MENDIALOGKAN HADITS DAN SAINS (Analisis Hadits tentang Obat Pada Sayap Lalat)
Hadits
MENDIALOGKAN
HADITS DAN SAINS
Oleh:
Muh. Alwi HS
UIN Sunan Kalijaga
Pendahuluan
Permasalahan mengenai
Hadits dengan Ilmu Sains sampai kini terus menjadi diskursus menarik untuk
diperbincangkan, pasalnya hadits yang lahirnya 14 abad yang lalu mampu
membincangkan persoalan yang dalam berbagai keilmuan Sains sampai kini belum
menggapainya. Kita bisa mengambil contoh bahwa tidak sedikit hadits-hadits yang
membahas tentang persoalan ‘masa depan’ dalam hal ini layaknya ramalan, masa
lalu (sejarah), sampai persoalan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang
pada saat kehadiran hadits sekalipun tidak ada orang yang mampu merumuskannya.
Lebih jauh, jika kita
melihat dari sisi hadits, maka akan kita temukan berbagai wacana ‘ketidak
harmonisasian’ sepanjang sejarahnya, ini bisa dilihat dengan adanya pembagian
status penyandaran hadits[2]
yakni mauquf, marfu’ maqthu’, artinya
terjadi perbedaan hadits itu bersumber dari mana dan siapa. Maka tidak heran
jika para pengkaji non-muslim (Orientalis), misalnya, senantiasa memberikan
kritikan tajam mengenai keotentitas atas
sumber pedoman kedua umat Islam ini[3]. Lebih
jauh lagi, persoalan kodifikasi hadits yang dilakukan setelah wafatnya Nabi,
bahkan menginjak abad ke dua Hijriyah semakin memperjelas keraguan keotentitas
hadits bahwa ia (baca: Hadits) bersumber dari
Nabi.[4]
Selain persoalan historisnya, kandungan yang dimuat oleh
hadits itu juga acap kali menjadi kritikan tersendiri. Jika kandungan hadits
dibenturkan dengan wacana Sains, maka akan terjadi ketimpangan pada
pemahamannya. Misalnya, persoalan Empiris yang mengharuskan adanya bukti
konkrit[5],
persoalan Ilmiah yang mengharuskan logis dan mampu dianalisis[6],
serta persoalan Kebenaran yang membutuhkan fakta sebagai pembukti[7], maka syarat-syarat Sains seperti ini menjadi kesulitan
bagi Hadits untuk menjawabnya.
Mengenai persoalan
seperti ini, Zaghlul An-Najjar dalam pendahuluannya menekankan bahwa apapun
yang diyakini bersumber dari Nabi Muhammad, dalam hal ini adalah Hadits,
memiliki kandungan yang jika dipelajari, diteliti dengan berbagai teknologi
sekalipun, pada akhirnya akan membuktikan keagungan Allah sebagai Pencipta
langit dan bumi.[8]
Pertemuan
Hadits dan Sains
Sebagai ajaran pokok
Islam (kedua setelah al-Qur’an), Hadits memiliki peran yang signifikan dalam
kehidupan umat Islam. Ia (Hadits) dengan kekuatan yang dimilikinya, mampu mengalienasi
manusia dari kebebasan yang dimilikinya, sehingga apa yang dikehendakinya dapat
terwujudkan dalam bentuk perilaku manusia. Oleh karena itu, maka tidak heran
jika IAN G. Barbour mengatakan bahwa apa yang datang dari Agama selalu mendapat
posisi yang lebih jika dibandingkan dengan sains. Lebih jauh, segala yang
menjadi penemuan-penemuan ilmiah akan tetap bersifat meragukan.[9]
Sekalipun demikian,
pada perkembangannya ilmu pengetahuan pada akhirnya menjadi penjelas dari
pengetahuan yang dibawa oleh agama (baca: Hadits), karena itu apa yang menjadi
penemuan dari sains memiliki relevansi dengan doktrin hadits. Hal inilah yang
kemudian dikenal dengan sebutan Integrasi.[10]
Dengan integrasi, kita dapat mendialogkan apa yang berasal dari Hadits dan juga
apa yang menjadi milik perkembangan ilmu pengetahuan (Sains).
Menyelami
Persoalan
Dalam khazanah
pengetahuan, Harun Yahya mencoba menjelaskan tentang manfaat yang dimiliki oleh
lalat, dikatakannya bahwa kecepatan terbang Lalat sangat cepat, ia bahkan mampu
terbang melewati kecepatan pesawat terbang.[11]
Lebih jauh, Harun mengaitkan pembahasan tentang lalat dengan QS. al-Baqarah:
26. Hal ini berdasarkan kandungan ayat tersebut yang hendak mengungkap Kuasa
Tuhan yang tidak segan-segan menjadikan perumpamaan binatang kecil seperti
Nyamuk, Lalat, dan bahkan binatang yang lebih kecil sekalipun. Di Ayat yang
lain, secara jelas Lalat disebutkan dalam ayat 73 surah al-Hajj, di sana
dikatakan bahwa “Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka,
tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu”.
Ini menunjukkan bahwa
Lalat mendapat perhatian tersendiri dalam ajaran Islam. Lebih jauh, dalam
penelusuran penulis ada banyak hadits yang membahas tentang Lalat, misalnya[12]
dalam Kitab Bukhari sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, nomor
hadits 3073[13],
dalam Kitab Abu Dawud sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, nomor
Hadits 3346[14],
dalam Kitab At-Tirmidzi sebagamana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, nomor
hadits 2799[15],
Kitab An-Nasa’i sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri, nomor
hadits 4189[16],
dan lain sebagainya.
Selanjutnya, untuk
kepentingan takhrij hadits sekaligus
menjadi fokus bahasan, di sini penulis hanya akan mengambil satu sampel hadits,
yakni hadits yang diriwayat oleh Abu Hurairah nomor 3073 sebagaimana yang
termuat dalam Kitab Shahih Bukhari, adapun redaksi selengkapnya sebagai
berikut:
حَدَّثَنَا
خَالِدُ بْنُ مَخْلَدٍ، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي
عُتْبَةُ بْنُ مُسْلِمٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ بْنُ حُنَيْنٍ، قَالَ:
سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: قَالَ النَّبِيّ:
" إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ، ثُمَّ
لِيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِي إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَالْأُخْرَى شِفَاءً "
Telah bercerita kepada kami Khalid bin Makhlad telah menceritakan kepada
kami Sulaiman bin Bilal berkata; telah bercerita kepadaku Utbah bin Muslim
berkata; telah mengabarkan kepadaku Ubaid bin Hunain berkata; saya mendengar
Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Jika ada seekor lalat yang terjatuh pada minuman kalian maka
tenggelamkan kemudian angkatlah, karena pada satu sayapnya penyakit dan sayap
lainnya terdapat obatnya."[17]
Takhrij Hadits
Dari hasil penelusuran penulis dalam Software Gawami Al-Kaleem, hadits yang membahas tentang obat pada sayap
lalat, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ditemukan dalam beberapa
kitab Hadits, di antaranya sebagai berikut:
1.
Kitab Shahih Bukhari, nomor hadits 979.
2.
Musnad Ahmad bin Hambal, nomor hadits
2238.
Adapun i’tibar sanadnya dapat dilihat sebagai berikut: (lihat lampiran)
Ke-Musykil-an Hadits
Hadits di atas
merupakan hadits shahih yang sebagian ulama menilainya sebagai hadits musykil. Hal ini disebabkan ketidakrasionalnya
kandungan yang termuat di dalamnya.[18]
Berbagai komentar terhadap kandungan hadits tersebut, misalnya bahwa sebagai
berikut[19]:
“Lalat biasa
hinggap di tempat-tempat yang kotor, penuh dengan kuman-kuman penyakit. Ia juga
makan dari hal-hal yang kotor itu, membawa kuman dengan seluruh badannya. Maka
apabilah ia hinggap pada makanan atau minuman, kuman-kuman yang ia bawa juga
akan ditempelkan pada makanan, sehingga makanan itu akan membawa benacana yang
berarti tidak boleh dimakan.”
Dikatakan lagi
bahwa:
“Hadits ini
tidak berhenti sampai situ saja. Bahkan dianjurkan agar kuman itu semakin
ditambahi. Karena diperintahkan agar lalat dibenamkan ke dalam makanan, lalu
dimakan. Tidak layak seorang Rasulullah telah mengucapkannya, kalaupun beliau
benar-benar telah mengucapkannya maka jelas itu merupakan ucapan yang salah,
sehingga lalu muncul orang yang menerima pendapat yang tidak bisa
dipertanggungjawabkan ke-ma’shum-annya.”
Lebih jauh
dikatakan bahwa:
“Para nabi pun
pernah salah tentang apa yang mereka ucapkan, berupa pendapat, dan bukan
merupakan wahyu, seperti hadits ini tentang mengawinkan pohon kurma...”
Lebih dari itu, hadits
ini juga banyak diriwayatkan oleh Abu Hurairah, sementara dalam studi hadits
Abu Hurairah termasuk sahabat yang kontroverial, hal ini dapat dibuktikan bahwa
ia (Abu Hurairah) yang masuk Islam belakangan (akhir-akhir kenabian) sementara
dalam periwayatan hadits, lebih banyak meriwayatkan dibandingkan dengan
orang-orang terdekat Nabi sendiri, seperti Aisyah, Ali bin Abi Thalib, dan
lain-lain. Selain itu, berbagai kejadian kontroversial yang terjadi antara Abu
Hurairah dengan sahabat dekat Nabi, misalnya, dalam sebuah riwayat Ali pernah
membantah Abu Hurairah seraya berkata “Abu Hurairah! Sejak kapan kamu menjadi
sahabat dekat Nabi”, hal ini disampaikan ketika Abu Hurairah mengatakan bahwa
“Sahabat dekat saya (maksudnya Nabi) berkata begini dan begitu, dan sahabat
dekat saya melakukan ini dan itu” [20]
Menurut Ibnu Qutaybah,
sebagaimana yang dikutip oleh Masykur Hakim, bahwa hadits yang tidak sejalan
dengan akal manusia maka dilakukan cara menghubungkan keduanya, baik secara tekstual maupun konteksual.[21]
Wacana
dari Medis (Sains)
Lalat, atau dalam
bahasa Arab[22]
dikenal dengan الذباب merupakan jenis serangga yang memiliki sayap ganda,
sehingga ia dapat hidup leluasa. Selain berfungsi untuk terbang bebas, sayap
yang dimiliki Lalat memiliki keistimewaan tersendiri, yakni adanya obat dan
penyakit atasnya.[23]
Sekalipun dalam hadits tersebut tidak dikemukakan dengan jelas sayap mana yang
mengandung penyakit dan obat, sebagian ulama –sebagaimana yang dikemukakan oleh
Ibnu Hajar al-Asqalani- mengatakan bahwa sayap kanan mengandung obat, dan
sebaliknya sayap kiri mengandung penyakit.[24]
Apa yang dimiliki oleh
kedua sayap lalat tersebut, menjadi perhatian tersendiri bagi para peneliti
sains, sekalipun dalam penelitian tersebut sebenarnya hanya bertujuan
mengetahui pola kehidupan bakteri yang terdapat pada lalat.[25] Kehidupan
lalat yang biasa hinggap di tempat-tempat kotor, sehingga tidak diragukan bahwa
ia membawa kuman ketika hinggap di makanan dan minuman, menyebabkan dari segi
kesehatan menjadi hal yang menjijikkan, bahkan dapat menyebabkan penyakit.
Sekalipun demikian –yakni
lalat membawa kuman-, terdapat pernyataan kesehatan yang bisa dibuktikan bahwa “sebagian
kuman dapat membunuh dan menghilangkan kuman lain”. Artinya, tidak menutup
kemungkinan kuman yang dibawa oleh salah satu sayap lalat dapat membunuh kuman
di sayap lainnya.[26] Lebih
jauh, dari kuman-kuman tersebut kemudian membentuk sebuah unsur toksin (toxine)[27],
yang oleh ahli medis dikenal dengan nama antibakteri yang kelak membunuh kuman
penyakit.[28]
Lebih dari itu,
penjelasan lainnya mengatakan bahwa terdapat unsur-unsur penghancur mikroba[29]
yang dimiliki oleh salah satu sayap lalat. Unsur penghancur tersebut kemudian
mengeluarkan bakteri bagian makanan, yang kemudian menyebar sangat cepat dan
membunuh mikroba tersebut.[30]
Terlihat terdapat
perbedaan dari penjelasan di atas, betapapun itu –hemat penulis- penjelasan
tersebut hendak menyampaikan bahwa terdapat unsur yang dimiliki oleh sayap
lalat yang berfungsi sebagai obat untuk sayap yang membawa penyakit. Selain
itu, Nizar Ali mengatakan bahwa baik secara teori maupun percobaan, tetap
ditemukan relevansinya terhadap hadits tersebut. Jika kita melihat dari segi
teroritisnya, maka ditemukan bahwa Bakteri ataupun Virus yang dibawa oleh lalat
ketika dari tempat kotor, senantiasa terdapat segi manfaatnya, di samping juga
terdapat sisi negatifnya.[31]
Sementara jika ditinjau
dari segi percobaan laboratorium, maka akan berkesimpulan bahwa lalat yang
tidak dibenamkan ketika hinggap disebuah menuman akan meninggalkan banyak
kuman. Sedangkan jika lalat tersebut dibenamkan hasilnya adalah tidak dijumpai
satu pun kuman.[32]
Analisis
Pertemuan
Sepintas lalu kandungan
hadits tentang obat pada sayap lalat tersebut dipandang tidak masuk akal,
terlebih lagi tidak ada kejelasan lalat jenis apa yang dimaksud oleh Nabi, hal
ini terdapat banyak jenis lalat, misalnya
lalat rumah (musca demostica),
lalat hijau (lucilla caesar), lalat
biru (caliphora vomitoria) yang
berbeda satu jenis dengan jenis lainnya.[33]
Sekalipun demikian, ketidak masuk akalan hadits tersebut bukan menjadi alasan
untuk menolaknya, hal ini karena akan memicu munculnya penolakan apa (Hadits)
yang datang dari Nabi.[34]
Namun demikian, perkembangan sains, baik dalam
bentuk teori maupun penelitian laboratorium, memberi kejelasan bahwa pada sayap
lalat terdapat toksin atau kemudian dikenal dengan antibakteri tersebut dapat
diperoleh ketika lalat tersebut dibenamkan secara keseluruhan ke dalam minuman.
Di sinilah oleh Nabi dikatakan sebagai sayap
lainnya terdapat obatnya.[35]
Berbagai penjelasan
yang ditelusuri penulis tidak ditemukan secara detail jenis lalat apa yang
sayapnya terdapat obat. Meskipun demikian, hemat penulis, tidak ada alasan
untuk menolak hadits tersebut, akan tetapi perlu dilakukan penempatan keadaan.
Dalam artian, jika makanan ataupun minuman yang dihinggapi oleh lalat mumpuni
untuk tidak dikonsumsi maka dipilih untuk tidak mengkonsumsinya. Tetapi jika,
dalam keadaan darurat misalnya, maka air itu boleh diminum. Hal ini tidak bisa
dilepaskan bahwa lalat merupakan penyebab penyakit muntaber dan dan tipes.[36]
Kesimpulan
Dari berbagai penjelasan di atas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa:
1.
Perkembangan ilmu pengetahuan (Sains)
senantiasa merespons doktrin keagamaan, dalam hal ini adalah hadits. Lebih
jauh, tidak sedikit kebenaran yang dibawa oleh hadits dapat dibuktikan dengan
perkembangan sains.
2.
Hadits tentang obat pada sayap lalat,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dalam kitab Shahih Bukhari
nomor 3073, pada akhirnya terbukti kebenarannya baik secara teoiritis maupun
percobaan laboratorium.
Lampiran:
[1] Tulisan ini dipresentasikan
dalam diskusi kelas Hadits Sains (Kealaman.
[2] Lihat penjelasan tentang hadits
Mauquf (hadits yang disandarkan kepada Sahabat), Marfu’ (hadits yang
disandarkan kepada Nabi), dan Maqthu (hadits yang disandarkan kepada Tabi’in)
Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul
Hadits, terj, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 67-74.
[3] Baca Arif Syamsuddin, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2008), hlm. 27.
[4] Baca penjelasan Ahmad Amin
tentang sejarah kemunculan Hadits dalam Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunah: Pendekatan Ilmu Hadis, (Jakarata:
Kencana, 2011), hlm, 39-40. Selain itu, lihat juga persoalan munculnya hadits maudhu’ dalam –misalnya- Umi Sumbulah, Kritik Hadis: Pendekatan Historis
Metodologis, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm. 6-10.
[5] Soerjanto Poespowardojo dan
Alexander Seran, Filsafat Ilmu
Pengetahuan: Hakikat Ilmu Pengetahuan, Kritik Terhadap Visi Positivisme Logis,
serta Implikasinya, (Jakarta: Kompas, 2016), hlm. 11.
[6] Jalaluddin, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm.
108.
[7] Jalaluddin, Filsafat Ilmu Pengetahuan, hlm. 133.
[8] Zaghlul An-Najjar, Pembuktian Sains dalam Sunnah, terj, (Jakarta: Amzah, 2006), hlm. xvii.
[9] IAN G. Barbour, Isu dalam Sains dan Agama, terj,
(Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2006), hlm. 306.
[10] Zain Abidin Bagir, dkk,
Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi, (Bandung: Penerbit Mizan,
2005), hlm. 22.
[11] Lihat Kementrian Agama RI, Al-Qur’anul Karim: Miracle The Reference,
Panduan Terlengkap dan Praktis Mengamalkan al-Qur’an, (Bandung: Sygma,
2011).
[12] Hadits-hadits yang dikutip
berdasarkan Lidawa Pusaka i-Software: Kitab Sembilan Imam Hadits.
[13]
Redaksinya: "Jika ada seekor lalat yang terjatuh pada minuman
kalian maka tenggelamkan kemudian angkatlah, karena pada satu sayapnya penyakit
dan sayap lainnya terdapat obatnya."
[14] Redaksinya: "Jika ada lalat
jatuh ke dalam bejana salah seorang dari kalian maka celupkanlah lalat
tersebut, karena sesungguhnya di dalam salah satu sayapnya terdapat penyakit
dan pada sayap yang lain terdapat obat. Sesungguhnya lalat tersebut melindungi
diri dengan sayap yang padanya terdapat penyakit, maka celupkanlah semuannya!"
[15] Redaksinya: "Sesungguhnya
perumpamaanku dan perumpamaan ummatku seperti seseorang yang menyalakan api
kemudian lalat dan kupu-kupu jatuh di api itu, dan aku memegangi ikatan kain
kalian, sementara kalian tetap memasukinya."
[16] Redaksinya: "Apabila seekor
lalat jatuh dalam bejana salah seorang diantara kalian maka hendaknya ia
membenamkannya ke dalam air."
[17] Berdasarkan Lidawa Pusaka
i-Software: Kitab Sembilan Imam Hadits.
[18]
Nizar Ali, Hadits Versus Sains (Memahami Hadis-Hadis
Musykil), (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2008), hlm. 30.
[19]
Abdullah bin Ali An-Najdy
Al-Qushaimy, Memahami Hadits Musykil, terj,
(Solo: Pustaka Mantiq, 1993), hlm. 82-83.
[20]
Ada banyak
riwayat yang menampilkan kekontroversial sahabat Abu Hurairah, misalnya ketika
Aisyah memanggil Abu Hurairah dan berkata “Abu Hurairah! Apa maksud semua
riawayat yang selalu kami dengar dari mulutmu! Katakana padaku, apakah kamu
mendengar hal-hal (dari Nabi) yang tidak kami dengar, apakah kamu melihat
sesuatu (yang dilakukan Nabi) yang tidak kami perhatikan?” Abu Hurairah
menjawab, “Wahai ibu orang-orang beriman (umm al-mu’minin), engkau sibuk dengan
alis matamu dan mempercantik diri untuk Nabi”. Juga riwayat yang
mengisahkan Umar memarahi Abu Hurairah; “Jika kamu tidak berhenti
meriwayatkan hadits, saya akan mengasingkan kamu”. dan berbagai riwayat
lainnya yang serupa dengan ini. lihat
selengkapnya Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke
Fikih Otoritatif, terj,
(Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. 2004), hlm. 312-314.
[21] Masykur Hakim, Mukhalif al-Hadits dan Cara Penyelesaiannya
Perspektif Ibnu Qutaybah. Dalam Journal Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3,
Januari-Juni 2015, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, hlm.
[22] A.W. Munawwir, Kamu Al-Munawwir Indonesia-Arab Terlengkap, (Surabaya:
Pustaka Proressif, 2007), hlm. 488.
[23] Abdul Basith Al-Jamal dan
Daliyah Shiddiq Al-Jamal, Mausu’at
Al-Isyarat Al-Ilmiyyah, terj, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003), hlm. 185-186.
[24] Nizar Ali, Hadits Versus Sains (Memahami Hadis-Hadis Musykil), hlm. 31-32.
[25]
Abdul Basith Al-Jamal dan
Daliyah Shiddiq Al-Jamal, Mausu’at
Al-Isyarat Al-Ilmiyyah, terj, hlm. 186.
[26] Abdullah bin Ali An-Najdy
Al-Qushaimy, Memahami Hadits Musykil, terj,
(Solo: Pustaka Mantiq, 1993), hlm. 84-85.
[27] Toxine adalah Konversi
metabolisme zat menjadi racun. Lihat http://kamus-internasional.com/definitions/?indonesian_word=toxification.
[28]
Abdullah bin Ali An-Najdy
Al-Qushaimy, Memahami Hadits Musykil, terj,
hlm. 36.
[29] Yaitu organisme yang berukuran
sangat kecil. Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Mikroorganisme.
[30] Abdul Basith Al-Jamal dan
Daliyah Shiddiq Al-Jamal, Mausu’at
Al-Isyarat Al-Ilmiyyah, terj, hlm. 186.
[31] Lihat penjelasan lebih jauh
Nizar Ali, Hadits Versus Sains (Memahami
Hadis-Hadis Musykil), hlm. 33-35.
[32]
Nizar Ali, Hadits Versus Sains (Memahami Hadis-Hadis
Musykil), hlm. 36.
[33] Lihat penjelasannya Masykur
Hakim, Mukhalif al-Hadits dan Cara
Penyelesaiannya Perspektif Ibnu Qutaybah. Dalam Journal Ilmu Ushuluddin,
Volume 2, Nomor 3, Januari-Juni 2015, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, hlm.
207.
[34] Masykur Hakim, Mukhalif al-Hadits dan Cara Penyelesaiannya
Perspektif Ibnu Qutaybah. Dalam Journal Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3,
Januari-Juni 2015, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, hlm. 207.
[35]
Nizar Ali, Hadits Versus Sains (Memahami Hadis-Hadis
Musykil), hlm. 33.
[36]
Masykur Hakim, Mukhalif al-Hadits dan Cara Penyelesaiannya
Perspektif Ibnu Qutaybah. Dalam Journal Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3,
Januari-Juni 2015, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, hlm. 207.