Kamis, 03 Desember 2015

PENELITIAN RIJAL HADITS

PENELITIAN RIJAL HADITS



PENELITIAN RIJAL HADITS

A.    Contoh Teks Hadits
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ السَّامِيُّ  قَالَ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ الْمَقَابِرِيُّ قَالَ: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ قَالَ: أَخْبَرَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دِينَارٍ أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عُمَرَ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ: " إِنَّ الْيَهُودَ إِذَا سَلَّمُوا عَلَيْكُمْ إِنَّمَا يَقُولُ أَحَدُهُمُ: السَّامُ عَلَيْكَ فَقُلْ وَعَلَيْكَ "(رواه ابن حبان).
“ Diberitakan kepada kami  bahwa Muhammad Bin Abdurrahman As-Samiy berkata, Yahya Bin Ayyub Al-Muqabari berkata, Ismail Bin Ja’far berkata Abdullah Bin Dinar berkata, bahwasanya dia mendengar Ibnu Umar berkata, bahwa Rasulullah bersabda “Sesungguhnya orang Yahudi jika mengucapkan salam kepada kalian, sungguh dia hanya mengatakan: terbakarlah kalian, maka jawablah: dan kamu juga.”
Untuk melihat keshahihan sebuah hadits, kaidah ilmu hadits menyatakan bahwa yang pertama kali perlu diteliti adalah sanadnya. Bila sanadnya dinyatakan shahih, barulah matannya bisa diperhatikan. Bila tidak, maka matannya tidak dipandang shahih lagi. Untuk menguji keshahihan sanad hadits di atas, berikut ini akan ditelusuri identitas para perawinya. Sampel yang diambil adalah jalur Nabi Muhammad SWA. => Ibnu Umar => Abdullah Bin Dinar => Ismail Bin Ja’far => Yahya Bin Ayyub Al-Muqabari => Muhammad Bin Abdurrahman As-Samiy => Ibnu Hibban.

B.     Kajian Sanad Hadits
Berikut ini akan dipaparkan identitas orang-orang yang masuk dalam jalur periwatan hadits tersebut.
1.      Ibnu Umar (w. 73 H/692 M)
Nama lengkapnya Abdullah bin Umar bin Khattab bin Nufail, julukannya Ibnu Umar atau Abu Abdurrahman, tinggal di Madinah, termasuk sahabat terpandang, wafat tahun 73 H692 M. Menurut Ibnu Abdil Bar ia wafat dalam usia 86 tahun. Jadi, diperkirakan Ibnu Umar lahir tahun 13 tahun sebelum peristiwa Hijrah. Mengenai kepribadiannya, Sulaiman bin Mahran berkata, “Aku tidak melihat orang yang lebih wira’i dari Ibnu Umar”.[1]
Selain berguru kepada Nabi, ia juga berguru kepada sahabat-sahabat lain yang lebih senior, antara lain Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khatthab, Bilal bin Rabah dan lain sebagainya. Sejak kecil memiliki semangat yang tinggi untuk mempelajarai dan meneladani sunnah Nabi SAW.
Beberapa orang yang berguru kepadanya antara lain Abu Al-Qamah, Jabir bin Abdullah bin Amr, Abdullah bin Dinar, dan lain-lain.[2] Abu Umar berkata “Abdullah bin Umar meninggal di Makkah tahun 73 H[3].

2.      Abdullah bin Dinar (w. 127 H)
Beliau dikenal dengan Nama Abdullah bin Dinar al-Qursyi, Kuniahnya adalah Abu Abdurrahman, dia tinggal di Madinah, dia termasuk maula Abdullah bin Umar bin Khatthab.
Abdulah bin Dinar pernah berguru kepada Ali bin Abi Thalib Al-Hasyimiy, Zaid bin Aslam Al-Qursyi, Ibnu Umar, dan lain-lain. Selain memiliki banyak guru, banyak pula murid yang berguru kepadanya, diantaranya adalah Ibrahim bin Abdullah Al-Jamhi, Al-Qasim bin Abdullah Al-‘Umriy, Ismail bin Ja’far, dan lain-lain.
Beberapa ulama memberikan penilaian terhadap beliau, diantaranya adalah Ibnu Ibnu Hibban menilainya sebagai ‘Tsiqah’[4], Ibnu Hajar al-Asqalani menilainya sebagai ‘Tsiqah’[5]

3.      Ismail bin Ja’far (w. 180 H)
Nama lengkap beliau adalah Ismail bin Ja’far bin Abi Katsir al-Anshari kuniyahnya Abu Ishaq.[6] Laqabnya adalah Ibnu Abi Katsir, beliau tinggal di Madinah, yang kemudian meninggal di Baghdad.[7]
Ismail bin Ja’far pernah berguru kepada Ja’far Ash-shadiq, Hamid At-Thawil, Abdullah bin Dinar,[8] dan lain-lain. Adapun yang menjadi murid-muridnya adalah Muhammad bin Jahdham, Yahya bin Yahya an-Naisaburi, Yahya bin Ayyub al-Maqbiri,[9] dan lain-lan.
Abu Abdullah Al-Hakim, Abu Daud Al-Sajsatani, Abu Zar’ah al-Razi, dan Abu Ya’la Al-Khalil, mereka menilai Ismail bin Ja’far sebagai orang yang ‘Tsiqah’[10].

4.      Yahya bin Ayyub Al-Maqabiri (w. 234)
Nama lengkapnya adalah Yahya bin Ayyub Al-Maqabiri Abu Zakariya Al-Baghdadi Al-Abid.[11] Beliau lahir pada tahun 157 H, dan meninggal dalam umur 77 tahun[12], pada bulan Rabiul Awal tahun 234 H[13].
Beliau pernah berguru kepada Abdullah bin Mubarak, Marwan bin Muawiyah, Ismail bin Ja’far,[14] dan lain-lain. Dan yang termasuk murid-muridnya adalah Muslim, Abu Daud, Muhammad Bin Abdurrahman Asy-Syami,[15] dan lain-lain.
Ibnu Hajar Al-Asqalani menilai beliau sebagai orang yang ‘Tsiqah’,[16] dan Ibnu Hibban juga menilainya sebagai orang yang ‘Tsiqah’[17].

5.      Muhammad Bin Abdurrahman Asy-Syami (w. 310)
Beliau memiliki nama lengkap yaitu Muhammad bin Abdurrahman bin Abbas, kuniyahnya adalah Abu Abdullah, beliau tinggal di Madinah, tahun kelahiran beliah tidak diketahui, namun beliau wafat pada tahun 310 H.[18]
Beliau pernah berguru kepada Ahmad bin Abu Bakar Al-Qursyi, Ibrahim bin Hamzah, Yahya bin Ayyub[19], dan lain-lain. Adapun murid-murid beliau adalah Ahmad bin Abdullah Al-Ashyahaty, Muhammad bin Ahmad Al-Hatqi, Ibnu Hibban[20], dan lain-lain.
Dalam Jamil Kalim, ulama yang menilai tentang beliau hanya dua ulama, yaitu Adz-Dzahabi menilainya sebagai seorang ahli hadits yang Tsiqah al-Hafidz, dan Ibnu Said al-Azdi menilainya Tasabbahu sami.[21]

6.      Ibnu Hibban (w. 354 H)
Nama lengkapnya adalah Muhammad Ibnu Hibban bin Ahmad bin Hibban bin Mu’adz atau lebih dikenal dengan nama Abu Hathim al-Busti. Beliau merupakan ulama yang menulis kitab hadits Shahi Ibnu Hibban. Kreadibilitas maupun kualitas intelektualnya tidak perlu diragukan lagi. Abu Zur’ah menyatakan bahwa beliau merupakan seorang Syaikh yang Tsiqah.[22]
Beberapa orang yang pernah menjadi gurunya adalah Ibnu jarir at-Thabari, Zakariya bin Yahya, Muhammad bin Abdurrahman Asy-Syami, dan lain-lain.
Sedangkan diantara muridnya adalah Ad-Daruquthni, Al-Hakim An-Naisaburi, Abu Nashr Ath-Thabarani, Abu Bakar Asy-syafi’i, dan lain-lain.[23]
Abu Sa’ad al-Idris mengatakan bahwa Ibnu Hibban adalah salah satu ahli fiqih, menguasai atsar, hadits dan tentang rijal.[24]

C.    Kesimpulan
Berpacu pada syarat-syarat keshahihan sanad, seperti ketersambungan sanad (ittishal sanad), intelektualitas perawi. Semua rijal yang terlibat dalam periwatan terbukti memiliki relasi sebagai guru-murid. Kredibilitas maupun intelektualitas mereka juga tidak perlu dilakukan lagi. Tidak ada seorang perawi pun yang berstatus dhaif. Tidak ada cela (illat) pada para rijal tersebut. Maka dari penelitian hadits tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa sanad hadits ini memenuhi syarat keshahihan sanad.


[1] Ibnu Abdil Bar, al-Isti’ab fi Ma’rifati Ashab (Beirut: Dar al-Jil, 1312 H), Jld. 3, hlm 951.
[2] Software Jami’ al-kalim.
[3] Al-Daruquthni, Dzikru Asma’ al-Tabi’in Waman Ba’dahum (Beirut: Muassasah  al-Kutub al-Tsaqafiyah, 1985), jld 2, hlm 259.
[4] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Tahdzibul Tahdzib (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1996), jilid 5, hlm 203.
[5] Software Jami’ al-kalim.
[6] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Tahdzibul Tahdzib…., jilid 1, hlm 287.
[7]  Sofware Jamil Kalim.
[8]  Ibnu Hajar Al-Asqalani, Tahdzibul Tahdzib…., jilid 1, hlm 287.
[9]  Ibid,hlm 287.
[10] Sofwere Jamil Kalim.
[11] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Tahdzibul Tahdzib…., jilid 7, hlm 17.
[12] Sofwere Jamil Kalim.
[13] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Tahdzibul Tahdzib…., jilid 7, hlm 17.
[14] Ibid, hlm 17.
[15] Ibid, hlm 17.
[16] Sofwere Jamil Kalim.
[17] Ibid, hlm 17.
[18] Sofwere Jamil Kalim.
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Al-Hafidz Al-Mizzi, Tahdzibul Kamal, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), jilid 18, hlm 130.
[23] Ibid.
[24] Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Zahabi, Siir A’lam An-Nubala’, (Beirut: Ar-Risalah Publishing House, 1996), Juz 16, hlm 94.

Senin, 30 November 2015

kaidah syarath dan jawab dalam al-Qur'an

kaidah syarath dan jawab dalam al-Qur'an



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Eksistensi Al-Qur’an baik sebgai sumber hukum maupun sebagai pedoman dasar dalam kehidupan umat manusia, khususnya umat islam, merupakan sesuatu yang tidak boleh diragukan lagi keberadaannya, meskipun dalam aplikasinya dikenal masyarakat masih memerlukan penjabaran yang lebih rinci. Oleh karena itu, umat Islam berkewajiban untuk mempelajari dan mendalami isi kandungan al-Qur’an serta merenungkan lafal-lafal dan kandungan maknanya.
Pada masa Rasulullah, umat Islam dapat memahami isi kandungan al-Qur’an baik yang berkenaan dengan Aqidah maupun Syari’ah secara tekstual sesuai dengan kondisi bangsa Arab ketika itu. Karena apabila mereka mendapati hal-hal yang kurang jelas,mereka langsung datang kepada Rasulullah untuk menanyakan penjelasannya, karena Rasulullah sebagai referensi dan penafsir pertama terhadap al-Qur’an. Oleh karenanya, pada masa itu penafsiran al-Qur’an tidak mengalami kesulitan, sebab disamping Rasulullah masih ada juga problema yang dihadapi para sahabat belum terlalu kompleks.
Namun, setelah Rasulullah berpulang ke Rahmatullah dan Islam mulai berkembang keluar Jazirah Arab,mulailah bermunculan banyak kasus dan peristiwa dikalangan umat Islam yang harus dengan segera menuntut pemecahan hukumnya secara benar dan akurat.[1] Karena itu, dalam makalah ini, penyusun hendak mengkaji ‘kaidah syarath dan hadzfu jawab syarath’ sebagai salah satu keilmuan dalam menambah wawasan untuk memahami kandungan Al-Qur’an.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana konsep syarath dan hadzfu jawab dalam Al-Qur’an?
C.     1. Untuk mengetahui konsep Syarath dan hadzfu jawab dalam Al-Qur’an?


BAB II
SYARATH DAN HADZFU JAWAB DALAM AL-QUR’AN
A.    Kata-kata Syarath Dalam Al-Qur’an
Dalam kitab Qawaid Al-Lugha Al-Arabiyyah (juz 1) yang ditulis oleh Fuad Nikmah, pembahasan tentang kata syarath (Adatu al-Syarti) terbagi menjadi dua bagian, yaitu:[2]
1.      Kata syarath (Adatu al-Syarath) yang menjazam dua fi’il
إن – من – ما – مهما – متى – أيان – أين – أينما – أنى – حيثما – كيفما – أى[3]

2.      Kata syarath (Adatu al-Syarath) yang tidak menjazam fi’il
لؤ – لولا – لوما – أما – إذا – لما – كلما
Selanjutnya syarath mempunyai serangkaian bagian, diantaranya : Adat (kata) syarath, Fiil syarath (jika masuk pada kalimat fiil), dan jawab syarat (walaupun terkadang syarat dan fiil syarath bisa dibuang tergantung beberapa faktor)[4]. Kata-kata syarath banyak terpakai dalam al-Qur’an, misalnya:
a.      In (إن)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَءَامَنُوٓاْ إِن تَنصُرُواْ ٱللَّهَ يَنصُرۡكُمۡ وَيُثَبِّتۡ أَقۡدَامَكُمۡ
b.      Idza (إذا)
إِذَا جَآءَ نَصۡرُ ٱللَّهِ وَٱلۡفَتۡحُ
B.     Perbedaan Penggunaan In dan Idza dalam Al-Qur’an
Meski dalam pembahasan sebelumnya, banyak dipaparkan huruf-huruf syarath (baik yang menjazam fiil maupun yang tidak), pada pembahasan ini akan dipaparkan perbedaan penggunaan In dan Idza saja.
In (إن) digunakan untuk yang diragukan atau jarang terjadi. Sedangkan Idza (إذا) digunakan untuk sesuatu yang diyakini, atau diduga keras atau sering kali terjadi. Contoh:
كُتِبَ عَلَيۡكُمۡ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ إِن تَرَكَ خَيۡرًا ٱلۡوَصِيَّةُ لِلۡوَٰلِدَيۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِينَ بِٱلۡمَعۡرُوفِۖ حَقًّا عَلَى ٱلۡمُتَّقِينَ.
“Diwajibkan atas kalian apabila (idza) tanda-tanda kematian hadir kepada salah seorang di antara kamu, jika (in) ia meninggalkan harta yang banyak, diwajibkan atasnya berwasiat dengan baik kepada kedua orang tua dan para kerabat, itu adalah sesuatu yang hak (kewajiban) bagi orang-orang bertaqwa”. (QS. Al-Baqarah: 180).
Ketika ayat di atas menunjuk “kematian/tanda-tandanya”, ia menggunakan kata idza karena hal tersebut merupakan sesuatu yang pasti, sedangkan ketika berbicara tentang harta yang banyak yang ditinggal, ayat di atas menggunakan kata in, karena itu jarang, atau diragukan terjadinya pada setiap orang.
Sering kali ditemukan dalam al-Qur’an huruf in digunakan dalam konteks kalam Allah yang ditujukan kepada orang-orang beriman, sebagai contoh:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَءَامَنُوٓاْ إِن تَنصُرُواْ ٱللَّهَ يَنصُرۡكُمۡ وَيُثَبِّتۡ أَقۡدَامَكُمۡ
“wahai orang-orang yang beriman, jika kalian membela (agama) Allah niscaya Allah membela kamu dan memantapkan posisi/pendirian kamu”. (QS. Muhammad: 7)”[5]
            Penggunaan kata in pada kedua contoh di atas bertujuan mengingatkan mitra bicara agar tidak yakin tentang kualitas pembelaannya terhadap agama Allah/imannya agar ia terdorong untuk mengingatkannya, karena siapa yang telah yakin mencapai targetnya, maka dia sering kali berhenti, tidak berusaha lagi. Hal ini tidak dikehendaki oleh pesan ayat semacam ayat-ayat di atas.[6]
                                                                                      
C.    Hadzfu  Jawab Syarath dalam Al-Qur’an
Ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung fi’il al-syarath (kata kerja bersyarat), tetapi jawab al-syarath (jawaban dari kata kerja bersyarat)-nya tidak disebutkan menunjukkan pentingnya masalah yang dibicarakan, atau –jika yang dibacakan adalah masalah siksa—menunjukkan dahsyatnya keadaan yang disebutkan.
Al-Qur’an Surah Al-Sajadah ayat 12 menunjukkan hal ini:
Dan sekiranya kamu melihat, ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepada mereka di hadapan Tuhan, mereka berkata: “Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia). Kami akan mengerjakan amal shaleh. Sesungguhnya kami (sekarang) adalah orang-orang yang yakin.”
Jawab al-syarath kata ‘law tara’ memang tidak disebutkan, dan yang disebutkan hanya reaksi orang-orang yang melihat siksaan neraka. Peniadaan jawab al-syarath adalah untuk menggambarkan betapa dahsyatnya siksaan di akhirat kelak.
Contoh yang lain:
Dan sekiranya kami melihat, ketika mereka terperanjat ketakutan, maka mereka tidak dapat melepaskan diri… (QS. Saba’: 51).
…. Dan seandainya orang-orang yang zalim itu mengetahui, ketika mereka menyaksikan siksa (pada hari kiamat); bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa siksaan Allah amatlah berat (QS Al-An’am: 27)
Jawab al-Syarath dari ketiga ayat di atas tidak disebutkan—dan itu lebih baik—untuk menunjukkan betapa hebat keadaan pada hari kiamat kelak. Bahkan karena luar biasanya keadaan pada hari itu, sehingga tidak mungkin diungkapkan dengan kata-kata, serta tak pula dapat disebutkan cirri-cirinya.
Demikian pula pada Surah Al-Takatsur ayat 5: pe                                 
Jangan begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuaan yang yakin (keberadaan neraka itu).
Maksud ayat ini ialah sekiranya kamu melihat dengan langsung betapa berat dan pedih siksaan di neraka itu, pasti kamu tidak akan tetap dalam keadaan berlalai-lalai dan lengah terhadap perintah dan larangan Allah.
Perhatikanlah ayat-ayat Al-Qur’an lain, kemudian pahamilah maknanya sesuai dengan kaidah ini.[7]       








DAFTAR PUSTAKA

Aqil, Bahauddin bin Abdullah ibnu, 2012, terjemahan syarath al-fiyah ibnu Aqil. (Bandung: Sinar Baru Algensindo)
Dahlan, Abd. Rahman, 1997, kaidah-kaidah penafsiran Al-Qur’an, (Bandung: Penerbit Mizan)
Nikmat, Fuad, Qawaid al-Lugha al-Arabiyyah (Juz 1), (Surabaya : Al-Hidayah)
Shihab, Quraish, 2012,  kaida Tafsir, (Bandung: Lentera Hati)
Syarjaya, Syibli, 2008, Tafsir ayat-ayat ahkam  (Jakarta: PT Raja Grafindo persada)



[1] Syibli syarjaya. Tafsir ayat-ayat ahkam  PT RajaGrafindo persada : Jakarta. 2008. hlm 35-36.
[2] Fuad Nikmat, Qawaid al-Lugha al-Arabiyyah (Juz 1), (Surabaya : Al-Hidayah), hlm 176-177.
[3] Adatu al-Syarth ini merupakan adatul jazm, jika ditinjau dari kajian ilmu nahwu.
[4] Bahauddin bin Abdullah ibnu Aqil, terjemahan syarath al-fiyah ibnu Aqil. (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2012) hlm 190.
[5] Atau aneka ayat yang biasa ditutup dengan: إن كنتم مؤمنين (jika kamu beriman).
[6] Quraish Shihab, kaida Tafsir, (Bandung: Lentera Hati, 2012), hlm 91-93.
[7] Drs. Abd. Rahman Dahlan, M.A, kaidah-kaidah penafsiran Al-Qur’an, (Bandung: Penerbit Mizan, 1997), hlm 86-87.