media yang menampilkan kasus Ahok untuk diperbincangkan oleh para ahlinya. Ahok
dianggap telah melakukan penistaan Agama Islam di Kepulauan Seribu, sebagaimana
yang termuat dalam sebuah Video yang diunggah oleh Buni Yani.
Apa yang dilakukan oleh Ahok di atas
kemudian menimbulkan banyak reaksi dari berbagai kalangan, secara tidak
langsung bermunculan berbagai kalangan yang mencoba untuk menjelaskan apa yang
terkandung oleh surah Al-Maidah ayat 51 itu. Seperti dalam diskusi ILC di atas,
Nusron Wahid menegaskan bahwa tidak ada satupun orang yang mampu mengetahui
secara pasti apa yang dimaksud oleh al-Qur’an selain Nabi Muhammad, karena
hanya beliaulah yang diberikan keistimewaan khusus dari Allah sehingga bisa
menjelaskan al-Qur’an.
Adu Penafsiran
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّخِذُواْ ٱلۡيَهُودَ
وَٱلنَّصَٰرَىٰٓ أَوۡلِيَآءَۘ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ
بَعۡضٖۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمۡ فَإِنَّهُۥ مِنۡهُمۡۗ إِنَّ ٱللَّهَ
لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ
ٱلظَّٰلِمِينَ
ٱلظَّٰلِمِينَ
Dengan cepat penafsiran surah al-Maidah ayat
51 banyak dilakukan oleh berbagai kalangan. Ketua Forum Pembela Islam, Habib
Rizieq mengatakan bahwa jelas ayat tersebut berbicara tentang larangan memilih
Pemimpin non-Muslim, sebagaimana kata Auliya
diartikan sebagai Pelindung, Penolong, Pemimpin, Pengatur, dan Pengurus.
Sementara itu, Nasaruddin Umar
menjelaskan bahwa makna pemimpin hanya merupakan salah satu makna yang dimaksud
oleh kata Auliya. Lebih jauh, dari
beberapa kitab tafsir tidak dikatakan bahwa Auliya
bermakna pemimpin, akan tetapi dia bermakna teman dekat. Argument selanjutnya,
yakni dari segi konteks ayat, di mana konteks yang dihadapi oleh ayat ini yaitu
adanya propokasi yang dilakukan oleh Abu bin Ubay, terlebih lagi saat itu baru
saja terjadi peperangan. Dalam kasus Ahok, umat Islam jangan terlalu terpaku
dengan makna “jangan memilih pemimpin non-Muslim”, karena hal ini berpotensi
untuk mengurangi kemaslahatan fiqh, ajaran Islam.
M. Quraish Shihab, seorang Mufassir
kontemporer menjelaskan tentang surah al-Maidah ayat 51, bahwa kata Auliya adalah bentuk jamak dari kata Wali yang berarti orang yang dekat. Waliyullah artinya orang yang dekat
dengan Allah, Wali Nikah artinya
orang yang dekat dengan seorang perempuan sehingga ia berhak mendampinginya sehingga
tidak mudah dibohongi oleh orang lain. Lebih jauh, Quraish Shihab mengatakan
bahwa jangan angkat Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin kamu jika mereka
enggang menghormati ajarah Umat Islam, tetapi jika mereka (Yahudi dan Nasrani) menghormatinya,
dan mementingkan kemaslahatan rakyat, maka itu boleh dipilih. Dengan kata lain,
yang dilarang oleh ayat ini adalah ketika hubungan kita (umat Islam) sudah
sampai sama persis dengan mereka (Yahudi dan Nasrani) sehingga tidak ada lagi
batas dalam hubungan itu yang akhir mencampur adukkan ajaran agama.
Penafsiran yang dilakukan oleh Quraish
Shihab di atas pada dasarnya tidak dikhususkan pada kasus Ahok. Akan tetapi,
berbagai kalangan kemudian mengangkat penafsiran Quraish Shihab tidak hanya
untuk mengetahui tafsiran al-Maidah ayat 51, tetapi juga untuk kepentingan
kasus Ahok ini.
Sahiron Syamsuddin juga merespons
permasalahan mengenai surah al-Maidah ayat 51 ini dengan menyampaikan
penafsirannya sebagaimana yang dimuat dalam kolom akademik UIN Sunan Kalijaga, berikut
pernafsirannya:
Penafsiran Kontekstualis Atas QS.
al-Maidah: 51
Jumat,
4 November 2016 10:32:31 WIB
Oleh: Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin,
MA,
WR II UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
dan Ketua Asosiasi Ilmu Alquran dan Tafsir se-Indonesia (AIAT)
Secara literal, Q.S. al-Ma’idah: 51 ini berisi
tentang larangan umat Islam mengangkat kaum Nasrani dan Yahudi sebagai awliya’.
Pertanyaannya adalah apa arti kata tersebut? Bagaimana konteks hiistorisnya?
Dan apa ide moral yang mungkin dikandung oleh ayat tersebut? Sebelum menjawab
pertanyaan-pertanyaan ini, perlu dikemukakan terlebih dahulu bahwa untuk
memahami Q.S. al-Ma’idah: 51, seseorang harus memperhatikan aspek bahasa,
konteks historis dan ide moral yang terkandung di dalamnya. Terkait dengan
aspek bahasa, sebenarnya ayat tersebut mengandung beberapa kosa kata yang harus
dianalisa secara cermat. Namun, tulisan singkat ini tidak dimaksudkan untuk
membahas semuanya. Hanya kata awliya’ yang akan diterangkan di sini. Kata
tersebut diterjemahkan oleh sebagian penerjemah di Indonesia dengan ‘pemimpin-pemimpin’.
Hal ini bisa kita lihat, misalnya, di Tafsir al-Azhar, karya HAMKA. Meskipun
demikian, apabila kita melihat kitab tafsir-tafsir klasik, maka kita akan
mendapati keterangan yang cukup berbeda dengan sebagian terjemahan Indonesia
tersebut. Muhammad ibn Jarir al-Thabari, misalnya, menafsirkan kata awliya’
dengan anshar wa hulafa’ (penolong-penolong dan aliansi-aliansi atau
teman-teman dekat) (al-Thabari, Jami‘ al-Bayan 8: 507). Terjemahan yang
mendekati dengan penjelasan al-Thabari adalah terjemahan M. Quraish Shihab atas
kata tersebut: ‘para wali’ (teman dekat dan penolong) (Q. Shihab, al-Qur’an dan
Maknanya, h. 117). Singkat kata, baik al-Thabari maupun Quraish Shihab tidak
menafsirkan kata tersebut dengan pemimpin-pemimpin pemerintahan. Dari segi konteks
historis, para ulama berpendapat bahwa memiliki sababun nuzul (sebab turunnya
ayat). Mereka menyebutkan beberapa riwayat yang bervariasi. Sebagian mengatakan
bahwa ayat tersebut berkenaan dengan kisah ‘Ubadah ibn al-Shamit yang tidak
lagi mempercayai kaum Yahudi dan Nasrani di Madinah sebagai aliansi yang bisa
membantu umat Islam dalam peperangan, dan ‘Abdullah ibn Ubayy ibn Salul yang
masih mempercayai mereka sebagai kawan dalam peperangan. Sebagian riwayat lain
menerangkan bahwa ayat tersebut berkaitan dengan Abu Lubabah yang diutus
Rasulullah Saw kepada Banu Quraizhah yang merusak perjanjian dukungan dan
perdamaian dengan Rasulullah dan umatnya. Riwayat yang lain lagi merangkan
bahwa ayat tersebut terkait dengan kekhawatiran umat Islam menjelang terjadinya
perang Uhud (pada tahun kedua Hijriyah); karena itu, sebagian dari mereka
mencoba meminta bantuan teman-teman Yahudi, dan sebagian yang lain ingin
meminta bantuan kepada kaum Nasrani di Madinah; ayat tersebut turun untuk
menasehati umat Islam saat itu agar tidak meminta bantuan kepada mereka.
Terlepas dari variasi riwayat-riwayat tersebut di atas, bisa digarisbawahi
bahwa ayat tersebut turun dalam konteks peperangan, dimana kehati-hatian dalam
strategi perang harus selalu diperhatikan, sehingga tidak boleh meminta bantuan
dari pihak-pihak lain yang belum jelas komitmennya. Dengan kata lain, konteks
historis turunnya ayat itu bukan pertemanan dalam situasi damai, dan bukan pula
konteks pemilihan kepala pemerintahan. Melihat hal-hal tersebut di atas, ide
moral atau pesan utama dari ayat itu adalah, paling tidak, sebagai berikut.
Pertama, perintah untuk berteman dengan orang-orang yang bisa dipercaya,
khususnya dalam hal-hal yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, dan
larangan untuk memilih aliansi dan teman yang suka berkhiyanat. Prilaku adil
kepada semua orang harus ditegakkan dan kezaliman/ketidakadilan harus
ditinggalkan. Kedua, komitmen bersama dan saling menjaga perjanjian/kesepakatan
bersama itu harus ditegakkan dan tidak boleh dikhiyanati. Apabila komitmen dan
perjanjian itu dirusak secara sepihak, maka yang akan terjadi adalah kehilangan
trust (kepercayaan) dari kelompok yang dikhiyanati, sebagaimana kehilangan
trust umat Islam Madinah pada masa Nabi kepada kaum Yahudi dan Nasrani yang
menyalahi The Medinan Charter (Piagam Madinah) yang salah satu intinya adalah
saling menolong dan membantu antarkomunitas saat itu di Madinah. Ketiga, ayat
tersebut tidak ada hubungannya dengan pemilihan kepala negara atau kepala
daerah. Islam hanya mengajarkan bahwa kepala negara atau daerah sebaiknya orang
yang mampu berbuat adil kepada seluruh masyarakat yang berada di wilayah
kekuasaannya, tanpa memandang perbedaan agama dan suku.
Berbagai
penjelasan di atas menunjukkan adanya perbedaan dalam memahami ayat al-Qur’an,
khususnya pada ayat 51 surah al-Maidah. Lebih jauh, hal ini membuktikan bahwa upaya
penafsiran tersebut tidak berangkat dari ruang kosong, artinya seseorang yang
melakukan penafsiran atas al-Qur’an senantiasa dilingkup oleh situasi, latar
belakang keilmuan, ataupun konteks yang dijalani oleh penafsir. Hal itu
kemudian menunjukkan bahwa tidak ada penafsir yang benar-benar objektif.[1]
Dalam hal ini, mengutip Gadamer tentang teori “Prapemahaman” yang mengatakan
bahwa:
(Dalam
proses pemahaman, prapemahaman selalu memainkan peran; prapemahaman ini
diwarnai oleh tradisi yang berpengaruh, di mana seorang penafsir berada, dan
juga diwarnai oleh prejudis-prejudi [Vorurteile; perkiraan awal] yang terbentuk
di dalam tradisi tersebut).[2]
Kebenaran dan Kebaikan
Terlepas dari persoalan subjektif atau
tidaknya orang dalam menafsirkan al-Qur’an, di sini penulis hendak menyampaikan
bahwa penafsiran yang baik adalah penafsiran yang tidak menyalahkan penafsiran
orang lain, apalagi hendak menghakimi dan menyudutkan pendapat orang lain.
Lebih dari itu, persoalan memahami al-Qur’an merupakan kebebasan manusia
sebagai makhluk yang berakal selama itu tidak bertentangan dengan esensi dan
eksistensi al-Qur’an.
Selanjutnya, kita juga hendak memahami
bahwa penjelasan tentang al-Qur’an yang kita lakukan sangat cepat merambak
untuk diketahui orang lain, hal ini selanjutnya akan berpengaruh pada tindakan
manusia kepada sosial. Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah penjelasan
tentang pentingnya kedewasaan dalam menyampaikan pendapat, agar bisa dijadikan
pandangan.
DEWASA DALAM BINGKAI OTORITAS TEKS
Kehidupan
semakin berkembang, zaman terus berubah, namun sayangnya kedewasaan hidup
beragam semakin terlukai. Lebih jauh, mungkin inilah dampak dari ‘dunia semakin
menyempit’, satu pendapat dengan cepat merambak ke telinga orang lain, yang
kadang –atau seringkali- tidak sesuai dengan pendapat yang lain. Satu sisi kita
menyadari, bahwa orang dahulu dengan orang sekarang berbeda dalam memandang
dunia ini. Orang dahulu menganggap dunia ini hanya sebatas sekitar daerahnya
saja, sehingga tidak menyadari kalau ada dunia lain yang berada jauh dari
tempatnya. Sebaliknya, pandangan terhadap dunia bagi orang-orang yang hidup
pada masa sekarang, karena kecanggihan elektronik, telah mampu menyaksikan
dunia yang lebih luas.[3]
Nampaknya
jarak yang semakin sempit ini, membuat perbedaan-perbedaan itu menjadi
persoalan serius. Ia (perbedaan) tidak lagi dijadikan sebagai wawasan
pengetahuan, tidak lagi menjadi ajang untuk saling menghormati. Akan tetapi,
perbedaan kini menjadi alat untuk menyudutkan seseorang (atau etnis) tertentu,
bahkan sampai pada titik kekerasan. Padahal “sebuah perbedaan, tidak harus
berakhir dengan perselisihan, dan sebuah perselisihan tidak harus berakhir
dengan kekerasan.”[4]
Tulisan ini berusaha menyelami perbedaan yang lahir dari sebuah teks (al-Qur’an dan Hadits). Hal ini
dilakukan, atas penyadaran penulis bahwa ada banyak tugas yang harus kita
selesaikan untuk merespons perbedaan itu, terutama dalam hal ini, adalah
tentang bagaimana seseorang bersikap pada perbedaan yang lahir atas pandangan
terhadap sebuah teks (baca: al-Qur’an
dan Hadits) untuk kemudian menjadi sebuah legitimasi otoritas bagi pengkajinya.
Lebih jauh, penulis di sini berasumsi bahwa perilaku (tindakan)
manusia sangat dipengaruhi oleh pemahaman yang dia miliki. Dikaitkan dengan teks,
apa yang dipahami dari teks maka itulah kemudian tercermin dalam
tindakan.
Menyelami Perbedaan
Jika kita mencari awal perbedaan itu, maka kita akan menemukan
bahwa teks itu sendiri yang memicu
munculnya perbedaan. Hal ini dapat ditemukan dalam al-Qur’an, misalnya, apakah
sebauh ayat itu muhkam atau mutasyabih, apakah sebuah ayat itu bersifat umum atau khusus. Inilah yang
kemudian para pengkaji al-Qur’an terjadi perbedaan dalam kesimpulan kajiannya.[5]
Karena itulah kita tidak bisa menentukan bagaimana supaya mencapai puncak
kebenaran sejati.
Paling tidak, kita senantiasa disemangati oleh hadits yang menyatakan
bahwa orang yang melakukan ijtihad
(kreatifitas) akan mendapatkan pahala. Jika ijtihadnya
benar, maka dua pahala yang didapatinya. Tetapi, jika ijtihadnya itu salah, maka satu pahala baginya. Sehingga tidak ada
yang perlu ditakutkan dalam berijtihad.[6]
Namun, dalam ijtihad tersebut,
terlebih dahulu harus dibedakan mana yang bisa diijtihadkan sehingga terjadi perubahan, dan mana yang tidak perlu diijtihadkan. Dalam konteks ini, urusan
yang berkaitan dengan ibadah, maka
itu tidak boleh diganggu gugat. Sementara, jika urusan itu berkaitan dengan muamalah, maka diperlukan adanya ijtihad itu.[7]
Dalam
Ijtihad itu sendiri, kemudian
menimbulkan adanya perbedaan satu pendapat dengan pendapat lain. Untuk tetap
menjaga keharmonisasian, maka dalam hal kita perlu mempelajari kaidah fukaha, bahwa “bisa jadi pendapatku
benar, sementara pendapat yang lain salah. Sebaliknya, bisa jadi pendapatku
salah, dan pendapat yang lain benar”.[8]
Selain itu, penulis menekankan perlunya kesepahaman terhadap
perbedaan-perbedaan yang muncul. Jika yang demikian itu dipegang teguh, maka
tidak akan ada dikotomi otoritas teks,
sehingga melekatlah sikap kedewasaan kita dalam merespons tiap perbedaan
pemahaman teks.
Dalam Tulisan Fahruddin Faiz tentang Kekerasan Intelektual Dalam Islam (Telaah
Terhadap Peristiwa Mihnah Mu’tazilah), dalam Jurnal Esensia Vol. XIII NO.
1. Januari 2012. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Di sana dikemukakan betapa
kejamnya kekerasan yang berlandaskan pada pengetahuan, terlebih lagi jika si
pemilik otoritas pengetahuan itu merupakan kaum elit, tokoh penting dalam
masyarakat, ini tentu sangat berbahaya lantaran pendapatnya itu tentu saja
mampu mempengaruhi bahkan mengajak ataupun memaksakan kehendaknya agar orang
lain setuju dengan hasil pemikirannya. Pada kenyataannya, telah banyak ulama
yang tertindas bahkan dihukum mati hanya karena tidak sependapat dengan pendapat
yang pemerintah saat itu. Imam Abu Hanifah, seorang cendikiawan besar Muslim,
karena tidak setujuh dengan pendapat dan keputusan dari Khalifah al-Manshur,
lalu beliau diracuni sampai beliau meninggal. Keputusan politik telah
menggugurkan nyawa seorang Imam besar umat Islam.
Dalam konteks sejarah Indonesia, banyak
pula tragedi yang sangat disayangkan. Terbunuhnya Hamzah Fanzuri, misalnya, ia
harus menerima sanksi atas berbedanya dia dengan pendapat-pendapat sekitarnya,
hingga akhirnya dia juga wafat. Banyak yang bersuara mengatakan bahwa Fanzuri
telah jauh tersesat dari apa yang ditentukan oleh ajaran Islam. Di sana lebih
jauh, bukan faktor agama yang ternyata menyebabkan Fanzuri tersiksa, tetapi
karena politik yang oleh Sultan Iskandar Tsani menjadikannya tercelah.
Atas kekejaman ini, penulis kemudian
tertarik dengan puisi yang diluncurkan oleh Musfiq Ali yang berjudul
BELA-NISTA.
BELA-NISTA
;Demo
4 November
Hingar orang-orang bertaburan
Di jalan-jalan metropolitan semua berjejeran
Mengepal tangan dengan suara yang menentang
Katanya, ada seseorang menistakan al-kitab Islam
Yang bersembunyi di balik pemerintahan ibu kota
Sedari beberapa pekan sebelum sumpah pemuda
dirayakan ulang
Gerombolan orang-orang bersorban sudah memenuhi
jalan
Sembari bersorak poranda membela Qur’an; ujarnya
Mengutip ayat Maidah yang disalahtafsirkan
Di antara paduka dan pemuka agama
Mereka menyebut namaMu duhai Pencipta
Allahu Akbar katanya
Dengan pakaian serba putih menutup aspal
Selebihnya mengucap jancuk kala senja bersambut
petang
Yogyakarta, 04.11.16
Kotak Suara dan Surga
Ilahi
Kafir!, tidak menghargai al-Qur’an!,
mendukung penista Agama!, sampai tidak akan dishalati jenazah umat Islam yang
mendukung penista Agama!.
Demikianlah, statement yang tiba-tiba
bermunculan untuk ditujukan kepada para pendukung Ahok. Kejadian ini menjadi
fenomena baru tatkala menjelang pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017. Bagi warga
Jakarta yang beragama Islam, ini merupakan instruksi secara tidak langsung
untuk tidak memilih pemimpin selain Muslim, di mana saat itu terdapat tiga calon
pasangan gubernur dan wakil gubernur, satu di antaranya adalah Ahok yang
berlatar belakang agama bukan Islam.
Fenomena seperti ini menambah wawasan
tentang penentuan gerak atau bahkan penyempitan kebebasan umat Islam. Lebih
jauh, bahwa ungkapan “Masjid ini tidak mensholatkan Jenazah pendukung dan
pembela penista agama” merupakan rambu-rambu akan tidak masuknya ke dalam Surga
bagi orang yang membela penista agama. Lebih jauh, dalam pencoblosan kertas
suara, orang Islam yang memilih sesama umat dinyatakan masuk surga, sebaliknya
jika orang Islam memilih non-Muslim, maka Neraka baginya.
Jika pernyataan ini dibawa ke rana
otoritas Tuhan, pernyataan tersebut sadar atau tidak, telah ‘mengambil alih’
wewenang Allah tentang siapa yang berhak masuk Surga dan siapa yang masuk
Neraka. Padahal, mengenai Surga dan Neraka hanya Allah yang mengetahuinya.
Allah adalah Pemilik Tunggal atas Surga dan Neraka, hanya Dia berhak memasukkan
ke dalam surga siapa yang dikehendaki-Nya, begitu pula sebaliknya hanya Dia
pula yang berhak siapa yang masuk ke Neraka. Karena itu, Quraish Shihab
menjelaskan bahwa bahkan Nabi Muhammad sekalipun tidak ada jaminan bahwa ia
(Nabi Muhammad) masuk surga, karena urusan surga adalah hak dan wewenang mutlak
pribadi Allah.
Penistaan Agama...???
Basuki Tjahaha Purnama, Gubernur DKI
Jakarta, seorang yang beragama Kristen, baik secara luar apalagi mendalam dapat
dipastikan tidak mampu memahami apa yang terkandung dalam al-Qur’an itu,
khususnya surah al-Maidah ayat 51. Namun demikian, Gubernur yang akrab disapa
Ahok itu secara langsung menyinggung apa yang sebenarnya bukan menjadi
wilayahnya. Lebih jauh lagi, ungkapan “dibohongi Pake Surah al-Maidah 51
macam-macam itu” seketika menjadikannya tersangka sebagai Penista Agama Islam.
Kasus yang dihadapi oleh Ahok ini seakan
menjadi pukulan keras baginya, ia harus berhadapan dengan tuntutan yang
dilontarkan oleh tidak kurang dari tujuh juta umat Islam di Indonesia, baik itu
orang-orang Islam yang paham dengan kandungan al-Maidah ayat 51, ataupun yang
tidak mengenal sekalipun bagaimana redaksi ayatnya.
Sekalipun Ahok mengaku bahwa
perkataannya tersebut sungguh tidak bermaksud untuk merendahkan kitab Suci umat
Islam. Akan tetapi, paling tidak perkataan sekaligus konteks yang dijalani Ahok
bermakna bahwa ia sepakat dengan ayat tersebut berbicara larangan memilih
pemimpin dari non-Muslim, termasuk dirinya. Meski demikian, jika pembincangan
tentang perilaku Ahok dikategorikan sebagai menistakan agama, maka akan sangat
banyak penista-penista agama yang kerap terungkap. Bahkan, Habib Rizieq, yang
dalam kasus Ahok menjadi orang nomor satu dalam meminta agar Ahok segera
dipenjarakan, ia (Rizieq) juga sempat menyampaikan ceramah yang serupa dengan
perkataan Ahok.
“Dia nipu umat Pakai ayat Qur’an, dia
nipu umat pakai Hadis Nabi” ungkapan Habib Rizieq yang sangat senada dengan
“dibohongi Pake Surah al-Maidah 51 macam-macam itu” sebagaimana yang
diungkapkan oleh Ahok. Kedua ungkapan itu hendak mengemukakakn bahwa ada orang
yang menggunakan ayat al-Qur’an untuk menipu atau membodohi umat Islam.
Selanjutnya, penulis menegaskan bahwa
sekalipun Ahok karena perkataannya kemudian disebut sebagai penista agama, akan
tetapi sebagai umat agama yang bervisi dan sangat menjunjung tinggi perilaku
kasih sayang, lemah lembut, sebagaimana perilaku tersebut merupakan perwujudan
dari Islam sebagai agama yang Rahamatan lil alamain. Maka
hendaknya umat Islam secara umum, dan para pemegang otoritas agama secara
khusus, untuk tidak mengabaikan risalah agama tersebut, apalagi hendak
melakukan kekerasan ataupun kemunkaran
terhadap orang lain.
Lebih jauh lagi, jika perilaku Ahok
tersebut pada akhirnya menimbulkan reaksi sejuta umat Islam untuk menyatakan
pembelaannya kepada Agama, bahkan sampai menyeret Gubernur Jakarta tersebut ke
dalam penjara. Maka, semestinya telah terjadi berbagai peperangan antara umat
Islam dengan non-Islam di seluruh daerah di Dunia. Kita sangat akrab dengan
sejarah Orientalis, mereka melakukan berbagai cara untuk meruntuhkan agama
Islam, tidak hanya menistakan, mencelah, ataupun mengkritik agama Islam. Dalam
buku Abdullah Saeed yang berjudul “Pengantar Studi al-Qur’an”, mengemukakan
bahwa betapa ‘dipandang sebelah matanya’ Islam pada abad-abad sebelum abad 18.
Tidak hanya untuk dihindari, bahkan Islam sebelum abad 18 termasuk ajaran
sasaran penghancuran. Berbagai cara dilakukan, bahkan mereka (Barat)
mempelajari bahasa Arab sekalipun hanya ‘berniat’ mengingjak nilai Islam
(al-Qur’an). Akan tetapi, serangan yang dilakukan oleh para Orientalis itu
kemudian dilakukan dilawan oleh umat Islam yang ahli mengenai ajaran Islam,
baik al-Qur’an maupun Hadits, dengan membangun argument pengetahuan bahwa
al-Qur’an Hadits tidaklah seperti yang mereka nistakan, tidak dengan kekerasan.
“Terjadinya
perpecahan dalam umatku bukanlah disebabkan dari orang lain, melainkan dari umat
Islam sendiri”, kira-kira demikianlah maksud dari
sebuah perkataan Nabi menggambarkan umat Islam mendatang, yang hendaknya
menjadi renungan bagi kita dalam menjaga agama kita, bahwa sekalipun orang lain
melakukan berbagai cara untuk menghancurkan agama kita, akan tetapi jika kita
tidak terpengaruh, tidak goyang dengan keyakinan kita, maka tidak akan terjadi
perpecahan dalam umat Islam, dan tentu rahmat
Islam akan senantiasa menjadi naungan hidup seluruh umat manusia, bahkan
alam sekalipun.
Bela Agama???
Bela Agama, kata yang berhasil
mengipnotis umat Islam sampai rela mengorbankan apa yang dia miliki untuk
melakukan dua kata itu. Bahkan tidak jarang kita menemukan adanya statement
bahwa “Saya rela kehilangan nyawa, asalkan agama saya tidak dihina”. Saat
kejadian inilah Agama berhasil mengalienasi penganutnya, agama telah berhasil
menghapus jati diri manusia sebagai makhluk yang bebas berkehendak.
Terjadi kebingungan dengan istilah
“Bela, membela, ataupun Pembelaan” yang ditujukan kepada “Agama”. Hal ini
karena istilah “Bela” muncul untuk sesuatu atau seseorang (ataupun kelompok)
yang tidak memiliki kemampuan untuk melawan. Misalnya, dalam persidangan
diadakan Jaksa Pembela untuk orang yang mendapatkan kasus terdakwah, ataupun
tersangka. Jaksa tersebut dijadikan orang yang perannya untuk membela partner
(klien)nya agar tersangka bebas dari problem yang dihadapinya, ataupun paling tidak
hukuman yang akan didapatinya menjadi berkurang lantaran telah dilakukan oleh
pembelaan.
Sementara “Agama” merupakan sesuatu yang
luar biasa, kekuatannya tidak terbatasi, bahkan ia menjadi ajaran yang mampu
menyelamatkan manusia (umatnya), lebih tepatnya agama menjadikan manusia tidak
kacau dalam menjalani kehidupan. Islam, sebagai agama yang menghubungkan
manusia dengan Allah Yang Maha Kuasa, Tuhan Pencipta langit dan bumi, tidak
akan berpengerahu kekuasaannya baik manusia itu beriman ataupun tidak. Ada
banyak dalil, baik dari ayat al-Qur’an, Hadits Nabi, bahkan secara kesadaran
diri (Akal sehat) manusia pun, menunjukkan keagungan Allah yang tidak
terbatasi. Sehingga Allah sangat tidak membutuhkan pembelaan dari manusia yang
kekuataannya jauh sangat sedikit dibandingkan dengan Tuhan.
Sebuah Film berjudul PK, menggambarkan
tentang manusia yang seringkali melegitimasi kehendaknya dengan atas nama
Tuhan. Lebih jauh, film ini mengungkap manusia yang hendak membela dan
melindungi Tuhan.
Dalam film itu, seorang Pendeta bernama
Mr. Tapasviji atau akrab disebut Jaggu hendak menunjukkan bahwa ia akan
melindungi Tuhan dengan tangannya. Pernyataan pendeta itu pun dengan cepat
direspons oleh PK.
“Kau dapat melindungi Tuhan?” sebuah
pertanyaan yang bermakna keraguan besar dari seorang PK, hal ini karena sudah
menjadi pengetahuan umum bahwa Tuhan itu Maha Kuasa.
“Tuhan yang membuatnya Dia melindungi
alam semesta” termasuk diri dan kuasa yang dimiliki oleh Jaggu itu. Maka tidak
heran jika PK menolak pernyataan Jaggu ingin melindungi Tuhan.
Sekalipun hanya sebatas film, tentu
siapapun itu akan sependapat bahwa film tersebut mengajarkan betapa tidak
butuhnya Tuhan atas membelaan dari Manusia. Maka kemudian pertanyaan yang harus
direnungani bersama, bahwa ketika kita hendak membela Agama Tuhan, apakah kita
saat itu masih percaya, meyakini, beriman bahwa Allah Maha Kuasa?.
.
. .
[1] Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008), hlm, 56-57.
[2]
Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an,
(Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009), hlm, 46.
[3] Al Makin, Keragaman Dan Perbedaan, Budaya Dan Agama Dalam Lintas Sejarah Manusia,
(Yogyakarta: SUKA-Press, 2016), hlm, 92.
[4] Fahruddin Faiz, Kekerasan Intelektual Dalam Islam (Telaah
Terhadap Peristiwa Mihnah Mu’tazilah), dalam Jurnal Esensia Vol. XIII NO.
1. Januari 2012. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, hlm, 2.
[5] Misalnya dalam kasus penciptaan
perempuan (QS. An-Nisa: 1), pada kata nafs
ada yang menafsirkan “adam”, ada juga yang menafsirkan “jenis yang sama”.
[6] Lebih jauh, rujuk Khaled M. Abou
El Fadl, Atas Nama Tuhan, Dari Fikih
Otoriter Ke Fikih Otoritatif, terj, (Jakarta:
PT Serambil Ilmu Semesta, 2004), hlm, 22-23.
[7]
Abdullah Saeed,
Paradigma, Prinsip
Dan Metode Penafsrian Kontekstualis Atas Al-Qur’an, Terj, (Yogyakarta: Baitul Hikmah
Press, 2016), hlm, 243-244.
[8] Ingrid Mattson, Ulumul Qur’an Zaman Kita, Pengantar Untuk
Memahami Konteks, Kisah, dan Sejarah Al-Qur’an, Terj, (Jakarta: Zaman,
2013), hlm, 303.
Ketika SURGA Ditentukan Oleh KOTAK SUARA : -Fenomena Aksi Bela Islam tentang QS. al-Maidah Ayat 51-
4/
5
Oleh
Unknown