NIKAH PAKSA
Nikah
merupakan akad yang menyatukan laki-laki yang memperistri seorang wanita.
Tujuan nikah adalah untuk menyatukan karakter jasmaniyah antara
suami-istri, mencaru keturunan, mendirikan keluarga, dan untuk melindungi dan
menjaga kelestarian masyarakat. Semua itu telah ditetapkan berdasarkan
Al-Qur’an, Hadits dan ijma’ ulama.
Dalil
AL-Qur’an
“…..
dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang –orang
yang layak (berkawin0 dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang peremupuan.” (Q.S. Al-Nur: 3)
Dalil
Sunah
Nabi
SAW bersabda: “Barang siapa cinta kepada fitrahku, maka hendaklah melaksanakan
sunahku, dan di antara sunahku ialah kawin.”(Ibnu Majah)
Sebelum menjalani pernikahan, terlebih dahulu melewati beberapa
tahap yang harus dijalani oleh si pengantin (calon suami ataupun istri), salah
satu diantaranya adalah masa peminangan. Namun, pada masa ini, ternyata tidak
semudah yang diinginkan, karena masih terus terjadi problem tentang siapa dan
bagaimana hak keluarga (orang tua) dalam menentukan calon pendamping anaknya,
sehingg timbullah istilah nikah paksa.
Nikah paksa telah menjadi fenomena sosial yang timbul akibat tidak
adanya kerelaan diantaranya untuk menjalankan perkawinan. Nikah/kawin paksa
biasanya muncul karena banyak motif yang melatar belakanginya, misalnya ada
perjanjian diantara orang tua yang sepakat akan menjodohkan anaknya, ada juga
karena faktor keluarga.
Di masyarakat Bugis, Sulawesi[1],
dahulu lebih akrab dengan pernikahan perjodohan, mereka meyakini bahwa
keputusan (perjodohan) yang dilakukan oleh orang tua akan langgeng (bertahan), mereka
tidak terlalu melandasi pernikahan dengan percintaan. Jika kita melihat kasus
(budaya) Bugis tersebut dengan kaca mata keagamaan, maka sekilas terlihat
bertentangan karena dari pihak keluarga (orang tua) tidak meminta persetujuan
dari anaknya terlebih dahulu. Namun, perlu diadakan ‘pembacaan’ kembali tentang pertentangan tersebut. Pertama
yang harus digaris bawahi, adalah bahwa masyarakat Bugis Makassar sangat
menjunjung tinggi kehormatan, terutama dalam hal perempuan, ini dapat ditemukan
ketika si anak perempuan melakukan pelanggaran moral[3]
maka perbuatan si anak perempuan itu tidak hanya menjadi aib dirinya, bahkan
menjadi aib keluarga dan masyarakatnya.
Seiring berkembangnya masa, ikatan lelaki dan perempuan dalam hal
ini “pacaran,” adalah sesuatu yang kini lumrah terjadi di kalangan remaja.
Tidak sedikit kalangan remaja menjadikan hubungan pacaran sebagai momen untuk
saling mengenal satu sama lain, agar mereka mengetahui bagaimana orang yang
akan menjadi pasangan suami (ataupun istrinya) ke depan. Namun, sayangnya
pemaknaan pacaran pada modern ini, telah jauh menyimpang dari idealnya,
sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi penyimpangan akhlak bagi remaja, jika
demikian, maka perlu adanya pencegahan sebelum nasi menjadi bubur!.
Satu sisi, Islam melarang perbuatan keji, dan di saat yang sama,
juga sangat menjaga kehormatan umatnya termasuk perempuan, ini bisa ditemukan
(misalnya) dalam fiqih untuk wanita, dll. Banyak larangan yang tertuju untuk
wanita, namun ketika dipahami, ternyata larangan demikian adalah sebuah solusi
kehidupan bagi wanita.
Dalam kasus pernikahan, beberapa kriteria ditawarkan dalam memilih
pasangan hidup masa depan, dua diantaranya adalah “memiliki nasab yang baik”,
dan “memiliki akhlak yang baik”. Disandingkan dengan perjodohan, tentu orang
tua menginginkan anaknya mendapatkan pasangan yang terbaik, baik itu untuk diri
anaknya, keluarga dan dipandang baik bagi masyarakatnya. Akan baik jika pilihan
sang anak dalam memilih pasangannya itu tepat, dengan tolak ukur memenuhi
kriteria dari syariat. Namun di zaman sekarang ini, pengaruh pacaran, nampaknya
telah melalaikan si perempuan dalam memilih pasangan yang sesuai kriteria, ini
disebabkan karena lebih cenderung melihat masa pernikahan pada soal percintaan
(cinta kemudian nikah) tanpa menyaring baik buruknya hubungan mereka dalam
pandangan keluarga dan agama.
Untuk membendung pergaulan yang tidak seyogyanya, maka keluarga
(orang tua) lebih memilih untuk menjodohkan anaknya sesuai kriteria yang baik
untuk keluarga dan agama, meski tanpa adanya rasa cinta dari anaknya kepada
calon pasangannya, karena cinta masih bisa tumbuh seiring berjalannya waktu
setelah menikah.
Sumber: Zuhaily, Muhammad, Fiqih Munakahat Kajian Fiqih
Pernikahan dalam Perspektif Mazhab Syaffi’i.
[1]
Hanya sebagai contoh, bisa jadi di daerah lain juga memiliki kemiripan budaya
dengan masyarakat Bugis.
[3]
Seperti dalam kasus Silariang, Pacaran diluar batas, dll.
Catatan Kecil tentang Persoalan Nikah Paksa
4/
5
Oleh
Unknown