Rabu, 13 Desember 2017

‘MENERTAWAI’ KLAIM KEBENARAN



‘MENERTAWAI’ KLAIM KEBENARAN




Bayangkan kamu menjadi seorang ayah atau ibu, memiliki banyak anak serta punya harta yang berlimpah. Setiap hari, jam, menit, bahkan detik, selalu mendambakan dan mendoakan anak-anakmu, berharap mereka menjadi anak shaleh dan shalehah. Akhirnya, suatu ketika kamu meninggal dunia. Meninggalkan harta kekayaan kepada anak-anakmu. Bagaimana perasaanmu ketika kamu belum dimakamkan, tapi anak-anakmu telah bertengkar, berselisih, memperebutkan harta kekayaanmu? Bagaimana perasaanmu ketika do’a dan usaha kamu untuk menjaga keharominisasian yang selama ini kamu jaga, seketika buyar hanya karena penentuan siapa yang lebih berhak mendapatkan harta kekayaanmu?. Sedih? Iya. Kecewa? Pasti. Marah? Boleh jadi. 

Demikianlah gambaran wajah Islam menjelang kematian Nabi Muhammad SAW, sang pembawa perdamaian dan persatuan umat. Ketika Nabi tengah menghadapi sakaratul maut, beliau bahkan tidak lepas dari pikiran atas umatnya. Ummati, ummati, ummati, katanya penuh cinta kepada umatnya, berharap kasih sayang Tuhan selalu melimpah atas kehidupan umatnya. Namun, siapa sangka persatuan, perdamaian, dan cinta kasih yang selama ini dibangun dan dijaga oleh sang Nabi tersebut, seketika buyar dan hancur berkeping-keping lantaran kehendak ‘siapa yang berhak menjadi pengganti pemimpin umat Islam’. Ironinya, proses penggantian itu dilakukan bahkan sebelum Nabi dimakamkan. Saat itu, Nabi masih berada di ruangan rumahnya. Tetapi di ruangan lain nun jauh di sana umatnya sibuk berdebat, membincangkan pengganti beliau. Dikatakan bahwa proses pemilihan pengganti Nabi ini adalah cikal bakal terjadinya perpecahan umat Islam menjadi dua kelompok, yakni Sunni dan Syiah, yang kelak kemudian terbagi-bagi menjadi kepingan-kepingan umat.

Sungguh perbedaan itu dibuat dan dimulai dengan cara yang tidak benar. Lantas, apa hak kita untuk membenarkan sikap dan kelompok kita?. Tidakkah seharusnya kita malu atas perpecahan yang telah diperbuat?. Anehnya, umat Islam hari ini menjadikan perbedaan itu sebagai ajang penyaringan masuk surga, menganggap diri dan kelompoknya yang benar dan berhak masuk Surga, dan yang lainnya adalah penghuni Neraka. Membandingkan kelompoknya dengan kelompok yang lain, tetapi menggunakan perspektif dirinya. Mencari-cari kesalahan kelompok lain lalu diumbar-umbarnya. Lucu, ketika perbedaan yang dibuat dengan cara yang tidak benar itu dijadikan alasan untuk menjatuhkan pihak lain. Siapa yang salah, siapa yang menyalahkan?.