Jumat, 04 Maret 2016

Memahami Hadits

Memahami Hadits



PEMAHAMAN HADITS
SECARA TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL
Oleh: Muh Alwi HS

A.    Pengertian
Memahami hadits secara tekstual adalah Memahami  hadits berdasarkan makna lahiriyahnya teks, asli atau sesuai dengan arti secara bahasa. Memahami teks secara tekstual, penekanan teks hadits terfokus pada aspek bahasa. Sedangkan memahami hadis secara kontekstual ialah memahami hadis yang lebih mengembangkan penalaran terhadap “konteks” yang berada di balik teks.
B.     Metode Memahami Hadits
1.      Metode Historis
Metode ini dipergunakan untuk menguji validitas sumber dokumen (teks-teks hadits), sebagai peninggalan masa lampau yang dijadikan rujukan, metode historis digunakan, karena kajian terjadap sumber masa lampau yang merupakan tahapan penting untuk memahami sejarah masa lampau.
2.      Metode Hermeneutika
Metode ini dipakai untuk memahami teks-teks hadits yang sudah diyakini orisinal dari Nabi, dengan mempertimbangkan teks hadits memiliki rentang yang cukup panjang antara Nabi dan umat islam sepanjang masa. Hermeneutika terhadap teks hadits menuntut diperlakukannya teks hadits sebagai produk lama dapat berdialog secara komunikatif dan romantic (dialektik) dengan pensyarah dan audiensinya yang baru sepanjang sejarah umat islam.
C.     Lingkup tekstual dan kontekstual dalam memahami hadis
1)      Lingkup tekstual mencakup :
a.       Menyangkut ide moral atau ide dasar atau tujuan
b.      Bersifat absolut, prinsipil, universal, fundamental
c.       Mempunyai visi keadilan, kesetaraan, demokrasi mu’asayarah bil ma’ruf
d.      Menyangkut relasi langsung dan spesifik manusia dengan tuhan yang bersifat universal (bisa dilakukan, siapanpun, kapanpun, dan di manapun).
Contoh: Shalat, tekstualnya terletak pada keharusan seorang hamba berkomunikasi, beribadah dan menyembah kepada penciptanya dalam kondisi apapun, selama hidup.
2)      Lingkup kontekstual mencakup:
a.       Menyangkut sarana  atau bentuk (yang tertuang secara tekstual), Bahwa tidak mesti mengikuti apa yang sesuai dengan tekstual.
b.      Mengatur hubungan manusia dengan individu dan makhluk biologis.
c.       Mengatur hubungan dengan sesama makhluk dan alam seisinya
d.      Terkait dengan persoalan politik, ekonomi, budaya dan iptek
e.       Kontradiktif secara tekstual
f.       Menganalisis pemahaman teks-teks hadis dengan teori sosial, politik dll.

D.    Contoh hadis
Hadits tentang peran wanita dalam politik.
حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ الْهَيْثَمِ حَدَّثَنَا عَوْفٌ عَنِ الْحَسَنِ عَنْ أَبِى بَكْرَةَ قَالَ لَقَدْ نَفَعَنِى اللَّهُ بِكَلِمَةٍ سَمِعْتُهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَيَّامَ الْجَمَلِ ، بَعْدَ مَا كِدْتُ أَنْ أَلْحَقَ بِأَصْحَابِ الْجَمَلِ فَأُقَاتِلَ مَعَهُمْ قَالَ لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى قَالَ « لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً »
“Tidak akan beruntung suatu kaum jika berada di bawah pimpinan wanita.” (H.R. Bukhari)

Pemahaman Tekstual
Hadits ini dipahami oleh golongan tekstual bahwa seorang wanita tidak berhak untuk menjadi pemimpin, lebih jauh, wanita dianggapnya lebih mengutamakan emosionalnya daripada pertimbangan akal.
Pemahaman Kontekstual
            Hadits ini dalam Asbab wurud-nya menyebutkan bahwa saat ketika sahabat diperintahkan oleh Nabi mengirim surat kepada Raja Persia, namun surat surat tersebut disobek. Setelah raja itu wafat, digantikan oleh Bawaras, seorang perempuan yang kemudian menjadi pemimpin Persia.
            Hadits ini secara tekstual bertentangan dengan sejarah, misalnya yang terjadi pada kerajaan Saba yang dipimpin oleh Ratu Balqis yang berhasil menciptakan peradaban, Sharajat al-Dur pendiri kerajaan Mamluk yang memerintah wilayah aafrika utara terus ke asia barat. Ratu Elizabeth dari inggris telah berhasil memerintahkan lebih dari empat dasa warsa.
            Jika ditarik kesimpulan, maka dikatakan bahwa bukan “wanita”nya yang menyebabkan hadits ini keluar, tetapi karena lebih pada kapasitas seseorang ketika menjadi pemimpin.


Sumber:
Maloko. M.Thohir, Partisipasi Politik Perempuan Dalam Tinjauan Al-Qur’an Dan Hadits. 2013, Makassar: Skripsi.
Najwah, Nurun, Ilmu Ma’anil Hadits, 2008, Yogyakarta: Cahaya Pustaka.
Catatan Kecil tentang Persoalan Nikah Paksa

Catatan Kecil tentang Persoalan Nikah Paksa



NIKAH PAKSA

Nikah merupakan akad yang menyatukan laki-laki yang memperistri seorang wanita. Tujuan nikah adalah untuk menyatukan karakter jasmaniyah antara suami-istri, mencaru keturunan, mendirikan keluarga, dan untuk melindungi dan menjaga kelestarian masyarakat. Semua itu telah ditetapkan berdasarkan Al-Qur’an, Hadits dan ijma’ ulama.
Dalil AL-Qur’an
“….. dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang –orang yang layak (berkawin0 dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang peremupuan.” (Q.S. Al-Nur: 3)
Dalil Sunah
Nabi SAW bersabda: “Barang siapa cinta kepada fitrahku, maka hendaklah melaksanakan sunahku, dan di antara sunahku ialah kawin.”(Ibnu Majah)
Sebelum menjalani pernikahan, terlebih dahulu melewati beberapa tahap yang harus dijalani oleh si pengantin (calon suami ataupun istri), salah satu diantaranya adalah masa peminangan. Namun, pada masa ini, ternyata tidak semudah yang diinginkan, karena masih terus terjadi problem tentang siapa dan bagaimana hak keluarga (orang tua) dalam menentukan calon pendamping anaknya, sehingg timbullah istilah nikah paksa.
Nikah paksa telah menjadi fenomena sosial yang timbul akibat tidak adanya kerelaan diantaranya untuk menjalankan perkawinan. Nikah/kawin paksa biasanya muncul karena banyak motif yang melatar belakanginya, misalnya ada perjanjian diantara orang tua yang sepakat akan menjodohkan anaknya, ada juga karena faktor keluarga.
Di masyarakat Bugis, Sulawesi[1], dahulu lebih akrab dengan pernikahan perjodohan, mereka meyakini bahwa keputusan (perjodohan) yang dilakukan oleh orang tua akan langgeng (bertahan), mereka tidak terlalu melandasi pernikahan dengan percintaan. Jika kita melihat kasus (budaya) Bugis tersebut dengan kaca mata keagamaan, maka sekilas terlihat bertentangan karena dari pihak keluarga (orang tua) tidak meminta persetujuan dari anaknya terlebih dahulu. Namun, perlu diadakan ‘pembacaan’ kembali tentang pertentangan tersebut. Pertama yang harus digaris bawahi, adalah bahwa masyarakat Bugis Makassar sangat menjunjung tinggi kehormatan, terutama dalam hal perempuan, ini dapat ditemukan ketika si anak perempuan melakukan pelanggaran moral[3] maka perbuatan si anak perempuan itu tidak hanya menjadi aib dirinya, bahkan menjadi aib keluarga dan masyarakatnya.
Seiring berkembangnya masa, ikatan lelaki dan perempuan dalam hal ini “pacaran,” adalah sesuatu yang kini lumrah terjadi di kalangan remaja. Tidak sedikit kalangan remaja menjadikan hubungan pacaran sebagai momen untuk saling mengenal satu sama lain, agar mereka mengetahui bagaimana orang yang akan menjadi pasangan suami (ataupun istrinya) ke depan. Namun, sayangnya pemaknaan pacaran pada modern ini, telah jauh menyimpang dari idealnya, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi penyimpangan akhlak bagi remaja, jika demikian, maka perlu adanya pencegahan sebelum nasi menjadi bubur!.
Satu sisi, Islam melarang perbuatan keji, dan di saat yang sama, juga sangat menjaga kehormatan umatnya termasuk perempuan, ini bisa ditemukan (misalnya) dalam fiqih untuk wanita, dll. Banyak larangan yang tertuju untuk wanita, namun ketika dipahami, ternyata larangan demikian adalah sebuah solusi kehidupan bagi wanita.
Dalam kasus pernikahan, beberapa kriteria ditawarkan dalam memilih pasangan hidup masa depan, dua diantaranya adalah “memiliki nasab yang baik”, dan “memiliki akhlak yang baik”. Disandingkan dengan perjodohan, tentu orang tua menginginkan anaknya mendapatkan pasangan yang terbaik, baik itu untuk diri anaknya, keluarga dan dipandang baik bagi masyarakatnya. Akan baik jika pilihan sang anak dalam memilih pasangannya itu tepat, dengan tolak ukur memenuhi kriteria dari syariat. Namun di zaman sekarang ini, pengaruh pacaran, nampaknya telah melalaikan si perempuan dalam memilih pasangan yang sesuai kriteria, ini disebabkan karena lebih cenderung melihat masa pernikahan pada soal percintaan (cinta kemudian nikah) tanpa menyaring baik buruknya hubungan mereka dalam pandangan keluarga dan agama.
Untuk membendung pergaulan yang tidak seyogyanya, maka keluarga (orang tua) lebih memilih untuk menjodohkan anaknya sesuai kriteria yang baik untuk keluarga dan agama, meski tanpa adanya rasa cinta dari anaknya kepada calon pasangannya, karena cinta masih bisa tumbuh seiring berjalannya waktu setelah menikah.


Sumber: Zuhaily, Muhammad, Fiqih Munakahat Kajian Fiqih Pernikahan dalam Perspektif Mazhab Syaffi’i.


[1] Hanya sebagai contoh, bisa jadi di daerah lain juga memiliki kemiripan budaya dengan masyarakat Bugis.

[3] Seperti dalam kasus Silariang, Pacaran diluar batas, dll.