Jumat, 04 Maret 2016

Catatan Kecil tentang Persoalan Nikah Paksa



NIKAH PAKSA

Nikah merupakan akad yang menyatukan laki-laki yang memperistri seorang wanita. Tujuan nikah adalah untuk menyatukan karakter jasmaniyah antara suami-istri, mencaru keturunan, mendirikan keluarga, dan untuk melindungi dan menjaga kelestarian masyarakat. Semua itu telah ditetapkan berdasarkan Al-Qur’an, Hadits dan ijma’ ulama.
Dalil AL-Qur’an
“….. dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang –orang yang layak (berkawin0 dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang peremupuan.” (Q.S. Al-Nur: 3)
Dalil Sunah
Nabi SAW bersabda: “Barang siapa cinta kepada fitrahku, maka hendaklah melaksanakan sunahku, dan di antara sunahku ialah kawin.”(Ibnu Majah)
Sebelum menjalani pernikahan, terlebih dahulu melewati beberapa tahap yang harus dijalani oleh si pengantin (calon suami ataupun istri), salah satu diantaranya adalah masa peminangan. Namun, pada masa ini, ternyata tidak semudah yang diinginkan, karena masih terus terjadi problem tentang siapa dan bagaimana hak keluarga (orang tua) dalam menentukan calon pendamping anaknya, sehingg timbullah istilah nikah paksa.
Nikah paksa telah menjadi fenomena sosial yang timbul akibat tidak adanya kerelaan diantaranya untuk menjalankan perkawinan. Nikah/kawin paksa biasanya muncul karena banyak motif yang melatar belakanginya, misalnya ada perjanjian diantara orang tua yang sepakat akan menjodohkan anaknya, ada juga karena faktor keluarga.
Di masyarakat Bugis, Sulawesi[1], dahulu lebih akrab dengan pernikahan perjodohan, mereka meyakini bahwa keputusan (perjodohan) yang dilakukan oleh orang tua akan langgeng (bertahan), mereka tidak terlalu melandasi pernikahan dengan percintaan. Jika kita melihat kasus (budaya) Bugis tersebut dengan kaca mata keagamaan, maka sekilas terlihat bertentangan karena dari pihak keluarga (orang tua) tidak meminta persetujuan dari anaknya terlebih dahulu. Namun, perlu diadakan ‘pembacaan’ kembali tentang pertentangan tersebut. Pertama yang harus digaris bawahi, adalah bahwa masyarakat Bugis Makassar sangat menjunjung tinggi kehormatan, terutama dalam hal perempuan, ini dapat ditemukan ketika si anak perempuan melakukan pelanggaran moral[3] maka perbuatan si anak perempuan itu tidak hanya menjadi aib dirinya, bahkan menjadi aib keluarga dan masyarakatnya.
Seiring berkembangnya masa, ikatan lelaki dan perempuan dalam hal ini “pacaran,” adalah sesuatu yang kini lumrah terjadi di kalangan remaja. Tidak sedikit kalangan remaja menjadikan hubungan pacaran sebagai momen untuk saling mengenal satu sama lain, agar mereka mengetahui bagaimana orang yang akan menjadi pasangan suami (ataupun istrinya) ke depan. Namun, sayangnya pemaknaan pacaran pada modern ini, telah jauh menyimpang dari idealnya, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi penyimpangan akhlak bagi remaja, jika demikian, maka perlu adanya pencegahan sebelum nasi menjadi bubur!.
Satu sisi, Islam melarang perbuatan keji, dan di saat yang sama, juga sangat menjaga kehormatan umatnya termasuk perempuan, ini bisa ditemukan (misalnya) dalam fiqih untuk wanita, dll. Banyak larangan yang tertuju untuk wanita, namun ketika dipahami, ternyata larangan demikian adalah sebuah solusi kehidupan bagi wanita.
Dalam kasus pernikahan, beberapa kriteria ditawarkan dalam memilih pasangan hidup masa depan, dua diantaranya adalah “memiliki nasab yang baik”, dan “memiliki akhlak yang baik”. Disandingkan dengan perjodohan, tentu orang tua menginginkan anaknya mendapatkan pasangan yang terbaik, baik itu untuk diri anaknya, keluarga dan dipandang baik bagi masyarakatnya. Akan baik jika pilihan sang anak dalam memilih pasangannya itu tepat, dengan tolak ukur memenuhi kriteria dari syariat. Namun di zaman sekarang ini, pengaruh pacaran, nampaknya telah melalaikan si perempuan dalam memilih pasangan yang sesuai kriteria, ini disebabkan karena lebih cenderung melihat masa pernikahan pada soal percintaan (cinta kemudian nikah) tanpa menyaring baik buruknya hubungan mereka dalam pandangan keluarga dan agama.
Untuk membendung pergaulan yang tidak seyogyanya, maka keluarga (orang tua) lebih memilih untuk menjodohkan anaknya sesuai kriteria yang baik untuk keluarga dan agama, meski tanpa adanya rasa cinta dari anaknya kepada calon pasangannya, karena cinta masih bisa tumbuh seiring berjalannya waktu setelah menikah.


Sumber: Zuhaily, Muhammad, Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Pernikahan dalam Perspektif Mazhab Syaffi’i.


[1] Hanya sebagai contoh, bisa jadi di daerah lain juga memiliki kemiripan budaya dengan masyarakat Bugis.

[3] Seperti dalam kasus Silariang, Pacaran diluar batas, dll.

Related Posts

Catatan Kecil tentang Persoalan Nikah Paksa
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.