MENDUDUKKAN PANDANGAN MUSLIM DAN NON-MUSLIM TENTANG AL-QUR’AN
Al-Quran
MENDUDUKKAN PANDANGAN MUSLIM DAN NON-MUSLIM
TENTANG AL-QUR’AN
TENTANG AL-QUR’AN
Oleh:
Muh Alwi HS
UIN Sunan Kalijaga
Muh Alwi HS
UIN Sunan Kalijaga
Polemik pemikiran muslim dengan non-muslim tentang al-Qur’an senantiasa menjadi bahasan menarik untuk selalu ditampilkan. Pasalnya, muslim yang dengan sendirinya mengimani al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya ternyata tidak sedikit mengalami ‘kekalahan’ dari non-Muslim dalam mengkaji kitab Suci tersebut. ‘kekalahan’ yang dimaksud di sini adalah perkembangan kajian al-Qur’an lebih luas yang lebih cenderung didominasi oleh pengkaji dari non-Muslim dibandingkan dengan pengkaji itu sendiri.[1] Hal ini dapat diketahui –misalnya- pembuktian ayat-ayat yang bersifat Sains, perkembangan kajian sastra dalam al-Qur’an, dan lain sebagainya.
Di sisi lain, pertentangan antara pemikiran muslim dengan non-Muslim juga senantiasa mewarnai perkembangan kajian al-Qur’an. Hal ini disebabkan posisi pemikiran kedua pihak tersebut memang memiliki persi yang satu dengan lainnya saling berbeda. Oleh karena itu, tulisan ini hendak mendudukkan pemikiran Muslim dan non-Muslim, khususnya mengenai al-Qur’an.
Al-Qur’an: antara Kalam Ilahi dan Produk Manusia
Secara garis besar, kajian al-Qur’an berputar pada bahasan Nabi Muhammad, sejarah (asal usul) al-Qur’an, serta Isi dalam al-Qur’an. Ditinjau dari segi Muhammad, selaku penyebar utama al-Qur’an. Tidak jarang Muhammad mendapat sorotan tersendiri dari pengkaji non-Muslim yang bernada negatif. Hal ini bisa diketahui –misalnya- kasus Muhammad saat menikahi Zainab, istri dari keponakannya sendiri, Zaid. Dikarenakan non-Muslim yang tidak meyakini adanya faktor ilahiyah yang berperan dalam setiap tindakan Muhammad, sehingga menganggap perbuatan menikahi istri keponakannya sendiri adalah sebuah kejahatan yang dilakukan oleh Muhammad. Padahal dalam penjelasan lengkapnya, Muhammad dalam kasus ini merupakan perintah langsung dari Allah untuk menikahi Zainab, lebih jauh, Zainab –permpuan dengan kehormatan tinggi saat itu- merasa tidak pantas dengan Zaid yang saat itu berstatus bekas budak.[2]
Selanjutnya, mengenai asal usul al-Qur’an, hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa pemahaman atas asal usul al-Qur’an terjadi perbedaan yang signifikan dari kalangan muslim dan non-Muslim. Bagi kaum Muslim, al-Qur’an merupakan Kalam Ilahi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril, untuk kemudian disampaikan kepada umat Islam. Sementara bagi non-Muslim, al-Qur’an merupakan karya Muhammad, atau bahkan hasil karya dari kerja sahabat-sahabat Nabi.[3] Dua pandangan ini dapat didudukkan dengan melihat latar belakang dari kedua pengkaji tersebut, yakni muslim yang mendasari pengertiannya berdasar pada keimanan kepada metafisik (Allah dan Jibril), dan non-Muslim yang tidak memperdulikan persoalan keimanan. Bagi muslim, al-Qur’an pernah mengalami rana ilahiyah, yakni rana yang tak dapat dijangkau oleh akal pikiran manusia. Sementara pada pengkajian non-Muslim, mereka hanya menampilkan argument berdasarkan data yang ada, dalam hal ini adalah al-Qur’an yang terbentuk pada rana manusia, baik pada diri Muhammad maupun pada saat khalifah Abu Bakar dan Utsman.
Ditinjau dari al-Qur’an, kita bisa meminjam peta mendekati al-Qur’an menurut Farid Esack, bahwa Muslim dalam mendekati al-Qur’an dapat dibagi menjadi tiga, yakni orang awam, ulama konfensional, dan ulama kritis. Adapun bagi non-Muslim ketika mendekati al-Qur’an juga dapat dibagi menjadi tiga, yakni pengamat partisipan, pengamat yang tak berkepentingan, dan pengamat yang polemik.[4] Dalam mendekati al-Qur’an inilah yang seringkali terjadi perdebatan yang signifikan antara muslim dan non-muslim. Meski demikian, kita dapat mendudukkan perdebatan-perdebatan tersebut dengan menyadari adanya perbedaan-perbedaan yang mendasari kajian yang mereka lakukan, misalnya ruang lingkup, metode dan pendekatan. Bahkan dalam konteks ini, sesama muslim ataupun sesama non-muslim akan berbeda hasil kajiannya jika melalui metode atau pendekatan yang berbeda.
Dari berbagai aspek kajian al-Qur’an di atas, dapat dipahami bahwa adanya perbedaan yang lahir atas kesimpulan ataupun temuan dari pengkaji muslim dengan non-muslim dapat dikategorikan sebagai perbedaan yang biasa terjadi dalam wacana pengkajian al-Qur’an, yakni adanya perbedaan pra-pemahaman bagi para pengkaji al-Qur’an itu sendiri.
Daftar Pustaka
Al Makin, 2015, antara Barat dan Timur: Batasan, Dominasi, Relasi, dan Globalisasi, (Yogyakarta: SUKA-Press).
Esack Farid, 2005, The Qur’an A User’s Guide, (England: Thomson Press).
Salahi, M. A., 2010, Muhammad sebagai Manusia dan Nabi, terj. M. Sadat Syafi’ie, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, ).
Sardar, Ziauddin, 2014, Ngaji Qur’an di Zaman Edan: Sebuah Tafsir untuk Menjawab Persoalan Mutakhir, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta).
[1] Lebih jauh, Barat selalu menjadi pengkaji sedangkan timur (Islam) menjadi objek kajian, Al Makin, antara Barat dan Timur: Batasan, Dominasi, Relasi, dan Globalisasi, (Yogyakarta: SUKA-Press, 2015), hlm.
[2] Lihat selengkapnya dalam M. A. Salahi, Muhammad sebagai Manusia dan Nabi, terj. M. Sadat Syafi’ie, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2010), hlm. 83-84.
[3] Hal ini sebagaimana kenyataan kodifikasi al-Qur’an, baik pada masa Khalifah Abu Bakar, maupun pada masa Utsman bin Affan. Lihat Ziauddin Sardar, Ngaji Qur’an di Zaman Edan: Sebuah Tafsir untuk Menjawab Persoalan Mutakhir, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2014), hlm. 47.
[4] Farid Esack, The Qur’an A User’s Guide, (England: Thomson Press, 2005), hlm. 3.