Rabu, 13 Desember 2017

‘MENERTAWAI’ KLAIM KEBENARAN



‘MENERTAWAI’ KLAIM KEBENARAN




Bayangkan kamu menjadi seorang ayah atau ibu, memiliki banyak anak serta punya harta yang berlimpah. Setiap hari, jam, menit, bahkan detik, selalu mendambakan dan mendoakan anak-anakmu, berharap mereka menjadi anak shaleh dan shalehah. Akhirnya, suatu ketika kamu meninggal dunia. Meninggalkan harta kekayaan kepada anak-anakmu. Bagaimana perasaanmu ketika kamu belum dimakamkan, tapi anak-anakmu telah bertengkar, berselisih, memperebutkan harta kekayaanmu? Bagaimana perasaanmu ketika do’a dan usaha kamu untuk menjaga keharominisasian yang selama ini kamu jaga, seketika buyar hanya karena penentuan siapa yang lebih berhak mendapatkan harta kekayaanmu?. Sedih? Iya. Kecewa? Pasti. Marah? Boleh jadi. 

Demikianlah gambaran wajah Islam menjelang kematian Nabi Muhammad SAW, sang pembawa perdamaian dan persatuan umat. Ketika Nabi tengah menghadapi sakaratul maut, beliau bahkan tidak lepas dari pikiran atas umatnya. Ummati, ummati, ummati, katanya penuh cinta kepada umatnya, berharap kasih sayang Tuhan selalu melimpah atas kehidupan umatnya. Namun, siapa sangka persatuan, perdamaian, dan cinta kasih yang selama ini dibangun dan dijaga oleh sang Nabi tersebut, seketika buyar dan hancur berkeping-keping lantaran kehendak ‘siapa yang berhak menjadi pengganti pemimpin umat Islam’. Ironinya, proses penggantian itu dilakukan bahkan sebelum Nabi dimakamkan. Saat itu, Nabi masih berada di ruangan rumahnya. Tetapi di ruangan lain nun jauh di sana umatnya sibuk berdebat, membincangkan pengganti beliau. Dikatakan bahwa proses pemilihan pengganti Nabi ini adalah cikal bakal terjadinya perpecahan umat Islam menjadi dua kelompok, yakni Sunni dan Syiah, yang kelak kemudian terbagi-bagi menjadi kepingan-kepingan umat.

Sungguh perbedaan itu dibuat dan dimulai dengan cara yang tidak benar. Lantas, apa hak kita untuk membenarkan sikap dan kelompok kita?. Tidakkah seharusnya kita malu atas perpecahan yang telah diperbuat?. Anehnya, umat Islam hari ini menjadikan perbedaan itu sebagai ajang penyaringan masuk surga, menganggap diri dan kelompoknya yang benar dan berhak masuk Surga, dan yang lainnya adalah penghuni Neraka. Membandingkan kelompoknya dengan kelompok yang lain, tetapi menggunakan perspektif dirinya. Mencari-cari kesalahan kelompok lain lalu diumbar-umbarnya. Lucu, ketika perbedaan yang dibuat dengan cara yang tidak benar itu dijadikan alasan untuk menjatuhkan pihak lain. Siapa yang salah, siapa yang menyalahkan?.

Selasa, 13 Juni 2017

MENDUDUKKAN PANDANGAN MUSLIM DAN NON-MUSLIM TENTANG AL-QUR’AN

MENDUDUKKAN PANDANGAN MUSLIM DAN NON-MUSLIM TENTANG AL-QUR’AN


MENDUDUKKAN PANDANGAN MUSLIM DAN NON-MUSLIM
TENTANG AL-QUR’AN

Oleh:
Muh Alwi HS
UIN Sunan Kalijaga

Polemik pemikiran muslim dengan non-muslim tentang al-Qur’an senantiasa menjadi bahasan menarik untuk selalu ditampilkan. Pasalnya, muslim yang dengan sendirinya mengimani al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya ternyata tidak sedikit mengalami ‘kekalahan’ dari non-Muslim dalam mengkaji kitab Suci tersebut. ‘kekalahan’ yang dimaksud di sini adalah perkembangan kajian al-Qur’an lebih luas yang lebih cenderung didominasi oleh pengkaji dari non-Muslim dibandingkan dengan pengkaji itu sendiri.[1] Hal ini dapat diketahui –misalnya- pembuktian ayat-ayat yang bersifat Sains, perkembangan kajian sastra dalam al-Qur’an, dan lain sebagainya.
 
Di sisi lain, pertentangan antara pemikiran muslim dengan non-Muslim juga senantiasa mewarnai perkembangan kajian al-Qur’an. Hal ini disebabkan posisi pemikiran kedua pihak tersebut memang memiliki persi yang satu dengan lainnya saling berbeda. Oleh karena itu, tulisan ini hendak mendudukkan pemikiran Muslim dan non-Muslim, khususnya mengenai al-Qur’an.

Al-Qur’an: antara Kalam Ilahi dan Produk Manusia
Secara garis besar, kajian al-Qur’an berputar pada bahasan Nabi Muhammad, sejarah (asal usul) al-Qur’an, serta Isi dalam al-Qur’an. Ditinjau dari segi Muhammad, selaku penyebar utama al-Qur’an. Tidak jarang Muhammad mendapat sorotan tersendiri dari pengkaji non-Muslim yang bernada negatif. Hal ini bisa diketahui –misalnya- kasus Muhammad saat menikahi Zainab, istri dari keponakannya sendiri, Zaid. Dikarenakan non-Muslim yang tidak meyakini adanya faktor ilahiyah yang berperan dalam setiap tindakan Muhammad, sehingga menganggap perbuatan menikahi istri keponakannya sendiri adalah sebuah kejahatan yang dilakukan oleh Muhammad. Padahal dalam penjelasan lengkapnya, Muhammad dalam kasus ini merupakan perintah langsung dari Allah untuk menikahi Zainab, lebih jauh, Zainab –permpuan dengan kehormatan tinggi saat itu- merasa tidak pantas dengan Zaid yang saat itu berstatus bekas budak.[2]

Selanjutnya, mengenai asal usul al-Qur’an, hal ini tidak dapat dipungkiri bahwa pemahaman atas asal usul al-Qur’an terjadi perbedaan yang signifikan dari kalangan muslim dan non-Muslim. Bagi kaum Muslim, al-Qur’an merupakan Kalam Ilahi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril, untuk kemudian disampaikan kepada umat Islam. Sementara bagi non-Muslim, al-Qur’an merupakan karya Muhammad, atau bahkan hasil karya dari kerja sahabat-sahabat Nabi.[3] Dua pandangan ini dapat didudukkan dengan melihat latar belakang dari kedua pengkaji tersebut, yakni muslim yang mendasari pengertiannya berdasar pada keimanan kepada metafisik (Allah dan Jibril), dan non-Muslim yang tidak memperdulikan persoalan keimanan. Bagi muslim, al-Qur’an pernah mengalami rana ilahiyah, yakni rana yang tak dapat dijangkau oleh akal pikiran manusia. Sementara pada pengkajian non-Muslim, mereka hanya menampilkan argument berdasarkan data yang ada, dalam hal ini adalah al-Qur’an yang terbentuk pada rana manusia, baik pada diri Muhammad maupun pada saat khalifah Abu Bakar dan Utsman.

Ditinjau dari al-Qur’an, kita bisa meminjam peta mendekati al-Qur’an menurut Farid Esack, bahwa Muslim dalam mendekati al-Qur’an dapat dibagi menjadi tiga, yakni orang awam, ulama konfensional, dan ulama kritis. Adapun bagi non-Muslim ketika mendekati al-Qur’an juga dapat dibagi menjadi tiga, yakni pengamat partisipan, pengamat yang tak berkepentingan, dan pengamat yang polemik.[4] Dalam mendekati al-Qur’an inilah yang seringkali terjadi perdebatan yang signifikan antara muslim dan non-muslim. Meski demikian, kita dapat mendudukkan perdebatan-perdebatan tersebut dengan menyadari adanya perbedaan-perbedaan yang mendasari kajian yang mereka lakukan, misalnya ruang lingkup, metode dan pendekatan. Bahkan dalam konteks ini, sesama muslim ataupun sesama non-muslim akan berbeda hasil kajiannya jika melalui metode atau pendekatan yang berbeda.

Dari berbagai aspek kajian al-Qur’an di atas, dapat dipahami bahwa adanya perbedaan yang lahir atas kesimpulan ataupun temuan dari pengkaji muslim dengan non-muslim dapat dikategorikan sebagai perbedaan yang biasa terjadi dalam wacana pengkajian al-Qur’an, yakni adanya perbedaan pra-pemahaman bagi para pengkaji al-Qur’an itu sendiri.



Daftar Pustaka

Al Makin, 2015, antara Barat dan Timur: Batasan, Dominasi, Relasi, dan Globalisasi, (Yogyakarta: SUKA-Press).

Esack Farid, 2005, The Qur’an A User’s Guide, (England: Thomson Press).

Salahi, M. A., 2010, Muhammad sebagai Manusia dan Nabi, terj. M. Sadat Syafi’ie, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, ).

Sardar, Ziauddin, 2014, Ngaji Qur’an di Zaman Edan: Sebuah Tafsir untuk Menjawab Persoalan Mutakhir, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta).














[1] Lebih jauh, Barat selalu menjadi pengkaji sedangkan timur (Islam) menjadi objek kajian, Al Makin, antara Barat dan Timur: Batasan, Dominasi, Relasi, dan Globalisasi, (Yogyakarta: SUKA-Press, 2015), hlm.


[2] Lihat selengkapnya dalam M. A. Salahi, Muhammad sebagai Manusia dan Nabi, terj. M. Sadat Syafi’ie, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2010), hlm. 83-84.


[3] Hal ini sebagaimana kenyataan kodifikasi al-Qur’an, baik pada masa Khalifah Abu Bakar, maupun pada masa Utsman bin Affan. Lihat Ziauddin Sardar, Ngaji Qur’an di Zaman Edan: Sebuah Tafsir untuk Menjawab Persoalan Mutakhir, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2014), hlm. 47.


[4] Farid Esack, The Qur’an A User’s Guide, (England: Thomson Press, 2005), hlm. 3.

Rabu, 15 Maret 2017

MENDIALOGKAN HADITS DAN SAINS (Analisis Hadits tentang Obat Pada Sayap Lalat)



MENDIALOGKAN HADITS DAN SAINS
(Analisis Hadits tentang Obat Pada Sayap Lalat)

Oleh:
Muh. Alwi HS
UIN Sunan Kalijaga

 

Pendahuluan
Permasalahan mengenai Hadits dengan Ilmu Sains sampai kini terus menjadi diskursus menarik untuk diperbincangkan, pasalnya hadits yang lahirnya 14 abad yang lalu mampu membincangkan persoalan yang dalam berbagai keilmuan Sains sampai kini belum menggapainya. Kita bisa mengambil contoh bahwa tidak sedikit hadits-hadits yang membahas tentang persoalan ‘masa depan’ dalam hal ini layaknya ramalan, masa lalu (sejarah), sampai persoalan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang pada saat kehadiran hadits sekalipun tidak ada orang yang mampu merumuskannya.
Lebih jauh, jika kita melihat dari sisi hadits, maka akan kita temukan berbagai wacana ‘ketidak harmonisasian’ sepanjang sejarahnya, ini bisa dilihat dengan adanya pembagian status penyandaran hadits[2] yakni mauquf, marfu’ maqthu’, artinya terjadi perbedaan hadits itu bersumber dari mana dan siapa. Maka tidak heran jika para pengkaji non-muslim (Orientalis), misalnya, senantiasa memberikan kritikan tajam mengenai keotentitas atas  sumber pedoman kedua umat Islam ini[3]. Lebih jauh lagi, persoalan kodifikasi hadits yang dilakukan setelah wafatnya Nabi, bahkan menginjak abad ke dua Hijriyah semakin memperjelas keraguan keotentitas hadits bahwa ia (baca: Hadits) bersumber dari Nabi.[4]
Selain persoalan historisnya, kandungan yang dimuat oleh hadits itu juga acap kali menjadi kritikan tersendiri. Jika kandungan hadits dibenturkan dengan wacana Sains, maka akan terjadi ketimpangan pada pemahamannya. Misalnya, persoalan Empiris yang mengharuskan adanya bukti konkrit[5], persoalan Ilmiah yang mengharuskan logis dan mampu dianalisis[6], serta persoalan Kebenaran yang membutuhkan fakta sebagai pembukti[7],  maka syarat-syarat Sains seperti ini menjadi kesulitan bagi Hadits untuk menjawabnya.
Mengenai persoalan seperti ini, Zaghlul An-Najjar dalam pendahuluannya menekankan bahwa apapun yang diyakini bersumber dari Nabi Muhammad, dalam hal ini adalah Hadits, memiliki kandungan yang jika dipelajari, diteliti dengan berbagai teknologi sekalipun, pada akhirnya akan membuktikan keagungan Allah sebagai Pencipta langit dan bumi.[8]

Pertemuan Hadits dan Sains
Sebagai ajaran pokok Islam (kedua setelah al-Qur’an), Hadits memiliki peran yang signifikan dalam kehidupan umat Islam. Ia (Hadits) dengan kekuatan yang dimilikinya, mampu mengalienasi manusia dari kebebasan yang dimilikinya, sehingga apa yang dikehendakinya dapat terwujudkan dalam bentuk perilaku manusia. Oleh karena itu, maka tidak heran jika IAN G. Barbour mengatakan bahwa apa yang datang dari Agama selalu mendapat posisi yang lebih jika dibandingkan dengan sains. Lebih jauh, segala yang menjadi penemuan-penemuan ilmiah akan tetap bersifat meragukan.[9]
Sekalipun demikian, pada perkembangannya ilmu pengetahuan pada akhirnya menjadi penjelas dari pengetahuan yang dibawa oleh agama (baca: Hadits), karena itu apa yang menjadi penemuan dari sains memiliki relevansi dengan doktrin hadits. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan Integrasi.[10] Dengan integrasi, kita dapat mendialogkan apa yang berasal dari Hadits dan juga apa yang menjadi milik perkembangan ilmu pengetahuan (Sains).

Menyelami Persoalan
Dalam khazanah pengetahuan, Harun Yahya mencoba menjelaskan tentang manfaat yang dimiliki oleh lalat, dikatakannya bahwa kecepatan terbang Lalat sangat cepat, ia bahkan mampu terbang melewati kecepatan pesawat terbang.[11] Lebih jauh, Harun mengaitkan pembahasan tentang lalat dengan QS. al-Baqarah: 26. Hal ini berdasarkan kandungan ayat tersebut yang hendak mengungkap Kuasa Tuhan yang tidak segan-segan menjadikan perumpamaan binatang kecil seperti Nyamuk, Lalat, dan bahkan binatang yang lebih kecil sekalipun. Di Ayat yang lain, secara jelas Lalat disebutkan dalam ayat 73 surah al-Hajj, di sana dikatakan bahwa “Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu”.
Ini menunjukkan bahwa Lalat mendapat perhatian tersendiri dalam ajaran Islam. Lebih jauh, dalam penelusuran penulis ada banyak hadits yang membahas tentang Lalat, misalnya[12] dalam Kitab Bukhari sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, nomor hadits 3073[13], dalam Kitab Abu Dawud sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, nomor Hadits 3346[14], dalam Kitab At-Tirmidzi sebagamana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, nomor hadits 2799[15], Kitab An-Nasa’i sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri, nomor hadits 4189[16], dan lain sebagainya.
Selanjutnya, untuk kepentingan takhrij hadits sekaligus menjadi fokus bahasan, di sini penulis hanya akan mengambil satu sampel hadits, yakni hadits yang diriwayat oleh Abu Hurairah nomor 3073 sebagaimana yang termuat dalam Kitab Shahih Bukhari, adapun redaksi selengkapnya sebagai berikut:
حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ مَخْلَدٍ، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي عُتْبَةُ بْنُ مُسْلِمٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ بْنُ حُنَيْنٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يَقُولُ: قَالَ النَّبِيّ: " إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ، ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِي إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَالْأُخْرَى شِفَاءً "
Telah bercerita kepada kami Khalid bin Makhlad telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Bilal berkata; telah bercerita kepadaku Utbah bin Muslim berkata; telah mengabarkan kepadaku Ubaid bin Hunain berkata; saya mendengar Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika ada seekor lalat yang terjatuh pada minuman kalian maka tenggelamkan kemudian angkatlah, karena pada satu sayapnya penyakit dan sayap lainnya terdapat obatnya."[17]

Takhrij Hadits
Dari hasil penelusuran penulis dalam Software Gawami Al-Kaleem,  hadits yang membahas tentang obat pada sayap lalat, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ditemukan dalam beberapa kitab Hadits, di antaranya sebagai berikut:
1.      Kitab Shahih Bukhari, nomor hadits 979.
2.      Musnad Ahmad bin Hambal, nomor hadits 2238.

Adapun i’tibar sanadnya dapat dilihat sebagai berikut: (lihat lampiran)

Ke-Musykil-an Hadits
Hadits di atas merupakan hadits shahih yang sebagian ulama menilainya sebagai hadits musykil. Hal ini disebabkan ketidakrasionalnya kandungan yang termuat di dalamnya.[18] Berbagai komentar terhadap kandungan hadits tersebut, misalnya bahwa sebagai berikut[19]:
“Lalat biasa hinggap di tempat-tempat yang kotor, penuh dengan kuman-kuman penyakit. Ia juga makan dari hal-hal yang kotor itu, membawa kuman dengan seluruh badannya. Maka apabilah ia hinggap pada makanan atau minuman, kuman-kuman yang ia bawa juga akan ditempelkan pada makanan, sehingga makanan itu akan membawa benacana yang berarti tidak boleh dimakan.”

Dikatakan lagi bahwa:
“Hadits ini tidak berhenti sampai situ saja. Bahkan dianjurkan agar kuman itu semakin ditambahi. Karena diperintahkan agar lalat dibenamkan ke dalam makanan, lalu dimakan. Tidak layak seorang Rasulullah telah mengucapkannya, kalaupun beliau benar-benar telah mengucapkannya maka jelas itu merupakan ucapan yang salah, sehingga lalu muncul orang yang menerima pendapat yang tidak bisa dipertanggungjawabkan ke-ma’shum-annya.”

Lebih jauh dikatakan bahwa:
“Para nabi pun pernah salah tentang apa yang mereka ucapkan, berupa pendapat, dan bukan merupakan wahyu, seperti hadits ini tentang mengawinkan pohon kurma...”

Lebih dari itu, hadits ini juga banyak diriwayatkan oleh Abu Hurairah, sementara dalam studi hadits Abu Hurairah termasuk sahabat yang kontroverial, hal ini dapat dibuktikan bahwa ia (Abu Hurairah) yang masuk Islam belakangan (akhir-akhir kenabian) sementara dalam periwayatan hadits, lebih banyak meriwayatkan dibandingkan dengan orang-orang terdekat Nabi sendiri, seperti Aisyah, Ali bin Abi Thalib, dan lain-lain. Selain itu, berbagai kejadian kontroversial yang terjadi antara Abu Hurairah dengan sahabat dekat Nabi, misalnya, dalam sebuah riwayat Ali pernah membantah Abu Hurairah seraya berkata “Abu Hurairah! Sejak kapan kamu menjadi sahabat dekat Nabi”, hal ini disampaikan ketika Abu Hurairah mengatakan bahwa “Sahabat dekat saya (maksudnya Nabi) berkata begini dan begitu, dan sahabat dekat saya melakukan ini dan itu” [20]
Menurut Ibnu Qutaybah, sebagaimana yang dikutip oleh Masykur Hakim, bahwa hadits yang tidak sejalan dengan akal manusia maka dilakukan cara menghubungkan keduanya, baik secara tekstual maupun konteksual.[21]

Wacana dari Medis (Sains)
Lalat, atau dalam bahasa Arab[22] dikenal dengan الذباب  merupakan jenis serangga yang memiliki sayap ganda, sehingga ia dapat hidup leluasa. Selain berfungsi untuk terbang bebas, sayap yang dimiliki Lalat memiliki keistimewaan tersendiri, yakni adanya obat dan penyakit atasnya.[23] Sekalipun dalam hadits tersebut tidak dikemukakan dengan jelas sayap mana yang mengandung penyakit dan obat, sebagian ulama –sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani- mengatakan bahwa sayap kanan mengandung obat, dan sebaliknya sayap kiri mengandung penyakit.[24]
Apa yang dimiliki oleh kedua sayap lalat tersebut, menjadi perhatian tersendiri bagi para peneliti sains, sekalipun dalam penelitian tersebut sebenarnya hanya bertujuan mengetahui pola kehidupan bakteri yang terdapat pada lalat.[25] Kehidupan lalat yang biasa hinggap di tempat-tempat kotor, sehingga tidak diragukan bahwa ia membawa kuman ketika hinggap di makanan dan minuman, menyebabkan dari segi kesehatan menjadi hal yang menjijikkan, bahkan dapat menyebabkan penyakit.
Sekalipun demikian –yakni lalat membawa kuman-, terdapat pernyataan kesehatan yang bisa dibuktikan bahwa “sebagian kuman dapat membunuh dan menghilangkan kuman lain”. Artinya, tidak menutup kemungkinan kuman yang dibawa oleh salah satu sayap lalat dapat membunuh kuman di sayap lainnya.[26] Lebih jauh, dari kuman-kuman tersebut kemudian membentuk sebuah unsur toksin (toxine)[27], yang oleh ahli medis dikenal dengan nama antibakteri yang kelak membunuh kuman penyakit.[28]
Lebih dari itu, penjelasan lainnya mengatakan bahwa terdapat unsur-unsur penghancur mikroba[29] yang dimiliki oleh salah satu sayap lalat. Unsur penghancur tersebut kemudian mengeluarkan bakteri bagian makanan, yang kemudian menyebar sangat cepat dan membunuh mikroba tersebut.[30]
Terlihat terdapat perbedaan dari penjelasan di atas, betapapun itu –hemat penulis- penjelasan tersebut hendak menyampaikan bahwa terdapat unsur yang dimiliki oleh sayap lalat yang berfungsi sebagai obat untuk sayap yang membawa penyakit. Selain itu, Nizar Ali mengatakan bahwa baik secara teori maupun percobaan, tetap ditemukan relevansinya terhadap hadits tersebut. Jika kita melihat dari segi teroritisnya, maka ditemukan bahwa Bakteri ataupun Virus yang dibawa oleh lalat ketika dari tempat kotor, senantiasa terdapat segi manfaatnya, di samping juga terdapat sisi negatifnya.[31]
Sementara jika ditinjau dari segi percobaan laboratorium, maka akan berkesimpulan bahwa lalat yang tidak dibenamkan ketika hinggap disebuah menuman akan meninggalkan banyak kuman. Sedangkan jika lalat tersebut dibenamkan hasilnya adalah tidak dijumpai satu pun kuman.[32]

Analisis Pertemuan
Sepintas lalu kandungan hadits tentang obat pada sayap lalat tersebut dipandang tidak masuk akal, terlebih lagi tidak ada kejelasan lalat jenis apa yang dimaksud oleh Nabi, hal ini terdapat banyak jenis lalat, misalnya  lalat rumah (musca demostica), lalat hijau (lucilla caesar), lalat biru (caliphora vomitoria) yang berbeda satu jenis dengan jenis lainnya.[33] Sekalipun demikian, ketidak masuk akalan hadits tersebut bukan menjadi alasan untuk menolaknya, hal ini karena akan memicu munculnya penolakan apa (Hadits) yang datang dari Nabi.[34]
 Namun demikian, perkembangan sains, baik dalam bentuk teori maupun penelitian laboratorium, memberi kejelasan bahwa pada sayap lalat terdapat toksin atau kemudian dikenal dengan antibakteri tersebut dapat diperoleh ketika lalat tersebut dibenamkan secara keseluruhan ke dalam minuman. Di sinilah oleh Nabi dikatakan sebagai sayap lainnya terdapat obatnya.[35]
Berbagai penjelasan yang ditelusuri penulis tidak ditemukan secara detail jenis lalat apa yang sayapnya terdapat obat. Meskipun demikian, hemat penulis, tidak ada alasan untuk menolak hadits tersebut, akan tetapi perlu dilakukan penempatan keadaan. Dalam artian, jika makanan ataupun minuman yang dihinggapi oleh lalat mumpuni untuk tidak dikonsumsi maka dipilih untuk tidak mengkonsumsinya. Tetapi jika, dalam keadaan darurat misalnya, maka air itu boleh diminum. Hal ini tidak bisa dilepaskan bahwa lalat merupakan penyebab penyakit muntaber dan dan tipes.[36]

Kesimpulan
Dari berbagai penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1.      Perkembangan ilmu pengetahuan (Sains) senantiasa merespons doktrin keagamaan, dalam hal ini adalah hadits. Lebih jauh, tidak sedikit kebenaran yang dibawa oleh hadits dapat dibuktikan dengan perkembangan sains.
2.      Hadits tentang obat pada sayap lalat, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dalam kitab Shahih Bukhari nomor 3073, pada akhirnya terbukti kebenarannya baik secara teoiritis maupun percobaan laboratorium.


Lampiran:




 


[1] Tulisan ini dipresentasikan dalam diskusi kelas Hadits Sains (Kealaman.
[2] Lihat penjelasan tentang hadits Mauquf (hadits yang disandarkan kepada Sahabat), Marfu’ (hadits yang disandarkan kepada Nabi), dan Maqthu (hadits yang disandarkan kepada Tabi’in) Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadits, terj, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 67-74.
[3] Baca Arif Syamsuddin, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani Press, 2008), hlm. 27.
[4] Baca penjelasan Ahmad Amin tentang sejarah kemunculan Hadits dalam Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunah: Pendekatan Ilmu Hadis, (Jakarata: Kencana, 2011), hlm, 39-40. Selain itu, lihat juga persoalan munculnya hadits maudhu’ dalam –misalnya- Umi Sumbulah, Kritik Hadis: Pendekatan Historis Metodologis, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm. 6-10.
[5] Soerjanto Poespowardojo dan Alexander Seran, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Hakikat Ilmu Pengetahuan, Kritik Terhadap Visi Positivisme Logis, serta Implikasinya, (Jakarta: Kompas, 2016), hlm. 11.
[6] Jalaluddin, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 108.
[7] Jalaluddin, Filsafat Ilmu Pengetahuan, hlm. 133.
[8] Zaghlul An-Najjar, Pembuktian Sains dalam Sunnah, terj, (Jakarta: Amzah, 2006), hlm. xvii.
[9] IAN G. Barbour, Isu dalam Sains dan Agama, terj, (Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2006), hlm. 306.
[10] Zain Abidin Bagir, dkk, Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi, (Bandung: Penerbit Mizan, 2005), hlm. 22.
[11] Lihat Kementrian Agama RI, Al-Qur’anul Karim: Miracle The Reference, Panduan Terlengkap dan Praktis Mengamalkan al-Qur’an, (Bandung: Sygma, 2011).
[12] Hadits-hadits yang dikutip berdasarkan Lidawa Pusaka i-Software: Kitab Sembilan Imam Hadits.
[13]  Redaksinya: "Jika ada seekor lalat yang terjatuh pada minuman kalian maka tenggelamkan kemudian angkatlah, karena pada satu sayapnya penyakit dan sayap lainnya terdapat obatnya."
[14] Redaksinya: "Jika ada lalat jatuh ke dalam bejana salah seorang dari kalian maka celupkanlah lalat tersebut, karena sesungguhnya di dalam salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayap yang lain terdapat obat. Sesungguhnya lalat tersebut melindungi diri dengan sayap yang padanya terdapat penyakit, maka celupkanlah semuannya!"
[15] Redaksinya: "Sesungguhnya perumpamaanku dan perumpamaan ummatku seperti seseorang yang menyalakan api kemudian lalat dan kupu-kupu jatuh di api itu, dan aku memegangi ikatan kain kalian, sementara kalian tetap memasukinya."
[16] Redaksinya: "Apabila seekor lalat jatuh dalam bejana salah seorang diantara kalian maka hendaknya ia membenamkannya ke dalam air."
[17] Berdasarkan Lidawa Pusaka i-Software: Kitab Sembilan Imam Hadits.
[18] Nizar Ali, Hadits Versus Sains (Memahami Hadis-Hadis Musykil), (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2008), hlm. 30.
[19] Abdullah bin Ali An-Najdy Al-Qushaimy, Memahami Hadits Musykil, terj, (Solo: Pustaka Mantiq, 1993), hlm. 82-83.
[20] Ada banyak riwayat yang menampilkan kekontroversial sahabat Abu Hurairah, misalnya ketika Aisyah memanggil Abu Hurairah dan berkata “Abu Hurairah! Apa maksud semua riawayat yang selalu kami dengar dari mulutmu! Katakana padaku, apakah kamu mendengar hal-hal (dari Nabi) yang tidak kami dengar, apakah kamu melihat sesuatu (yang dilakukan Nabi) yang tidak kami perhatikan?” Abu Hurairah menjawab, “Wahai ibu orang-orang beriman (umm al-mu’minin), engkau sibuk dengan alis matamu dan mempercantik diri untuk Nabi”. Juga riwayat yang mengisahkan Umar memarahi Abu Hurairah; “Jika kamu tidak berhenti meriwayatkan hadits, saya akan mengasingkan kamu”. dan berbagai riwayat lainnya yang serupa dengan ini. lihat selengkapnya Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, terj, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. 2004), hlm. 312-314.
[21] Masykur Hakim, Mukhalif al-Hadits dan Cara Penyelesaiannya Perspektif Ibnu Qutaybah. Dalam Journal Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3, Januari-Juni 2015, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, hlm.  
[22] A.W. Munawwir, Kamu Al-Munawwir Indonesia-Arab Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Proressif, 2007), hlm. 488.
[23] Abdul Basith Al-Jamal dan Daliyah Shiddiq Al-Jamal, Mausu’at Al-Isyarat Al-Ilmiyyah, terj, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003), hlm. 185-186.
[24] Nizar Ali, Hadits Versus Sains (Memahami Hadis-Hadis Musykil), hlm. 31-32.
[25] Abdul Basith Al-Jamal dan Daliyah Shiddiq Al-Jamal, Mausu’at Al-Isyarat Al-Ilmiyyah, terj, hlm. 186.
[26] Abdullah bin Ali An-Najdy Al-Qushaimy, Memahami Hadits Musykil, terj, (Solo: Pustaka Mantiq, 1993), hlm. 84-85.
[27] Toxine adalah Konversi metabolisme zat menjadi racun. Lihat http://kamus-internasional.com/definitions/?indonesian_word=toxification.
[28] Abdullah bin Ali An-Najdy Al-Qushaimy, Memahami Hadits Musykil, terj, hlm. 36.
[29] Yaitu organisme yang berukuran sangat kecil. Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Mikroorganisme.
[30] Abdul Basith Al-Jamal dan Daliyah Shiddiq Al-Jamal, Mausu’at Al-Isyarat Al-Ilmiyyah, terj, hlm. 186.
[31] Lihat penjelasan lebih jauh Nizar Ali, Hadits Versus Sains (Memahami Hadis-Hadis Musykil), hlm. 33-35.
[32] Nizar Ali, Hadits Versus Sains (Memahami Hadis-Hadis Musykil), hlm. 36.
[33] Lihat penjelasannya Masykur Hakim, Mukhalif al-Hadits dan Cara Penyelesaiannya Perspektif Ibnu Qutaybah. Dalam Journal Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3, Januari-Juni 2015, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, hlm. 207.
[34] Masykur Hakim, Mukhalif al-Hadits dan Cara Penyelesaiannya Perspektif Ibnu Qutaybah. Dalam Journal Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3, Januari-Juni 2015, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, hlm. 207.
[35] Nizar Ali, Hadits Versus Sains (Memahami Hadis-Hadis Musykil), hlm. 33.
[36] Masykur Hakim, Mukhalif al-Hadits dan Cara Penyelesaiannya Perspektif Ibnu Qutaybah. Dalam Journal Ilmu Ushuluddin, Volume 2, Nomor 3, Januari-Juni 2015, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, hlm. 207.